“Jawab sayang! Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Kenny penuh intonasi.
Febby terdiam dan menundukkan kepala. Terlintas kembali di pikirannya tentang kejadian tadi siang. Dia dikeroyok oleh dua wanita yang tentu Kenny juga kenal.
“Febby, kamu mendengarkan aku, kan?”
“Sudahlah Mas, aku tidak apa-apa kok. Hanya kepentok meja dan kepleset tadi.”
“Hmm..” Kenny mengerutkan keningnya.
Sejurus kemudian, Kenny meraih dagu Febby dan memperhatikan wajah istrinya tersebut dengan detail.
“Kamu mau jujur atau aku yang tanya orang rumah. Kalau tidak terjadi apa-apa, kenapa kamu begitu kuat ingin menyembunyikan wajahmu?”
“I-itu karena aku tidak mau kamu khawatir. Sungguh aku tidak apa-apa, Mas.”
“Apa orang rumah sudah tahu wajahmu bengkak dan luka begini?” tanya Kenny.
Febby kembali mendadak diam mematung. Dia bingung apa yang harus dijawabnya.
“Oke, sepertinya aku memang harus bertanya pada yang lain. Aku tidak mau ada orang berprasangka tentang rumah tangga kita,” terang Kenny sambil berjalan menuju pintu kamar untuk keluar.
“Mas.. Mas Kenny tunggu, Masss..”
Tanpa menghiraukan panggilan Febby, langkah kaki Kenny terus menjauh. Dia menuruni anak tangga dengan cepat.
Terlihat di ruang makan, anggota keluarga Maharendra telah berkumpul sambil menikmati makan malam bersama. Memang sangat jarang mereka dapat melakukan hal seperti ini, mengingat kesibukan mereka yang berbeda-beda dan menyita waktu.
“Kenny, Papah pikir kamu tidak turun untuk makan,” ucap Hendri Juan.
“Makanlah, Nak. Kamu pasti lelah seharian bekerja,” imbuh Laras.
“Febby tidak ikut turun, Ken?” tanya Ronald sambil meneguk air minum.
Kenny menarik kursi dan mulai menuang makanan di atas piringnya. Dia menatap satu persatu anggota keluarga yang melingkar di meja makan.
“Ada apa?” tanya Ronald heran.
“Febby kurang enak badan. Ada yang tahu kenapa wajah Febby bengkak dan terdapat luka-luka?” tanya Kenny.
“Uhuk.. uhuuk.. luka? tadi siang Mamah lihat wajah istrimu baik-baik saja,” ucap Laras sambil menghentikan makannya.
“Seperti habis bertengkar dan dipukuli seseorang. Aku tahu betul efek pada kulit wajah seperti apa,” Kenny menegaskan.
Sontak Ronald melirik kearah Tantri yang masih asik mengunyah makanan, tanpa mempedulikan pertanyaan Kenny.
Entah mengapa suasana hati Ronald menjadi tidak tenang. Dia tahu betul bagaimana sikap Tantri pada adik iparnya yang selalu sinis dan kasar.
“Tantri, apa seharian ini kamu bersama Febby?” tanya Ronald.
“A-aku..? ya tentu saja tidak. Maksudmu apa bertanya seperti itu, Mas?”
“Kenapa kamu marah? Aku hanya bertanya.”
“Istrimu bersama Mamah ke salon tadi siang, Ronald,” Laras mengambil alih.
“Nah, kamu sudah mendengar apa kata Mamah, kan.”
“Biii.. Bibiiii..” teriak Hendri Juan.
Sejurus kemudian Laras dan Tantri saling melempar pandang. Wajahnya mendadak tegang karena mereka menyadari bahaya jika Hendri Juan mengetahui apa yang terjadi pada Febby, pastilah riwayat mereka tamat.
Laras dan Tantri terlihat gusar dan terus berpura-pura sibuk dengan makanannya. Beberapa kali Tantri menelan ludah dan meneguk air mineral di hadapannya, hanya untuk meredakan ketegangan.
“Iya Tuan..”
“Bi, tolong jawab jujur. Saya ingin kamu jelaskan apa yang terjadi pada Febby saat kami semua tidak ada di rumah?” tanya Hendri tegas.
Suasana menjadi hening. Mereka menunggu jawaban dari bibi yang sudah pasti tahu kronologi kejadiannya.
Kenny meletakkan sendok dan garpu, lalu menopang dagu seraya menunggu jawaban dari asisten pribadi istrinya tersebut.
Sorot mata bibi beralih ke arah Laras dan Tantri, lalu kembali kepada Hendri Juan.
“Tadi siang.. Umm..”
“Iya kenapa istriku tadi siang, Bi?” Kenny tidak sabar mendengarnya.
“Tadi siang Nona Febby terpeleset di kamar mandi, Tuan,” jawab bibi sambil menundukkan kepala.
“Jadi terjatuh, kok bisa? Bicaralah yang jelas, Bi!” Kenny mulai mendesak.
“Sabar Ken. Itu Bibi lagi menjelaskan,” ucap Ronald.
“Non Febby terburu-buru memasuki kamar mandi. Saat itu Bibi sedang mengambil makanan di bawah. Ketika Bibi kembali ke kamar, Non Febby sudah terduduk di lantai. Katanya habis jatuh, kepalanya kepentok tembok dan washtafel, Tuan.”
Seketika Laras dan Tantri menghembuskan napas lega secara bersamaan. Ketegangan yang sempat dirasakan tadi, mulai berangsur normal. Jari-jari tangannya yang dingin kembali menghangat dan sesak di dada mereka mulai mereda.
‘Ternyata pembantu ini bisa juga bersandiwara. Aku pikir dia akan berkata jujur. Entahlah, apa yang sudah diberikan oleh Mamah sampai Bibi bisa mengarang bebas,’ gumam Tantri sambil tersenyum sinis.
“Ya mungkin itu yang membuat wajahnya terluka, Ken,” Ronald menanggapi.
“Iya mungkin, Bang.”
“Ya sudah kita lanjutkan makan lagi. Nanti juga sembuh kok,” potong Laras.
“Besok kalau masih bengkak, bawa saja istrimu ke klinik biar diobati. Rontgen juga, takutnya terjadi apa-apa pada tulang wajahnya,” titah Hendri Juan.
“Ah tidak perlu itu, pah. Gak lama juga pasti sembuh. Pakai salep dan kompres saja cukup,” ucap Laras.
“Tidak-tidak, besok bawa Febby ke klinik atau rumah sakit untuk rontgen. Mungkin Mamah atau Tantri bisa temani kalau Kenny sibuk,” titah Hendri.
Sontak bola mata Laras dan Tantri membesar. Bagaimana mungkin mereka mau berbesar hati mengantarkan orang yang paling dibenci di keluarga Maharendra untuk berobat.
“Bi, lain kali tolong jaga Febby. Bibi kan bekerja disini untuk menjadi asisten pribadi istriku, jadi beritahu aku jika terjadi sesuatu padanya. Jangan sampai hal ini terulang kembali.”
“Baik Tuan Kenny, maafkan Bibi.”
Setelah beberapa menit suasana makan malam tampak menegangkan, akhirnya Hendri Juan dan kedua anaknya beralih kepada pembicaraan lain mengenai rencana esok hari untuk bertemu klien.
Sementara itu, Laras dan Tantri pamit lebih dulu untuk kembali ke kamar mereka masing-masing. Mereka berjalan beriringan menuju lantai dua.
“Mah, maaf aku ingin bertanya. Memang Mamah sudah memberi atau menjanjikan apa pada Bibi, sampai-sampai dia bisa bersandiwara seperti itu?” tanya Tantri penasaran.
“Maksudmu? Mamah tidak ada ngomong apa-apa. Hmm.. tapi benar juga. Sebelum Mamah istirahat, coba kamu panggil Bibi,” ucap Laras sambil berbisik di tangga yang cukup megah.
“Baik Mah. Tadi aku tegang sekali. Aku takut Papah tahu atas kejadian siang tadi. Padahal maksud aku dan Aurel baik loh ingin menasihati Febby, tapi anak itu malah berulah.”
“Sudah Mamah katakan gadis kampung itu tidak bisa menjadi perempuan berkelas. Parahnya suamiku dan putraku terus membelanya. Jadilah tingkah Febby semakin liar. Cepat kamu panggil Bibi, dan bawa ke kamar Mamah. Pastikan suasana aman.”
Secepat kilat Tantri beranjak untuk memanggil Bibi. Setelah beberapa menit menunggu, sesuai arahan ibu mertuanya Tantri meminta Bibi mengikutinya ke kamar Nyonya besar tersebut.
Pintu kamar diketuk dan mereka berdua masuk.
“Bibi, aku apresiasi sandiwaramu tadi. Kamu memang bisa diandalkan untuk menjaga ketentraman keluarga ini. Pilihanmu tepat untuk tidak memihak Febby, gadis kampung pembuat onar,” ucap Laras sambil tersenyum puas.
“Betul. Aku tidak menyangka ternyata kepolosanmu itu membawa untung, Bi. Mereka semua percaya,” imbuh Tantri.
“Ini untukmu, ambillah.”
Tiba-tiba Laras memberikan sebuah amplop cokelat yang cukup tebal kepada Bibi. Seketika bola mata Bibi membesar. Sambil mematung Bibi menatap amplop tersebut dengan gusar.
“AYOO AMBIL! Ini kan yang kamu inginkan. Tenang, kamu sudah berada dipihak yang benar!” titah Laras sekali lagi.
Glek..
*****
“Kenapa kamu diam saja, Bi? Ambil amplop ini. Memangnya kamu gak butuh uang, hah? Kamu bisa mendapatkan lebih banyak lagi jika mau mengikuti apa yang aku perintahkan,” Laras tersenyum sinis. “Ng-ngga Nyonya. Sa-saya tidak bisa menerimanya. Permisi,” ucap Bibi sambil mundur satu langkah. “Eh mau kemana? cepat ambil saja. Kita tahu yang kamu harapkan, Bi. Anggap saja ini bayaran karena kamu telah menjaga rahasia tentang kejadian tadi siang,” Tantri memanasi. “Tapi maaf, Bibi berkata seperti itu bukan untuk Nyonya Laras dan Non Tantri, apalagi Non Aurel. Bibi menjawab seperti itu karena permintaan Non Febby. Beliau yang meminta Bibi untuk tidak memberitahukan kejadian tadi siang. Non Febby juga tidak mau keluarga ini bertengkar makanya dia minta Bibi bilang kalau dirinya terjatuh di kamar mandi. Seharusnya Nyonya Laras dan Non Tantri berterima kasih pada Non Febby,” terang Bibi. “Apaaaa? Beraninya kamu berkata seperti itu.” “Maaf Nyonya. Non Febby minta Bibi untuk tidak memperpanjan
“Oh iya, untuk project itu sudah aku infokan pada manajer untuk mengurusnya.” Dena tampak kebingungan di seberang telepon. “Sayang, kamu ngomong apa sih?” “Betul-betul.. semua dokumen sedang disiapkan mereka. Mungkin siang ini sudah siap.” “Masss.. kamu bicara apa sih? Aku gak ngerti. Ohh okee.. kamu sedang bersama istrimu ya, si Febby?” ucap Dena seketika sadar. “Betul sekali.. yaa Pak..” “Mas air keran di apartemen aku mati. Ini gimana ya? kamu ke sini dong, sayang.” “Sebentar-sebentar.. suaranya terputus-putus, Pak. Saya cari signal dahulu,” ucap Kenny yang langsung memberi isyarat kepada Febby untuk keluar dan menjauh dari mobil. Febby pun dengan polos langsung menganggukan kepala tanpa curiga. ****“Masss kamu dengar aku ga?” “Hallo.. iya Sayang, aku sudah berada jauh dari Febby. Kenapa kamu meneleponku? Aku sudah mengirim pesan bahwa pagi ini aku akan mengantar istriku ke klinik.” “Ke klinik? Untuk apa? Gadis kampung itu hamil? Sayaaaang.. aku ga mau itu terjadiiiii!!
“Mau ngapain hayoo?” Kenny balik meledek.“Ihh jangan bercanda, Mas. Aku serius. Ayoo cepet Massss,” Dena menarik tangan Kenny ke dalam kamarnya.Tanpa menunggu lama, pintu kamar di tutup. Mereka segera berbaring di atas ranjang. Dena dan Kenny seperti kehilangan akal sehat saat melampiaskan emosi perasaannya. Seperti orang baru menemukan air mineral di padang pasir, haus berat.Baru pemanasan saja mereka sudah saling bersahutan tanpa malu, apalagi saat dipuncak kebahagiaan saat berhubungan. Dena dan Kenny saling memberikan kenikmatan sampai tubuh mereka terkulai lemas.“Gilaa kamu Dena, ini baru namanya hidup bahagia. Aku mencintaimu Denaaaa,” racau Kenny.“Mass please, hati-hati. Aku ga mau hamil. Jangan menyusahkan aku,” Dena memperingati.“Aku tahu, Sayang.”**Pukul 10.25 WIB“Hallo Arga, tolong bawakan salinan surat perjanjian dengan PT. Angkasa Merta di ruangan Kenny. Dia belum datang karena harus mengantar istrinya. Kamu masuk saja ke ruangannya, tidak apa-apa. Kemarin dia let
Waktu makan siang telah usai. Hendri Juan, Ronald dan Arga sudah berada di kantor. Sekarang mereka sedang berdiskusi mengenai hasil pertemuan dengan kolega bisnis mereka tadi. “Arga, kamu memang cerdas dalam menganalisa bisnis. Ternyata, project dan sistem yang kita sarankan kepada kolega disetujui dengan cepat. Ini benar-benar di luar dugaan,” ucap Hendri memuji karyawannya. “Betul Pah, Arga memang dari dulu sangat bisa diandalkan. Oh iya.. saya lupa, kamu sekolah bisnis ya dulu?” imbuh Ronald. “Tidak Pak. Dulu saya sekolah Teknik. Tetapi memang dari kecil saya senang berbisnis,” jawab Arga. “Hooo pantas. Paling tidak masih ada hubungannya. Teknik juga membutuhkan skill dan keterampilan dalam memecahkan masalah,” Ronald menanggapi. Tiba-tiba suara pintu di ketuk dari luar. Sejurus kemudian sorot mata mereka tertuju pada pintu besar di ruang meeting tersebut. “Siang semua, maaf saya baru bisa hadir,” sapa Kenny dengan raut wajah tanpa bersalah. Semua terdiam memandang Kenny. Sem
Febby menggelengkan kepalanya perlahan, namun rasa curiganya tidak dapat ditutupi. Sorot matanya terus memandangi gelagat Kenny.“Apa ada yang aneh dengan wajahku?” Kenny kembali bertanya.“Bukan wajahmu, Mas. Tapi aroma tubuhmu. Wangi parfum buah-buahan yang biasa dipakai oleh wan—.”“Oh iya, bagaimana hasil pemeriksaanmu tadi? Aku harus cepat mengetahuinya sebelum Papah bertanya padaku,” ucap Kenny mengalihkan pembicaraan.Rasa curiga Febby menjadi bertambah. Dia tidak ingin pertanyaannya dipotong. Dia butuh penjelasan dari Kenny agar hatinya tenang.“Mas, aroma tubuhmu bau strawberry. Laki-laki mana yang pakai parfume atau cream berbau strawberry?” tanya Febby cepat.“mana hasil pemeriksaanmu? Kok kamu malah memojokkan aku.”“Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Apa susahnya sih tinggal jawab?”“Jangan seperti anak kecil, Feb. Curiga terus bawaannya. Tidak ada bau strawberry di bajuku, apalagi ditubuhku. Kamu terlalu mengada-ada. Dari tadi Papah dan Bang Ronald tidak ada yang komplain sep
Wajah Febby berubah tegang, “ma-maksud Mas Kenny melakukan apa?”“Sayang, katakan saja padaku. Apakah ada yang mengganggumu? Keterangan ini tidak mungkin salah. Hasil rontgen ini cukup menjadi bukti. Syaraf di akar rambut kepalamu tampak tegang. Coba sini aku lihat,” oceh Kenny penasaran.“Gak usah Mas. Sudahlah, kita turun ke bawah sekarang yuk. Sudah lapar nih.”“Ke sini aku bilang!”“Ih Mas Kenny kok bicaranya keras.”“Makanya nurut kalau aku perintah.”Tanpa menunggu lama lagi, Kenny segera memeriksa kulit kepala istrinya perlahan.“Aduh sakit Mas,” keluh Febby cepat.“Di sini ya?”“Umm iya.”“Pantas saja. Ini ada luka cakaran! Berarti benar kamu berkelahi. Kenapa kamu tutup-tutupi?”“Aku sudah menduga kan dari awal bahwa luka itu bukan karena terjatuh atau terpeleset. Itu seperti lebam habis dipukul. Kamu berantem di mana sih? Hati-hati kalau keluar rumah, banyak orang stress,” lanjut Kenny.Seketika Febby menelan ludahnya singkat, lalu menyeringai. Dia tidak menyangka Kenny berp
“Papah tidak ada masalah pada siapapun. Papah hanya memperingati anggota keluarga kita yang tidak sesuai dengan aturan di rumah ini!” tegas Hendri Juan.“Tapi, apapun yang dilakukan Tantri salah saja di matamu. Sedangkan, apapun yang dilakukan Febby selalu dibenarkan, sekalipun salah pasti kamu bela,” Laras tidak mau kalah.“Jadi, menurutmu aku tidak adil? kamu ingin mencari-cari kesalahan dan kelemahanku, begitu?”Sejurus kemudian Laras terdiam sambil membuang wajahnya ke arah lain. Dia tidak berani melanjutkan lagi kata-katanya, tetapi bukan berarti dia menyerah dengan jalan pemikirannya tersebut.“Maaf Pah, Mah. Aku tidak bermaksud membuat gaduh di sini. Lain kali, aku akan lebih berhati-hati lagi,” sahut Febby pelan.“Ya memang seharusnya seperti itu dari dulu!” bentak Laras kesal.“Tapi kan orang gila itu yang menyerangku duluan,” Febby kembali tidak mau disalahkan.“Pasti kau yang memancing duluan, makanya kau diamuk,” tiba-tiba Tantri terpancing untuk bicara.“Aku? jadi, aku ya
Keesokkan hari pukul 08.30 WIB“Mas, hari ini kan hari libur, aku harap kamu cepat pulang setelah menemani Papah dari bandara,” ucap Febby di telepon.“Iya Sayang, aku juga ingin langsung pulang nanti. Aku ingin istirahat di rumah.”“Baiklah. Aku senang kalau Mas Kenny ada di rumah. Waktunya kita menghabiskan waktu bersama.”“Iya sayang. Mas juga senang ada didekatmu.”“Bagaimana kalau sorenya kita makan di luar? Sudah lama kita tidak jalan-jalan ke mall,” pinta Febby bersemangat.“Makan di mall? Masakan di rumah juga enak. Kamu mau makanan apapun tinggal minta sama pelayan kan bisa. Aku ingin istirahat dan malas keluar rumah,” Kenny menanggapi.“Yah Mas. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan berdua kalau bukan hari libur. Sudah lama sekali kita tidak menghabiskan waktu bersama.”“Tapi aku sedang lelah. Kau kan tahu setiap hari kerjaanku banyak.”“Hmm.. ya sudah kalau begitu. Ga apa-apa deh makan di rumah, yang penting kali ini makan bareng Mas Kenny.”“Gitu dong. Sudah dulu ya, aku dipang
Keesokkan hari pukul 08.30 WIB“Mas, hari ini kan hari libur, aku harap kamu cepat pulang setelah menemani Papah dari bandara,” ucap Febby di telepon.“Iya Sayang, aku juga ingin langsung pulang nanti. Aku ingin istirahat di rumah.”“Baiklah. Aku senang kalau Mas Kenny ada di rumah. Waktunya kita menghabiskan waktu bersama.”“Iya sayang. Mas juga senang ada didekatmu.”“Bagaimana kalau sorenya kita makan di luar? Sudah lama kita tidak jalan-jalan ke mall,” pinta Febby bersemangat.“Makan di mall? Masakan di rumah juga enak. Kamu mau makanan apapun tinggal minta sama pelayan kan bisa. Aku ingin istirahat dan malas keluar rumah,” Kenny menanggapi.“Yah Mas. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan berdua kalau bukan hari libur. Sudah lama sekali kita tidak menghabiskan waktu bersama.”“Tapi aku sedang lelah. Kau kan tahu setiap hari kerjaanku banyak.”“Hmm.. ya sudah kalau begitu. Ga apa-apa deh makan di rumah, yang penting kali ini makan bareng Mas Kenny.”“Gitu dong. Sudah dulu ya, aku dipang
“Papah tidak ada masalah pada siapapun. Papah hanya memperingati anggota keluarga kita yang tidak sesuai dengan aturan di rumah ini!” tegas Hendri Juan.“Tapi, apapun yang dilakukan Tantri salah saja di matamu. Sedangkan, apapun yang dilakukan Febby selalu dibenarkan, sekalipun salah pasti kamu bela,” Laras tidak mau kalah.“Jadi, menurutmu aku tidak adil? kamu ingin mencari-cari kesalahan dan kelemahanku, begitu?”Sejurus kemudian Laras terdiam sambil membuang wajahnya ke arah lain. Dia tidak berani melanjutkan lagi kata-katanya, tetapi bukan berarti dia menyerah dengan jalan pemikirannya tersebut.“Maaf Pah, Mah. Aku tidak bermaksud membuat gaduh di sini. Lain kali, aku akan lebih berhati-hati lagi,” sahut Febby pelan.“Ya memang seharusnya seperti itu dari dulu!” bentak Laras kesal.“Tapi kan orang gila itu yang menyerangku duluan,” Febby kembali tidak mau disalahkan.“Pasti kau yang memancing duluan, makanya kau diamuk,” tiba-tiba Tantri terpancing untuk bicara.“Aku? jadi, aku ya
Wajah Febby berubah tegang, “ma-maksud Mas Kenny melakukan apa?”“Sayang, katakan saja padaku. Apakah ada yang mengganggumu? Keterangan ini tidak mungkin salah. Hasil rontgen ini cukup menjadi bukti. Syaraf di akar rambut kepalamu tampak tegang. Coba sini aku lihat,” oceh Kenny penasaran.“Gak usah Mas. Sudahlah, kita turun ke bawah sekarang yuk. Sudah lapar nih.”“Ke sini aku bilang!”“Ih Mas Kenny kok bicaranya keras.”“Makanya nurut kalau aku perintah.”Tanpa menunggu lama lagi, Kenny segera memeriksa kulit kepala istrinya perlahan.“Aduh sakit Mas,” keluh Febby cepat.“Di sini ya?”“Umm iya.”“Pantas saja. Ini ada luka cakaran! Berarti benar kamu berkelahi. Kenapa kamu tutup-tutupi?”“Aku sudah menduga kan dari awal bahwa luka itu bukan karena terjatuh atau terpeleset. Itu seperti lebam habis dipukul. Kamu berantem di mana sih? Hati-hati kalau keluar rumah, banyak orang stress,” lanjut Kenny.Seketika Febby menelan ludahnya singkat, lalu menyeringai. Dia tidak menyangka Kenny berp
Febby menggelengkan kepalanya perlahan, namun rasa curiganya tidak dapat ditutupi. Sorot matanya terus memandangi gelagat Kenny.“Apa ada yang aneh dengan wajahku?” Kenny kembali bertanya.“Bukan wajahmu, Mas. Tapi aroma tubuhmu. Wangi parfum buah-buahan yang biasa dipakai oleh wan—.”“Oh iya, bagaimana hasil pemeriksaanmu tadi? Aku harus cepat mengetahuinya sebelum Papah bertanya padaku,” ucap Kenny mengalihkan pembicaraan.Rasa curiga Febby menjadi bertambah. Dia tidak ingin pertanyaannya dipotong. Dia butuh penjelasan dari Kenny agar hatinya tenang.“Mas, aroma tubuhmu bau strawberry. Laki-laki mana yang pakai parfume atau cream berbau strawberry?” tanya Febby cepat.“mana hasil pemeriksaanmu? Kok kamu malah memojokkan aku.”“Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Apa susahnya sih tinggal jawab?”“Jangan seperti anak kecil, Feb. Curiga terus bawaannya. Tidak ada bau strawberry di bajuku, apalagi ditubuhku. Kamu terlalu mengada-ada. Dari tadi Papah dan Bang Ronald tidak ada yang komplain sep
Waktu makan siang telah usai. Hendri Juan, Ronald dan Arga sudah berada di kantor. Sekarang mereka sedang berdiskusi mengenai hasil pertemuan dengan kolega bisnis mereka tadi. “Arga, kamu memang cerdas dalam menganalisa bisnis. Ternyata, project dan sistem yang kita sarankan kepada kolega disetujui dengan cepat. Ini benar-benar di luar dugaan,” ucap Hendri memuji karyawannya. “Betul Pah, Arga memang dari dulu sangat bisa diandalkan. Oh iya.. saya lupa, kamu sekolah bisnis ya dulu?” imbuh Ronald. “Tidak Pak. Dulu saya sekolah Teknik. Tetapi memang dari kecil saya senang berbisnis,” jawab Arga. “Hooo pantas. Paling tidak masih ada hubungannya. Teknik juga membutuhkan skill dan keterampilan dalam memecahkan masalah,” Ronald menanggapi. Tiba-tiba suara pintu di ketuk dari luar. Sejurus kemudian sorot mata mereka tertuju pada pintu besar di ruang meeting tersebut. “Siang semua, maaf saya baru bisa hadir,” sapa Kenny dengan raut wajah tanpa bersalah. Semua terdiam memandang Kenny. Sem
“Mau ngapain hayoo?” Kenny balik meledek.“Ihh jangan bercanda, Mas. Aku serius. Ayoo cepet Massss,” Dena menarik tangan Kenny ke dalam kamarnya.Tanpa menunggu lama, pintu kamar di tutup. Mereka segera berbaring di atas ranjang. Dena dan Kenny seperti kehilangan akal sehat saat melampiaskan emosi perasaannya. Seperti orang baru menemukan air mineral di padang pasir, haus berat.Baru pemanasan saja mereka sudah saling bersahutan tanpa malu, apalagi saat dipuncak kebahagiaan saat berhubungan. Dena dan Kenny saling memberikan kenikmatan sampai tubuh mereka terkulai lemas.“Gilaa kamu Dena, ini baru namanya hidup bahagia. Aku mencintaimu Denaaaa,” racau Kenny.“Mass please, hati-hati. Aku ga mau hamil. Jangan menyusahkan aku,” Dena memperingati.“Aku tahu, Sayang.”**Pukul 10.25 WIB“Hallo Arga, tolong bawakan salinan surat perjanjian dengan PT. Angkasa Merta di ruangan Kenny. Dia belum datang karena harus mengantar istrinya. Kamu masuk saja ke ruangannya, tidak apa-apa. Kemarin dia let
“Oh iya, untuk project itu sudah aku infokan pada manajer untuk mengurusnya.” Dena tampak kebingungan di seberang telepon. “Sayang, kamu ngomong apa sih?” “Betul-betul.. semua dokumen sedang disiapkan mereka. Mungkin siang ini sudah siap.” “Masss.. kamu bicara apa sih? Aku gak ngerti. Ohh okee.. kamu sedang bersama istrimu ya, si Febby?” ucap Dena seketika sadar. “Betul sekali.. yaa Pak..” “Mas air keran di apartemen aku mati. Ini gimana ya? kamu ke sini dong, sayang.” “Sebentar-sebentar.. suaranya terputus-putus, Pak. Saya cari signal dahulu,” ucap Kenny yang langsung memberi isyarat kepada Febby untuk keluar dan menjauh dari mobil. Febby pun dengan polos langsung menganggukan kepala tanpa curiga. ****“Masss kamu dengar aku ga?” “Hallo.. iya Sayang, aku sudah berada jauh dari Febby. Kenapa kamu meneleponku? Aku sudah mengirim pesan bahwa pagi ini aku akan mengantar istriku ke klinik.” “Ke klinik? Untuk apa? Gadis kampung itu hamil? Sayaaaang.. aku ga mau itu terjadiiiii!!
“Kenapa kamu diam saja, Bi? Ambil amplop ini. Memangnya kamu gak butuh uang, hah? Kamu bisa mendapatkan lebih banyak lagi jika mau mengikuti apa yang aku perintahkan,” Laras tersenyum sinis. “Ng-ngga Nyonya. Sa-saya tidak bisa menerimanya. Permisi,” ucap Bibi sambil mundur satu langkah. “Eh mau kemana? cepat ambil saja. Kita tahu yang kamu harapkan, Bi. Anggap saja ini bayaran karena kamu telah menjaga rahasia tentang kejadian tadi siang,” Tantri memanasi. “Tapi maaf, Bibi berkata seperti itu bukan untuk Nyonya Laras dan Non Tantri, apalagi Non Aurel. Bibi menjawab seperti itu karena permintaan Non Febby. Beliau yang meminta Bibi untuk tidak memberitahukan kejadian tadi siang. Non Febby juga tidak mau keluarga ini bertengkar makanya dia minta Bibi bilang kalau dirinya terjatuh di kamar mandi. Seharusnya Nyonya Laras dan Non Tantri berterima kasih pada Non Febby,” terang Bibi. “Apaaaa? Beraninya kamu berkata seperti itu.” “Maaf Nyonya. Non Febby minta Bibi untuk tidak memperpanjan
“Jawab sayang! Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Kenny penuh intonasi.Febby terdiam dan menundukkan kepala. Terlintas kembali di pikirannya tentang kejadian tadi siang. Dia dikeroyok oleh dua wanita yang tentu Kenny juga kenal.“Febby, kamu mendengarkan aku, kan?”“Sudahlah Mas, aku tidak apa-apa kok. Hanya kepentok meja dan kepleset tadi.”“Hmm..” Kenny mengerutkan keningnya.Sejurus kemudian, Kenny meraih dagu Febby dan memperhatikan wajah istrinya tersebut dengan detail.“Kamu mau jujur atau aku yang tanya orang rumah. Kalau tidak terjadi apa-apa, kenapa kamu begitu kuat ingin menyembunyikan wajahmu?”“I-itu karena aku tidak mau kamu khawatir. Sungguh aku tidak apa-apa, Mas.”“Apa orang rumah sudah tahu wajahmu bengkak dan luka begini?” tanya Kenny.Febby kembali mendadak diam mematung. Dia bingung apa yang harus dijawabnya.“Oke, sepertinya aku memang harus bertanya pada yang lain. Aku tidak mau ada orang berprasangka tentang rumah tangga kita,” terang Kenny sambil berjala