“Kenapa kamu diam saja, Bi? Ambil amplop ini. Memangnya kamu gak butuh uang, hah? Kamu bisa mendapatkan lebih banyak lagi jika mau mengikuti apa yang aku perintahkan,” Laras tersenyum sinis.
“Ng-ngga Nyonya. Sa-saya tidak bisa menerimanya. Permisi,” ucap Bibi sambil mundur satu langkah.
“Eh mau kemana? cepat ambil saja. Kita tahu yang kamu harapkan, Bi. Anggap saja ini bayaran karena kamu telah menjaga rahasia tentang kejadian tadi siang,” Tantri memanasi.
“Tapi maaf, Bibi berkata seperti itu bukan untuk Nyonya Laras dan Non Tantri, apalagi Non Aurel. Bibi menjawab seperti itu karena permintaan Non Febby. Beliau yang meminta Bibi untuk tidak memberitahukan kejadian tadi siang. Non Febby juga tidak mau keluarga ini bertengkar makanya dia minta Bibi bilang kalau dirinya terjatuh di kamar mandi. Seharusnya Nyonya Laras dan Non Tantri berterima kasih pada Non Febby,” terang Bibi.
“Apaaaa? Beraninya kamu berkata seperti itu.”
“Maaf Nyonya. Non Febby minta Bibi untuk tidak memperpanjang masalah itu. Dia yang mau Bibi bercerita seperti tadi.”
“Halaah.. gadis kampung penipu, seperti ular berbisa. Pasti ada rencana lain lagi dia, Mah.”
“Kenapa Non Tantri berpikir seperti itu? padahal Non Febby sudah baa – .”
“Baik maksudmu? Cuiih..” Tantri terpancing emosi.
“Cukupp! Oke, terserah kalau kamu menolak uang ini. Tapi ingat bahwa kamu di sini hanyalah seorang pem-ban-tu! pelayan pribadi gadis kampungan pembuat onar.”
“Saya paham Nyonya,” jawab Bibi.
“Sekarang keluar dari kamarku!” titah Laras kesal.
“Sana keluarrrr! Dasar pelayan bodoh,” Tantri menghardik.
Sontak Bibi melangkah cepat keluar kamar. Langkah kakinya gemetar karena tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti itu.
Bukan karena bentakan dan perkataan pedas dari kedua wanita itu yang membuat Bibi gemetar, itu sudah biasa dia terima. Tetapi uang suap yang hendak diberikan kepadanya. Bibi sangat tidak rela jika dirinya dianggap pengkhianat dan mengharapkan uang dari mereka.
‘Haduh.. haduh.. aku benar-benar gugup setiap kali menghadapi dua orang wanita itu. Mereka kenapa kejam sekali sama orang lain,’ ucap Bibi yang berjalan cepat menuju dapur.
Secepat kilat Bibi menuang air mineral digelas dan meneguknya. Paling tidak rasa takut dan cemas yang sempat hadir bisa kembali mereda.
“Bi, kok seperti orang ketakutan sih?” ucap Mirna.
“Huft.. kamu Mirna. Ngapain kamu disini? meja makan sudah dibereskan belum?” tanya Bibi.
“Ya sudah atuh. Hmm.. Habis dikasih amplop uang ya sama Nyonya Laras?”
“Heggh kamu? Dari mana kamu tahu? Nggalah, ngga aku ambil.”
“Nah itu dia, kenapa ga diambil saja? pasti isinya lumayan banyak tuh. Kerja itu harus pakai otak, Bi. Kalau ada yang menguntungkan kenapa harus ditolak.”
“Heh Mirna, dari mana kamu tahu soal itu? kamu nguping ya?” tanya Bibi menyelidik.
“Ohh.. Ummm.. itu.. ya aku kebetulan lewat kamar Nyonya, eh kedengeran deh,” jawab Mirna sambil menyeringai.
“Ahh pasti kamu sengaja. Untung tadi siang kamu disuruh belanja sama Nyonya, kalau tidak bisa terjadi perang dunia di rumah ini.”
“Emang gimana sih Bi jalan ceritanya. Kasih tahu dong. Aku pasti bakal tutup rapat mulutku,” pinta Mirna.
“Ga akan. Kamu itu terlalu ikut campur urusan orang. Kebiasaan tukang nguping itu ga baik. Sudah ah, aku mau ke Non Febby, mungkin ada yang dibutuhkannya,” oceh Bibi yang langsung berjalan menjauhi Mirna.
“Ihh Bibi cerita dulu atuh, terus gimana kelanjutannya. Hmm.. ga tahu apa kalau orang mau bergosip. Ehh yang jadi sumbernya malah kabur,” keluh Mirna.
**
Keesokkan harinya, Pukul 07.15 WIB
“Tantri, tumben sekali dari tadi kamu sibuk urusi Faris,” ucap Ronald.
“Anak kita ini tetap harus mendapatkan sentuhan seorang ibu kan, Bang.”
“Memang benar, tapi biasanya juga apa-apa sama Mba Mirna. Sedangkan kamu sibuk sendiri dengan duniamu. Sekarang kamu diminta Papah untuk menemani Febby ke klinik tuh,” ucap Ronald.
“Aduh Bang memangnya aku gak ada kerjaan lain harus mengantar dia berobat. Lagi pula dia kan punya laki. Suruh saja adikmu mengantarnya, si Kenny. Bilang sama Papah aku sedang mengurus putraku, Faris.”
“Kenny dan aku ada kerjaan di kantor. Mau survey lokasi dengan klien untuk project baru.”
“Yasudah sama Bibi saja, asisten pribadinya.”
“Kamu kan Kakak iparnya, seharusnya mengasihi dia juga.”
“Ngomong apa sih Bang. Aku kasihi dia kok. Kasihaaaan-ni malah! Udah deh aku gak mau nganterin si Febby. Dia itu suka membuat onar, ngeselin Bang.”
“Pembuat onar apanya? Dia selalu baik di rumah ini. Bukalah mata hatimu.”
“Jadi maksudmu, aku dan Mamah mata hatinya tertutup? Kenapa kamu selalu membela Febby? Kamu naksir sama dia yaa?”
“Apa-apaan sih? Ngaco semua ucapanmu. Sudahlah, ada Faris disini. Malu dilihat anak kalau kita bertengkar,” Ronald memperingati.
“Kamu yang mulai duluan, Bang. Lihat wajah Febby saja aku malas, eh malah disuruh anter ke klinik, isssshhh…”
Braakk..
Pintu kamar tertutup. Ucapan Tantri sama sekali tidak didengar oleh Ronald yang langsung memilih pergi keluar ruangan.
“Maaa..maamm.. maaa..”
“Sstt.. jangan ribut. Mamah pusing, Faris. Kalau Papah sudah berangkat, kamu sama Mba Mirna ya Sayang,” oceh Tantri.
Faris yang baru saja berumur dua tahun, memandang mamanya dengan polos. Dia hanya bisa bermain-main diatas kasur sambil terus berceloteh sendiri.
Sementara itu, di tempat yang berbeda Hendri Juan juga gagal meminta istrinya pergi menemani Febby untuk berobat. Laras beralasan bahwa dirinya juga ada acara bersama ibu-ibu pengusaha dan pejabat dalam forum pertemuan bulanan.
Sebenarnya baru diadakan minggu besok, tetapi Laras meminta diadakan hari ini. Tentu saja alasannya untuk menghindari perintah suami. Dari pada harus menemani menantu yang sangat dibencinya itu, lebih baik dia pergi dari rumah mengurus aktivitas pribadinya.
“Ya sudah Ken. Kamu mungkin menyusul saja nanti saat survey project. Antarkan dulu Febby ke klinik. Lakukan pengecekan dengan benar. Kenapa sampai pagi ini belum juga kempes bengkaknya itu? lukanya juga biar diobati agar tidak membekas,” titah Hendri Juan.
“Oke Pah, aku antar istriku dulu.”
“Aku sebenarnya tidak apa-apa kok, Pah. Biar dirumah saja diobati Bibi, nanti juga sembuh,” ucap Febby.
“Jangan Febby. Kamu itu terjatuh di kamar mandi. Itu berbahaya loh. Kita tidak tahu bagaimana kondisimu jika tidak diperiksa,” ucap Hendri Juan.
“Kalau begitu ayo Sayang kita berangkat sekarang. Setelah itu baru aku ke kantor,” potong Kenny.
Febby menganggukkan kepala dan mengikuti langkah Kenny menuju mobil sportnya. Sebenarnya Febby juga masih merasakan perih diwajahnya karena kemarin terbentur kursi akibat dorongan Aurel. Belum lagi tamparan dan jambakan kedua wanita itu membuat nyeri yang sampai sekarang masih terasa.
Kenny mulai menginjak pedal gas mobilnya. Jarak rumah sakit yang dituju tidak terlalu jauh dari rumah keluarga Maharendra. Mereka juga sebenarnya mempunyai dokter pribadi, namun terkadang jadwal praktek dokter mereka sangat padat.
“Sudah sampai Sayang, yuk turun. Dokter Beni sudah menunggu,” ucap Kenny.
“Iya Mas,” sahut Febby.
Ketika mereka hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba ponsel Kenny berdering. Sejurus kemudian, Kenny melihat layar ponsel dan mematung untuk beberapa saat.
“Mas, kenapa diam? ga diangkat?” tanya Febby polos.
“Umm.. ga usahlah, paling kerjaan.”
“Ga apa-apa Mas, siapa tahu perlu. Kenapa ga diangkat saja?”
“Sudahlah biarkan saja. Urusan kantor sudah ada yang handle, kok.”
“Kalau ada yang handle, kenapa masih meneleponmu? Coba sini aku yang jawab.”
“Ga usah Febby..!”
Namun, Febby justru mencoba meraih ponsel. “Biar mereka tahu bahwa Mas Kenny sedang bersama istri. Aku saja yang jawab teleponnya.”
“Tidak! Aku bilang tidak, ya tidak. Tidak sopan kamu memaksa aku seperti itu, Febby,” bentak Kenny.Deg!
Sontak Febby terdiam memandang suaminya tersebut. Dia tidak menyangka kalau Kenny bisa semarah itu.“Maaf Mas, maksudku sebenarnya baik. Kalau Mas Kenny terganggu, aku minta maaf,” ucap Febby perlahan.
“Umm.. ngga Sayang. Aku juga minta maaf karena terpancing. Di kantor memang sedang sibuk sekali, tapi aku tidak mau terganggu saat aku sedang bersamamu. Aku ingin maksimal saat ada waktu denganmu,” Kenny mulai merayu.
Sayangnya, telepon tersebut terus berdering berkali-kali.
Kelihaian Kenny menutupi rasa gugup membuat Febby tidak curiga sama sekali. Namun, sorot mata Febby yang terus mengintimidasi pergerakan ponsel di tangan Kenny, membuat lelaki tersebut terganggu juga.“Hallo..” Akhirnya Kenny menjawab panggilan telepon.
“Hallo Sayang, kenapa lama sekali kamu menjawabnya?” Suara Dena dari seberang telepon.
"Aku..."
“Oh iya, untuk project itu sudah aku infokan pada manajer untuk mengurusnya.” Dena tampak kebingungan di seberang telepon. “Sayang, kamu ngomong apa sih?” “Betul-betul.. semua dokumen sedang disiapkan mereka. Mungkin siang ini sudah siap.” “Masss.. kamu bicara apa sih? Aku gak ngerti. Ohh okee.. kamu sedang bersama istrimu ya, si Febby?” ucap Dena seketika sadar. “Betul sekali.. yaa Pak..” “Mas air keran di apartemen aku mati. Ini gimana ya? kamu ke sini dong, sayang.” “Sebentar-sebentar.. suaranya terputus-putus, Pak. Saya cari signal dahulu,” ucap Kenny yang langsung memberi isyarat kepada Febby untuk keluar dan menjauh dari mobil. Febby pun dengan polos langsung menganggukan kepala tanpa curiga. ****“Masss kamu dengar aku ga?” “Hallo.. iya Sayang, aku sudah berada jauh dari Febby. Kenapa kamu meneleponku? Aku sudah mengirim pesan bahwa pagi ini aku akan mengantar istriku ke klinik.” “Ke klinik? Untuk apa? Gadis kampung itu hamil? Sayaaaang.. aku ga mau itu terjadiiiii!!
“Mau ngapain hayoo?” Kenny balik meledek.“Ihh jangan bercanda, Mas. Aku serius. Ayoo cepet Massss,” Dena menarik tangan Kenny ke dalam kamarnya.Tanpa menunggu lama, pintu kamar di tutup. Mereka segera berbaring di atas ranjang. Dena dan Kenny seperti kehilangan akal sehat saat melampiaskan emosi perasaannya. Seperti orang baru menemukan air mineral di padang pasir, haus berat.Baru pemanasan saja mereka sudah saling bersahutan tanpa malu, apalagi saat dipuncak kebahagiaan saat berhubungan. Dena dan Kenny saling memberikan kenikmatan sampai tubuh mereka terkulai lemas.“Gilaa kamu Dena, ini baru namanya hidup bahagia. Aku mencintaimu Denaaaa,” racau Kenny.“Mass please, hati-hati. Aku ga mau hamil. Jangan menyusahkan aku,” Dena memperingati.“Aku tahu, Sayang.”**Pukul 10.25 WIB“Hallo Arga, tolong bawakan salinan surat perjanjian dengan PT. Angkasa Merta di ruangan Kenny. Dia belum datang karena harus mengantar istrinya. Kamu masuk saja ke ruangannya, tidak apa-apa. Kemarin dia let
Waktu makan siang telah usai. Hendri Juan, Ronald dan Arga sudah berada di kantor. Sekarang mereka sedang berdiskusi mengenai hasil pertemuan dengan kolega bisnis mereka tadi. “Arga, kamu memang cerdas dalam menganalisa bisnis. Ternyata, project dan sistem yang kita sarankan kepada kolega disetujui dengan cepat. Ini benar-benar di luar dugaan,” ucap Hendri memuji karyawannya. “Betul Pah, Arga memang dari dulu sangat bisa diandalkan. Oh iya.. saya lupa, kamu sekolah bisnis ya dulu?” imbuh Ronald. “Tidak Pak. Dulu saya sekolah Teknik. Tetapi memang dari kecil saya senang berbisnis,” jawab Arga. “Hooo pantas. Paling tidak masih ada hubungannya. Teknik juga membutuhkan skill dan keterampilan dalam memecahkan masalah,” Ronald menanggapi. Tiba-tiba suara pintu di ketuk dari luar. Sejurus kemudian sorot mata mereka tertuju pada pintu besar di ruang meeting tersebut. “Siang semua, maaf saya baru bisa hadir,” sapa Kenny dengan raut wajah tanpa bersalah. Semua terdiam memandang Kenny. Sem
Febby menggelengkan kepalanya perlahan, namun rasa curiganya tidak dapat ditutupi. Sorot matanya terus memandangi gelagat Kenny.“Apa ada yang aneh dengan wajahku?” Kenny kembali bertanya.“Bukan wajahmu, Mas. Tapi aroma tubuhmu. Wangi parfum buah-buahan yang biasa dipakai oleh wan—.”“Oh iya, bagaimana hasil pemeriksaanmu tadi? Aku harus cepat mengetahuinya sebelum Papah bertanya padaku,” ucap Kenny mengalihkan pembicaraan.Rasa curiga Febby menjadi bertambah. Dia tidak ingin pertanyaannya dipotong. Dia butuh penjelasan dari Kenny agar hatinya tenang.“Mas, aroma tubuhmu bau strawberry. Laki-laki mana yang pakai parfume atau cream berbau strawberry?” tanya Febby cepat.“mana hasil pemeriksaanmu? Kok kamu malah memojokkan aku.”“Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Apa susahnya sih tinggal jawab?”“Jangan seperti anak kecil, Feb. Curiga terus bawaannya. Tidak ada bau strawberry di bajuku, apalagi ditubuhku. Kamu terlalu mengada-ada. Dari tadi Papah dan Bang Ronald tidak ada yang komplain sep
Wajah Febby berubah tegang, “ma-maksud Mas Kenny melakukan apa?”“Sayang, katakan saja padaku. Apakah ada yang mengganggumu? Keterangan ini tidak mungkin salah. Hasil rontgen ini cukup menjadi bukti. Syaraf di akar rambut kepalamu tampak tegang. Coba sini aku lihat,” oceh Kenny penasaran.“Gak usah Mas. Sudahlah, kita turun ke bawah sekarang yuk. Sudah lapar nih.”“Ke sini aku bilang!”“Ih Mas Kenny kok bicaranya keras.”“Makanya nurut kalau aku perintah.”Tanpa menunggu lama lagi, Kenny segera memeriksa kulit kepala istrinya perlahan.“Aduh sakit Mas,” keluh Febby cepat.“Di sini ya?”“Umm iya.”“Pantas saja. Ini ada luka cakaran! Berarti benar kamu berkelahi. Kenapa kamu tutup-tutupi?”“Aku sudah menduga kan dari awal bahwa luka itu bukan karena terjatuh atau terpeleset. Itu seperti lebam habis dipukul. Kamu berantem di mana sih? Hati-hati kalau keluar rumah, banyak orang stress,” lanjut Kenny.Seketika Febby menelan ludahnya singkat, lalu menyeringai. Dia tidak menyangka Kenny berp
“Papah tidak ada masalah pada siapapun. Papah hanya memperingati anggota keluarga kita yang tidak sesuai dengan aturan di rumah ini!” tegas Hendri Juan.“Tapi, apapun yang dilakukan Tantri salah saja di matamu. Sedangkan, apapun yang dilakukan Febby selalu dibenarkan, sekalipun salah pasti kamu bela,” Laras tidak mau kalah.“Jadi, menurutmu aku tidak adil? kamu ingin mencari-cari kesalahan dan kelemahanku, begitu?”Sejurus kemudian Laras terdiam sambil membuang wajahnya ke arah lain. Dia tidak berani melanjutkan lagi kata-katanya, tetapi bukan berarti dia menyerah dengan jalan pemikirannya tersebut.“Maaf Pah, Mah. Aku tidak bermaksud membuat gaduh di sini. Lain kali, aku akan lebih berhati-hati lagi,” sahut Febby pelan.“Ya memang seharusnya seperti itu dari dulu!” bentak Laras kesal.“Tapi kan orang gila itu yang menyerangku duluan,” Febby kembali tidak mau disalahkan.“Pasti kau yang memancing duluan, makanya kau diamuk,” tiba-tiba Tantri terpancing untuk bicara.“Aku? jadi, aku ya
Keesokkan hari pukul 08.30 WIB“Mas, hari ini kan hari libur, aku harap kamu cepat pulang setelah menemani Papah dari bandara,” ucap Febby di telepon.“Iya Sayang, aku juga ingin langsung pulang nanti. Aku ingin istirahat di rumah.”“Baiklah. Aku senang kalau Mas Kenny ada di rumah. Waktunya kita menghabiskan waktu bersama.”“Iya sayang. Mas juga senang ada didekatmu.”“Bagaimana kalau sorenya kita makan di luar? Sudah lama kita tidak jalan-jalan ke mall,” pinta Febby bersemangat.“Makan di mall? Masakan di rumah juga enak. Kamu mau makanan apapun tinggal minta sama pelayan kan bisa. Aku ingin istirahat dan malas keluar rumah,” Kenny menanggapi.“Yah Mas. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan berdua kalau bukan hari libur. Sudah lama sekali kita tidak menghabiskan waktu bersama.”“Tapi aku sedang lelah. Kau kan tahu setiap hari kerjaanku banyak.”“Hmm.. ya sudah kalau begitu. Ga apa-apa deh makan di rumah, yang penting kali ini makan bareng Mas Kenny.”“Gitu dong. Sudah dulu ya, aku dipang
"Hallo, Febby. Apa kamu sedang sibuk? Ada sesuatu yang ingin aku katakan,” tanya Maya kalut.“Ngga kok. Kenapa memangnya May? Kok seperti orang dikejar hantu,” jawab Febby ditelepon.“Aduh Feb, gimana ya aku ngomongnya. Umm..”“Ada apa sih May? Ngomong aja. Jangan buat aku penasaran.”“Aku melihat suamimu berduaan dengan wanita lain di restoran tempat kerjaku.”“Mas Kenny? Agh mana mungkin. Kamu salah lihat kali,” respon Febby sambil menelan ludah.“Gak mungkin aku salah, Feb. Aku sudah memastikan, sampai aku pura-pura berjalan melewatinya hanya untuk memastikan wajah Kenny. Aku juga tidak mau salah memberikan informasi kepadamu.”Sejenak Febby terdiam. Dia tidak tahu harus melanjutkan kata-kata penyangkalan untuk suaminya atau percaya begitu saja pada Maya, sahabat karibnya.“Nah, ini dia aku foto Feb. Silakan kamu pastikan sendiri. Maaf ya Feb, aku harus memberitahumu info ini. Aku hanya ingin kamu sadar bahwa kita memang beda kasta dengan orang kaya raya semacam suamimu itu. Mereka
Keesokkan hari pukul 08.30 WIB“Mas, hari ini kan hari libur, aku harap kamu cepat pulang setelah menemani Papah dari bandara,” ucap Febby di telepon.“Iya Sayang, aku juga ingin langsung pulang nanti. Aku ingin istirahat di rumah.”“Baiklah. Aku senang kalau Mas Kenny ada di rumah. Waktunya kita menghabiskan waktu bersama.”“Iya sayang. Mas juga senang ada didekatmu.”“Bagaimana kalau sorenya kita makan di luar? Sudah lama kita tidak jalan-jalan ke mall,” pinta Febby bersemangat.“Makan di mall? Masakan di rumah juga enak. Kamu mau makanan apapun tinggal minta sama pelayan kan bisa. Aku ingin istirahat dan malas keluar rumah,” Kenny menanggapi.“Yah Mas. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan berdua kalau bukan hari libur. Sudah lama sekali kita tidak menghabiskan waktu bersama.”“Tapi aku sedang lelah. Kau kan tahu setiap hari kerjaanku banyak.”“Hmm.. ya sudah kalau begitu. Ga apa-apa deh makan di rumah, yang penting kali ini makan bareng Mas Kenny.”“Gitu dong. Sudah dulu ya, aku dipang
“Papah tidak ada masalah pada siapapun. Papah hanya memperingati anggota keluarga kita yang tidak sesuai dengan aturan di rumah ini!” tegas Hendri Juan.“Tapi, apapun yang dilakukan Tantri salah saja di matamu. Sedangkan, apapun yang dilakukan Febby selalu dibenarkan, sekalipun salah pasti kamu bela,” Laras tidak mau kalah.“Jadi, menurutmu aku tidak adil? kamu ingin mencari-cari kesalahan dan kelemahanku, begitu?”Sejurus kemudian Laras terdiam sambil membuang wajahnya ke arah lain. Dia tidak berani melanjutkan lagi kata-katanya, tetapi bukan berarti dia menyerah dengan jalan pemikirannya tersebut.“Maaf Pah, Mah. Aku tidak bermaksud membuat gaduh di sini. Lain kali, aku akan lebih berhati-hati lagi,” sahut Febby pelan.“Ya memang seharusnya seperti itu dari dulu!” bentak Laras kesal.“Tapi kan orang gila itu yang menyerangku duluan,” Febby kembali tidak mau disalahkan.“Pasti kau yang memancing duluan, makanya kau diamuk,” tiba-tiba Tantri terpancing untuk bicara.“Aku? jadi, aku ya
Wajah Febby berubah tegang, “ma-maksud Mas Kenny melakukan apa?”“Sayang, katakan saja padaku. Apakah ada yang mengganggumu? Keterangan ini tidak mungkin salah. Hasil rontgen ini cukup menjadi bukti. Syaraf di akar rambut kepalamu tampak tegang. Coba sini aku lihat,” oceh Kenny penasaran.“Gak usah Mas. Sudahlah, kita turun ke bawah sekarang yuk. Sudah lapar nih.”“Ke sini aku bilang!”“Ih Mas Kenny kok bicaranya keras.”“Makanya nurut kalau aku perintah.”Tanpa menunggu lama lagi, Kenny segera memeriksa kulit kepala istrinya perlahan.“Aduh sakit Mas,” keluh Febby cepat.“Di sini ya?”“Umm iya.”“Pantas saja. Ini ada luka cakaran! Berarti benar kamu berkelahi. Kenapa kamu tutup-tutupi?”“Aku sudah menduga kan dari awal bahwa luka itu bukan karena terjatuh atau terpeleset. Itu seperti lebam habis dipukul. Kamu berantem di mana sih? Hati-hati kalau keluar rumah, banyak orang stress,” lanjut Kenny.Seketika Febby menelan ludahnya singkat, lalu menyeringai. Dia tidak menyangka Kenny berp
Febby menggelengkan kepalanya perlahan, namun rasa curiganya tidak dapat ditutupi. Sorot matanya terus memandangi gelagat Kenny.“Apa ada yang aneh dengan wajahku?” Kenny kembali bertanya.“Bukan wajahmu, Mas. Tapi aroma tubuhmu. Wangi parfum buah-buahan yang biasa dipakai oleh wan—.”“Oh iya, bagaimana hasil pemeriksaanmu tadi? Aku harus cepat mengetahuinya sebelum Papah bertanya padaku,” ucap Kenny mengalihkan pembicaraan.Rasa curiga Febby menjadi bertambah. Dia tidak ingin pertanyaannya dipotong. Dia butuh penjelasan dari Kenny agar hatinya tenang.“Mas, aroma tubuhmu bau strawberry. Laki-laki mana yang pakai parfume atau cream berbau strawberry?” tanya Febby cepat.“mana hasil pemeriksaanmu? Kok kamu malah memojokkan aku.”“Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Apa susahnya sih tinggal jawab?”“Jangan seperti anak kecil, Feb. Curiga terus bawaannya. Tidak ada bau strawberry di bajuku, apalagi ditubuhku. Kamu terlalu mengada-ada. Dari tadi Papah dan Bang Ronald tidak ada yang komplain sep
Waktu makan siang telah usai. Hendri Juan, Ronald dan Arga sudah berada di kantor. Sekarang mereka sedang berdiskusi mengenai hasil pertemuan dengan kolega bisnis mereka tadi. “Arga, kamu memang cerdas dalam menganalisa bisnis. Ternyata, project dan sistem yang kita sarankan kepada kolega disetujui dengan cepat. Ini benar-benar di luar dugaan,” ucap Hendri memuji karyawannya. “Betul Pah, Arga memang dari dulu sangat bisa diandalkan. Oh iya.. saya lupa, kamu sekolah bisnis ya dulu?” imbuh Ronald. “Tidak Pak. Dulu saya sekolah Teknik. Tetapi memang dari kecil saya senang berbisnis,” jawab Arga. “Hooo pantas. Paling tidak masih ada hubungannya. Teknik juga membutuhkan skill dan keterampilan dalam memecahkan masalah,” Ronald menanggapi. Tiba-tiba suara pintu di ketuk dari luar. Sejurus kemudian sorot mata mereka tertuju pada pintu besar di ruang meeting tersebut. “Siang semua, maaf saya baru bisa hadir,” sapa Kenny dengan raut wajah tanpa bersalah. Semua terdiam memandang Kenny. Sem
“Mau ngapain hayoo?” Kenny balik meledek.“Ihh jangan bercanda, Mas. Aku serius. Ayoo cepet Massss,” Dena menarik tangan Kenny ke dalam kamarnya.Tanpa menunggu lama, pintu kamar di tutup. Mereka segera berbaring di atas ranjang. Dena dan Kenny seperti kehilangan akal sehat saat melampiaskan emosi perasaannya. Seperti orang baru menemukan air mineral di padang pasir, haus berat.Baru pemanasan saja mereka sudah saling bersahutan tanpa malu, apalagi saat dipuncak kebahagiaan saat berhubungan. Dena dan Kenny saling memberikan kenikmatan sampai tubuh mereka terkulai lemas.“Gilaa kamu Dena, ini baru namanya hidup bahagia. Aku mencintaimu Denaaaa,” racau Kenny.“Mass please, hati-hati. Aku ga mau hamil. Jangan menyusahkan aku,” Dena memperingati.“Aku tahu, Sayang.”**Pukul 10.25 WIB“Hallo Arga, tolong bawakan salinan surat perjanjian dengan PT. Angkasa Merta di ruangan Kenny. Dia belum datang karena harus mengantar istrinya. Kamu masuk saja ke ruangannya, tidak apa-apa. Kemarin dia let
“Oh iya, untuk project itu sudah aku infokan pada manajer untuk mengurusnya.” Dena tampak kebingungan di seberang telepon. “Sayang, kamu ngomong apa sih?” “Betul-betul.. semua dokumen sedang disiapkan mereka. Mungkin siang ini sudah siap.” “Masss.. kamu bicara apa sih? Aku gak ngerti. Ohh okee.. kamu sedang bersama istrimu ya, si Febby?” ucap Dena seketika sadar. “Betul sekali.. yaa Pak..” “Mas air keran di apartemen aku mati. Ini gimana ya? kamu ke sini dong, sayang.” “Sebentar-sebentar.. suaranya terputus-putus, Pak. Saya cari signal dahulu,” ucap Kenny yang langsung memberi isyarat kepada Febby untuk keluar dan menjauh dari mobil. Febby pun dengan polos langsung menganggukan kepala tanpa curiga. ****“Masss kamu dengar aku ga?” “Hallo.. iya Sayang, aku sudah berada jauh dari Febby. Kenapa kamu meneleponku? Aku sudah mengirim pesan bahwa pagi ini aku akan mengantar istriku ke klinik.” “Ke klinik? Untuk apa? Gadis kampung itu hamil? Sayaaaang.. aku ga mau itu terjadiiiii!!
“Kenapa kamu diam saja, Bi? Ambil amplop ini. Memangnya kamu gak butuh uang, hah? Kamu bisa mendapatkan lebih banyak lagi jika mau mengikuti apa yang aku perintahkan,” Laras tersenyum sinis. “Ng-ngga Nyonya. Sa-saya tidak bisa menerimanya. Permisi,” ucap Bibi sambil mundur satu langkah. “Eh mau kemana? cepat ambil saja. Kita tahu yang kamu harapkan, Bi. Anggap saja ini bayaran karena kamu telah menjaga rahasia tentang kejadian tadi siang,” Tantri memanasi. “Tapi maaf, Bibi berkata seperti itu bukan untuk Nyonya Laras dan Non Tantri, apalagi Non Aurel. Bibi menjawab seperti itu karena permintaan Non Febby. Beliau yang meminta Bibi untuk tidak memberitahukan kejadian tadi siang. Non Febby juga tidak mau keluarga ini bertengkar makanya dia minta Bibi bilang kalau dirinya terjatuh di kamar mandi. Seharusnya Nyonya Laras dan Non Tantri berterima kasih pada Non Febby,” terang Bibi. “Apaaaa? Beraninya kamu berkata seperti itu.” “Maaf Nyonya. Non Febby minta Bibi untuk tidak memperpanjan
“Jawab sayang! Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Kenny penuh intonasi.Febby terdiam dan menundukkan kepala. Terlintas kembali di pikirannya tentang kejadian tadi siang. Dia dikeroyok oleh dua wanita yang tentu Kenny juga kenal.“Febby, kamu mendengarkan aku, kan?”“Sudahlah Mas, aku tidak apa-apa kok. Hanya kepentok meja dan kepleset tadi.”“Hmm..” Kenny mengerutkan keningnya.Sejurus kemudian, Kenny meraih dagu Febby dan memperhatikan wajah istrinya tersebut dengan detail.“Kamu mau jujur atau aku yang tanya orang rumah. Kalau tidak terjadi apa-apa, kenapa kamu begitu kuat ingin menyembunyikan wajahmu?”“I-itu karena aku tidak mau kamu khawatir. Sungguh aku tidak apa-apa, Mas.”“Apa orang rumah sudah tahu wajahmu bengkak dan luka begini?” tanya Kenny.Febby kembali mendadak diam mematung. Dia bingung apa yang harus dijawabnya.“Oke, sepertinya aku memang harus bertanya pada yang lain. Aku tidak mau ada orang berprasangka tentang rumah tangga kita,” terang Kenny sambil berjala