Dua wanita itu masih membahas perihal anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Mereka berdua kembali melayangkan ingatan pada momen masa lalu.
Gina mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Aruna saat kecil yang masih ia simpan. Membandingkannya dengan foto Aruna sekarang, "Gadis ini benar-benar tumbuh dengan penuh kasih, dia sangat manis dan cantik, persis seperti bundanya!" puji Gina serius.
"Aris juga tumbuh dengan baik, wajah tampannya berhasil mengalahkan suamimu!" kata Rania membalas.
Membahas Aris, membuat Gina menekuk wajahnya. Hanya dengan mendengar nama anaknya saja, wanita itu sudah kesal.
"Jangan bahas dia! aku sedang kesal dengan anak itu," ujar Gina.
"Loh kenapa?" tanya Rania penasaran.
Gina terdiam sejenak, ia sedang menyusun kalimat yang dapat memberikan alasan kenapa dirinya kesal dengan Aris.
"Kamu tahu sendiri kan, sejak dulu aku selalu berharap bisa melihat putraku menikah secepatnya, Tapi anak itu malah memilih untuk menunggu kekasihnya," ujar Gina malas.
"Loh, bukannya bagus? Tidak banyak orang yang mempunyai perasaan setia seperti Aris," ujar Rania yang malah memuji sikap Aris.
"Aku senang karena anakku tumbuh menjadi laki-laki yang setia, tapi-" kalimat Gina menggantung.
Rania masih setia menunggu penjelasan dari wanita yang duduk dihadapannya ini, Gina menghembuskan nafasnya kasar sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya.
"Sudah delapan tahun Aris menunggu tanpa kepastian, dia bahkan tidak tahu di mana kekasihnya tinggal saat ini. Bukankah hubungan tidak akan pernah berhasil karena kurangnya komunikasi?" ujar Gina mempertanyakan keresahannya selama ini.
Rania paham, sahabatnya itu merasa resah karena kekasih dari anaknya tak kunjung memberikan kabar. Namun ia tidak tahu harus merespon seperti apa.
"Aku terus mencarikan perempuan-perempuan yang sesuai dengan seleranya, tapi tidak ada satu pun yang dia suka," tambahnya dengan suara sedih.
"Aris pasti berpikir bahwa aku adalah ibu yang jahat, padahal aku hanya ingin melihat anakku bahagia, sudah cukup delapan tahun ia menunggu," wajah kini gantian Gina yang memasang wajah sedih.
"Aris anak yang baik! Dia pasti akan menemukan pasangan hidupnya nanti, kamu tentu percaya dengan keputusan anak itu kan."
Rania benar, meskipun Gina terkesan memaksa, namun ia tetap memilih untuk menunggu hingga Aris mau menyetujuinya.
Meski banyak perempuan yang sudah ia coba sandingkan dengan Aris, jika anak itu masih tidak mau, maka Gina akan kembali mencari yang lain, sampai Aris menyetujuinya nanti.
Gina sangat menyayangi anak semata wayangnya, apa pun yang Aris mau akan ia kabulkan secepatnya, meski pun Aris tidak melakukan hal yang sama kepadanya.
"Yakin saja pada Aris, dia tidak akan pernah membuatmu kecewa." jawaban Rania berhasil menyadarkan Gina agar tidak terlalu memaksa anaknya.
Mereka menghabiskan waktu untuk saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Nampak sekali dua wanita itu sangat bahagia dengan keluarganya saat ini.
Meski pun diterpa masalah, namun mereka sama sekali tidak pernah menyerah, malah hal itu membuat keluarga mereka jadi semakin kokoh.
**
Di tempat lain, Aris sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menggunung. Sepertinya memang tidak ada waktu untuk istirahat.
Matanya tetap terjaga bahkan saat jam dinding itu menunjukkan pukul sepuluh malam. Wira sudah ijin pulang sejak sore tadi, Aris lembur sendirian di perusahaan besar ayahnya.
Memang Aris adalah pewaris kekayaan keluarganya, anak satu-satunya membuat Aris mendapatkan warisan yang banyak.
Namun ia juga harus bisa mempertahankan jabatannya, karena jika ia membuat kesalahan fatal, maka segala yang ia dapatkan akan ditarik kembali oleh orang tuanya.
Untungnya selama ia menjabat beberapa tahun terakhir, perusahaan sang ayah jadi lebih meningkat, tidak heran karena Aris lulusan di sebuah universitas ternama di luar negeri.
Meski begitu hidup Aris tidak berjalan semulus yang dibayangkan, karena kisah cintanya membuat Aris terlihat sangat menyedihkan.
Setelah menandatangi satu berkas lagi, akhirnya semua pekerjaan laki-laki itu sudah usai. Aris merileks-kan tubuhnya sejenak, punggungnya terasa sangat pegal akibat duduk seharian di depan komputer kerjanya.
Laki-laki itu keluar dari ruangan kerjanya, matanya menelusuri sekitar yang sepi senyap akibat semua karyawan yang sudah pulang ke rumahnya masing-masing.
Di dalam mobil, matanya disuguhkan dengan sebuah foto yang membuat bibir laki-laki itu terangkat. Baru kemarin Aris memasang foto kecil itu di mobilnya, sebagai pengingat bahwa dirinya adalah milik Anya.
Meskipun sudah malam, namun jalanan di kota besar ini masih memperlihatkan beberapa pengendara yang melintasi jalan, sehingga Aris tidak merasa sendiri.
Sampai di dalam rumah, Aris terkejut mendapati kedua orang tuanya sedang membahas hal yang nampak cukup serius, mereka bahkan tidak sadar dengan kedatangan putra semata wayangnya.
Karena merasa cukup lelah, akhirnya Aris menyelonong masuk tanpa menyapa mereka berdua. Tubuhnya terlalu lelah untuk berinteraksi dengan dua manusia lagi.
Laki-laki itu membasuh tubuhnya yang terasa lengket, hanya bermodal handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, Aris memperlihatkan badan kekarnya di depan cermin.
Sungguh tubuh yang sangat sempurna, banyak orang menginginkan proporsi tubuh semacam Aris. Terlihat sangat gagah dan kekar.
Sejujurnya Aris sejak jaman sekolahan dulu adalah seseorang yang paling digilai para perempuan, wajahnya yang tampan dan otaknya yang pintar menambah ketertarikan perempuan padanya.
Sampai akhirnya Aris bertemu dengan seorang perempuan manis yang akhirnya berhasil membuat hati dingin Aris meleleh saat bersamanya.
Bahkan sampai sekarang, tidak pernah terlintas rasa bosan kepada Anya, bahkan ia rela menunggu selama ini demi membuktikan bahwa cintanya nyata.
Setelah mengganti pakaian, akhirnya Aris meloncatkan tubuhnya ke atas ranjang, bak anak kecil. Wajahnya yang letih akhirnya ia biarkan untuk beristirahat sejenak.
Waktu yang tepat untuk melupakan segala bentuk permasalahan yang membuat dirinya kehilangan konsentrasi.
Aris harap istirahatnya kali ini dapat membangkitkan semangat untuk esok pagi, tidak lupa dirinya juga berdoa agar bertemu dengan sang kekasih di alam mimpi.
Sepertinya memikirkan Anya kapan pun dan di mana pun adalah rutinitas Aris sejak lama, masih erat doanya untuk bertemu Anya secepatnya.
"Selamat malam cantikku, Anya," ujarnya sebelum akhirnya benar-benar tertidur.
Sejak kepulangannya dari bertemu Rania, kini Gina dan sang suami sedang membahas masalah tersebuh hingga tengah malam. "Mami kasihan dengan mereka, sebagai seorang sahabat mami merasa punya kewajiban untuk menolongnya," ujar wanita itu pada suaminya. "Bagaimana keadaan Aruna?" tanya pria itu membuka suara. Gina tidak merasa yakin, namun karena Rania tadi mengatakan bahwa keadaan putrinya sudah semakin membaik sekarang, hanya saja Aruna masih memerlukan bantuan obat-obatan dari psikiaternya. Entah dari mana, Rendi dengan wajah polosnya kembali bersuara yang berhasil membuat Gina menganga saat mendengarnya. "Bagaimana jika kita jodohkan saja anak kita dengan Aruna?" ujarnya dengan santai. Menurut pikirannya, karena keluarga mereka sudah dekat sejak dulu, jadi tidak ada salahnya untuk mempererat hubungan mereka dengan menjadi besan. "Kita juga bisa membantu perusahaan Yuda agar semakin berkembang, win-win solution." katanya enteng. Apa yang dikatakan oleh suaminya, membuat Gina i
Aruna duduk di sofa menghadap kedua orang tuanya, ia tersenyum saat mendengar bahwa hutang keluarga mereka akan segera dilunaskan melalui bantuan dari sahabatnya. Namun mendengar bahwa orang tuanya akan membahas hal yang cukup serius, Aruna merasa sedikit gugup, ada ketakutan yang tersirat dari wajahnya yang menunduk saat ini. "Ada apa bunda?" tanya perempuan itu pelan. Rania terdiam sejenak, tidak tahu harus mengatakan apa, keberaniannya sudah lebih dulu memudar saat menyadari wajah Aruna yang nampak sangat sedih. Ia menatap sang suami, mengisyaratakan bahwa dirinya tidak cukup keberanian untuk mengatakannya pada anak mereka. "Aruna tahu kan, keluarga kita sedang dalam masalah," ujar Yuda sebagai kalimat pembuka. Tentu saja Aruna menyadari hal tersebut, belakangan ini kehidupan keluarga mereka sedang bermasalah, namun sebentar lagi mereka akan terbebas dari keterpurukan tersebut. "Iya," sahut perempuan itu masih menatap penuh tanda tanya pada dua orang dewasa itu. "Kam
"Kosongkan jadwal hari minggu!" suruh Gina saat Aris sudah duduk di meja makan. Jujur saja ada keinginan untuk membantah ucapan sang mami, namun Aris tidak ingin membuat keributan pagi ini. Ia hanya menganggukkan kepalanya patuh, menuruti ucapan Gina yang tidak akan pernah menerima penolakan. "Kali ini, Aris harus bertemu dengan siapa?" tanya laki-laki itu penasaran. Gina tidak menjawab, membiarkan Aris menarka-nerka sendiri, perempuan mana lagi yang harus ia temui. "Tidak usah dipikirkan, nanti juga kamu tahu sendiri!" ujar Rendi saat melihat wajah kusut putranya. "Aris sama sekali tidak memikirkannya," sahutnya bohong. "Baiklah sudah-sudah, lebih baik cepat habiskan sarapannya, kamu ada meeting penting kan hari ini." Gina menghidangkan banyak makanan untuk mengisi perut mereka di pagi hari. Pertemuan Aruna dan Aris tidak boleh ditunda-tunda, mengingat keadaan Aruna yang selalu berubah-ubah. Mereka berusaha agar pertemuan anaknya bisa segera berlangsung. Sehingga minggu siang,
Waktu berlalu begitu cepat, kini saatnya Aruna bertemu dengan anak dari sahabat orang tuanya. Dengan pakaian sederhana namun nampak sangat elegan, Aruna mengoleskan bedak tipis serta liptint berwarna kemerahan untuk menutupi wajah pucatnya. Ia memperhatikan dirinya sendiri di depan cermin, memuji kecantikan paripurna yang diciptakan oleh Tuhan untuknya. "Tok.. tok.. tok.." Aruna tahu betul siapa yang berada di balik pintu kamarnya, tentu saja itu tanda bahwa Aruna harus segera keluar agar tidak terlambat. Saat membuka pintu, tatapan terpesona dari kedua orang tuanya membuat Aruna merasa malu. Mereka berdua sangat takjub melihat kecantikan anaknya yang sangat manis ini. "Cantik sekali anak bunda," puji Rania tulus. Kini mata Aruna menatap sang ayah yang diam saja, seolah masih belum mampu merangkai kata untuk menunjukkan bahwa anaknya benar-benar sangat cantik. "Ayo ayah dan bunda antar," ujar Yuda saat melihat jam tangan yang melingakar di pergalangannya sudah menunjukkan pukul
Di dalam mobil, Aruna hanya diam saja, tak memberitahu apa-apa pada orang tuanya, Yuda dan Rania juga tidak mempertanyakannya setelah melihat wajah Aruna yang berbeda dari sebelumnya. Sampai di rumah, Aruna duduk di ruang tengah, sembari menunggu orang tuanya yang masih berada di garasi rumah. Rania dan Yuda yang baru saja hendak ke kamarnya, melihat Aruna yang sudah duduk dengan wajah yang cukup sulit untuk dideskripsikan maksudnya. "Kenapa nak?" tanya Rania mendekati putrinya. Aruna terdiam sebentar, "Apa maksud sebenarnya dari pertemuan tadi, bunda?" tanya Aruna tanpa pikir panjang. Rania menantap bingung, tidak paham dengan maksud ucapan anaknya. "Kamu kenapa sayang?" ulang Rania menanyakan keadaan anaknya. "Laki-laki tadi, mengatakan bahwa dia tidak akan menolaknya! Apa maksudnya itu? Apa yang tidak kalian beritahu padaku?" teriak Aruna lantang. Rania menghela nafasnya kasar, ternyata Aruna sudah mengetahui rencana mereka sebelumnya. Bukan maksud mereka untuk menutupinya da
Aruna berdiri mematung usai mendapati kekasihnya sedang bercumbu dengan seorang perempuan, yang tak lain adalah sahabat dekatnya sendiri. Tubuhnya terasa kaku, bahkan kakinya tak mampu untuk bergerak.Ia mencoba untuk berpikir jernih, namun seberapa keras upayanya yang ia lihat saat ini benar-benar terasa nyata. Aruna melihat jelas dengan mata kepalanya sendiri.Masih tak bisa percaya, Aruna melihat dua orang itu yang bahkan tidak menyadari kehadirannya. Nampak sangat jelas bahwa mereka berdua menikmati suasana.Cukup lama ia memperhatikan dua penghianat itu, hingga tak kuasa untuk menahan amarahnya. Aruna tak sengaja menyenggol vas bunga yang ada di sebelahnya.“Prangg”Suara pecahan vas itu berhasil mengejutkan dirinya, termasuk dua manusia penghianat yang kini menganga melihat kehadiran Aruna.Aruna tentu melihat semuanya dari awal, ia bukan perempuan bodoh yang bisa dibohongi. Kini mata Aruna menatap dua manusia itu bergantian, masih tak menyangka dengan kebenaran apa yang baru sa
Mau sampai kapan? Mau sampai kapan kamu terus-terusan seperti ini, Aris?” teriak Gina sambil melangkahkan kakinya menuruni satu per satu anak tangga.Wanita itu menghampiri Aris yang sedang duduk menikmati sarapan paginya. Aris menghela nafasnya sebentar, sebelum pelan-pelan menghembuskannya.“Bilang pada mami sekarang, perempuan seperti apa yang kamu mau?” tanya Gina pada anak semata wayangnya.“Apa yang kurang dari perempuan kemarin?” tanya Gina lagi, padahal menurutnya perempuan yang ia pilihkan sangat cocok disandingkan dengan sang putra.“Perempuan kemarin bukan tipe Aris,” sahutnya cepat, tak berminat lama-lama membahas persoalan yang sama.“Lalu, perempuan seperti apa yang menjadi tipe idealmu?” kali ini Gina melembutkan suaranya, sudah cukup merasa kesal pada Aris yang selalu membantah perintahnya.Aris terdiam sebentar, ia yakin bahwa maminya tahu perempuan seperti apa yang menjadi tipe idelanya. Ralat, maminya tentu tahu siapa perempuan yang Aris mau.“Aris akan menunggunya
Aris duduk santai di ruang kerjanya, menunggu Wira membawakan kopi yang ia pesan. terlalu larut memikirkan masalahya sendiri, laki-laki itu sampai tidak sadar dengan kehadiran Wira yang sudah duduk di sebelahnya.Meskipun jabatannya hanya sebagai asisten pribadi, Wira sudah dianggap sebagai teman dekat oleh laki-laki itu, umur yang tidak terpaut terlalu jauh membuat keduanya menjadi dekat.“Bos,” panggil Wira menyadarkan Aris dari lamunannya.Kepala Aris menoleh, melihat Wira yang sudah menyajikan kopinya di atas meja. Dengan cepat tangannya meraih secangkir kopi hitam yang ia pesan.“Menurut kamu, apa yang harus saya lakukan?” tanya Aris tiba-tiba, sembari menyeruput kopinya.Wira diam sejenak, menerka maksud dari pertanyaan yang diajukan oleh bosnya. Beberapa detik berlalu, akhirnya Wira memberanikan diri untuk memberi jawaban.“Kalau untuk pendapat pribadi saya sih, lebih baik mengikuti perintah ibu Gina,” ungkap Wira pelan, takut menyinggung perasaan Aris.Aris sama sekali tidak b
Di dalam mobil, Aruna hanya diam saja, tak memberitahu apa-apa pada orang tuanya, Yuda dan Rania juga tidak mempertanyakannya setelah melihat wajah Aruna yang berbeda dari sebelumnya. Sampai di rumah, Aruna duduk di ruang tengah, sembari menunggu orang tuanya yang masih berada di garasi rumah. Rania dan Yuda yang baru saja hendak ke kamarnya, melihat Aruna yang sudah duduk dengan wajah yang cukup sulit untuk dideskripsikan maksudnya. "Kenapa nak?" tanya Rania mendekati putrinya. Aruna terdiam sebentar, "Apa maksud sebenarnya dari pertemuan tadi, bunda?" tanya Aruna tanpa pikir panjang. Rania menantap bingung, tidak paham dengan maksud ucapan anaknya. "Kamu kenapa sayang?" ulang Rania menanyakan keadaan anaknya. "Laki-laki tadi, mengatakan bahwa dia tidak akan menolaknya! Apa maksudnya itu? Apa yang tidak kalian beritahu padaku?" teriak Aruna lantang. Rania menghela nafasnya kasar, ternyata Aruna sudah mengetahui rencana mereka sebelumnya. Bukan maksud mereka untuk menutupinya da
Waktu berlalu begitu cepat, kini saatnya Aruna bertemu dengan anak dari sahabat orang tuanya. Dengan pakaian sederhana namun nampak sangat elegan, Aruna mengoleskan bedak tipis serta liptint berwarna kemerahan untuk menutupi wajah pucatnya. Ia memperhatikan dirinya sendiri di depan cermin, memuji kecantikan paripurna yang diciptakan oleh Tuhan untuknya. "Tok.. tok.. tok.." Aruna tahu betul siapa yang berada di balik pintu kamarnya, tentu saja itu tanda bahwa Aruna harus segera keluar agar tidak terlambat. Saat membuka pintu, tatapan terpesona dari kedua orang tuanya membuat Aruna merasa malu. Mereka berdua sangat takjub melihat kecantikan anaknya yang sangat manis ini. "Cantik sekali anak bunda," puji Rania tulus. Kini mata Aruna menatap sang ayah yang diam saja, seolah masih belum mampu merangkai kata untuk menunjukkan bahwa anaknya benar-benar sangat cantik. "Ayo ayah dan bunda antar," ujar Yuda saat melihat jam tangan yang melingakar di pergalangannya sudah menunjukkan pukul
"Kosongkan jadwal hari minggu!" suruh Gina saat Aris sudah duduk di meja makan. Jujur saja ada keinginan untuk membantah ucapan sang mami, namun Aris tidak ingin membuat keributan pagi ini. Ia hanya menganggukkan kepalanya patuh, menuruti ucapan Gina yang tidak akan pernah menerima penolakan. "Kali ini, Aris harus bertemu dengan siapa?" tanya laki-laki itu penasaran. Gina tidak menjawab, membiarkan Aris menarka-nerka sendiri, perempuan mana lagi yang harus ia temui. "Tidak usah dipikirkan, nanti juga kamu tahu sendiri!" ujar Rendi saat melihat wajah kusut putranya. "Aris sama sekali tidak memikirkannya," sahutnya bohong. "Baiklah sudah-sudah, lebih baik cepat habiskan sarapannya, kamu ada meeting penting kan hari ini." Gina menghidangkan banyak makanan untuk mengisi perut mereka di pagi hari. Pertemuan Aruna dan Aris tidak boleh ditunda-tunda, mengingat keadaan Aruna yang selalu berubah-ubah. Mereka berusaha agar pertemuan anaknya bisa segera berlangsung. Sehingga minggu siang,
Aruna duduk di sofa menghadap kedua orang tuanya, ia tersenyum saat mendengar bahwa hutang keluarga mereka akan segera dilunaskan melalui bantuan dari sahabatnya. Namun mendengar bahwa orang tuanya akan membahas hal yang cukup serius, Aruna merasa sedikit gugup, ada ketakutan yang tersirat dari wajahnya yang menunduk saat ini. "Ada apa bunda?" tanya perempuan itu pelan. Rania terdiam sejenak, tidak tahu harus mengatakan apa, keberaniannya sudah lebih dulu memudar saat menyadari wajah Aruna yang nampak sangat sedih. Ia menatap sang suami, mengisyaratakan bahwa dirinya tidak cukup keberanian untuk mengatakannya pada anak mereka. "Aruna tahu kan, keluarga kita sedang dalam masalah," ujar Yuda sebagai kalimat pembuka. Tentu saja Aruna menyadari hal tersebut, belakangan ini kehidupan keluarga mereka sedang bermasalah, namun sebentar lagi mereka akan terbebas dari keterpurukan tersebut. "Iya," sahut perempuan itu masih menatap penuh tanda tanya pada dua orang dewasa itu. "Kam
Sejak kepulangannya dari bertemu Rania, kini Gina dan sang suami sedang membahas masalah tersebuh hingga tengah malam. "Mami kasihan dengan mereka, sebagai seorang sahabat mami merasa punya kewajiban untuk menolongnya," ujar wanita itu pada suaminya. "Bagaimana keadaan Aruna?" tanya pria itu membuka suara. Gina tidak merasa yakin, namun karena Rania tadi mengatakan bahwa keadaan putrinya sudah semakin membaik sekarang, hanya saja Aruna masih memerlukan bantuan obat-obatan dari psikiaternya. Entah dari mana, Rendi dengan wajah polosnya kembali bersuara yang berhasil membuat Gina menganga saat mendengarnya. "Bagaimana jika kita jodohkan saja anak kita dengan Aruna?" ujarnya dengan santai. Menurut pikirannya, karena keluarga mereka sudah dekat sejak dulu, jadi tidak ada salahnya untuk mempererat hubungan mereka dengan menjadi besan. "Kita juga bisa membantu perusahaan Yuda agar semakin berkembang, win-win solution." katanya enteng. Apa yang dikatakan oleh suaminya, membuat Gina i
Dua wanita itu masih membahas perihal anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Mereka berdua kembali melayangkan ingatan pada momen masa lalu. Gina mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Aruna saat kecil yang masih ia simpan. Membandingkannya dengan foto Aruna sekarang, "Gadis ini benar-benar tumbuh dengan penuh kasih, dia sangat manis dan cantik, persis seperti bundanya!" puji Gina serius. "Aris juga tumbuh dengan baik, wajah tampannya berhasil mengalahkan suamimu!" kata Rania membalas. Membahas Aris, membuat Gina menekuk wajahnya. Hanya dengan mendengar nama anaknya saja, wanita itu sudah kesal. "Jangan bahas dia! aku sedang kesal dengan anak itu," ujar Gina."Loh kenapa?" tanya Rania penasaran. Gina terdiam sejenak, ia sedang menyusun kalimat yang dapat memberikan alasan kenapa dirinya kesal dengan Aris. "Kamu tahu sendiri kan, sejak dulu aku selalu berharap bisa melihat putraku menikah secepatnya, Tapi anak itu malah memilih untuk menunggu kekasihnya," ujar Gina malas. "Loh
Rania sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang sahabat, wajah pucatnya ia tutupi dengan polesan bedak sehingga terlihat jauh lebih baik. "Bunda," panggil Yuda pelan, kantung matanya yang menghitam benar-benar terlihat sangat jelas. Wajar saja, pria itu tidak bisa tidur tenang semalaman. Dengan senyuman tipis, Rania menghampiri suaminya, mengerahkan segala kekuatannya berharap mereka semua dapat bertahan disegala terjangan masalah. "Bunda pergi dulu ya yah," ujarnya dengan suara lembut. Tanpa banyak basa-basi, Yuda memeluk erat tubuh istrinya, merasa sangat bersalah karena merepotkan wanitanya. "Maaf," bisik pria itu merasa sangat-sangat bersalah. Saat ini Rania akan bertemu dengan sahabat lamanya, permasalahan seperti ini tentu saja tidak bisa ia bereskan sendiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana pun caranya, mereka harus segera mendapatkan pinjamanan agar terbebas dari panggilan-panggilan bank yang hendak menyita segala fasilitas yang mereka punya. Dari dalam kamar, Aru
Perjalanan hidup Aruna perlahan-lahan mulai kembali seperti dulu, meski pun masih belum seutuhnya. Namun kini Aruna akhirnya mau pergi ke luar rumah, tetapi obat penenangnya masih perlu ia bawa ke mana pun ia pergi. Namun sayangnya senyuman Aruna kembali luntur kala mendengar kabar kurang enak tentang keuangan keluarganya. Perusahaan sang ayah mengalami penurunan drastis yang mengakibtkan menumpuknya hutang di berbagai tempat. Alasannya adalah karena salah satu karyawan yang paling dipercaya oleh Yuda membawa kabur uang dengan jumlah yang sangat besar, sekitar lebih dari 50 milyar. Ayahnya terduduk lemas, pikirannya kacau karena tidak tahu harus berbuat apa, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa ia temukan secepatnya. Lagi-lagi kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun disalah gunakan begitu saja, orang itu berhasil membuat keluarga Aruna menjadi kacau. Rania tidak henti-hentinya meneteskan air mata, masih merasa sangat shock sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. "Apa
“Tidur di mana kamu semalam? Kenapa tidak pulang?” tanya Gina yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada. Baru saja Aris menginjakkan kaki di lantai rumahnya, suara cempreng Gina sudah menggelegar di sekitar area rumah. “Aris tidur di apartemen,” sahut laki-laki itu malas. “Kenapa tidak pulang?” tanya Gina lagi. Aris terdiam sejenak, tidak mungkin ia mengakui bahwa dirinya mabuk semalam. Ia memikirkan alasan yang tepat agar sang mami tidak memarahinya. “Ehm, kemarin Aris nyelesaiin semua kerjaan supaya tidak terlalu menumpuk, lalu pulang ke apartemen karena merasa sangat ngantuk, Aris tidak bisa memaksakan keadaan untuk pulang ke rumah, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi sekarang ini banyak kasus kecelakaan akibat pengendara mengantuk di jalan kan,” ujarnya mencari alasan untuk menutupi kebohongannya. “Beneran kamu?” intrupsi wanita itu mengintimidasi. “Jangan bohong ya sama mami!” lanjutnya dengan mata mendelik tajam pada sang anak. “Kalau Aris sampai m