Citra tersenyum pada mereka meski tampak heran melihat Sabda bersama seorang perempuan, ia tahu siapa gadis di depannya. Selain melihat sekilas di vila waktu itu. Arga juga pernah menunjukkan foto Senja padanya. Meski baru kali ini bertemu secara dekat. "Mungkin saja mereka memang dah saling kenal, karena Arga dan Sabda sepupuan." Pikir gadis itu.Senja juga tak menyangka bertemu dengan Citra di kafe. Ia tak mungkin lupa dengan wajah seorang gadis yang sempat membuat dunianya runtuh ketika itu. Gadis yang tengah di sematkan cincin di jari manisnya oleh pria yang sangat Senja cintai. Dan sekarang ia masih melihat cincin itu melingkar di jari manisnya."Mas Sabda," panggilnya seraya menyalami Sabda."Kamu sendirian?""Iya," jawab Citra sambil menyalami Senja.Sesaat rasa serba salah menyergap. Hingga bunyi panggilan di ponsel Sabda mencairkan kekakuan. "Aku terima telepon dulu, urgent," pamit Sabda pada mereka. Pria itu keluar kafe dan berdiri di teras depan.Citra duduk di kursi depa
Senja pergi, kini malam menghampiri. Sabda baru saja masuk apartemen setelah mengajak Senja jalan-jalan sebentar, makan malam lantas mengantarnya ke kosan. Pria itu langsung mandi dan istirahat di kamar.Ketika sendirian kini merasakan kesunyian. Keberadaan Senja di apartemen dalam beberapa hari ini rupanya sudah menjadi candu, ketika tiada kini terasakan hampanya.Sabda baru saja memejam, dikejutkan dengan panggilan di ponselnya. Nama sang mama tampak di layar bening itu. "Ya, Ma," jawab Sabda pelan."Kamu apa masih ada di kantor?""Sudah pulang ini, Ma.""Pulang ke apartemen?""Ya, aku lagi ada di apartemen.""Kamu sekarang jarang pulang ke rumah. Ini kami lagi kumpul. Kamu pulang, gih. Mama tunggu." Panggilan langsung terputus. Sabda menghela napas pelan. Mamanya suka begini, memutuskan panggilan sepihak tanpa mau mendengar penolakan. Berarti mengharapkan Sabda harus pulang.Sabda terdiam sejenak lalu berdiri dengan malas. Diambilnya jaket dari balik pintu, tanpa mengganti celana s
Ketika Sabda masuk ruangan, Arga sedang duduk di kursi depan meja kerja Sabda. "Hai, sudah lama nunggu?" Sapa Sabda sambil duduk di kursinya. "Lima belas menitan." Sabda memperhatikan wajah Arga yang agak pucat. "Kamu sakit?""Hanya flu biasa.""Oh, ada hal penting yang membuatmu datang ke sini?"Arga diam sejenak sambil memandang sepupunya. Ada kecewa yang membuncah dalam dada. Beberapa hari yang lalu Citra cerita padanya mengenai pertemuannya dengan Sabda dan Senja di sebuah kafe. Dia juga sempat melihat mobil Sabda berhenti di depan kantor Senja."Kamu ada hubungan apa-apa dengan Senja?" Arga bertanya dengan nada datar.Sabda mengangguk. Membuat Arga tersulut emosi yang berusaha ia redam karena tidak ingin ada keributan yang akan jadi pusat perhatian di perusahaan. Mereka saling menatap tajam."Kamu memanfaatkan keadaan hubungan kami. Kau tahu kalau aku mencintainya!" Nada Arga mulai meninggi."Aku tidak memanfaatkan. Aku sudah cerita apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.""Tapi
Sabda menggenggam erat tangan Senja ketika mereka melangkah memasuki sebuah kafe. Pria itu mengajak istrinya terus lurus jalan ke belakang. Mengambil tempat duduk di kebun rindang yang disulap layaknya sebuah taman. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. Garden Cafe. Sebuah coffee shop yang mengusung tema lingkungan. Berbagai tanaman hias menghuni tiap sudut ruangan, menjadi hiasan interior kafe. Pemandangan itu menjadi daya tarik tersendiri buat Senja. Ini konsep kafe yang berbeda dari kafe yang pernah ia kunjungi. Memang kafe ini tempatnya jauh dari pusat kota.Bangku paling pojok menjadi pilihan Sabda. Di samping tersisih dari lalu lalang pengunjung lain, dari tempat itu juga bisa bebas memandang dan menikmati suasana malam di kafe yang sangat asri jika siang hari. Lampu-lampu hias menyala, menjadikan suasana temaram dan romantis."Pernah ke sini sebelumnya?" tanya Sabda pada Senja yang asyik memandang beberapa anak kecil yang bermain di play ground yang tersedia di sana. Juga a
Pak Prabu baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat Bu Airin mendekat. "Kita makan malam dulu, Pa." Pria itu keluar kamar bersama istrinya. Di atas meja sudah tersedia opor ayam, perkedel kentang, dan sayur sawi."Mana Bumi?""Dia lagi ada acara sama teman-temannya," jawab Bu Airin sambil mengambilkan nasi untuk suaminya."Kenapa Papa pulangnya malam banget hari ini?""Papa ada janji ketemuan sama orang tadi." "Relasi?""Hmm," jawab Pak Prabu sambil menyuap nasi. Bu Airin memandang dengan tatapan menyelidik. Beliau tak puas dan curiga dengan jawaban suaminya."Beneran relasi? Ketemuan malam-malam begini?""Dulu Mama sering juga nemeni Papa ketemuan sama mereka waktu malam kan? Jangan bilang kalau Mama curiga, kalau mau macam-macam sudah sejak papa masih muda dulu, Ma. Mau punya bini tiga pun Papa sanggup."Bu Airin langsung melotot tajam pada suaminya, yang dipelototi tetap santai menyuap nasi. "Emang dulu Papa ada niatan mau nikah lagi?" Pak Prabu tertawa. "Gimana mau nikah
Wanita itu menarik napas dalam-dalam untuk meredam gemuruh di dadanya. Senja belum pernah bertemu dengan saudaranya Sabda. Makanya dia tidak tahu karakter orangnya seperti apa."Ayo!" Sabda meraih jemari istrinya."Mas Chandra dan istrinya itu orangnya bagaimana?""Bagaimanapun mereka, aku akan tetap mengenalkanmu. Mumpung mereka ada di apartemen."Senja akhirnya mengangguk. Dia segera turun dari mobil dan Sabda menggandengnya berjalan ke arah lift. Keluarga suaminya akan menjadi keluarganya juga. Walaupun mungkin tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan keluarga yang berbeda. Terlebih dengan latar belakang seperti kisahnya.Kembali ditariknya napas dalam-dalam ketika sudah berdiri di depan pintu apartemen.Sabda membuka pintu, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah kakak iparnya yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu sambil mengelus perut besarnya. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawab wanita berambut sebahu sambil membenahi duduknya. Tata terkejut saat melihat Senja
"Menuduh tanpa bukti jatuhnya fitnah, Mbak. Begitu pentingkah ini dibahas?" Sabda bersuara."Tentu saja. Ini simbol harga diri seorang gadis."Sabda lekas berdiri dan pergi dari sana. Tidak ada gunanya bicara dengan seorang terpelajar lulusan National University of Singapore, tapi tak punya attitude. Dia seperti tidak mengenali kakak iparnya, selama ini wanita itu sangat baik dan realistis. Entah kenapa malam ini memojokkan Senja hanya karena dia mantan pacar sepupu mereka.Ketika sampai di kamar, Sabda melihat Senja sudah tertidur dengan posisi membelakanginya. Dibenahi selimut Senja tanpa mengganggunya. Di matikannya lampu kamar, lantas menyentuh lampu tidur touch sensor di atas kepala ranjang.Di pandangi langit-langit kamar dalam cahaya yang temaram. Apa yang dikatakan kakaknya tadi menjadi pikirannya sekarang. Persiapan lamaran yang telah matang. Gila, bagaimana hal itu bisa terjadi sementara dirinya tidak pernah diajak membahasnya. Apa dipikir dia masih segila itu pada Bela?Dul
Sabda menoleh ketika kaca pintu mobilnya diketuk oleh seseorang. Diturunkannya kaca dan mereka bicara sebentar. Mobil Sabda mengikuti laki-laki tadi bersama seorang rekannya yang jadi agen properti masuk ke kawasan perumahan dan berhenti tepat di sebuah bangunan yang siap huni. Mereka turun dan masuk dalam rumah. Tipe rumah 70 adalah pilihannya, yang merupakan tipe rumah termasuk paling luas untuk ukuran hunian kelas menengah. "Saya akan menyelesaikan transaksi hari Selasa, karena hari Senin saya masih ada meeting." Sabda bicara pada pria bertubuh kerempeng, seorang agen properti.Mereka akhirnya sepakat ketemuan hari Selasa di kantor pemasaran Graha Persada.💦 💦 💦Pukul satu siang Sabda dan Senja sampai di rumah Bu Hanum. Mereka hanya berhenti dua kali untuk sarapan dan istirahat sejenak di rest area. Rumah sangat ramai, beberapa kerabat dan tetangga sibuk rewang di sana. Aroma masakan yang sudah matang menguar dan tercium hingga di ruang depan.Bu Hanum sangat senang melihat S
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba