Dikarenakan cuaca yang benar-benar dingin, membuat Sabda dan rombongan enggan keluar vila untuk makan malam di hari kedua mereka menginap. Mereka memilih memesan menu makanan dari kafe yang tidak jauh dari vila dan meminta pihak kafe untuk mengantarkan. Dan mereka duduk berkumpul di ruang tamu vila setelah selesai makan malam.Cuaca malam ini dinginnya memang lebih ekstrim. Biasanya tak sampai seperti ini. Sebab sudah beberapa kali mereka menghabiskan pergantian tahun di Bukit Menoreh."Dinginnya menggila," ucap Joni sambil merapatkan jaketnya."Biasanya tak seperti ini. Mungkin ini puncaknya musim kemarau," balas Ari."Enak yang bawa selimut hidup, kita bertiga yang bakalan meringkuk kedinginan," sahut Fadil sambil memandang Sabda dan Agung."Salah sendiri kenapa kamu nggak mau ngajak Angel." Ari yang bicara."Angel mana mungkin diizinin ikut sama ibunya, nikah aja belum. Bisa-bisa pulang touring bakalan bunting." Jawaban Joni menimbulkan tawa teman-temannya. Mereka ngobrol di ruang
Di sebuah kamar hotel Sudarmala Resort, Labuan Bajo, Bu Airin duduk di balkon kamar bersama Pak Prabu. Wanita itu berwajah muram sambil memandang kerlip lampu di kejauhan. Beliau merasa dipermalukan oleh putranya sendiri di depan keluarga Pak Pras. Andai tidak ada perempuan itu, tentu pertunangan Sabda dan Bela sudah berlangsung hari ini dan pernikahan akan di rencanakan dua bulan kemudian. Sebelum pernikahan Arga dan Citra."Mama, jangan terlalu keras sama Sabda. Sampai nggak boleh muncul pula di tengah keluarga kita. Apa ini nggak berlebihan." Pak Prabu menegur istrinya dengan nada pelan. "Semakin keras Mama menentang Sabda, Dia pun bisa lebih keras kepala lagi. Mama tahu bagaimana anak kita, kan? Selagi dia merasa benar, jangan harap kita bisa membelokkan pikirannya.""Coba Papa kasih ancaman padanya. Di berhentikan dari pekerjaan misalnya." Bu Airin tetap ngotot. Membuat Pak Prabu menggeleng pelan."Mama, pikir hal ini bikin dia takut? Jika dia berhenti kerja dari perusahaan kel
Senyum haru terukir di bibir perempuan itu saat memandang bunga mawar yang tercium wanginya. Ini untuk pertama kalinya Sabda memberikan bunga padanya. Dulu Arga sering sekali mengirimkan buket bunga ke kosannya. Bahkan di pagi terakhir sebelum kejadian di vila itu Arga masih mengirimkan bunga lewat kurir florist langganannya."Kenapa diam? Kamu nggak suka bunga mawar?" tanya Sabda menyelidik. Membuyarkan lamunan Senja."Maaf, aku hanya terkejut saja, Mas. Aku suka kok. Makasih, ya.""Oke, Sayang."Gerimis di luar makin lebat. Di kejauhan kabut tebal membatasi pandangan. Tahun baru yang syahdu. Seorang pramusaji datang membawakan pesanan. Aroma nasi goreng spesial membuat keduanya tak sabar untuk segera menyantapnya. "Kita akan melanjutkan perjalanan setelah hujan reda. Teman-teman masih asyik tiduran ini." Sabda menyodorkan ponselnya pada Senja. Dia menunjukkan pesan yang dikirim rekannya untuk dibaca sang istri.💦 💦 💦Tahun baru kelabu. Arga memandang rintik hujan dari balkon ka
Selesai makan, Sabda pamit ke apotek membeli beberapa obat untuk persiapan dan minyak kayu putih. Senja di rumah beres-beres bekas makan tadi. Sambil menunggu Sabda kembali, Senja browsing di internet mengenai tanda-tanda perempuan yang sedang hamil muda. Dan semua tanda-tanda itu ada padanya saat ini.Perasaannya campur aduk. Sampai bingung perasannya kini sedang bagaimana. Merasa surprise, terharu, bingung, dan ia tidak tahu seperti apa harus menyambut kehidupan baru di rahimnya. Besok dia akan menyempatkan diri membeli alat tes kehamilan di apotek. Sebenarnya bisa saja dia menelepon Sabda untuk membelikannya sekarang, tapi ia memutuskan untuk melakukan tes diam-diam saja dulu. Setelah tahu hasilnya, baru memberitahu sang suami.Beberapa menit kemudian Sabda telah kembali. "Ini di minum dulu obatnya, habis itu kamu lekas istirahat." Sabda memberikan satu sachet obat masuk angin."Aku minum di belakang ya, Mas.""Kenapa harus di belakang? Nanti kamu buang pula. Minum saja di sini." S
Siang itu, Pak Tedjo mengajak cucu-cucunya untuk makan siang bersama. Pria yang masih sangat sehat di usia senjanya telah memesan satu ruangan di sebuah restoran ternama di kota mereka. Lelaki dengan sembilan cucu itu tampak bahagia melihat beberapa cucunya bisa datang. Walaupun Sabda datang terlambat."Maafkan Sabda, Kek. Telat sampai," ucap Sabda sambil mencium tangan Kakek dan Neneknya. Kemudian menyapa sepupunya yang lain sebelum duduk. Di sana ada Chandra, Arga, Nindi, Bumi, dan Sheila. Ketiga cucunya yang lain tidak bisa ikut karena sedang sekolah dan kuliah."Nggak apa-apa, yang penting kamu bisa datang. Ayo, kita mulai makan siangnya. Kalian pasti sudah lapar, kita makan sambil berbincang."Seorang pramusaji restoran meladeni mereka makan. Biasanya kalau ada pertemuan begini, Sabda dan Arga akan duduk berdekatan dan ngobrol bareng. Tapi sekarang, keduanya duduk berseberangan tidak saling menatap."Sabda, kata Mamamu pertunanganmu dengan Bela di tunda? Mau ditunda sampai kapan
Bu Tedjo menyentuh bahu cucunya. Wanita yang memakai kaftan warna putih bercorak bunga-bunga dengan khimar bersulam benang emas memandang penuh tanya pada sang cucu dan putranya. Tanpa disadari kedua laki-laki itu, Bu Tedjo mendengar pembicaraan mereka."Siapa perempuan hamil yang kalian bicarakan tadi?" "Temanku, Nek." Teman tidur, batin Sabda. Di sana bukan tempat yang tepat untuk menceritakan pernikahannya. Sabda akan mengajak Senja bertemu mereka nanti."Oh, makanya kamu lekaslah menikah biar segera punya anak. Arga sebentar lagi juga menikah."Sabda tersenyum kemudian mengangguk. Dibimbingnya sang nenek untuk kembali duduk di tempatnya tadi. Melihat ketenangan seluruh kerabatnya, tampak mereka belum tahu mengenai pernikahan diam-diamnya. Ini berarti Arga, Bela, dan keluarganya tidak menceritakan hal ini pada yang lain. Buktinya mereka masih diam.Baguslah mereka mau menyimpan sendiri rahasia ini. Meski ini pun demi kepentingan pribadi masing-masing. Arga diam karena tidak ingin
Waktu terus bergulir, hari berganti hari, berganti minggu dan kini genap lagi sebulan. Kehamilan Senja berusia sepuluh minggu. Pagi itu dia mematut diri di depan cermin. Melihat tubuhnya yang telah memakai baju kerja dari beberapa sisi. Baju kerjanya telah sempit. Jika dilihat dengan cermat, perutnya tampak kentara dan pinggangnya terlihat penuh."Kenapa?" tanya Sabda memeluknya dari belakang dan mereka saling pandang di depan cermin."Bajuku kekecilan, Mas. Harusnya aku sudah pakai baju hamil, atau pakaian yang lebih longgar.""Kan kemarin sudah aku tawari beli baju baru. Sayang, bilang nggak usah. Daripada nanti jadi pusat perhatian. Apa yang mesti ditakutkan, kamu hamil ada suaminya. Misalnya pihak perusahaan nggak terima dan kamu harus resign, itu lebih baik kan? Kamu bisa fokus dengan calon anak kita."Senja membalikkan tubuhnya. Tengadah memandang Sabda. "Aku masih ingin bekerja. Hari ini aku akan bilang minta cuti minggu depan, dua hari untuk Senin dan Selasa.""Ya. Kita akan
Ketika sudah di dalam angkot, Senja baru menyadari kalau ponselnya berdering. Sabda yang meneleponnya."Ya, Mas. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Kamu di mana sekarang? Apa masih belanja?""Enggak. Aku sudah di perjalanan pulang, sebentar lagi sampai rumah. Maaf tadi nggak sempat jawab teleponnya. Mas, sudah di rumah?""Belum, ini masih di kantor. Ya sudah, kita ketemu di rumah nanti.""Hu um.'"Sampai rumah lekas istirahat."Iya.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Jika Sabda sepeduli ini, kenapa dia harus bimbang dengan ucapan gadis tadi. Perkataan seorang mantan yang bisa saja menjadi racun baginya. Memanglah jelas antara Sabda dan Bela pernah saling mencintai, dengan dirinya masih menjadi teka-teki. Bukankah itu hanya kisah lama? Tapi banyak sekali kisah mantan yang menjadi momok dan duri dalam sebuah rumah tangga.Wajarlah jika Sabda belum bisa mencintainya, sebesar pria itu mencintai Bela, mungkin. Karena hubungan mereka diawali oleh hal yang terpaksa. Apa yang harus dit
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba