Malam kian hening. Dia memandang langit-langit kamar yang gelap karena semua lampu di matikannya. Biasanya lampu malam yang temaram akan tetap menyala. Hanya ada cahaya dari lampu teras yang menyorot masuk lewat angin-angin atas jendela kaca.Baginya yang biasa hidup sederhana sejak kecil, kabar uang delapan ratus juta yang di bilang ibunya tadi nyatanya tak bisa menggantikan kesedihan dengan apa yang dialaminya saat ini. Mungkin begitu juga yang ada dalam pikiran mamanya Sabda. Kehormatan keluarga lebih dari segalanya di banding kebahagiaan putranya. Dua wanita high class yang memiliki dua pandangan sama. Mamanya Arga menilai segala sesuatu dengan harta, sementara mamanya Sabda lebih memikirkan tentang penilaian orang lain terhadap keluarga mereka. Mungkin saja begitu. Senja hanya menerka-nerka.Begitu cepatnya wanita itu menemukan tempat kerjanya. Bahkan bisa tahu jam pulangnya dari kantor. Ah, mereka punya uang, apapun bisa dilakukan. Apa susahnya mencari tahu tentang seorang gadis
Citra tersenyum pada mereka meski tampak heran melihat Sabda bersama seorang perempuan, ia tahu siapa gadis di depannya. Selain melihat sekilas di vila waktu itu. Arga juga pernah menunjukkan foto Senja padanya. Meski baru kali ini bertemu secara dekat. "Mungkin saja mereka memang dah saling kenal, karena Arga dan Sabda sepupuan." Pikir gadis itu.Senja juga tak menyangka bertemu dengan Citra di kafe. Ia tak mungkin lupa dengan wajah seorang gadis yang sempat membuat dunianya runtuh ketika itu. Gadis yang tengah di sematkan cincin di jari manisnya oleh pria yang sangat Senja cintai. Dan sekarang ia masih melihat cincin itu melingkar di jari manisnya."Mas Sabda," panggilnya seraya menyalami Sabda."Kamu sendirian?""Iya," jawab Citra sambil menyalami Senja.Sesaat rasa serba salah menyergap. Hingga bunyi panggilan di ponsel Sabda mencairkan kekakuan. "Aku terima telepon dulu, urgent," pamit Sabda pada mereka. Pria itu keluar kafe dan berdiri di teras depan.Citra duduk di kursi depa
Senja pergi, kini malam menghampiri. Sabda baru saja masuk apartemen setelah mengajak Senja jalan-jalan sebentar, makan malam lantas mengantarnya ke kosan. Pria itu langsung mandi dan istirahat di kamar.Ketika sendirian kini merasakan kesunyian. Keberadaan Senja di apartemen dalam beberapa hari ini rupanya sudah menjadi candu, ketika tiada kini terasakan hampanya.Sabda baru saja memejam, dikejutkan dengan panggilan di ponselnya. Nama sang mama tampak di layar bening itu. "Ya, Ma," jawab Sabda pelan."Kamu apa masih ada di kantor?""Sudah pulang ini, Ma.""Pulang ke apartemen?""Ya, aku lagi ada di apartemen.""Kamu sekarang jarang pulang ke rumah. Ini kami lagi kumpul. Kamu pulang, gih. Mama tunggu." Panggilan langsung terputus. Sabda menghela napas pelan. Mamanya suka begini, memutuskan panggilan sepihak tanpa mau mendengar penolakan. Berarti mengharapkan Sabda harus pulang.Sabda terdiam sejenak lalu berdiri dengan malas. Diambilnya jaket dari balik pintu, tanpa mengganti celana s
Ketika Sabda masuk ruangan, Arga sedang duduk di kursi depan meja kerja Sabda. "Hai, sudah lama nunggu?" Sapa Sabda sambil duduk di kursinya. "Lima belas menitan." Sabda memperhatikan wajah Arga yang agak pucat. "Kamu sakit?""Hanya flu biasa.""Oh, ada hal penting yang membuatmu datang ke sini?"Arga diam sejenak sambil memandang sepupunya. Ada kecewa yang membuncah dalam dada. Beberapa hari yang lalu Citra cerita padanya mengenai pertemuannya dengan Sabda dan Senja di sebuah kafe. Dia juga sempat melihat mobil Sabda berhenti di depan kantor Senja."Kamu ada hubungan apa-apa dengan Senja?" Arga bertanya dengan nada datar.Sabda mengangguk. Membuat Arga tersulut emosi yang berusaha ia redam karena tidak ingin ada keributan yang akan jadi pusat perhatian di perusahaan. Mereka saling menatap tajam."Kamu memanfaatkan keadaan hubungan kami. Kau tahu kalau aku mencintainya!" Nada Arga mulai meninggi."Aku tidak memanfaatkan. Aku sudah cerita apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.""Tapi
Sabda menggenggam erat tangan Senja ketika mereka melangkah memasuki sebuah kafe. Pria itu mengajak istrinya terus lurus jalan ke belakang. Mengambil tempat duduk di kebun rindang yang disulap layaknya sebuah taman. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. Garden Cafe. Sebuah coffee shop yang mengusung tema lingkungan. Berbagai tanaman hias menghuni tiap sudut ruangan, menjadi hiasan interior kafe. Pemandangan itu menjadi daya tarik tersendiri buat Senja. Ini konsep kafe yang berbeda dari kafe yang pernah ia kunjungi. Memang kafe ini tempatnya jauh dari pusat kota.Bangku paling pojok menjadi pilihan Sabda. Di samping tersisih dari lalu lalang pengunjung lain, dari tempat itu juga bisa bebas memandang dan menikmati suasana malam di kafe yang sangat asri jika siang hari. Lampu-lampu hias menyala, menjadikan suasana temaram dan romantis."Pernah ke sini sebelumnya?" tanya Sabda pada Senja yang asyik memandang beberapa anak kecil yang bermain di play ground yang tersedia di sana. Juga a
Pak Prabu baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat Bu Airin mendekat. "Kita makan malam dulu, Pa." Pria itu keluar kamar bersama istrinya. Di atas meja sudah tersedia opor ayam, perkedel kentang, dan sayur sawi."Mana Bumi?""Dia lagi ada acara sama teman-temannya," jawab Bu Airin sambil mengambilkan nasi untuk suaminya."Kenapa Papa pulangnya malam banget hari ini?""Papa ada janji ketemuan sama orang tadi." "Relasi?""Hmm," jawab Pak Prabu sambil menyuap nasi. Bu Airin memandang dengan tatapan menyelidik. Beliau tak puas dan curiga dengan jawaban suaminya."Beneran relasi? Ketemuan malam-malam begini?""Dulu Mama sering juga nemeni Papa ketemuan sama mereka waktu malam kan? Jangan bilang kalau Mama curiga, kalau mau macam-macam sudah sejak papa masih muda dulu, Ma. Mau punya bini tiga pun Papa sanggup."Bu Airin langsung melotot tajam pada suaminya, yang dipelototi tetap santai menyuap nasi. "Emang dulu Papa ada niatan mau nikah lagi?" Pak Prabu tertawa. "Gimana mau nikah
Wanita itu menarik napas dalam-dalam untuk meredam gemuruh di dadanya. Senja belum pernah bertemu dengan saudaranya Sabda. Makanya dia tidak tahu karakter orangnya seperti apa."Ayo!" Sabda meraih jemari istrinya."Mas Chandra dan istrinya itu orangnya bagaimana?""Bagaimanapun mereka, aku akan tetap mengenalkanmu. Mumpung mereka ada di apartemen."Senja akhirnya mengangguk. Dia segera turun dari mobil dan Sabda menggandengnya berjalan ke arah lift. Keluarga suaminya akan menjadi keluarganya juga. Walaupun mungkin tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan keluarga yang berbeda. Terlebih dengan latar belakang seperti kisahnya.Kembali ditariknya napas dalam-dalam ketika sudah berdiri di depan pintu apartemen.Sabda membuka pintu, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah kakak iparnya yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu sambil mengelus perut besarnya. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawab wanita berambut sebahu sambil membenahi duduknya. Tata terkejut saat melihat Senja
"Menuduh tanpa bukti jatuhnya fitnah, Mbak. Begitu pentingkah ini dibahas?" Sabda bersuara."Tentu saja. Ini simbol harga diri seorang gadis."Sabda lekas berdiri dan pergi dari sana. Tidak ada gunanya bicara dengan seorang terpelajar lulusan National University of Singapore, tapi tak punya attitude. Dia seperti tidak mengenali kakak iparnya, selama ini wanita itu sangat baik dan realistis. Entah kenapa malam ini memojokkan Senja hanya karena dia mantan pacar sepupu mereka.Ketika sampai di kamar, Sabda melihat Senja sudah tertidur dengan posisi membelakanginya. Dibenahi selimut Senja tanpa mengganggunya. Di matikannya lampu kamar, lantas menyentuh lampu tidur touch sensor di atas kepala ranjang.Di pandangi langit-langit kamar dalam cahaya yang temaram. Apa yang dikatakan kakaknya tadi menjadi pikirannya sekarang. Persiapan lamaran yang telah matang. Gila, bagaimana hal itu bisa terjadi sementara dirinya tidak pernah diajak membahasnya. Apa dipikir dia masih segila itu pada Bela?Dul