Perjalanan hidup Aruna perlahan-lahan mulai kembali seperti dulu, meski pun masih belum seutuhnya. Namun kini Aruna akhirnya mau pergi ke luar rumah, tetapi obat penenangnya masih perlu ia bawa ke mana pun ia pergi.
Namun sayangnya senyuman Aruna kembali luntur kala mendengar kabar kurang enak tentang keuangan keluarganya. Perusahaan sang ayah mengalami penurunan drastis yang mengakibtkan menumpuknya hutang di berbagai tempat.
Alasannya adalah karena salah satu karyawan yang paling dipercaya oleh Yuda membawa kabur uang dengan jumlah yang sangat besar, sekitar lebih dari 50 milyar.
Ayahnya terduduk lemas, pikirannya kacau karena tidak tahu harus berbuat apa, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa ia temukan secepatnya.
Lagi-lagi kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun disalah gunakan begitu saja, orang itu berhasil membuat keluarga Aruna menjadi kacau.
Rania tidak henti-hentinya meneteskan air mata, masih merasa sangat shock sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Rania dengan suara bergetar, wanita itu masih menangis tersedu-sedu.
Berbeda dengan Aruna yang masih membaca situasi, padahal sudah jelas-jelas bahwa orang kepercayaan Yuda membawa kabur uang perusahaan dengan jumlah besar.
Sepertinya air mata Aruna sudah mengering, ia tidak bisa meneteskan air mata meskipun di depannya ada sang ayah dan bunda yang tengah sangat bersedih.
Dengan wajah datar perempuan itu berusaha memikiran apa yang bisa ia lakukan, tangannya bergetar hebat dan kepala kembali pusing.
Melihat Aruna seperti itu, Rania langsung mengambil obat yang pastinya selalu tersedia di dalam tas anaknya, ia langsung menyuruh Aruna untuk menelan obatanya agar perempuan itu bisa lebih tenang.
"Bunda.." panggil Aruna sembari memegang kepalanya yang terasa sangat pusing.
"Ayah.." panggil Aruna lagi, kali ini air matanya tidak bisa terbendung, ia menangis sejadi-jadinya.
Yuda langsung meraih dua perempuan itu ke dalam pelukannya, merasa sangat bersalah dengan apa yang sudah terjadi.
"Maaf.." kata Yuda yang tanpa sadar ikut menangis.
Kini mereka bertiga harus memikirkan cara agar bisa melunasi hutang-hutang perusahaan, jika tidak Yuda akan dijebloskan ke dalam penjara.
"Jangan khawatir, ayah akan mencari cara." Yuda masih belum memikirkan cara apa pun, namun yang paling penting baginya adalah menenangkan dua orang tersayangnya ini.
"Aruna jangan khawatir ya, kamu fokus pada kesehatanmu saja dulu, tidak usah memikirkan hal ini. Ini adalah tanggung jawab ayah!" ujar pria itu berusaha terlihat tenang.
Aruna bukan anak kecil yang bisa dibohongi, ia yakin betul bahwa ayahnya hanya sedang berusaha menenangkannya saja, Aruna yakun bahwa ayahnya sedang memikul beban yang amay sangat berat.
"Sekarang Aruna istirahat dulu ya, kan Aruna tidak boleh begadang." kalimat lembut yang keluar dari mulut Yuda benar-benar berhasil membuat Aruna semakin patah hati.
Rasanya terlalu banyak beban yang dialami oleh keluarganya belakangan ini, segala bentuk takdir yang sudah ditentukan terasa sangat-sangat berat. Sepertinya Tuhan salah, keluarga Aruna tidak sekuat itu untuk menanggung beban yang seberat ini.
"Ayah.." ujar Aruna dengan suara bergetar.
Tangan besar Yuda mencoba menggenggam tangan mungil putrinya, mencoba menyalurkan tenaga yang sama, yakin bahwa mereka semua akan berhasil melewati rintangan ini semua.
"Tuhan selalu bersama kita nak! Tuhan maha melihat segala-galanya, jangan pernah ragu dengan kebesaran Tuhan!" ujar Yuda penuh keyakinan.
"Bunda, antar Aruna ke kamarnya ya," perintah Yuda membuat Rania mengajak Aruna untuk naik ke lantai atas.
Persis seperti anak kecil yang selalu diselimuti sebelum tidur, Rania melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan bertahun-tahun yang lalu saat Aruna masih kanak-kanak.
"Istrihat ya, kamu tidak perlu memikirkan apa pun, ayah dan bunda akan menyelesaikan semuanya. Percaya dengan kita ya," ujar Rania dengan sangat lembut.
Aruna kini sudah terlelap, hal ini juga disebabkan oleh pengaruh obat yang membuat Aruna semakin cepat merasa ngantuk.
Rania kembali menghampiri suaminya yang terlihat tidak karuan, pria yang nampak hebat itu, kini menangis sejadi-jadinya.
Sejak tadi ia berusaha menahan tangisnya agar tidak terlihat lemah di depan anak semata wayangnya, namun saat melihat wajah Rania, wajahnya basah dengan air mata.
Kini saatnya Rania yang mencoba untuk menenangkan Yuda, ia akan selalu mendampingi suaminya dalam keadaan apa pun. Termasuk bangkit dari kejatuhan seperti ini.
"Semua akan baik-baik saja," kata Rania berbisik tepat di telinga suaminya.
Keduanya sama-sama merasa bingung dengan apa yang harus dilakukan, uang sebesar itu tentunya sangat mustahil untuk didapatkan dalam waktu dekat.
"Bunda akan mencoba untuk mencari bantuan ke teman-teman nanti, apa pun yang terjadi, kita harus melangkah bersama-sama," ujarnya berusaha tenang.
Inilah kekompakkan dalam keluarga yang sesungguhnya, selalu mengutamakan kebersamaan mereka, meski pun dalam terpaan masalah, namun harus tetap saling melindungi.
Yuda sangat-sangat bersyukur karena memiliki wanita sehebat Rania dalam hidupnya, yang selalu mendukung dan menyayanginya sama seperti bertahun-tahun lalu.
Tidak pernah sekali pun ada berita miring dalam keluarga penuh kehangatan ini, bahkan dalam menghadapi masalah besar pun tidak ada yang saling menyalahkan satu sama lain.
Hingga pukul tiga dini hari, keduanya memutuskan untuk beristirahat sebentar, Rania juga harus bertemu temannya untuk meminta bantuan.
"Maaf ya, ayah membuat bunda kerepotan," ungkap Yuda penuh rasa penyesalan.
Rania mengelus pundak sang suami, "Tidak perlu menyalahkan diri sendiri, selagi kita bersama-sama, bunda yakin semuanya akan baik-baik saja!"
Keduanya saling menggenggam erat tangannya, menyemangati diri mereka untuk hidup yang lebih baik lagi nantinya. Percaya bahwa mereka akan melalui rintangan ini dengan baik.
Di dalam kamar, Aruna menangisi kehidupannya lagi, merasa tidak adil karena keluarganya terus-terusan diterpa masalah tanpa henti.
"Tuhan, aku tahu kau mendengarku, tolong bantu keluarga kami, kuatkan hati kami dalam menghadapi ujianmu yang berat ini, perkokoh punggung kami agar tetap berdiri tegak melewati rintangan-rintangan takdir yang engaku kehendaki." Aruna memohon dengan hati yang sangat tulus.
Berharap agar setidaknya Tuhan mau berbelas kasih dan mengurangi sedikit beban pada keluarganya. Lagi-lagi Aruna melihat dirinya yang amat sangat berantakan di depan cermin.
Persis seperti beberapa bulan yang lalu, saat dirinya mengurung diri di dalam kamar. Wajahnya sungguh menyedihkan, seolah tidak terurus bertahun-tahun.
Rania sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang sahabat, wajah pucatnya ia tutupi dengan polesan bedak sehingga terlihat jauh lebih baik. "Bunda," panggil Yuda pelan, kantung matanya yang menghitam benar-benar terlihat sangat jelas. Wajar saja, pria itu tidak bisa tidur tenang semalaman. Dengan senyuman tipis, Rania menghampiri suaminya, mengerahkan segala kekuatannya berharap mereka semua dapat bertahan disegala terjangan masalah. "Bunda pergi dulu ya yah," ujarnya dengan suara lembut. Tanpa banyak basa-basi, Yuda memeluk erat tubuh istrinya, merasa sangat bersalah karena merepotkan wanitanya. "Maaf," bisik pria itu merasa sangat-sangat bersalah. Saat ini Rania akan bertemu dengan sahabat lamanya, permasalahan seperti ini tentu saja tidak bisa ia bereskan sendiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana pun caranya, mereka harus segera mendapatkan pinjamanan agar terbebas dari panggilan-panggilan bank yang hendak menyita segala fasilitas yang mereka punya. Dari dalam kamar, Aru
Dua wanita itu masih membahas perihal anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Mereka berdua kembali melayangkan ingatan pada momen masa lalu. Gina mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Aruna saat kecil yang masih ia simpan. Membandingkannya dengan foto Aruna sekarang, "Gadis ini benar-benar tumbuh dengan penuh kasih, dia sangat manis dan cantik, persis seperti bundanya!" puji Gina serius. "Aris juga tumbuh dengan baik, wajah tampannya berhasil mengalahkan suamimu!" kata Rania membalas. Membahas Aris, membuat Gina menekuk wajahnya. Hanya dengan mendengar nama anaknya saja, wanita itu sudah kesal. "Jangan bahas dia! aku sedang kesal dengan anak itu," ujar Gina."Loh kenapa?" tanya Rania penasaran. Gina terdiam sejenak, ia sedang menyusun kalimat yang dapat memberikan alasan kenapa dirinya kesal dengan Aris. "Kamu tahu sendiri kan, sejak dulu aku selalu berharap bisa melihat putraku menikah secepatnya, Tapi anak itu malah memilih untuk menunggu kekasihnya," ujar Gina malas. "Loh
Sejak kepulangannya dari bertemu Rania, kini Gina dan sang suami sedang membahas masalah tersebuh hingga tengah malam. "Mami kasihan dengan mereka, sebagai seorang sahabat mami merasa punya kewajiban untuk menolongnya," ujar wanita itu pada suaminya. "Bagaimana keadaan Aruna?" tanya pria itu membuka suara. Gina tidak merasa yakin, namun karena Rania tadi mengatakan bahwa keadaan putrinya sudah semakin membaik sekarang, hanya saja Aruna masih memerlukan bantuan obat-obatan dari psikiaternya. Entah dari mana, Rendi dengan wajah polosnya kembali bersuara yang berhasil membuat Gina menganga saat mendengarnya. "Bagaimana jika kita jodohkan saja anak kita dengan Aruna?" ujarnya dengan santai. Menurut pikirannya, karena keluarga mereka sudah dekat sejak dulu, jadi tidak ada salahnya untuk mempererat hubungan mereka dengan menjadi besan. "Kita juga bisa membantu perusahaan Yuda agar semakin berkembang, win-win solution." katanya enteng. Apa yang dikatakan oleh suaminya, membuat Gina i
Aruna duduk di sofa menghadap kedua orang tuanya, ia tersenyum saat mendengar bahwa hutang keluarga mereka akan segera dilunaskan melalui bantuan dari sahabatnya. Namun mendengar bahwa orang tuanya akan membahas hal yang cukup serius, Aruna merasa sedikit gugup, ada ketakutan yang tersirat dari wajahnya yang menunduk saat ini. "Ada apa bunda?" tanya perempuan itu pelan. Rania terdiam sejenak, tidak tahu harus mengatakan apa, keberaniannya sudah lebih dulu memudar saat menyadari wajah Aruna yang nampak sangat sedih. Ia menatap sang suami, mengisyaratakan bahwa dirinya tidak cukup keberanian untuk mengatakannya pada anak mereka. "Aruna tahu kan, keluarga kita sedang dalam masalah," ujar Yuda sebagai kalimat pembuka. Tentu saja Aruna menyadari hal tersebut, belakangan ini kehidupan keluarga mereka sedang bermasalah, namun sebentar lagi mereka akan terbebas dari keterpurukan tersebut. "Iya," sahut perempuan itu masih menatap penuh tanda tanya pada dua orang dewasa itu. "Kam
"Kosongkan jadwal hari minggu!" suruh Gina saat Aris sudah duduk di meja makan. Jujur saja ada keinginan untuk membantah ucapan sang mami, namun Aris tidak ingin membuat keributan pagi ini. Ia hanya menganggukkan kepalanya patuh, menuruti ucapan Gina yang tidak akan pernah menerima penolakan. "Kali ini, Aris harus bertemu dengan siapa?" tanya laki-laki itu penasaran. Gina tidak menjawab, membiarkan Aris menarka-nerka sendiri, perempuan mana lagi yang harus ia temui. "Tidak usah dipikirkan, nanti juga kamu tahu sendiri!" ujar Rendi saat melihat wajah kusut putranya. "Aris sama sekali tidak memikirkannya," sahutnya bohong. "Baiklah sudah-sudah, lebih baik cepat habiskan sarapannya, kamu ada meeting penting kan hari ini." Gina menghidangkan banyak makanan untuk mengisi perut mereka di pagi hari. Pertemuan Aruna dan Aris tidak boleh ditunda-tunda, mengingat keadaan Aruna yang selalu berubah-ubah. Mereka berusaha agar pertemuan anaknya bisa segera berlangsung. Sehingga minggu siang,
Waktu berlalu begitu cepat, kini saatnya Aruna bertemu dengan anak dari sahabat orang tuanya. Dengan pakaian sederhana namun nampak sangat elegan, Aruna mengoleskan bedak tipis serta liptint berwarna kemerahan untuk menutupi wajah pucatnya. Ia memperhatikan dirinya sendiri di depan cermin, memuji kecantikan paripurna yang diciptakan oleh Tuhan untuknya. "Tok.. tok.. tok.." Aruna tahu betul siapa yang berada di balik pintu kamarnya, tentu saja itu tanda bahwa Aruna harus segera keluar agar tidak terlambat. Saat membuka pintu, tatapan terpesona dari kedua orang tuanya membuat Aruna merasa malu. Mereka berdua sangat takjub melihat kecantikan anaknya yang sangat manis ini. "Cantik sekali anak bunda," puji Rania tulus. Kini mata Aruna menatap sang ayah yang diam saja, seolah masih belum mampu merangkai kata untuk menunjukkan bahwa anaknya benar-benar sangat cantik. "Ayo ayah dan bunda antar," ujar Yuda saat melihat jam tangan yang melingakar di pergalangannya sudah menunjukkan pukul
Di dalam mobil, Aruna hanya diam saja, tak memberitahu apa-apa pada orang tuanya, Yuda dan Rania juga tidak mempertanyakannya setelah melihat wajah Aruna yang berbeda dari sebelumnya. Sampai di rumah, Aruna duduk di ruang tengah, sembari menunggu orang tuanya yang masih berada di garasi rumah. Rania dan Yuda yang baru saja hendak ke kamarnya, melihat Aruna yang sudah duduk dengan wajah yang cukup sulit untuk dideskripsikan maksudnya. "Kenapa nak?" tanya Rania mendekati putrinya. Aruna terdiam sebentar, "Apa maksud sebenarnya dari pertemuan tadi, bunda?" tanya Aruna tanpa pikir panjang. Rania menantap bingung, tidak paham dengan maksud ucapan anaknya. "Kamu kenapa sayang?" ulang Rania menanyakan keadaan anaknya. "Laki-laki tadi, mengatakan bahwa dia tidak akan menolaknya! Apa maksudnya itu? Apa yang tidak kalian beritahu padaku?" teriak Aruna lantang. Rania menghela nafasnya kasar, ternyata Aruna sudah mengetahui rencana mereka sebelumnya. Bukan maksud mereka untuk menutupinya da
Aruna berdiri mematung usai mendapati kekasihnya sedang bercumbu dengan seorang perempuan, yang tak lain adalah sahabat dekatnya sendiri. Tubuhnya terasa kaku, bahkan kakinya tak mampu untuk bergerak.Ia mencoba untuk berpikir jernih, namun seberapa keras upayanya yang ia lihat saat ini benar-benar terasa nyata. Aruna melihat jelas dengan mata kepalanya sendiri.Masih tak bisa percaya, Aruna melihat dua orang itu yang bahkan tidak menyadari kehadirannya. Nampak sangat jelas bahwa mereka berdua menikmati suasana.Cukup lama ia memperhatikan dua penghianat itu, hingga tak kuasa untuk menahan amarahnya. Aruna tak sengaja menyenggol vas bunga yang ada di sebelahnya.“Prangg”Suara pecahan vas itu berhasil mengejutkan dirinya, termasuk dua manusia penghianat yang kini menganga melihat kehadiran Aruna.Aruna tentu melihat semuanya dari awal, ia bukan perempuan bodoh yang bisa dibohongi. Kini mata Aruna menatap dua manusia itu bergantian, masih tak menyangka dengan kebenaran apa yang baru sa
Di dalam mobil, Aruna hanya diam saja, tak memberitahu apa-apa pada orang tuanya, Yuda dan Rania juga tidak mempertanyakannya setelah melihat wajah Aruna yang berbeda dari sebelumnya. Sampai di rumah, Aruna duduk di ruang tengah, sembari menunggu orang tuanya yang masih berada di garasi rumah. Rania dan Yuda yang baru saja hendak ke kamarnya, melihat Aruna yang sudah duduk dengan wajah yang cukup sulit untuk dideskripsikan maksudnya. "Kenapa nak?" tanya Rania mendekati putrinya. Aruna terdiam sebentar, "Apa maksud sebenarnya dari pertemuan tadi, bunda?" tanya Aruna tanpa pikir panjang. Rania menantap bingung, tidak paham dengan maksud ucapan anaknya. "Kamu kenapa sayang?" ulang Rania menanyakan keadaan anaknya. "Laki-laki tadi, mengatakan bahwa dia tidak akan menolaknya! Apa maksudnya itu? Apa yang tidak kalian beritahu padaku?" teriak Aruna lantang. Rania menghela nafasnya kasar, ternyata Aruna sudah mengetahui rencana mereka sebelumnya. Bukan maksud mereka untuk menutupinya da
Waktu berlalu begitu cepat, kini saatnya Aruna bertemu dengan anak dari sahabat orang tuanya. Dengan pakaian sederhana namun nampak sangat elegan, Aruna mengoleskan bedak tipis serta liptint berwarna kemerahan untuk menutupi wajah pucatnya. Ia memperhatikan dirinya sendiri di depan cermin, memuji kecantikan paripurna yang diciptakan oleh Tuhan untuknya. "Tok.. tok.. tok.." Aruna tahu betul siapa yang berada di balik pintu kamarnya, tentu saja itu tanda bahwa Aruna harus segera keluar agar tidak terlambat. Saat membuka pintu, tatapan terpesona dari kedua orang tuanya membuat Aruna merasa malu. Mereka berdua sangat takjub melihat kecantikan anaknya yang sangat manis ini. "Cantik sekali anak bunda," puji Rania tulus. Kini mata Aruna menatap sang ayah yang diam saja, seolah masih belum mampu merangkai kata untuk menunjukkan bahwa anaknya benar-benar sangat cantik. "Ayo ayah dan bunda antar," ujar Yuda saat melihat jam tangan yang melingakar di pergalangannya sudah menunjukkan pukul
"Kosongkan jadwal hari minggu!" suruh Gina saat Aris sudah duduk di meja makan. Jujur saja ada keinginan untuk membantah ucapan sang mami, namun Aris tidak ingin membuat keributan pagi ini. Ia hanya menganggukkan kepalanya patuh, menuruti ucapan Gina yang tidak akan pernah menerima penolakan. "Kali ini, Aris harus bertemu dengan siapa?" tanya laki-laki itu penasaran. Gina tidak menjawab, membiarkan Aris menarka-nerka sendiri, perempuan mana lagi yang harus ia temui. "Tidak usah dipikirkan, nanti juga kamu tahu sendiri!" ujar Rendi saat melihat wajah kusut putranya. "Aris sama sekali tidak memikirkannya," sahutnya bohong. "Baiklah sudah-sudah, lebih baik cepat habiskan sarapannya, kamu ada meeting penting kan hari ini." Gina menghidangkan banyak makanan untuk mengisi perut mereka di pagi hari. Pertemuan Aruna dan Aris tidak boleh ditunda-tunda, mengingat keadaan Aruna yang selalu berubah-ubah. Mereka berusaha agar pertemuan anaknya bisa segera berlangsung. Sehingga minggu siang,
Aruna duduk di sofa menghadap kedua orang tuanya, ia tersenyum saat mendengar bahwa hutang keluarga mereka akan segera dilunaskan melalui bantuan dari sahabatnya. Namun mendengar bahwa orang tuanya akan membahas hal yang cukup serius, Aruna merasa sedikit gugup, ada ketakutan yang tersirat dari wajahnya yang menunduk saat ini. "Ada apa bunda?" tanya perempuan itu pelan. Rania terdiam sejenak, tidak tahu harus mengatakan apa, keberaniannya sudah lebih dulu memudar saat menyadari wajah Aruna yang nampak sangat sedih. Ia menatap sang suami, mengisyaratakan bahwa dirinya tidak cukup keberanian untuk mengatakannya pada anak mereka. "Aruna tahu kan, keluarga kita sedang dalam masalah," ujar Yuda sebagai kalimat pembuka. Tentu saja Aruna menyadari hal tersebut, belakangan ini kehidupan keluarga mereka sedang bermasalah, namun sebentar lagi mereka akan terbebas dari keterpurukan tersebut. "Iya," sahut perempuan itu masih menatap penuh tanda tanya pada dua orang dewasa itu. "Kam
Sejak kepulangannya dari bertemu Rania, kini Gina dan sang suami sedang membahas masalah tersebuh hingga tengah malam. "Mami kasihan dengan mereka, sebagai seorang sahabat mami merasa punya kewajiban untuk menolongnya," ujar wanita itu pada suaminya. "Bagaimana keadaan Aruna?" tanya pria itu membuka suara. Gina tidak merasa yakin, namun karena Rania tadi mengatakan bahwa keadaan putrinya sudah semakin membaik sekarang, hanya saja Aruna masih memerlukan bantuan obat-obatan dari psikiaternya. Entah dari mana, Rendi dengan wajah polosnya kembali bersuara yang berhasil membuat Gina menganga saat mendengarnya. "Bagaimana jika kita jodohkan saja anak kita dengan Aruna?" ujarnya dengan santai. Menurut pikirannya, karena keluarga mereka sudah dekat sejak dulu, jadi tidak ada salahnya untuk mempererat hubungan mereka dengan menjadi besan. "Kita juga bisa membantu perusahaan Yuda agar semakin berkembang, win-win solution." katanya enteng. Apa yang dikatakan oleh suaminya, membuat Gina i
Dua wanita itu masih membahas perihal anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Mereka berdua kembali melayangkan ingatan pada momen masa lalu. Gina mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Aruna saat kecil yang masih ia simpan. Membandingkannya dengan foto Aruna sekarang, "Gadis ini benar-benar tumbuh dengan penuh kasih, dia sangat manis dan cantik, persis seperti bundanya!" puji Gina serius. "Aris juga tumbuh dengan baik, wajah tampannya berhasil mengalahkan suamimu!" kata Rania membalas. Membahas Aris, membuat Gina menekuk wajahnya. Hanya dengan mendengar nama anaknya saja, wanita itu sudah kesal. "Jangan bahas dia! aku sedang kesal dengan anak itu," ujar Gina."Loh kenapa?" tanya Rania penasaran. Gina terdiam sejenak, ia sedang menyusun kalimat yang dapat memberikan alasan kenapa dirinya kesal dengan Aris. "Kamu tahu sendiri kan, sejak dulu aku selalu berharap bisa melihat putraku menikah secepatnya, Tapi anak itu malah memilih untuk menunggu kekasihnya," ujar Gina malas. "Loh
Rania sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang sahabat, wajah pucatnya ia tutupi dengan polesan bedak sehingga terlihat jauh lebih baik. "Bunda," panggil Yuda pelan, kantung matanya yang menghitam benar-benar terlihat sangat jelas. Wajar saja, pria itu tidak bisa tidur tenang semalaman. Dengan senyuman tipis, Rania menghampiri suaminya, mengerahkan segala kekuatannya berharap mereka semua dapat bertahan disegala terjangan masalah. "Bunda pergi dulu ya yah," ujarnya dengan suara lembut. Tanpa banyak basa-basi, Yuda memeluk erat tubuh istrinya, merasa sangat bersalah karena merepotkan wanitanya. "Maaf," bisik pria itu merasa sangat-sangat bersalah. Saat ini Rania akan bertemu dengan sahabat lamanya, permasalahan seperti ini tentu saja tidak bisa ia bereskan sendiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana pun caranya, mereka harus segera mendapatkan pinjamanan agar terbebas dari panggilan-panggilan bank yang hendak menyita segala fasilitas yang mereka punya. Dari dalam kamar, Aru
Perjalanan hidup Aruna perlahan-lahan mulai kembali seperti dulu, meski pun masih belum seutuhnya. Namun kini Aruna akhirnya mau pergi ke luar rumah, tetapi obat penenangnya masih perlu ia bawa ke mana pun ia pergi. Namun sayangnya senyuman Aruna kembali luntur kala mendengar kabar kurang enak tentang keuangan keluarganya. Perusahaan sang ayah mengalami penurunan drastis yang mengakibtkan menumpuknya hutang di berbagai tempat. Alasannya adalah karena salah satu karyawan yang paling dipercaya oleh Yuda membawa kabur uang dengan jumlah yang sangat besar, sekitar lebih dari 50 milyar. Ayahnya terduduk lemas, pikirannya kacau karena tidak tahu harus berbuat apa, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa ia temukan secepatnya. Lagi-lagi kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun disalah gunakan begitu saja, orang itu berhasil membuat keluarga Aruna menjadi kacau. Rania tidak henti-hentinya meneteskan air mata, masih merasa sangat shock sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. "Apa
“Tidur di mana kamu semalam? Kenapa tidak pulang?” tanya Gina yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada. Baru saja Aris menginjakkan kaki di lantai rumahnya, suara cempreng Gina sudah menggelegar di sekitar area rumah. “Aris tidur di apartemen,” sahut laki-laki itu malas. “Kenapa tidak pulang?” tanya Gina lagi. Aris terdiam sejenak, tidak mungkin ia mengakui bahwa dirinya mabuk semalam. Ia memikirkan alasan yang tepat agar sang mami tidak memarahinya. “Ehm, kemarin Aris nyelesaiin semua kerjaan supaya tidak terlalu menumpuk, lalu pulang ke apartemen karena merasa sangat ngantuk, Aris tidak bisa memaksakan keadaan untuk pulang ke rumah, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi sekarang ini banyak kasus kecelakaan akibat pengendara mengantuk di jalan kan,” ujarnya mencari alasan untuk menutupi kebohongannya. “Beneran kamu?” intrupsi wanita itu mengintimidasi. “Jangan bohong ya sama mami!” lanjutnya dengan mata mendelik tajam pada sang anak. “Kalau Aris sampai m