Bab 98) Pijat Plus-plusChris terkekeh. "Santailah, Om. Om pikir pergaulanku seperti katak dalam tempurung, sehingga tidak kenal dengan yang namanya Athar Shail Hudzaifa, CEO Bumi Berkah Group yang sekarang?"Nah, kamu sudah tahu!" ketus Brian. Mulutnya berdecak kesal."Bukan seperti itu, Om. Om sih kalau urusan Tante Alia selalu saja serius. Nggak bisa dibuat santai apa? Ingat Om, Tante Alia itu sudah lama meninggal dunia. Ngapain Om masih ingat-ingat lagi?" tukas Chris."Sadar, Om. Tante Alia itu masa lalu Om. Tante Alia sudah meninggal dunia 15 tahun yang lalu. Masa iya Om belum juga bisa move on?! Bucin sih bucin, tapi jika kebangetan....""Kamu anak kecil tahu apa?!" Matanya melotot dan itu malah membuat Chris tertawa. Raut wajah Brian yang memerah nampak begitu lucu di mata Chris. Dia justru semakin semangat menggoda omnya yang satu ini."Saat Om meminang Tante Alia, memang aku masih kecil. Tapi aku juga ngerti kok. Dan sekarang aku juga bukan anak kecil lagi. Kalau dulu Om gaga
Bab 99) Sia-sia"Hah, pijat plus-plus?"Lelaki itu hanya menyeringai tak menanggapi pertanyaan sang istri. Dia sudah menutup kembali pintu mobil setelah mendudukkan istrinya di jok. Lelaki itu setengah berlari memutar masuk ke mobil lewat pintu satunya dan duduk di balik kemudi.Athar membawa mobilnya sedikit ngebut. Wajahnya memerah akibat gejolak dalam darahnya. Sentuhan Aira yang tak sengaja itu barusan sudah membangunkan sesuatu yang tidur di dalam dirinya. Berkali-kali ia mencuri pandang Aira yang duduk di sisinya. Wanita itu tampak memejamkan mata. Terlihat begitu damai.Lelaki menggeram. "Kamu terlihat polos bahkan tanpa dosa sudah membuatku seperti ini. Awas ya kalau nanti sudah sampai di rumah."Athar semakin mempercepat laju mobilnya. Suasana jalan yang sedikit sepi seolah memberikan keuntungan tersendiri bagi Athar. Tak ada yang lain di otaknya kini, selain ingin cepat sampai ke rumah dan menerkam istrinya."Jangan harap kamu bisa lolos malam ini, Sayang." Sekali lagi ia
Bab 100) Dua Pilihan Untuk Mama"Cuma ada dua pilihan untuk Mama. Berhenti dari pekerjaan ini dan aku akan membiayai semua kebutuhan Mama, tentunya untuk kebutuhan standar, bukan mengumbar kemewahan apalagi main judi," ucap Kiara sembari memperhatikan gerak-gerik ibunya."Atau...?" potong Kalina. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang tak jelas. Kalina baru saja selesai berpakaian. Rambutnya yang lembab sudah ia sisir dengan rapi. Kalina pun menyemprotkan parfum dengan bau yang cukup menyengat hidung. Ingin rasanya Kiara pergi meninggalkan tempat ini. Namun saat ini juga dia harus berbicara dengan Karina. Keputusannya sudah bulat. Tak ada lagi toleransi untuk wanita yang sudah melahirkannya ini."Atau, aku lepas tangan. Aku tidak akan lagi mengurus Mama dan tolong jangan menganggapku sebagai anak durhaka, karena aku sudah lepas tangan. Sikap Mama sendiri yang menjadi pemicunya," ujar Kiara seraya menahan nafasnya, menanti reaksi Kalina."Tetapi bukankah dulu kamu pernah bilang jika Mama
Bab 101) Terusir"Sekeras apapun usaha kamu untuk menyadarkan Mama, tetap nggak ada artinya jika Mama memang nggak ada niat untuk berubah. Jadi biarlah Mama tetap dengan pendiriannya Aku berharap Mama tidak menyesal di kemudian hari." Alvino merangkul istrinya, mencium pipi wanita itu. Sebelah tangannya mengusap lembut perut istrinya yang membuncit."Sekarang kita fokus untuk menyambut kelahiran anak kita, Alvino junior. Oke?"Kiara berdehem. Alvino selalu punya cara untuk menenangkannya. Satu hal yang membuat Kiara akhirnya berpikir, dia memang tidak salah memilih suami. Walaupun Kalina selalu menentangnya. Namun apa artinya? Kalina tidak akan pernah bisa memisahkannya dengan Alvino. Bukankah mereka sudah memiliki batasan masing-masing?Di titik ini Kiara merasa sudah berada di jalan yang benar. Tak boleh ada yang mengusiknya lagi, meskipun itu ibunya sendiri."Mungkin untuk sementara memang lebih baik begini. Tidak tahu ke depannya gimana. Gimana nanti saja dipikir," gumam Kiara dal
Bab 102) Kamu Jual, Aku Beli!"Saya tidak memiliki keuntungan apapun dengan membuka rahasia Tuan. Tuan Bernard tidak usah khawatir. Rahasia dijamin aman. Justru itulah kenapa saya bikin skenario seolah-olah mengusir penyewa apartemen saya dengan cara yang baik," sergah lelaki itu."Ya, saya mengerti maksud Pak Budi. Terima kasih atas kerjasamanya. Sebentar lagi uangnya akan kami transfer."***"Bagaimana? Apakah sudah beres?" tanya Albana saat asisten pribadinya itu mengakhiri panggilannya dengan Budi."Beres, Tuan." "Bagus!" Lelaki tua itu mengacungkan jempol. "Sekarang perintahkan anak buahmu untuk mengawasi gerak-gerik wanita itu. Pastikan agar dia tidak punya tempat tinggal lagi. Pastikan tak ada seorangpun yang mau menjual atau menyewakan apartemen atau rumah kepada Kalina. Kamu paham maksud saya, Bernard?"Lelaki itu mengangguk. "Paham, Tuan," sahutnya seraya menscrool layar ponsel, menghubungi Bara dan Dave untuk meneruskan instruksi Albana."Bagus. Good job. Setelah itu, kamu
Bab 103) Patah HatiSepanjang perjalanan, Kalina berulang kali menengok arlojinya. Dia benar-benar diburu oleh waktu. Jangan sampai kali ini dia gagal bertemu dengan lelaki itu. Ini adalah harapannya yang terakhir.Mobil taksi yang ia tumpangi berhenti di depan gedung apartemen. Setengah berlari ia menuju gedung pencakar langit itu, memasuki lift, kemudian menyusuri lorong menuju unit yang dihuni oleh Harold."Harold...." Langkahnya tertahan di depan pintu. Seorang lelaki gagah bertubuh tinggi besar berdiri dengan menggandeng perempuan muda berparas cantik."Mau apa kamu kemari, Kalina?" Mata birunya seketika mengerjap. Meskipun terlihat kaget, tetapi Harold tetap tenang."Kenapa kamu tidak bisa dihubungi? Apakah kamu tidak membutuhkanku lagi?" Pertanyaan tak tahu malu itu meluncur begitu saja dari mulut Kalina."Kalina, bukankah beberapa hari yang lalu aku sudah mengatakan jika aku sudah tidak membutuhkanmu lagi? Hari ini aku akan berangkat ke London untuk bertunangan dengan kekasihk
Bab 104) Titipan Terindah Dari Tuhan"Sinta, tunggu!" Langkah-langkah panjang Keano menyusul sang sekretaris yang barusan keluar dari ruang kerjanya."Ya, Tuan." Sinta menoleh sekilas. "Kamu itu temannya Devanka. Jangan pernah memanggilku Tuan saat kita sedang berdua," tukas lelaki itu saat ia berhasil menyusul sekretaris pribadinya ini. Keano mengangsurkan sebuah bungkusan. "Aku titip ini ya, buat Deva."Sinta mendesah, meskipun tangannya tetap terulur menerima bungkusan yang cukup besar itu, entah apa isinya.Ini bukan kali pertama ia mendapat titipan seperti ini. Sejak Keano mengetahui jika ia berteman bahkan tinggal di unit yang bersebelahan dengan Devanka, tiba-tiba saja tugasnya bertambah menjadi seorang kurir. Bukan sekedar menjadi kurir, tetapi harus memastikan agar Devanka mau menerima pemberian dari Keano.Selain Keano dan keluarga Nyonya Rani, hanya Sinta satu-satunya orang yang mengetahui penyebab kehamilan Devanka. Dia tahu persis bagaimana sahabatnya membenci Keano, ba
Bab 105) Hasil Malak"Aira...."Belum sempat Aira menyahut, keburu tangan kekar itu merangkul bahunya, menggandeng Aira menyusuri pelataran butik dan menuju pintu masuk. Sepintas penampilan keduanya bak sepasang suami istri yang tengah berbahagia menanti calon buah hati.Butik ini memang khusus menjual pakaian untuk ibu hamil sekaligus perlengkapan bayi. Jadi tak heran jika para pengunjungnya didominasi para wanita yang sedang dalam kondisi mengandung. Keano memang tak salah membawa Aira ke tempat ini."Pilih saja sesukamu dan jangan lupa pilihkan juga pakaian yang kira-kira cocok untuk Devanka," titah Keano saat mereka sudah masuk ke ruangan yang sangat luas ini. Lelaki itu mendorong pelan Aira lantas melangkah menuju sofa, duduk dengan santai sembari mengamati pemandangan di sekelilingnya. Bibir lelaki itu mengurai senyum membayangkan sosok gadis yang sampai saat ini belum juga mau ia temuiDevanka.Sejauh ini ia sangat percaya bahwa apapun yang terjadi pada hidupnya bukan sebuah
Bab 132) Tak Ada Kesempurnaan Yang Sempurna"Sayang, sudahlah. Mama sudah bahagia di sana. Mama pasti melihat dari atas sana dan tersenyum pada cucunya. Jangan bersedih, Sayang." Athar mengusap-usaha pundak istrinya, kemudian mengajaknya berdiri.Tubuh Aira masih saja gemetar saat Athar membimbingnya menjauhi areal pemakaman. Mereka harus segera melanjutkan perjalanan menuju rumah Hendra. Perjalanan masih memakan waktu sekitar satu jam lagi. Aira kembali duduk di sisi Hendra yang tengah menyetir. Sementara Lina duduk di jok belakang sembari memangku Alia.Sepanjang perjalanan, pikiran Aira melayang tak karuan. Inilah yang membuat ia malas dan jarang mengunjungi makam itu. Bukan karena tak rindu. Setiap kali ia mengunjungi makam ibundanya, setiap kali juga luka itu kembali menganga. Luka masa kecilnya yang menyaksikan ibunya terbujur kaku dan dimasukkan ke liang lahat. Saat itu dia hanya seorang gadis kecil berumur 9 tahun yang tak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba meninggal dunia, pad
Bab 131) Lambang Kerinduanku Kepada MamaBeberapa hari di rumah Albana serasa begitu lama bagi Aira. Meskipun Athar selalu meluangkan waktu untuk membersamainya di sela-sela aktivitas kerjanya yang padat, tetapi Aira benar-benar tak nyaman. Kalimat demi kalimat terus berkelanjutan keluar dari mulut Albana soal status Alia, putrinya. Wanita itu benar-benar kesal, karena yang ada di otak kakeknya hanya urusan warisan dan Diamond Group, seolah-olah tidak ada hal yang menjadi prioritas selain itu. Rasa-rasanya putrinya cuma dijadikan alat bagi sang kakek untuk mengekalkan kekuasaan pada kerajaan bisnisnya."Apakah dia menganggap kelahiran anakku hanya sebagai pengisi kursi pewaris Diamond Group kedepannya? Sebegitu murah harganya," gumam Aira dalam hati. Dia benar-benar tak habis pikir. Setelah mendiang ibu dan dirinya, kini giliran putrinya yang baru lahir itu yang di nobatkan Albana sebagai pewaris Diamond Group. Diam-diam ia mengepalkan tangan. Untuk hal yang satu ini, cara pandang A
Bab 130) Bukti Keajaiban Cinta[Ini ada hadiah kecil dari Kakek. Kenapa tidak memberi kabar, cucuku? Padahal bayi itu akan menjadi salah satu pewaris Diamond Group selanjutnya. Kamu masih marah dengan Kakek?!]Aira hanya tersenyum tipis, memandang baris demi baris kalimat yang ditulis oleh kakeknya. Pesan itu terasa menohok, tapi Aira memiliki pengendalian diri yang cukup kuat. Dia berusaha untuk tidak terpancing. Tanpa membalas pesan itu, Aira langsung menutup aplikasi pesan instan, kemudian beralih menuju aplikasi m-banking. Wanita muda itu ternganga saat melihat nominal yang dikirim oleh Albana. Tak main-main. Hadiah kecil yang disebut oleh kakeknya itu adalah dana sebesar satu miliar.Mungkin itu memang hadiah kecil, karena uang satu miliar bukan apa-apa bagi lelaki tua itu. Diamond Group memiliki cabang hingga ke pelosok negeri ini. Diamond Group bukan perusahaan perbankan biasa, tetapi perusahaan perbankan raksasa yang basisnya menyaingi perusahaan perbankan plat merah di negeri
Bab 129) Berdamai Dengan Takdir"Mom tahu apa yang kamu rasakan," ucap Rani dengan lembut. Berhubung Keano tidak kunjung memutar tubuhnya, akhirnya Rani lah yang berjalan memutar dan menghadap lelaki muda itu. Dia menatap Keano seolah ingin menembus di balik kelam hitam sorot mata putra angkatnya ini."Apa yang Mom ketahui tentang diriku?" tanya Keano lirih."Hati dan perasaanmu terhadap Aira."Keano seketika tersentak. "Apa yang Mom katakan? Jangan mengada-ada, Mom. Aira itu adikku dan kebetulan istri Athar, putra kandung Mom!""Tapi kamu mencintainya, bukan? Jujurlah pada Mommy....""Aku...." Suara Keano tertahan di tenggorokannya. Lidahnya terasa kelu untuk berucap.Namun wanita paruh baya itu begitu tenang. Dia malah menggenggam tangan Keano, seolah sedang mentransfer energi untuk menguatkan pemuda ini."Kamu tidak perlu sungkan sama Mommy. Mommy tak akan marah. Takdirlah yang mempertemukan kalian di saat kalian berdua sudah sama-sama dewasa. Tak apa, Nak. Hanya saja, satu hal itu
Bab 128) Kelahiran AliaAira memejamkan matanya sesaat. Dokter anestesi sudah memberikan suntik epidural beberapa saat yang lalu dan rasa nyeri perlahan mulai berkurang. Sekarang dia tinggal menunggu pembukaan lengkap, kemudian mengejan mengikuti instruksi dari dokter. Berhubung tidak ada masalah apapun dengan kandungannya, maka Aira memilih melahirkan secara normal dengan metode epidural.Namun meski sudah diberi suntikan penawar rasa sakit, tetap saja Aira merasa gugup dan takut. Wajar, karena adalah pengalaman pertamanya."Maaf, Sayang. Aku datang terlambat," sesal Athar. Dia mengusap keringat dingin yang membanjiri wajah Aira."Tak apa. Semuanya aman dan terkendali." Senyum Aira mengembang meski agak dipaksakan, sekedar menyamarkan rasa takut di hatinya. "Sebentar lagi kita akan bertemu dengannya. Dokter memperkirakan dia akan lahir beberapa jam lagi. Mana Mommy?""Sebentar lagi Mommy akan datang. Dia pasti akan sangat senang. Momen ini sudah lama dia tunggu." Lelaki itu membungku
Bab 127) ImpasWajah lelaki yang penuh keriput itu seketika berubah memerah. "Kamu pikir Kakek kurang kerjaan, sehingga mesti melakukan permainan anak kecil seperti itu?! Nggak level itu, Aira!""Meskipun aku baru mengenal Kakek, tapi bukan berarti aku tidak tahu bagaimana sifat Kakek. Aku memiliki sumber yang bisa dipercaya....""Kamu memata-matai kakekmu?" dengus Albana.Aira menggeleng. "Tidak," ralatnya."Terus.... Kenapa kamu menuduh Kakek ada bermain di balik semua yang sudah terjadi pada ibu tirimu yang brengsek itu? Masalah dia masuk rumah sakit jiwa, itu urusannya, bukan urusan Kakek. Mungkin itu karmanya karena sudah menyia-nyiakan anak tiri yang baik sepertimu," ujar Albana sinis."Stop, Kek. Berhenti bilang begitu.""Kalau bukan karma, apalagi namanya? Lagi pula kamu itu terlalu baik, Aira. Sudah tahu jika wanita itu pernah hampir saja membunuhmu, tapi kamu masih mau menolongnya!""Itu adalah masa lalu, Kek. Lagi pula, Papa sudah menceraikan Mama Kalina. Kurasa itu sudah i
Bab 126) Menemui AlbanaAira hanya mengangguk sekilas lalu tersenyum tipis kepada Bernard sembari terus melenggang masuk ke dalam. Seorang asisten rumah tangga menyambut dan mengantarkannya ke ruang pribadi sang kakek."Ada apa, Aira? Tumben datang kemari? Mana suamimu?" sapa Albana. Dia heran melihat kedatangan Aira yang tiba-tiba.Aira mendaratkan tubuhnya di kursi dekat pembaringan lelaki tua itu."Athar sedang ada kerjaan, Kek. Aku ke sini hanya ditemani mbak Nana, tapi mbak Nana aku suruh menunggu di mobil....""Kenapa kamu tidak ajak dia masuk, Aira?" sela lelaki tua itu."Ada yang ingin aku bicarakan dengan Kakek dan aku tidak mau Mbak Nana dengar," sahut Aira. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Saat ini mereka hanya berdua. Asisten rumah tangga dan perawat pribadi Albana sudah keluar dari ruangan ini.Albana berdeham. "Baiklah, terserah kamu saja. Apa yang ingin kamu bicarakan sama Kakek. Kelihatannya penting sekali....""Tentu saja, karena ini menyangkut kelangs
Bab 125) Menjenguk Kalina"Kita semua memiliki pengalaman yang buruk saat berhubungan dengan Mama Kalina. Itu memang kenyataan. Kamu, Aira, Athar dan juga aku. Jangan kamu pikir aku tidak sakit hati mendengar ocehan dan hinaan Mama Kalina selama ini, apalagi saat ia membanding-bandingkan aku dengan Athar. Tapi apapun itu, kita nggak boleh dendam sama orang tua....""Benar itu kata Alvino, Kiara," timpal Athar cepat. "Kalau menurutkan sakit hati, ingin rasanya aku membiarkan dia mati di jalanan. Bayangkan, Aira pernah masuk rumah sakit lantaran nyaris keracunan dan itu gara-gara ulahnya.""Aku...." Gadis itu tergagap "Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Melihat wajah Mama saja rasanya aku tak sudi," keluh Kiara."Jika urusan sakit hati, rasanya akulah yang paling sakit," ucap Aira yang mengambil alih bayi lelaki itu dari pangkuan Alvino. Wanita itu menimang keponakannya penuh kasih sayang. "Mama Kalina pernah berniat membunuhku dan Papa. Kamu masih ingat, kan, insiden di
Bab 124) Putus HubunganWanita itu masih setia mengaduk-aduk bak sampah, entah apa yang dicarinya. Penampilannya sungguh memprihatinkan. Dia mengenakan dress sebatas lutut, tapi kondisinya sudah sobek-sobek dan kotor. Rambutnya acak-acakan, kusut, seperti sudah lama tidak tersentuh sisir. Begitu Aira mendekat, ada bau menyengat yang tercium, membuat wanita itu spontan menutup hidungnya."Mama...!" Aira terpekik dengan mulut membentuk huruf O. Tangannya seketika terulur menarik lengan wanita itu, memaksanya untuk berdiri."Mama.... Kenapa di sini? Apa yang sudah terjadi? Mana Kiara??" Aira mundur selangkah manakala melihat sorot mata mengerikan dari Kalina. "Kamu siapa? Apakah kamu teman perempuan jalang itu, perempuan yang sudah merebut Harold dariku?!" Sepasang tangannya yang kotor malah mencengkeram bahu Aira. Mulutnya menyeringai."Harold?" Aira tergagap. Saking kebingungannya dia tidak sadar bahwa sepasang tangan kokoh itulah yang melepas cengkeraman tangan Kalina di bahunya.Nam