Share

Bab 5

Penulis: kajede10
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hingga kini Rania masih berusaha membujuk anaknya untuk keluar dari kamar. Sejak kejadian itu, Aruna terus mengurung dirinya sendiri dalam kesepian.

Rasanya tidak ada tenaga untuk sekedar melihat dunia yang semakin hari semakin membuat dirinya takut.

“Aruna…” panggilan lembut Rania terdengar hingga telinga anak perempuannya.

“Keluar sebentar ya nak, bunda ingin mengajak Aruna jalan-jalan,” lanjutnya dengan suara pelan.

Namun sayangnya Aruna bahkan tidak bertenaga untuk sekedar membuka pintu, tubuhnya masih terduduk di bawah ranjang sambil memeluk lututnya.

Aruna berusaha menyembunyikan isak tangisnya, berharap agar suara tangisan yang keluar dari mulutnya tidak terdengar hingga telinga Rania yang saat ini sangat khwatir dengan keadaan Aruna.

“Maaf, maaf..” bisik Aruna pelan, merasa bersalah karena dirinya semenyedihkan ini.

Kejadian itu benar-benar membuat Aruna sangat terpuruk, kehidupannya berubah drastis dan dirinya sangat menutup diri sekarang.

Seminggu ini yang Aruna lakukan hanyalah merenung di kamar sendirian, memikirkan apa yang sebenarnya kurang dalam dirinya, sehingga Reno tega menghianatinya seperti ini.

“Makanannya bunda letakkan di sini ya, jangan lupa makan biar tidak sakit, bunda dan ayah harus pergi sebentar,” ujar wanita itu dari luar kamar.

Seperti itulah sehari-hari yang terjadi selama Aruna mengurung diri, makanan selalu diantarkan oleh bunda, sambil berharap perempuan itu mau menampakkan diri di depan mereka.

Perempuan itu melangkahkan kakinya menuju jendela, melihat kedua orang tuanya yang hendak keluar entah ke mana.

Aruna benar-benar merasa seperti beban untuk kedua orang tuanya, tidak ada hal yang bisa Aruna lakukan untuk membuat mereka berdua bahagia, selama hidup ini yang Aruna lakukan hanya membuat mereka berdua repot dengan kehadirannya.

“Maaf.” lagi-lagi Aruna berbisik, meminta maaf pada ayah dan bunda karena telah merepotkan hidup mereka.

Aruna tahu, bahwa mereka hanya ingin melihat bagaimana keadaan perempuan ini, namun sayangnya Aruna tidak memiliki keberanian untuk menampilkan hidupnya yang kacau ini.

Selama mengurung diri di kamar, Aruna sama sekali tidak memainkan ponselnya, entah sudah berapa panggilan masuk dari teman-temannya yang ikut khawatir dengan Aruna.

Namun ia tidak begitu peduli, rasanya sudah seperti semua orang telah mengkhianati Aruna, sehingga ia tidak bisa percaya dengan siapapun lagi.

Aruna bahkan berpikir tidak akan pernah mau menikah seumur hidupnya, ini sudah cukup untuk menjadi pertama dan terakhir Aruna merasakan sakit karena cinta.

Ia tidak bisa percaya kepada siapa pun selain dirinya sendiri, karena memang sejatinya tidak ada manusia yang sepenuhnya baik.

Mendengar perutnya yang bersuara, membuat Aruna mau tidak mau harus berjalan menuju pintu. Matanya dimanjakan dengan sepiring makanan lezat yang membuat Aruna mengambilnya dengan cepat.

Berkali-kali Aruna berusaha mengakhiri hidupnya, namun tidak satu kali pun usahanya berhasil. Sepertinya Tuhan memang sengaja meminta Aruna untuk hidup lebih lama, merasakan rasa sakit yang kian membunuhnya perlahan-lahan.

*

Seiring berjalannya waktu, tak kuasa mendengar permohonan-permohonan bunda membuat Aruna akhirnya mau membuka diri untuk orang tuanya.

Perempuan itu duduk di atas sofa ruang tengah, melihat senyuman kedua orang tuanya yang sangat tulus membuat Aruna juga ikut memperlihatkan senyuman manisnya.

Meskipun hanya keluar dari kamar saja, namun Rania dan Yuda sudah sangat bersyukur karena akhirnya bisa melihat senyuman anaknya lagi.

Aruna hanya diam saja, tidak tahu harus berbicara seperti apa, berbanding terbalik dengan dirinya dulu yang selalu mengoceh sampai membuat Rania dan Yuda pusing mendengarnya.

Aruna tidak sepenuhnya membuka diri, perempuan itu masih sering melamun dan sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

Saat ini Aruna duduk sendirian, menatap keluar tepat di halaman rumahnya, memorinya kembali teringat dengan kenangan saat ia dan Reno menghabiskan waktu bersama di sana.

Rania dan Yuda menatap punggung anaknya dari belakang, ikut merasakan sedih seperti Aruna saat ini.

“Bunda kasihan dengan Aruna yah,” ujar Rania pelan.

Yuda mengangguk paham, hatinya juga tercambuk melihat anaknya yang terlihat tidak bersemangat menjalani hidupnya sendiri.

“Kita hanya bisa berdoa agar Aruna kembali seperti dulu lagi.”

Usaha demi usaha sudah mereka coba untuk membangkitkan semangat Aruna, setidaknya perempuan itu mau keluar rumah untuk menghirup udara segar.

Sayangnya Aruna lebih memilih untuk mengurung diri dari pada bertemu dengan orang-orang. Bahkan kini Aruna bergantung dengan obat-obatan yang diberikan oleh psikiaternya.

Ia butuh obat penenang setiap kali ingatan-ingatan buruk mengacaukan pikirannya, Aruna bahkan tidak bisa menguasai dirinya sendiri, terkadang ia marah dan berteriak-teriak sendiri persis seperti orang gila.

Setiap kali Aruna mengalami hal tersebut, Rania terus menangis memohon agar Aruna menghentikan kegiatan yang menyakiti dirinya sendiri.

Perbuatan Reno dan Laras benar-benar menghancurkan mental Aruna seperti ini, perempuan yang selalu ceria itu kini berubah menjadi anak yang bahkan tidak punya tenaga untuk berdiri sendiri.

Perbuatan mereka berdua tidak akan pernah bisa dilupakan begitu saja dalam hidup Aruna, segala jenis alasan perselingkuhan tetap tidak dibenarkan.

“Bunda benar-benar tidak habis pikir dengan Reno, padahal mereka sudah berhubungan selama bertahun-tahun, teganya dia menghianati Aruna seperti ini.”

“Bunda masih tidak percaya dengan Laras, terlihat sangat polos tapi ternyata busuk seperti itu,” lanjut Rania lagi.

Yuda paham betul bahwa istrinya merasa sangat kesal dengan perbuatan mereka, padahal keluarga mereka selalu baik pada dua orang itu, namun orang jahat memang tidak pandang bulu.

“Mau bagaimana pun, perselingkuhan tetap salah, tidak ada alasan apa pun yang membenarkan perselingkuhan.” ucap Yuda dengan suara beratnya.

“Sebagai orang tua, kita harus selalu mendampingi Aruna agar pelan-pelan bisa kembali seperti dulu,” lanjut Yuda lagi.

Aruna bangkit dari duduknya, ia dengan jelas bisa melihat kedua orang tuanya sedang menatap lembut padanya.

“Aruna ke kamar dulu ya,” ujarnya dengan sorot mata lelah.

Melihat wajah lelah Aruna kembali membuat hati kedua orang tuanya terluka, merasa bahwa mereka tidak berhasil memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga rasa luka Aruna jauh lebih besar.

Lagi-lagi Aruna mengunci pintu kamarnya, mengurung diri dalam kesendirian yang entah kapan bisa berakhir. Namun Aruna lupa, bahwa satu-satunya yang dapat membawa Aruna jauh dari kesendirian adalah dirinya sendiri. 

Sehingga kapan pun Aruna merasa siap, ia bisa keluar dari zona kesendirian yang menyedihkan ini. Sayangnya waktu itu bukan sekarang, Aruna masih perlu menenangkan dirinya agar merasa yakin nantinya. 

Bab terkait

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 6

    Aris duduk di salah satu sofa panjang seorang diri, sebelum akhirnya beberapa gadis dengan pakaian super seksi mendekat ke arahnya.Laki-laki itu meneguk segelas wine yang ada di atas meja, tidak peduli dengan sentuhan-sentuhan panas oleh perempuan-perempuan yang kini sudah duduk di sebelahnya.Aris sungguh menikmati alunan musik sembari terus meneguk wine yang dituangkan untuknya, kali ini laki-laki itu memilih untuk menikmati malam minggunya di sebuah club mewah.Matanya menatap pada sekumpulan orang yang menggoyangkan pinggulnya sembari menikmati alunan musik yang semakin keras.Sudah tiga jam sejak kedatangannya ke club ini, namun pikirannya masih tidak tenang, bahkan saat ini terasa lebih kacau.Aris melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu dini hari, namun rasanya ia masih ingin duduk di sini.Ponselnya terus bergetar, tanda panggilan masuk dari Wira yang ia minta untuk datang menjemputnya.Aris meraih ponselnya yang ada di atas meja, la

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 7

    “Tidur di mana kamu semalam? Kenapa tidak pulang?” tanya Gina yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada. Baru saja Aris menginjakkan kaki di lantai rumahnya, suara cempreng Gina sudah menggelegar di sekitar area rumah. “Aris tidur di apartemen,” sahut laki-laki itu malas. “Kenapa tidak pulang?” tanya Gina lagi. Aris terdiam sejenak, tidak mungkin ia mengakui bahwa dirinya mabuk semalam. Ia memikirkan alasan yang tepat agar sang mami tidak memarahinya. “Ehm, kemarin Aris nyelesaiin semua kerjaan supaya tidak terlalu menumpuk, lalu pulang ke apartemen karena merasa sangat ngantuk, Aris tidak bisa memaksakan keadaan untuk pulang ke rumah, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi sekarang ini banyak kasus kecelakaan akibat pengendara mengantuk di jalan kan,” ujarnya mencari alasan untuk menutupi kebohongannya. “Beneran kamu?” intrupsi wanita itu mengintimidasi. “Jangan bohong ya sama mami!” lanjutnya dengan mata mendelik tajam pada sang anak. “Kalau Aris sampai m

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 8

    Perjalanan hidup Aruna perlahan-lahan mulai kembali seperti dulu, meski pun masih belum seutuhnya. Namun kini Aruna akhirnya mau pergi ke luar rumah, tetapi obat penenangnya masih perlu ia bawa ke mana pun ia pergi. Namun sayangnya senyuman Aruna kembali luntur kala mendengar kabar kurang enak tentang keuangan keluarganya. Perusahaan sang ayah mengalami penurunan drastis yang mengakibtkan menumpuknya hutang di berbagai tempat. Alasannya adalah karena salah satu karyawan yang paling dipercaya oleh Yuda membawa kabur uang dengan jumlah yang sangat besar, sekitar lebih dari 50 milyar. Ayahnya terduduk lemas, pikirannya kacau karena tidak tahu harus berbuat apa, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa ia temukan secepatnya. Lagi-lagi kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun disalah gunakan begitu saja, orang itu berhasil membuat keluarga Aruna menjadi kacau. Rania tidak henti-hentinya meneteskan air mata, masih merasa sangat shock sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. "Apa

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 9

    Rania sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang sahabat, wajah pucatnya ia tutupi dengan polesan bedak sehingga terlihat jauh lebih baik. "Bunda," panggil Yuda pelan, kantung matanya yang menghitam benar-benar terlihat sangat jelas. Wajar saja, pria itu tidak bisa tidur tenang semalaman. Dengan senyuman tipis, Rania menghampiri suaminya, mengerahkan segala kekuatannya berharap mereka semua dapat bertahan disegala terjangan masalah. "Bunda pergi dulu ya yah," ujarnya dengan suara lembut. Tanpa banyak basa-basi, Yuda memeluk erat tubuh istrinya, merasa sangat bersalah karena merepotkan wanitanya. "Maaf," bisik pria itu merasa sangat-sangat bersalah. Saat ini Rania akan bertemu dengan sahabat lamanya, permasalahan seperti ini tentu saja tidak bisa ia bereskan sendiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana pun caranya, mereka harus segera mendapatkan pinjamanan agar terbebas dari panggilan-panggilan bank yang hendak menyita segala fasilitas yang mereka punya. Dari dalam kamar, Aru

  • Bukan Pasangan Impian    bab 10

    Dua wanita itu masih membahas perihal anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Mereka berdua kembali melayangkan ingatan pada momen masa lalu. Gina mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Aruna saat kecil yang masih ia simpan. Membandingkannya dengan foto Aruna sekarang, "Gadis ini benar-benar tumbuh dengan penuh kasih, dia sangat manis dan cantik, persis seperti bundanya!" puji Gina serius. "Aris juga tumbuh dengan baik, wajah tampannya berhasil mengalahkan suamimu!" kata Rania membalas. Membahas Aris, membuat Gina menekuk wajahnya. Hanya dengan mendengar nama anaknya saja, wanita itu sudah kesal. "Jangan bahas dia! aku sedang kesal dengan anak itu," ujar Gina."Loh kenapa?" tanya Rania penasaran. Gina terdiam sejenak, ia sedang menyusun kalimat yang dapat memberikan alasan kenapa dirinya kesal dengan Aris. "Kamu tahu sendiri kan, sejak dulu aku selalu berharap bisa melihat putraku menikah secepatnya, Tapi anak itu malah memilih untuk menunggu kekasihnya," ujar Gina malas. "Loh

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 11

    Sejak kepulangannya dari bertemu Rania, kini Gina dan sang suami sedang membahas masalah tersebuh hingga tengah malam. "Mami kasihan dengan mereka, sebagai seorang sahabat mami merasa punya kewajiban untuk menolongnya," ujar wanita itu pada suaminya. "Bagaimana keadaan Aruna?" tanya pria itu membuka suara. Gina tidak merasa yakin, namun karena Rania tadi mengatakan bahwa keadaan putrinya sudah semakin membaik sekarang, hanya saja Aruna masih memerlukan bantuan obat-obatan dari psikiaternya. Entah dari mana, Rendi dengan wajah polosnya kembali bersuara yang berhasil membuat Gina menganga saat mendengarnya. "Bagaimana jika kita jodohkan saja anak kita dengan Aruna?" ujarnya dengan santai. Menurut pikirannya, karena keluarga mereka sudah dekat sejak dulu, jadi tidak ada salahnya untuk mempererat hubungan mereka dengan menjadi besan. "Kita juga bisa membantu perusahaan Yuda agar semakin berkembang, win-win solution." katanya enteng. Apa yang dikatakan oleh suaminya, membuat Gina i

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 12

    Aruna duduk di sofa menghadap kedua orang tuanya, ia tersenyum saat mendengar bahwa hutang keluarga mereka akan segera dilunaskan melalui bantuan dari sahabatnya. Namun mendengar bahwa orang tuanya akan membahas hal yang cukup serius, Aruna merasa sedikit gugup, ada ketakutan yang tersirat dari wajahnya yang menunduk saat ini. "Ada apa bunda?" tanya perempuan itu pelan. Rania terdiam sejenak, tidak tahu harus mengatakan apa, keberaniannya sudah lebih dulu memudar saat menyadari wajah Aruna yang nampak sangat sedih. Ia menatap sang suami, mengisyaratakan bahwa dirinya tidak cukup keberanian untuk mengatakannya pada anak mereka. "Aruna tahu kan, keluarga kita sedang dalam masalah," ujar Yuda sebagai kalimat pembuka. Tentu saja Aruna menyadari hal tersebut, belakangan ini kehidupan keluarga mereka sedang bermasalah, namun sebentar lagi mereka akan terbebas dari keterpurukan tersebut. "Iya," sahut perempuan itu masih menatap penuh tanda tanya pada dua orang dewasa itu. "Kam

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 13

    "Kosongkan jadwal hari minggu!" suruh Gina saat Aris sudah duduk di meja makan. Jujur saja ada keinginan untuk membantah ucapan sang mami, namun Aris tidak ingin membuat keributan pagi ini. Ia hanya menganggukkan kepalanya patuh, menuruti ucapan Gina yang tidak akan pernah menerima penolakan. "Kali ini, Aris harus bertemu dengan siapa?" tanya laki-laki itu penasaran. Gina tidak menjawab, membiarkan Aris menarka-nerka sendiri, perempuan mana lagi yang harus ia temui. "Tidak usah dipikirkan, nanti juga kamu tahu sendiri!" ujar Rendi saat melihat wajah kusut putranya. "Aris sama sekali tidak memikirkannya," sahutnya bohong. "Baiklah sudah-sudah, lebih baik cepat habiskan sarapannya, kamu ada meeting penting kan hari ini." Gina menghidangkan banyak makanan untuk mengisi perut mereka di pagi hari. Pertemuan Aruna dan Aris tidak boleh ditunda-tunda, mengingat keadaan Aruna yang selalu berubah-ubah. Mereka berusaha agar pertemuan anaknya bisa segera berlangsung. Sehingga minggu siang,

Bab terbaru

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 15

    Di dalam mobil, Aruna hanya diam saja, tak memberitahu apa-apa pada orang tuanya, Yuda dan Rania juga tidak mempertanyakannya setelah melihat wajah Aruna yang berbeda dari sebelumnya. Sampai di rumah, Aruna duduk di ruang tengah, sembari menunggu orang tuanya yang masih berada di garasi rumah. Rania dan Yuda yang baru saja hendak ke kamarnya, melihat Aruna yang sudah duduk dengan wajah yang cukup sulit untuk dideskripsikan maksudnya. "Kenapa nak?" tanya Rania mendekati putrinya. Aruna terdiam sebentar, "Apa maksud sebenarnya dari pertemuan tadi, bunda?" tanya Aruna tanpa pikir panjang. Rania menantap bingung, tidak paham dengan maksud ucapan anaknya. "Kamu kenapa sayang?" ulang Rania menanyakan keadaan anaknya. "Laki-laki tadi, mengatakan bahwa dia tidak akan menolaknya! Apa maksudnya itu? Apa yang tidak kalian beritahu padaku?" teriak Aruna lantang. Rania menghela nafasnya kasar, ternyata Aruna sudah mengetahui rencana mereka sebelumnya. Bukan maksud mereka untuk menutupinya da

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 14

    Waktu berlalu begitu cepat, kini saatnya Aruna bertemu dengan anak dari sahabat orang tuanya. Dengan pakaian sederhana namun nampak sangat elegan, Aruna mengoleskan bedak tipis serta liptint berwarna kemerahan untuk menutupi wajah pucatnya. Ia memperhatikan dirinya sendiri di depan cermin, memuji kecantikan paripurna yang diciptakan oleh Tuhan untuknya. "Tok.. tok.. tok.." Aruna tahu betul siapa yang berada di balik pintu kamarnya, tentu saja itu tanda bahwa Aruna harus segera keluar agar tidak terlambat. Saat membuka pintu, tatapan terpesona dari kedua orang tuanya membuat Aruna merasa malu. Mereka berdua sangat takjub melihat kecantikan anaknya yang sangat manis ini. "Cantik sekali anak bunda," puji Rania tulus. Kini mata Aruna menatap sang ayah yang diam saja, seolah masih belum mampu merangkai kata untuk menunjukkan bahwa anaknya benar-benar sangat cantik. "Ayo ayah dan bunda antar," ujar Yuda saat melihat jam tangan yang melingakar di pergalangannya sudah menunjukkan pukul

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 13

    "Kosongkan jadwal hari minggu!" suruh Gina saat Aris sudah duduk di meja makan. Jujur saja ada keinginan untuk membantah ucapan sang mami, namun Aris tidak ingin membuat keributan pagi ini. Ia hanya menganggukkan kepalanya patuh, menuruti ucapan Gina yang tidak akan pernah menerima penolakan. "Kali ini, Aris harus bertemu dengan siapa?" tanya laki-laki itu penasaran. Gina tidak menjawab, membiarkan Aris menarka-nerka sendiri, perempuan mana lagi yang harus ia temui. "Tidak usah dipikirkan, nanti juga kamu tahu sendiri!" ujar Rendi saat melihat wajah kusut putranya. "Aris sama sekali tidak memikirkannya," sahutnya bohong. "Baiklah sudah-sudah, lebih baik cepat habiskan sarapannya, kamu ada meeting penting kan hari ini." Gina menghidangkan banyak makanan untuk mengisi perut mereka di pagi hari. Pertemuan Aruna dan Aris tidak boleh ditunda-tunda, mengingat keadaan Aruna yang selalu berubah-ubah. Mereka berusaha agar pertemuan anaknya bisa segera berlangsung. Sehingga minggu siang,

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 12

    Aruna duduk di sofa menghadap kedua orang tuanya, ia tersenyum saat mendengar bahwa hutang keluarga mereka akan segera dilunaskan melalui bantuan dari sahabatnya. Namun mendengar bahwa orang tuanya akan membahas hal yang cukup serius, Aruna merasa sedikit gugup, ada ketakutan yang tersirat dari wajahnya yang menunduk saat ini. "Ada apa bunda?" tanya perempuan itu pelan. Rania terdiam sejenak, tidak tahu harus mengatakan apa, keberaniannya sudah lebih dulu memudar saat menyadari wajah Aruna yang nampak sangat sedih. Ia menatap sang suami, mengisyaratakan bahwa dirinya tidak cukup keberanian untuk mengatakannya pada anak mereka. "Aruna tahu kan, keluarga kita sedang dalam masalah," ujar Yuda sebagai kalimat pembuka. Tentu saja Aruna menyadari hal tersebut, belakangan ini kehidupan keluarga mereka sedang bermasalah, namun sebentar lagi mereka akan terbebas dari keterpurukan tersebut. "Iya," sahut perempuan itu masih menatap penuh tanda tanya pada dua orang dewasa itu. "Kam

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 11

    Sejak kepulangannya dari bertemu Rania, kini Gina dan sang suami sedang membahas masalah tersebuh hingga tengah malam. "Mami kasihan dengan mereka, sebagai seorang sahabat mami merasa punya kewajiban untuk menolongnya," ujar wanita itu pada suaminya. "Bagaimana keadaan Aruna?" tanya pria itu membuka suara. Gina tidak merasa yakin, namun karena Rania tadi mengatakan bahwa keadaan putrinya sudah semakin membaik sekarang, hanya saja Aruna masih memerlukan bantuan obat-obatan dari psikiaternya. Entah dari mana, Rendi dengan wajah polosnya kembali bersuara yang berhasil membuat Gina menganga saat mendengarnya. "Bagaimana jika kita jodohkan saja anak kita dengan Aruna?" ujarnya dengan santai. Menurut pikirannya, karena keluarga mereka sudah dekat sejak dulu, jadi tidak ada salahnya untuk mempererat hubungan mereka dengan menjadi besan. "Kita juga bisa membantu perusahaan Yuda agar semakin berkembang, win-win solution." katanya enteng. Apa yang dikatakan oleh suaminya, membuat Gina i

  • Bukan Pasangan Impian    bab 10

    Dua wanita itu masih membahas perihal anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Mereka berdua kembali melayangkan ingatan pada momen masa lalu. Gina mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Aruna saat kecil yang masih ia simpan. Membandingkannya dengan foto Aruna sekarang, "Gadis ini benar-benar tumbuh dengan penuh kasih, dia sangat manis dan cantik, persis seperti bundanya!" puji Gina serius. "Aris juga tumbuh dengan baik, wajah tampannya berhasil mengalahkan suamimu!" kata Rania membalas. Membahas Aris, membuat Gina menekuk wajahnya. Hanya dengan mendengar nama anaknya saja, wanita itu sudah kesal. "Jangan bahas dia! aku sedang kesal dengan anak itu," ujar Gina."Loh kenapa?" tanya Rania penasaran. Gina terdiam sejenak, ia sedang menyusun kalimat yang dapat memberikan alasan kenapa dirinya kesal dengan Aris. "Kamu tahu sendiri kan, sejak dulu aku selalu berharap bisa melihat putraku menikah secepatnya, Tapi anak itu malah memilih untuk menunggu kekasihnya," ujar Gina malas. "Loh

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 9

    Rania sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang sahabat, wajah pucatnya ia tutupi dengan polesan bedak sehingga terlihat jauh lebih baik. "Bunda," panggil Yuda pelan, kantung matanya yang menghitam benar-benar terlihat sangat jelas. Wajar saja, pria itu tidak bisa tidur tenang semalaman. Dengan senyuman tipis, Rania menghampiri suaminya, mengerahkan segala kekuatannya berharap mereka semua dapat bertahan disegala terjangan masalah. "Bunda pergi dulu ya yah," ujarnya dengan suara lembut. Tanpa banyak basa-basi, Yuda memeluk erat tubuh istrinya, merasa sangat bersalah karena merepotkan wanitanya. "Maaf," bisik pria itu merasa sangat-sangat bersalah. Saat ini Rania akan bertemu dengan sahabat lamanya, permasalahan seperti ini tentu saja tidak bisa ia bereskan sendiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana pun caranya, mereka harus segera mendapatkan pinjamanan agar terbebas dari panggilan-panggilan bank yang hendak menyita segala fasilitas yang mereka punya. Dari dalam kamar, Aru

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 8

    Perjalanan hidup Aruna perlahan-lahan mulai kembali seperti dulu, meski pun masih belum seutuhnya. Namun kini Aruna akhirnya mau pergi ke luar rumah, tetapi obat penenangnya masih perlu ia bawa ke mana pun ia pergi. Namun sayangnya senyuman Aruna kembali luntur kala mendengar kabar kurang enak tentang keuangan keluarganya. Perusahaan sang ayah mengalami penurunan drastis yang mengakibtkan menumpuknya hutang di berbagai tempat. Alasannya adalah karena salah satu karyawan yang paling dipercaya oleh Yuda membawa kabur uang dengan jumlah yang sangat besar, sekitar lebih dari 50 milyar. Ayahnya terduduk lemas, pikirannya kacau karena tidak tahu harus berbuat apa, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa ia temukan secepatnya. Lagi-lagi kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun disalah gunakan begitu saja, orang itu berhasil membuat keluarga Aruna menjadi kacau. Rania tidak henti-hentinya meneteskan air mata, masih merasa sangat shock sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. "Apa

  • Bukan Pasangan Impian    Bab 7

    “Tidur di mana kamu semalam? Kenapa tidak pulang?” tanya Gina yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada. Baru saja Aris menginjakkan kaki di lantai rumahnya, suara cempreng Gina sudah menggelegar di sekitar area rumah. “Aris tidur di apartemen,” sahut laki-laki itu malas. “Kenapa tidak pulang?” tanya Gina lagi. Aris terdiam sejenak, tidak mungkin ia mengakui bahwa dirinya mabuk semalam. Ia memikirkan alasan yang tepat agar sang mami tidak memarahinya. “Ehm, kemarin Aris nyelesaiin semua kerjaan supaya tidak terlalu menumpuk, lalu pulang ke apartemen karena merasa sangat ngantuk, Aris tidak bisa memaksakan keadaan untuk pulang ke rumah, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi sekarang ini banyak kasus kecelakaan akibat pengendara mengantuk di jalan kan,” ujarnya mencari alasan untuk menutupi kebohongannya. “Beneran kamu?” intrupsi wanita itu mengintimidasi. “Jangan bohong ya sama mami!” lanjutnya dengan mata mendelik tajam pada sang anak. “Kalau Aris sampai m

DMCA.com Protection Status