Sudah tidak dapat lagi ditolerir. Perkataan Tantri dan Aurel berbau sindiran pedas. Febby tidak bisa mendiamkan hal ini.
Braakk
Sekeras mungkin Febby menggebrak meja. Setika Aurel terkejut menoleh kearahnya, Febby segera menyiram wajah Aurel dengan air teh yang dia bawa dari mejanya.
“Apa-apaan kau ini, dasar perempuan kampuuungg!” ucap Aurel shock sambil mengusap wajahnya yang basah.
“Febby! Apa kau sudah kehilangan akal?” imbuh Tantri yang langsung melotot.
“Seharusnya aku yang bertanya, apa kepentingan kalian berkata kasar padaku? Menyindir dan mengejek orang seenaknya. Membuat ribut di rumah orang.”
“Heh.. Kau ini hanya menantu, Febby. Ini bukan rumahmu! Kalau saja Kenny tidak menikahimu, siapa dirimu? pelayan restoran rendahan,” ucap Tantri emosi.
“Aku sudah cukup bersabar dengan Kak Tantri selama ini, tapi Kakak tidak pernah menghargai aku. Padahal level kita sama di keluarga ini, me-nan-tu! Kalau saja Bang Ronald tidak menikahi Kakak, sekarang mungkin Kak Tantri masih menjadi tukang jahit,” Febby melawan.
“Oh jadi sekarang kau sudah berani denganku. Kau orang baru dikeluarga ini, jadi jangan coba-coba melawanku.. perempuan gilaaa!” seketika Tantri mengangkat tangan hendak menampar Febby.
“Tak akan kubiarkan Kak Tantri menyentuhku. Sekarang aku akan bertindak kalau Kakak terus-menerus mengejekku dan membela dia yang tidak ada hubungannya dengan keluarga ini,” oceh Febby sambil menunjuk kearah Aurel.
“Perempuan bodooooh, gilaaaa! Aku sudah lebih dulu kenal keluarga ini, dari pada dirimu,” seketika Aurel mendorong Febby hingga tersungkur.
Febby terjatuh karena dorongan keras dari Aurel. Kepalanya terbentur bangku yang ada didekatnya. Namun, Aurel belum juga puas. Dia masih dendam karena wajahnya yang disiram air teh oleh Febby masih terasa lengket.
“Kalau kau berani melawan, kau akan merasakan yang lebih pedih dari pada ini,” oceh Aurel sambil menjambak rambut Febby.
“Aww.. lepaskan rambutku. Lepaskan!!!” Febby berontak.
“Tidak akan. Kau memang harus diberi pelajaran. Dasar kampungan, bodoh, gilaaaaaa!!!” Aurel semakin menjadi-jadi.
Keributan tidak terelakkan. Tidak tinggal diam, Febby pun meraih rambut panjang Aurel dan menjambak balik dengan tidak kalah kerasnya.
“Awwww.. jauhkan tanganmu dari rambutku. Lepaskaaaan! Tanganmu kotor, tidak pantas menyentuh rambutku yang dirawat hingga jutaan, bodoooh!” teriak Aurel kesal.
Namun, mereka berdua tidak ada yang mau mengalah. Febby tetap pada perlawanannya, begitupun Aurel yang terus pada posisinya.
“Kak Tantriii, tolong akuuuu!” ucap Aurel yang melihat Tantri kebingungan.
Dengan cepat Tantri menarik tangan Febby dan berusaha melepaskan genggamannya dari rambut Aurel. Bukannya terlepas, tapi tarikan dirambut Aurel malah semakin kencang dan menimbulkan rasa perih tak terkira. Aurel semakin menjerit kesakitan.
Praaak
Seketika Tantri menampar pipi Febby. Sontak Febby menoleh dan terpaku memandang kakak ipar disampingnya.
“Kak Tantri benar-benar tega menamparku, dan membela perempuan ini?” seru Febby dengan wajah yang merah.
“Tentu saja, kenapa? lepaskan tanganmu dari rambut Aurel! Rambutmu tidak terurus dengan baik, sementara rambut Aurel sangat mahal karena dirawat di salon. Tanganmu tidak layak menyentuh apalagi menjambak rambutnya, Febby!”
“Kalau bukan karena aku menghormati Bang Ronald, Kak Tantri sudah aku buat sama seperti Aurel.”
“Oh yaaa? Berani kamu?”
Tatapan mata Febby tidak berubah sedikitpun. Sorot itu seraya mengintimidasi Tantri atas pertanyaannya.
“Non Febbyyy.. ya ampun Non, baik-baik saja kan,” tiba-tiba bibi muncul karena mendengar keributan.
“Nyonyaaa.. Nyonyaaaa!!!” imbuh bibi yang kebingungan sambil berlari.
Seketika keributan mereda. Aurel dan Febby saling melepaskan jambakan mereka, karena tidak lama Nyonya Laras datang.
“Apa yang kalian lakukan di rumahku?”
“Febby membuat onar di sini, Mah,” tuding Tantri tajam.
“Ngga.. itu gak benar, Mah. Kak Tantri dan Aurel yang mengejekku lebih dulu.”
“Febby menyiram wajahku dengan air teh, Tante. Aku jadi basah kuyup begini. Bajuku jadi kotor kena cipratan airnya,” keluh Aurel mengiba.
“Febbyyy!”
“Dia menjelekkan Kenny, Mah. Dia juga menghinaku. Aku tidak terima,” terang Febby gundah.
“Masuk ke kamarmu, Febby! Kau memang selalu merugikan orang lain. Heran, kenapa anakku memilihmu menjadi seorang istri. Kau ini tidak becus menjadi pendamping Kenny. Kalau saja suamiku tidak menyetujui pernikahanmu dengan Kenny, pasti hidupku akan tenang tanpa menantu sepertimu.”
“Jangan berkata seperti itu, Mah..”
“Masuk kamarmu, sekarang! Jangan lagi kau tampakkan diri di depan Aurel dan Tantri,” oceh Laras.
“Maaf Nyonya, tadi Non Tantri dan Non Aurel yang datang mendekati Non Febby di sini. Pasti yang mengganggu duluan itu–.”
“Stop ucapanmu, Bibi! Tidak usah ikut campur. Tugasmu hanya melayani perempuan kampung yang susah diatur ini saja! bawa dia ke kamar!”
“Ba-baik Nyonya Laras.”
Dengan air mata yang jatuh di pipi, Febby melangkah pergi dari hadapan mereka. Jangan ditanya seberapa besar rasa sakit Febby. Sungguh perih seperti luka basah yang ditaburi garam.
Sesampainya di kamar, Febby langsung melompat ke tempat tidur dan menangis sejadi-jadinya. Dia tidak pernah berpikir akan mendapat perlakuan diskriminasi dari ibu mertuanya.
“Non Febby, sudah ya jangan nangis lagi. Tadi pipi Non memar, bibirnya juga ada luka. Sini Bibi kompres dan obati dulu,” ucap bibi yang menyiapkan air hangat dan handuk kecil.
“Kenapa mereka semua jahat denganku, Bi? Apa salah aku? padahal aku tidak pernah merebut hak mereka di rumah ini!” oceh Febby sambil sesenggukan.
“Benar Non. Mereka saja yang jahat dan tidak berperasaan. Non Febby tidak salah apa-apa kok. Non Febby itu orang baik, berbeda dengan mereka yang jahat semua. Bibi kesel liatnya. Pengen deh Bibi aduin ke Tuan Hendri Juan, biar Nyonya Laras diomeli.”
“Tidak usah Bi.”
“Tapi mereka harus tahu perlakuan Non Tantri dan Nyonya Laras. Mulutnya pada pedes kalau ngehina orang. Bibi juga suka diomelin sama mereka. Duuhh.. nyelekit banget kata-katanya, Non. Biarin saja kita aduin sama Tuan, biar kena batunya.”
“Pada dasarnya aku tidak mau mencari masalah, Bi. Sudahlah biarkan saja.”
“Hmm.. yasudah kalau itu mau Non Febby. Mari Non, biar Bibi obati dulu luka dan memarnya.”
*
Pukul 11.20 WIB
Ting
Pintu lift terbuka. Arga mulai melangkah keluar dan berjalan cepat menuju ruangan Kenny. Namun, tiba-tiba Kenny keluar dari ruang kerjanya.
“Mau apa kamu?” tanya Kenny ketika berpapasan dengan Arga yang hendak ke ruangannya.
“Eh Pak Kenny, ini dokumen yang tadi pagi. Sudah saya buat resume dan table prospeknya sesuai permintaan,” ucap Arga.
“Yasudah kau letakkan di mejaku. Nanti aku periksa setelah kembali dari luar,” jawab Kenny.
“Maaf, apa ada meeting hari ini dengan klien?”
“Umm.. yaa.. ya.. tentu saja. Saya ada perlu dan sudah janji saat makan siang. Cepat letakkan saja dokumen itu, kau membuang waktuku saja!”
Kenny pergi meninggalkan Arga menuju lift. Sementara itu Arga memasuki ruang Kenny dan meletakkan dokumen tersebut di atas meja.
“Lohh ini kan dompet Tuan Kenny. Bagaimana bisa dia keluar makan siang tanpa kartu debet dan kreditnya. Semua kartunya kan di sini. Ahh sudahlah, apa peduliku.”
Arga tak menghiraukan dompet Kenny yang tergeletak di kursi, tempat duduk Kenny. Dia membalikkan badan dan berjalan menuju pintu untuk segera meninggalkan ruangan.
“Ciihh.. mungkin saja dompet itu terjatuh saat dia buru-buru pergi tadi. Kalau tidak, kenapa bisa ada di kursi? Aduuh.. kenapa aku harus peduli? Tapi, jika dia tidak membawa dompetnya, dia pasti kebingungan saat bertemu klien. Hufft.. baiklah aku akan melupakan perlakuannya terhadapku. Mungkin dia masih belum jauh.”
Kenny meraih dompet tersebut dan segera meluncur keluar ruangan. Dia memasuki lift dan menekan tombol lobby untuk segera menyusul Kenny.
Sesampainya di lobby, Arga tidak menemukan Kenny. Bola matanya memutari seantero sudut ruangan. Sejurus kemudian, matanya menangkap Kenny yang berjalan di luar gedung hendak memasuki mobil. Secepat kilat Arga berlari menghampirinya.
Namun, usahanya sia-sia. Mobil Kenny telah beranjak meninggalkan gedung. Tanpa pikir panjang, Arga pun memasuki mobil miliknya dan mengejar mobil Kenny. Dia pikir, Kenny pasti sangat membutuhkan uangnya saat pergi meeting di luar bersama klien.
Arga berusaha mempercepat laju mobilnya untuk mengejar Kenny, tetapi laju mobil Kenny pun terus berjalan cepat.
“Jadi di sini dia meetingnya. baiklah aku cari parkiran dulu, baru aku susul dia ke dalam,” ucap Arga saat melihat Kenny memasuki gedung.
Belum sempat parkir, Arga dikejutkan dengan kedatangan wanita cantik dan seksi memasuki mobil Kenny. Tidak lama kemudian, mobil Kenny melanjutkan perjalanannya kembali.
“Whaat? Apa-apaan ini? dia dengan siapa tadi? Tidak, itu bukan klien perusahaan. Dia hanya menjemput seseorang,” oceh Arga terkejut.
****
‘Seharusnya sejak awal aku tidak peduli dengan dompet ini. Sial sekali sekarang apa yang harus aku lakukan?’Arga semakin gundah dengan posisinya. Klien perusahaan macam apa yang dijemput secara private seperti itu. Belum lagi gesture perempuan yang baru keluar dari gedung itu terlihat sangat menggoda.“Ahh sudah terlanjur. Lebih baik aku ikuti saja mobilnya, sebelum aku kembali ke kantor.”Tanpa berpikir panjang, Arga menancapkan pedal gas dan mengikuti kemana saja arah mobil Kenny melaju. Batinnya penasaran dengan apa yang dilakukan seorang CEO perusahaan tempatnya bekerja.Arga tahu betul bahwa Kenny seorang pria yang senang dikagumi oleh wanita, karena dia telah bekerja di perusahaan keluarga Maharendra sudah lama. Dia kira Kenny sudah sadar karena dirinya telah menikah, tetapi perkiraannya bertolak belakang dengan kenyataan.Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya mobil mereka memasuki area parkir sebuah restoran mewah bernuansa eropa yang terlihat sangat high class. Setelah turu
“Jawab sayang! Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Kenny penuh intonasi.Febby terdiam dan menundukkan kepala. Terlintas kembali di pikirannya tentang kejadian tadi siang. Dia dikeroyok oleh dua wanita yang tentu Kenny juga kenal.“Febby, kamu mendengarkan aku, kan?”“Sudahlah Mas, aku tidak apa-apa kok. Hanya kepentok meja dan kepleset tadi.”“Hmm..” Kenny mengerutkan keningnya.Sejurus kemudian, Kenny meraih dagu Febby dan memperhatikan wajah istrinya tersebut dengan detail.“Kamu mau jujur atau aku yang tanya orang rumah. Kalau tidak terjadi apa-apa, kenapa kamu begitu kuat ingin menyembunyikan wajahmu?”“I-itu karena aku tidak mau kamu khawatir. Sungguh aku tidak apa-apa, Mas.”“Apa orang rumah sudah tahu wajahmu bengkak dan luka begini?” tanya Kenny.Febby kembali mendadak diam mematung. Dia bingung apa yang harus dijawabnya.“Oke, sepertinya aku memang harus bertanya pada yang lain. Aku tidak mau ada orang berprasangka tentang rumah tangga kita,” terang Kenny sambil berjala
“Kenapa kamu diam saja, Bi? Ambil amplop ini. Memangnya kamu gak butuh uang, hah? Kamu bisa mendapatkan lebih banyak lagi jika mau mengikuti apa yang aku perintahkan,” Laras tersenyum sinis. “Ng-ngga Nyonya. Sa-saya tidak bisa menerimanya. Permisi,” ucap Bibi sambil mundur satu langkah. “Eh mau kemana? cepat ambil saja. Kita tahu yang kamu harapkan, Bi. Anggap saja ini bayaran karena kamu telah menjaga rahasia tentang kejadian tadi siang,” Tantri memanasi. “Tapi maaf, Bibi berkata seperti itu bukan untuk Nyonya Laras dan Non Tantri, apalagi Non Aurel. Bibi menjawab seperti itu karena permintaan Non Febby. Beliau yang meminta Bibi untuk tidak memberitahukan kejadian tadi siang. Non Febby juga tidak mau keluarga ini bertengkar makanya dia minta Bibi bilang kalau dirinya terjatuh di kamar mandi. Seharusnya Nyonya Laras dan Non Tantri berterima kasih pada Non Febby,” terang Bibi. “Apaaaa? Beraninya kamu berkata seperti itu.” “Maaf Nyonya. Non Febby minta Bibi untuk tidak memperpanjan
“Oh iya, untuk project itu sudah aku infokan pada manajer untuk mengurusnya.” Dena tampak kebingungan di seberang telepon. “Sayang, kamu ngomong apa sih?” “Betul-betul.. semua dokumen sedang disiapkan mereka. Mungkin siang ini sudah siap.” “Masss.. kamu bicara apa sih? Aku gak ngerti. Ohh okee.. kamu sedang bersama istrimu ya, si Febby?” ucap Dena seketika sadar. “Betul sekali.. yaa Pak..” “Mas air keran di apartemen aku mati. Ini gimana ya? kamu ke sini dong, sayang.” “Sebentar-sebentar.. suaranya terputus-putus, Pak. Saya cari signal dahulu,” ucap Kenny yang langsung memberi isyarat kepada Febby untuk keluar dan menjauh dari mobil. Febby pun dengan polos langsung menganggukan kepala tanpa curiga. ****“Masss kamu dengar aku ga?” “Hallo.. iya Sayang, aku sudah berada jauh dari Febby. Kenapa kamu meneleponku? Aku sudah mengirim pesan bahwa pagi ini aku akan mengantar istriku ke klinik.” “Ke klinik? Untuk apa? Gadis kampung itu hamil? Sayaaaang.. aku ga mau itu terjadiiiii!!
“Mau ngapain hayoo?” Kenny balik meledek.“Ihh jangan bercanda, Mas. Aku serius. Ayoo cepet Massss,” Dena menarik tangan Kenny ke dalam kamarnya.Tanpa menunggu lama, pintu kamar di tutup. Mereka segera berbaring di atas ranjang. Dena dan Kenny seperti kehilangan akal sehat saat melampiaskan emosi perasaannya. Seperti orang baru menemukan air mineral di padang pasir, haus berat.Baru pemanasan saja mereka sudah saling bersahutan tanpa malu, apalagi saat dipuncak kebahagiaan saat berhubungan. Dena dan Kenny saling memberikan kenikmatan sampai tubuh mereka terkulai lemas.“Gilaa kamu Dena, ini baru namanya hidup bahagia. Aku mencintaimu Denaaaa,” racau Kenny.“Mass please, hati-hati. Aku ga mau hamil. Jangan menyusahkan aku,” Dena memperingati.“Aku tahu, Sayang.”**Pukul 10.25 WIB“Hallo Arga, tolong bawakan salinan surat perjanjian dengan PT. Angkasa Merta di ruangan Kenny. Dia belum datang karena harus mengantar istrinya. Kamu masuk saja ke ruangannya, tidak apa-apa. Kemarin dia let
Waktu makan siang telah usai. Hendri Juan, Ronald dan Arga sudah berada di kantor. Sekarang mereka sedang berdiskusi mengenai hasil pertemuan dengan kolega bisnis mereka tadi. “Arga, kamu memang cerdas dalam menganalisa bisnis. Ternyata, project dan sistem yang kita sarankan kepada kolega disetujui dengan cepat. Ini benar-benar di luar dugaan,” ucap Hendri memuji karyawannya. “Betul Pah, Arga memang dari dulu sangat bisa diandalkan. Oh iya.. saya lupa, kamu sekolah bisnis ya dulu?” imbuh Ronald. “Tidak Pak. Dulu saya sekolah Teknik. Tetapi memang dari kecil saya senang berbisnis,” jawab Arga. “Hooo pantas. Paling tidak masih ada hubungannya. Teknik juga membutuhkan skill dan keterampilan dalam memecahkan masalah,” Ronald menanggapi. Tiba-tiba suara pintu di ketuk dari luar. Sejurus kemudian sorot mata mereka tertuju pada pintu besar di ruang meeting tersebut. “Siang semua, maaf saya baru bisa hadir,” sapa Kenny dengan raut wajah tanpa bersalah. Semua terdiam memandang Kenny. Sem
Febby menggelengkan kepalanya perlahan, namun rasa curiganya tidak dapat ditutupi. Sorot matanya terus memandangi gelagat Kenny.“Apa ada yang aneh dengan wajahku?” Kenny kembali bertanya.“Bukan wajahmu, Mas. Tapi aroma tubuhmu. Wangi parfum buah-buahan yang biasa dipakai oleh wan—.”“Oh iya, bagaimana hasil pemeriksaanmu tadi? Aku harus cepat mengetahuinya sebelum Papah bertanya padaku,” ucap Kenny mengalihkan pembicaraan.Rasa curiga Febby menjadi bertambah. Dia tidak ingin pertanyaannya dipotong. Dia butuh penjelasan dari Kenny agar hatinya tenang.“Mas, aroma tubuhmu bau strawberry. Laki-laki mana yang pakai parfume atau cream berbau strawberry?” tanya Febby cepat.“mana hasil pemeriksaanmu? Kok kamu malah memojokkan aku.”“Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Apa susahnya sih tinggal jawab?”“Jangan seperti anak kecil, Feb. Curiga terus bawaannya. Tidak ada bau strawberry di bajuku, apalagi ditubuhku. Kamu terlalu mengada-ada. Dari tadi Papah dan Bang Ronald tidak ada yang komplain sep
Wajah Febby berubah tegang, “ma-maksud Mas Kenny melakukan apa?”“Sayang, katakan saja padaku. Apakah ada yang mengganggumu? Keterangan ini tidak mungkin salah. Hasil rontgen ini cukup menjadi bukti. Syaraf di akar rambut kepalamu tampak tegang. Coba sini aku lihat,” oceh Kenny penasaran.“Gak usah Mas. Sudahlah, kita turun ke bawah sekarang yuk. Sudah lapar nih.”“Ke sini aku bilang!”“Ih Mas Kenny kok bicaranya keras.”“Makanya nurut kalau aku perintah.”Tanpa menunggu lama lagi, Kenny segera memeriksa kulit kepala istrinya perlahan.“Aduh sakit Mas,” keluh Febby cepat.“Di sini ya?”“Umm iya.”“Pantas saja. Ini ada luka cakaran! Berarti benar kamu berkelahi. Kenapa kamu tutup-tutupi?”“Aku sudah menduga kan dari awal bahwa luka itu bukan karena terjatuh atau terpeleset. Itu seperti lebam habis dipukul. Kamu berantem di mana sih? Hati-hati kalau keluar rumah, banyak orang stress,” lanjut Kenny.Seketika Febby menelan ludahnya singkat, lalu menyeringai. Dia tidak menyangka Kenny berp
Keesokkan hari pukul 08.30 WIB“Mas, hari ini kan hari libur, aku harap kamu cepat pulang setelah menemani Papah dari bandara,” ucap Febby di telepon.“Iya Sayang, aku juga ingin langsung pulang nanti. Aku ingin istirahat di rumah.”“Baiklah. Aku senang kalau Mas Kenny ada di rumah. Waktunya kita menghabiskan waktu bersama.”“Iya sayang. Mas juga senang ada didekatmu.”“Bagaimana kalau sorenya kita makan di luar? Sudah lama kita tidak jalan-jalan ke mall,” pinta Febby bersemangat.“Makan di mall? Masakan di rumah juga enak. Kamu mau makanan apapun tinggal minta sama pelayan kan bisa. Aku ingin istirahat dan malas keluar rumah,” Kenny menanggapi.“Yah Mas. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan berdua kalau bukan hari libur. Sudah lama sekali kita tidak menghabiskan waktu bersama.”“Tapi aku sedang lelah. Kau kan tahu setiap hari kerjaanku banyak.”“Hmm.. ya sudah kalau begitu. Ga apa-apa deh makan di rumah, yang penting kali ini makan bareng Mas Kenny.”“Gitu dong. Sudah dulu ya, aku dipang
“Papah tidak ada masalah pada siapapun. Papah hanya memperingati anggota keluarga kita yang tidak sesuai dengan aturan di rumah ini!” tegas Hendri Juan.“Tapi, apapun yang dilakukan Tantri salah saja di matamu. Sedangkan, apapun yang dilakukan Febby selalu dibenarkan, sekalipun salah pasti kamu bela,” Laras tidak mau kalah.“Jadi, menurutmu aku tidak adil? kamu ingin mencari-cari kesalahan dan kelemahanku, begitu?”Sejurus kemudian Laras terdiam sambil membuang wajahnya ke arah lain. Dia tidak berani melanjutkan lagi kata-katanya, tetapi bukan berarti dia menyerah dengan jalan pemikirannya tersebut.“Maaf Pah, Mah. Aku tidak bermaksud membuat gaduh di sini. Lain kali, aku akan lebih berhati-hati lagi,” sahut Febby pelan.“Ya memang seharusnya seperti itu dari dulu!” bentak Laras kesal.“Tapi kan orang gila itu yang menyerangku duluan,” Febby kembali tidak mau disalahkan.“Pasti kau yang memancing duluan, makanya kau diamuk,” tiba-tiba Tantri terpancing untuk bicara.“Aku? jadi, aku ya
Wajah Febby berubah tegang, “ma-maksud Mas Kenny melakukan apa?”“Sayang, katakan saja padaku. Apakah ada yang mengganggumu? Keterangan ini tidak mungkin salah. Hasil rontgen ini cukup menjadi bukti. Syaraf di akar rambut kepalamu tampak tegang. Coba sini aku lihat,” oceh Kenny penasaran.“Gak usah Mas. Sudahlah, kita turun ke bawah sekarang yuk. Sudah lapar nih.”“Ke sini aku bilang!”“Ih Mas Kenny kok bicaranya keras.”“Makanya nurut kalau aku perintah.”Tanpa menunggu lama lagi, Kenny segera memeriksa kulit kepala istrinya perlahan.“Aduh sakit Mas,” keluh Febby cepat.“Di sini ya?”“Umm iya.”“Pantas saja. Ini ada luka cakaran! Berarti benar kamu berkelahi. Kenapa kamu tutup-tutupi?”“Aku sudah menduga kan dari awal bahwa luka itu bukan karena terjatuh atau terpeleset. Itu seperti lebam habis dipukul. Kamu berantem di mana sih? Hati-hati kalau keluar rumah, banyak orang stress,” lanjut Kenny.Seketika Febby menelan ludahnya singkat, lalu menyeringai. Dia tidak menyangka Kenny berp
Febby menggelengkan kepalanya perlahan, namun rasa curiganya tidak dapat ditutupi. Sorot matanya terus memandangi gelagat Kenny.“Apa ada yang aneh dengan wajahku?” Kenny kembali bertanya.“Bukan wajahmu, Mas. Tapi aroma tubuhmu. Wangi parfum buah-buahan yang biasa dipakai oleh wan—.”“Oh iya, bagaimana hasil pemeriksaanmu tadi? Aku harus cepat mengetahuinya sebelum Papah bertanya padaku,” ucap Kenny mengalihkan pembicaraan.Rasa curiga Febby menjadi bertambah. Dia tidak ingin pertanyaannya dipotong. Dia butuh penjelasan dari Kenny agar hatinya tenang.“Mas, aroma tubuhmu bau strawberry. Laki-laki mana yang pakai parfume atau cream berbau strawberry?” tanya Febby cepat.“mana hasil pemeriksaanmu? Kok kamu malah memojokkan aku.”“Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Apa susahnya sih tinggal jawab?”“Jangan seperti anak kecil, Feb. Curiga terus bawaannya. Tidak ada bau strawberry di bajuku, apalagi ditubuhku. Kamu terlalu mengada-ada. Dari tadi Papah dan Bang Ronald tidak ada yang komplain sep
Waktu makan siang telah usai. Hendri Juan, Ronald dan Arga sudah berada di kantor. Sekarang mereka sedang berdiskusi mengenai hasil pertemuan dengan kolega bisnis mereka tadi. “Arga, kamu memang cerdas dalam menganalisa bisnis. Ternyata, project dan sistem yang kita sarankan kepada kolega disetujui dengan cepat. Ini benar-benar di luar dugaan,” ucap Hendri memuji karyawannya. “Betul Pah, Arga memang dari dulu sangat bisa diandalkan. Oh iya.. saya lupa, kamu sekolah bisnis ya dulu?” imbuh Ronald. “Tidak Pak. Dulu saya sekolah Teknik. Tetapi memang dari kecil saya senang berbisnis,” jawab Arga. “Hooo pantas. Paling tidak masih ada hubungannya. Teknik juga membutuhkan skill dan keterampilan dalam memecahkan masalah,” Ronald menanggapi. Tiba-tiba suara pintu di ketuk dari luar. Sejurus kemudian sorot mata mereka tertuju pada pintu besar di ruang meeting tersebut. “Siang semua, maaf saya baru bisa hadir,” sapa Kenny dengan raut wajah tanpa bersalah. Semua terdiam memandang Kenny. Sem
“Mau ngapain hayoo?” Kenny balik meledek.“Ihh jangan bercanda, Mas. Aku serius. Ayoo cepet Massss,” Dena menarik tangan Kenny ke dalam kamarnya.Tanpa menunggu lama, pintu kamar di tutup. Mereka segera berbaring di atas ranjang. Dena dan Kenny seperti kehilangan akal sehat saat melampiaskan emosi perasaannya. Seperti orang baru menemukan air mineral di padang pasir, haus berat.Baru pemanasan saja mereka sudah saling bersahutan tanpa malu, apalagi saat dipuncak kebahagiaan saat berhubungan. Dena dan Kenny saling memberikan kenikmatan sampai tubuh mereka terkulai lemas.“Gilaa kamu Dena, ini baru namanya hidup bahagia. Aku mencintaimu Denaaaa,” racau Kenny.“Mass please, hati-hati. Aku ga mau hamil. Jangan menyusahkan aku,” Dena memperingati.“Aku tahu, Sayang.”**Pukul 10.25 WIB“Hallo Arga, tolong bawakan salinan surat perjanjian dengan PT. Angkasa Merta di ruangan Kenny. Dia belum datang karena harus mengantar istrinya. Kamu masuk saja ke ruangannya, tidak apa-apa. Kemarin dia let
“Oh iya, untuk project itu sudah aku infokan pada manajer untuk mengurusnya.” Dena tampak kebingungan di seberang telepon. “Sayang, kamu ngomong apa sih?” “Betul-betul.. semua dokumen sedang disiapkan mereka. Mungkin siang ini sudah siap.” “Masss.. kamu bicara apa sih? Aku gak ngerti. Ohh okee.. kamu sedang bersama istrimu ya, si Febby?” ucap Dena seketika sadar. “Betul sekali.. yaa Pak..” “Mas air keran di apartemen aku mati. Ini gimana ya? kamu ke sini dong, sayang.” “Sebentar-sebentar.. suaranya terputus-putus, Pak. Saya cari signal dahulu,” ucap Kenny yang langsung memberi isyarat kepada Febby untuk keluar dan menjauh dari mobil. Febby pun dengan polos langsung menganggukan kepala tanpa curiga. ****“Masss kamu dengar aku ga?” “Hallo.. iya Sayang, aku sudah berada jauh dari Febby. Kenapa kamu meneleponku? Aku sudah mengirim pesan bahwa pagi ini aku akan mengantar istriku ke klinik.” “Ke klinik? Untuk apa? Gadis kampung itu hamil? Sayaaaang.. aku ga mau itu terjadiiiii!!
“Kenapa kamu diam saja, Bi? Ambil amplop ini. Memangnya kamu gak butuh uang, hah? Kamu bisa mendapatkan lebih banyak lagi jika mau mengikuti apa yang aku perintahkan,” Laras tersenyum sinis. “Ng-ngga Nyonya. Sa-saya tidak bisa menerimanya. Permisi,” ucap Bibi sambil mundur satu langkah. “Eh mau kemana? cepat ambil saja. Kita tahu yang kamu harapkan, Bi. Anggap saja ini bayaran karena kamu telah menjaga rahasia tentang kejadian tadi siang,” Tantri memanasi. “Tapi maaf, Bibi berkata seperti itu bukan untuk Nyonya Laras dan Non Tantri, apalagi Non Aurel. Bibi menjawab seperti itu karena permintaan Non Febby. Beliau yang meminta Bibi untuk tidak memberitahukan kejadian tadi siang. Non Febby juga tidak mau keluarga ini bertengkar makanya dia minta Bibi bilang kalau dirinya terjatuh di kamar mandi. Seharusnya Nyonya Laras dan Non Tantri berterima kasih pada Non Febby,” terang Bibi. “Apaaaa? Beraninya kamu berkata seperti itu.” “Maaf Nyonya. Non Febby minta Bibi untuk tidak memperpanjan
“Jawab sayang! Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Kenny penuh intonasi.Febby terdiam dan menundukkan kepala. Terlintas kembali di pikirannya tentang kejadian tadi siang. Dia dikeroyok oleh dua wanita yang tentu Kenny juga kenal.“Febby, kamu mendengarkan aku, kan?”“Sudahlah Mas, aku tidak apa-apa kok. Hanya kepentok meja dan kepleset tadi.”“Hmm..” Kenny mengerutkan keningnya.Sejurus kemudian, Kenny meraih dagu Febby dan memperhatikan wajah istrinya tersebut dengan detail.“Kamu mau jujur atau aku yang tanya orang rumah. Kalau tidak terjadi apa-apa, kenapa kamu begitu kuat ingin menyembunyikan wajahmu?”“I-itu karena aku tidak mau kamu khawatir. Sungguh aku tidak apa-apa, Mas.”“Apa orang rumah sudah tahu wajahmu bengkak dan luka begini?” tanya Kenny.Febby kembali mendadak diam mematung. Dia bingung apa yang harus dijawabnya.“Oke, sepertinya aku memang harus bertanya pada yang lain. Aku tidak mau ada orang berprasangka tentang rumah tangga kita,” terang Kenny sambil berjala