"Menuduh tanpa bukti jatuhnya fitnah, Mbak. Begitu pentingkah ini dibahas?" Sabda bersuara."Tentu saja. Ini simbol harga diri seorang gadis."Sabda lekas berdiri dan pergi dari sana. Tidak ada gunanya bicara dengan seorang terpelajar lulusan National University of Singapore, tapi tak punya attitude. Dia seperti tidak mengenali kakak iparnya, selama ini wanita itu sangat baik dan realistis. Entah kenapa malam ini memojokkan Senja hanya karena dia mantan pacar sepupu mereka.Ketika sampai di kamar, Sabda melihat Senja sudah tertidur dengan posisi membelakanginya. Dibenahi selimut Senja tanpa mengganggunya. Di matikannya lampu kamar, lantas menyentuh lampu tidur touch sensor di atas kepala ranjang.Di pandangi langit-langit kamar dalam cahaya yang temaram. Apa yang dikatakan kakaknya tadi menjadi pikirannya sekarang. Persiapan lamaran yang telah matang. Gila, bagaimana hal itu bisa terjadi sementara dirinya tidak pernah diajak membahasnya. Apa dipikir dia masih segila itu pada Bela?Dul
Sabda menoleh ketika kaca pintu mobilnya diketuk oleh seseorang. Diturunkannya kaca dan mereka bicara sebentar. Mobil Sabda mengikuti laki-laki tadi bersama seorang rekannya yang jadi agen properti masuk ke kawasan perumahan dan berhenti tepat di sebuah bangunan yang siap huni. Mereka turun dan masuk dalam rumah. Tipe rumah 70 adalah pilihannya, yang merupakan tipe rumah termasuk paling luas untuk ukuran hunian kelas menengah. "Saya akan menyelesaikan transaksi hari Selasa, karena hari Senin saya masih ada meeting." Sabda bicara pada pria bertubuh kerempeng, seorang agen properti.Mereka akhirnya sepakat ketemuan hari Selasa di kantor pemasaran Graha Persada.💦 💦 💦Pukul satu siang Sabda dan Senja sampai di rumah Bu Hanum. Mereka hanya berhenti dua kali untuk sarapan dan istirahat sejenak di rest area. Rumah sangat ramai, beberapa kerabat dan tetangga sibuk rewang di sana. Aroma masakan yang sudah matang menguar dan tercium hingga di ruang depan.Bu Hanum sangat senang melihat S
Senja menahan tawa ketika melihat Sabda kedinginan hingga giginya gemertak. Bibirnya bergetar dan pucat. Padahal ia sudah memakai jaketnya. Senja mengambil selimut dan menangkupkan ke tubuh suaminya. "Dinginnya luar bisa, hampir beku tadi. Kamu bisa tahan, ya?""Aku sudah biasa mandi sebelum subuh, Mas. Dibiasakan gini sama ibu sejak aku masih kecil dulu."Padahal Sabda juga hidup dengan AC setiap hari, hanya saja dia mandi pakai air hangat. Nah ini tadi mandi di bak mandi dengan air yang tertampung di sana sejak semalam. Hingga dinginnya minta ampun."Kamu bisa tahan, ya?""Karena sudah biasa. Sebentar aku buatin teh panas." Senja keluar kamar. Bu Hanum sedang menyiapkan bahan untuk membuat sarapan. Wanita itu tersenyum melihat Senja dengan rambut basahnya sebelum subuh. Dengan cekatan Senja membuat teh panas dan memasak mie instan kuah rasa soto ayam. "Nak Sabda berangkat jam berapa?" tanya Bu Hanum sambil mengeluarkan sayur kangkung dan ayam dari dalam kulkas."Habis Salat Subuh,
Jam sembilan pagi mobil Sabda memasuki halaman rumah orang tuanya. Di garasi yang sudah di buka, tiga mobil masih ada di sana. Syukurlah, kedua orang tuanya pasti berada di rumah.Baru saja dua langkah memasuki ruang tamu, Sabda dikejutkan oleh satu tamparan keras yang mengenai rahang kirinya. Bu Airin memandang putranya dengan kilatan kemarahan yang meluap-luap. "Kurang ajar kamu, Sabda. Bisa-bisanya kamu membohongi kami," teriak sang mama. Teriakan yang membuat papanya muncul dari dalam. Juga adiknya dan Mbok Sum, diikuti oleh Mbak Rini, pekerja paruh waktu di rumah besar itu."Mana perempuan itu? Mana?" teriak mamanya lagi. "Bisa-bisanya kamu bertindak bodoh. Menikahi dia tanpa berpikir panjang.""Ma, sudah. Ayo kita duduk dan bicara baik-baik." Pak Prabu bicara dengan tenang sambil meraih lengan istrinya."Gimana bisa tenang, Pa. Anakmu sudah nggak menghargai kita sebagai orang tuanya."Pak Prabu mengandeng Bu Airin dan mengajaknya duduk di sofa. Mbok Sum dan Mbak Rini kembali ke
Hidup adalah pilihan. Sabda memilih bertahan dengan Senja yang sudah sah menjadi miliknya, meski pernikahan mereka awalnya karena terdesak keadaan. Bukan kembali pada cinta lamanya yang pernah mengukir kisah manis bersamanya.Meski bersama Senja penuh rintangan, kalau dengan Bela sudah dipastikan restu di dapatkan dari seluruh anggota keluarga. Namun pilihan tetap pada perempuan yang sudah menjadi haknya."Setelah ini Mas mau tinggal di mana?" tanya Bumi yang mengikutinya ke kamar. Saat Sabda memasukkan benda-benda yang perlu di bawanya. Sabda hanya membawa beberapa setelan mahal yang ada di lemari bajunya."Mas sudah mendapatkan tempat tinggal. Cuman belum tahu kapan akan pindah. Sementara ini Mas akan nge-kost dulu," jawab Sabda sambil memasukkan koleksi jam tangannya ke dalam travel bag ukuran sedang. Khusus benda yang merupakan hadiah dari mamanya sengaja ditinggalkan."Ngekos di mana?""Belum tahu, nanti baru mau nyari."Tampak sekali Bumi cemas ketika hendak ditinggal sang kakak
"Mereka kan orang kaya, Ja. Kita hanya orang dusun yang nggak setara dengan mereka.""Ibu jangan khawatir. Kami baik-baik saja." Senja menenangkan ibunya, meski dalam hati ketar-ketir juga. Jika ibunya tahu pasti beliau sangat sedih.Untuk mengalihkan pembicaraan. Senja membahas hal lain. "Buk, dulu di sawah Mbah Dullah sana banyak tanaman mendong, kan? Sekarang kok nggak ada satu pun." Senja menunjuk sawah yang berada di pinggir dan di kelilingi pohon kelapa yang menjulang tinggi.Tanaman mendong ini untuk bahan tikar. Dulu menjadi komoditas yang menjanjikan. Waktu Senja masih kecil banyak kaum perempuan di desanya yang menganyam tikar mendong."Sekarang mana laku tikar seperti itu, Ja. Apalagi ketika tikar berbahan plastik buatan pabrik telah menyerbu pasar desa. Lagian sudah nggak zamannya hari gini tidur di atas dipan dengan alas tikar mendong. Walaupun di rumah kita ibu masih punya banyak tikar mendong.""Iya, Buk. Spring bed saja sekarang sudah terbeli oleh masyarakat pedesaan."
Langit sebelah timur warna biru pekat bercampur dengan warna jingga dan semburat cahaya kekuningan. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Mobil Arga menerobos kabut tebal di jalanan desa menuju jalan utama. Sepagi ini mereka berangkat kembali ke kota.Senja memeluk tubuhnya yang masih kedinginan meaki sudah memakai jaket tebal. "Kita akan memulai hidup baru hari ini. Kamu ikut aku tinggal di kosan. Lumayan luas kamarnya. Walaupun menyatu dengan kamar mandi dan dapur.""Setelah pulang kerja, aku akan mengambil barang-barangku di kosan. Nanti setelah ibu kos sudah pulang dari rumah anaknya, Mas antar aku untuk pamitan.""Oke, Sayangku."Senja tersenyum. Sebutan itu sukses menghangatkan hati dan pipi Senja yang kedinginan."Semoga setelah tahun baru, rumah kita sudah bisa di tempati. Jadi pas bulan puasa nanti kita sudah di rumah sendiri.""Aamiin."Mobil telah menapak di jalan raya, suasana masih gelap. Jalan mulai halus dan signal ponsel telah pulih. Mobil melintas di sebuah pasar bes
Senja yang ikut membaca pesan, merasa tak nyaman hinggap dalam hati, apalagi membaca balasan dari Sabda untuk Bela. Hatinya terasa teriris.[Aku akan datang besok malam.]Belum sempat Senja bertanya, Sabda memandangnya dan bilang, "Aku akan mengajakmu ke acara itu besok malam jam tujuh."Senja terperanjat. Jika dia diajak berarti semua akan terbongkar segera. Terlebih jika Sabda mengakui jika mereka sebenarnya telah menikah."Mulai besok akan banyak orang yang tahu tentang hubungan kita. Bahkan tentang pernikahan kita. Kita yang menjalani hubungan ini, jadi tak perlu memikirkan apa pandangan mereka. Kita memulai hidup baru," ucap Sabda sambil menyentuhkan keningnya pada kening Senja. Wanita itu mengangguk. Kalau Sabda siap dihakimi keluarga besarnya, ia pun harus siap juga di sampingnya. Senja bisa menduga, 80% kesalahan akan di tuduhkan padanya dan yang 20% untuk Sabda yang dianggap sebagai korbannya.Jujur saja, Senja gelisah. Dia butuh waktu lagi untuk menata hati. Tapi melihat kes
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba