Sore hari saat mobil yang dikendarai Wisnu tiba di rumah. Pria itu keluar dengan menenteng tas kantor juga jas hitam di tangan kanan.Alisnya sedikit naik, mengernyit bingung saat melihat kondisi sudah yang terbilang sepi. Memang, sudah dua hari ini Bibi pelayan meminta izin cuti selama beberapa hari untuk pulang ke kampung halaman.Namun biasanya Diandra sudah setia menanti kepulangannya di depan pintu dengan senyum lebar. Tapi kali ini wanita itu tidak ada di sana.Suasana rumah yang begitu sunyi, juga pintu utama yang tidak terkunci. Jangan lupakan suasana temaram akibat cahaya matahari yang mulai tenggelam.Wisnu menyalakan beberapa lampu, meletakan bawaanya di sofa ruang tamu dan berkeliling. Pendengarannya sontak menajam saat ia mendengar suara rintihan lirih, memastikan dari arah mana suara itu berasal.Setelah yakin bahwasanya suara tersebut berasal dari lantai dua, Wisnu dengan segera berlari. Begitu dirinya sampai, ia bisa melihat Diandra yang tengah terduduk dengan satu l
Aruna masih betah berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, terhitung sudah hampir tiga jam wanita dengan perut buncit itu memasuki beberapa toko pakaian juga peralatan bayi."Aduh, kakiku pegal sekali," gumam Aruna sambil memijit betisnya sendiri.Meski usia kandungannya masih tergolong muda, namun Aruna selalu membiasakan diri untuk berjalan-jalan dan berolahraga ringan.Meski tidak dalam waktu yang lama, mengingat kondisi perutnya yang sudah mulai membuncit, Aruna tidak merasa keberatan dengan hal itu.Ia merasa senang bisa menghabiskan banyak waktu bahagia bersama dengan anak dalam kandungannya sebelum pada akhirnya ia harus pergi saat dirinya lahir nanti.Terdengar miris memang, tapi tidak ada gunanya menyesal sekarang. Aruna harus memanfaatkan waktunya selama empat bulan ke depan untuk ia habiskan bersama anak dalam kandungannya.Wanita itu duduk di salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan. Ia meletakkan paperbag di salah satu kursi dan menghela napas.Ia melepaskan sepatu
Wisnu, pria itu memeluk Aruna dengan begitu erat. Menghirup rakus wangi tubuh wanita yang begitu ia rindukan belakangan ini."Aku merindukanmu," bisiknya lirih. Kecupan ringan pria itu sematkan di pucuk kepala Aruna sebelum pelukan keduanya terlepas.Ekspresi Aruna masih tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Ia terkejut, tentu saja.Tidak menyangka jika rupanya Wisnu lah orang yang ia tunggu. Aruna sempat mengira jika pria itu sudah melupakannya juga anak dalam kandungannya."Begitu terkejut, ya?" tanya Wisnu sembari mengambil tempat di sebelah Aruna.Pria itu masih saja tersenyum cerah, ia bahkan tidak segan untuk mencubit pipi Aruna yang kian berisi dari hari ke hari."Kamu …, tapi bagaimana bisa?" tanya Aruna yang masih belum percaya dengan situasi yang dialaminya sekarang."Kukira kau sudah paham. Aku yang meminta Assisten ku untuk menyamar menjadi salah satu karyawan toko, dan memberikan paperbag itu. Tapi sepertinya kau tidak menerima hadiah dari sembarang orang," jelas Wisnu."
Hari berlalu dengan damai, hubungan antara Wisnu dan Aruna kembali membaik. Pria itu juga jadi lebih sering mengunjungi Aruna di rumah kedua.Seperti sore ini, Wisnu baru saja tiba dengan membawa smoothie strawberry juga martabak manis. Pesanan Aruna.Kandungan wanita itu sudah menginjak bulan ke tuju, perut buncitnya kian terlihat juga rasa ngidam yang beberapa kali diluar nalar.Contoh saja kemarin malam, saat itu Wisnu sedang tidak bisa datang karena pekerjaan. Tapi Aruna terus merengek, wanita itu tiba-tiba saja jadi begitu manja dan ingin bertemu Wisnu dengan segera.Mengalah, pada akhirnya Wisnu menuruti keinginan Aruna. Ia datang ke rumah kedua setelah menyelesaikan beberapa meeting dan pekerjaan menumpuk di hari itu, sedikit terlambat tapi lebih baik daripada tidak sama sekali.Wisnu tiba pukul sebelas malam, ia agak cukup terkejut saat melihat Aruna yang masih stay duduk di sofa ruang tamu menunggunya.Begitu pria itu sampai, mata Aruna berbinar layaknya anak anjing menggemas
Mobil itu melaju membelah jalanan, tiga orang yang ada di dalam sana hanya saling diam dengan pemikiran masing-masing.Sofie menatap Chandra yang berlaku sebagai pengendara, sementara seorang wanita lain yang duduk di bagian belakang hanya menunduk gelisah.Semalam, tepatnya setelah Aruna mengetahui soal keadaan Diandra, wanita itu memaksa Chandra maupun Sofie untuk mengatakan semua yang mereka tahu perihal wanita itu.Dengan terpaksa, Sofie memberitahukan semuanya. Termasuk soal Diandra dan keadaan wanita itu yang kian memburuk dari waktu ke waktu."Dokter bilang, kemungkinan untuk Diandra sembuh begitu tipis."Aruna kembali mengingat perkataan Sofie semalam. Dalam sekejap hal itu menyadarkan dirinya, menamparnya pada kenyataan yang ada.Tidak seharusnya ia berlarut pada perasaanya untuk Wisnu. Tidak seharusnya ia ikut terhanyut pada perhatian yang diberikan pria itu.Ia tentu tahu jika bahwasanya Diandra tengah sakit, tapi ia tidak tahu jika penyakit yang diderita wanita itu sudah s
Wisnu baru saja terbangun dari tidurnya, ia meraba ke arah samping dan tidak mendapati siapapun di sana.Dengan mata menyipit, pria itu bangkit. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri seolah mencari sesuatu.Setelah seratus persen kesadarannya terkumpul, pria itu segera meraih ponsel. Ia baru teringat jika sudah sejak semalam ia tidak mendapati Diandra dimanapun.Sering pertama dan kedua masih tidak ada jawaban. Di sering ketiga barulah terdengar suara serak dari seberang panggilan."Halo?" sapanya dari seberang."Kamu di mana? Kok nggak di rumah?" tanya Wisnu to the point."Aku sedang di rumah Mama. Maaf kemarin aku lupa memberitahumu," jawabnya.Wisnu menghela napas, entah kenapa ia merasa kesal tiba-tiba. Ini bukan kali pertama bagi Diandra pergi tanpa berpamitan.Akhir-akhir ini wanita itu memang sering bepergian tanpa berpamitan lebih dulu kepada Wisnu. Membuat pria itu kelimpungan di beberapa kesempatan.Tapi yang sebenarnya tidak pria itu ketahui, kepergian Diandra yang mendadak b
Kondisi perusahaan hati itu cukup sibuk, Wisnu yang duduk di ruangannya masih sibuk bergulat dengan beberapa berkas dan juga kontrak kerja sama yang harus ia tanda tangani.Terdengar suara ketukan pintu, seorang lelaki muda dengan setelan jas rapi juga rambut klimis datang menghampiri Wisnu setelah dipersilakan masuk."Sean?" tanya Wisnu.Sesaat kemudian dua pria itu saling berpelukan dan bercengkrama beberapa saat."Kukira kau sudah berubah, rupanya masih sama saja. Wisnu si pekerja keras," ujarnya.Wisnu terkekeh, tidak lama kemudian ponselnya bergetar. Setelah meminta izin, Wisnu bergeser sedikit ke arah pojok ruangan dan mengangkat panggilan."Wisnu, apa bisa sepulang dari kantor nanti kau mampir ke rumah? Aku… aku ingin es kepal."Senyum sumringah tercipta di wajah Wisnu saat terdengar suara Aruna dari seberang panggilan. Ia tidak tahu jika wanita itu bisa terdengar se menggemaskan seperti sekarang."Ya. Akan ku belikan, ada lagi?""Tidak ada. Semangat kerjanya."Senyum cerah kia
Suasana saat itu begutu canggung. Secangkir kopi di cangkir sudah mulai mendingin, beberapa hidangan kecil lainnya sama sekali belum tersentuh sejak dihantarkan.Aruna menunduk. Sudah sejak tadi ia melakukannya, entah kenapa dirinya merasa begitu takut untuk mendongakkan kepala. Terlebih saat ia tahu jika sepasang paruh baya di depannya adalah orang tua Diandra.Wanita yang secara tidak langsung juga menjadi madunya, meski hanya berstatus siri."Jadi, kau yang bernama Aruna?" wanita baya itu membuka suara.Penampilannya elegant dengan baju berwarna merah, rambutnya yang dipotong pendek menambah kesan itu. Terlebih aksesoris kalung juga cincin yang menempel di tubuhnya, kian menjelaskan status sosialnya yang tinggi."Iya, Nyonya," jawab Aruna lirih."Tidak perlu memanggilku Nyonya. Kau bisa memanggilku, ibu."Kepala Aruna sontak mendongak, menatap jelas ke arah wanita baya itu yang tengah tersenyum tulus."Ibu?" beonya lirih.Wanita itu mengangguk, senyum tulus itu masih terpatri denga