Setitik luka, menghilangkan besarnya cinta. Membelah bahkan mencabik-cabik sampai titik habis airmata. Seorang wanita, menahan tangisnya. Ia dipaksa tersenyum oleh keadaan ketika melihat pria yang ia cintai, pria yang selama ini menjadi miliknya, bersanding dengan wanita lain.
Langkah kakinya maju perlahan-lahan. Mendekati sepasang pengantin baru yang baru saja selesai menyapa para tamu. Ia menelan air liurnya. Menahan gejolak kecewa yang terus mengikis pertahanan diri.
“Anne, aku titip Suamiku padamu,” ucapnya. Suaranya terdengar gemetar.
“Kak Elena, aku—“ Mata Anne berkaca-kaca. Merasakan sentuhan lembut dari tangan Elena.
Elena merupakan istri pertama dari Austin Harold. Austin menikah lagi dengan Anne atas permintaan Elena. Bahkan, Anne adalah wanita yang Elena pilih sendiri untuk menjadi madunya.
“Tidak apa-apa. Austin akan menjagamu dengan baik. Percayalah padaku,” ucap Elena.
Sebagai istri pertama, Elena dituntut untuk menahan semua gejolak luka di hatinya. Namun, di dalam pernikahan kedua Austin, bukan hanya Elena yang menanggung beban. Anne dan Austin juga sama sekali tidak terlihat bahagia.
Austin tiba-tiba saja memeluk Elena. “Jangan pergi. Aku mohon,” pintanya. Suaranya terdengar lirih sampai-sampai hanya Elena yang bisa mendengarnya.
Elena melepaskan pelukan Austin. Acara pernikahan tersebut hampir selesai. Tentu saja, malam ini akan menjadi malam pertama untuk Anne dan Austin. Elena tidak ingin menjadi pengacau.
“Austin, kau bukan hanya menjadi milikku. Kau harus bersikap adil,” ucap Elena. “Aku harus pergi. Perlakukan Anne dengan baik, seperti kau memperlakukanku,” lanjutnya.
Anne memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin terlalu merasakan perbedaan. Austin yang menatap Elena penuh cinta, sedangkan memandangnya begitu dingin dan asing. Restu yang Elena berikan menyakiti Austin dan juga Anne. Di waktu yang bersamaan, ia menyakiti dirinya sendiri.
Elena sudah lenyap dari pandangan. Austin sama sekali tidak melirik ke arah Anne. Tidak peduli apakah Anne sedang menangis, apakah Anne sedang tertawa. Ia begitu acuh dan terlihat mengerikan.
“Apa kau sudah puas setelah menikah denganku?” tanya Austin.
“Aku—“
“Bersiaplah. Sebentar lagi akan ada taksi untuk mengantarmu pulang ke rumah yang sudah aku siapkan,” kata Austin.
Austin selalu memotong kalimat yang keluar dari mulut Anne. Seolah-olah ia jijik walau hanya sekadar mendengar suaranya. Anne hanya bisa menggigit bibirnya sendiri. Dadanya terasa sesak dan perasaannya hancur.
Acara sudah selesai. Anne harus menahan perasaannya ketika semua orang memandangnya rendah karena menjadi istri kedua. Wanita tidak memiliki harga diri, wanita rendahan, dan entah sumpah serapah apa lagi yang mereka bisikkan secara terang-terangan.
Anne mengepalkan erat tangannya. ‘Mereka hanya bisa berkomentar tanpa tahu ceritanya. Aku juga tidak ingin seperti ini. Aku punya alasan yang tidak bisa aku ceritakan,’ batin Anne.
Pengantin baru seharusnya merasakan bahagia karena kehangatan cinta. Namun, Anne dan Austin merasakan hal yang sebaliknya. Anne tidak berharap banyak hal. Ia tahu bagaimana rendahnya dirinya saat ini. Akan tetapi, bisakah Austin memperlakukannya dengan sedikit lebih lembut?
“Taksi yang aku pesan untukmu sudah menunggu. Kita akan bertemu di alamat yang sudah aku kirim melalui pesan,” ucap Austin.“Austin, ini sudah terlalu malam. Apa tidak bisa kalau—“
“Anne, mobilku hanya untuk Elena. Kau sama sekali tidak layak.”
Keputusannya begitu tegas. Setiap kata yang terlontar seperti menghujani Anne dengan seribu luka yang bertubi-tubi. Di dalam gedung tersebut, sudah sangat sunyi. Anne berdiam diri dianggap ada dan tiada.
Keheningan membuat hatinya semakin kosong. Langkahnya begitu pelan dan ragu. Langit gelap menyambutnya dengan segala kegagalan. Angin malam menerpa tubuhnya sampai menggigil. Apakah ada yang peduli? Tidak. Segalanya ia rasakan seorang diri.
Anne bertanya-tanya, sampai kapan ia akan menjadi wanita yang terhina? Keputusannya memang salah tapi semuanya berdasarkan diluar keinginannya.
“Ah, hujan!” gumam Anne sembari menengadahkan telapak tangannya.
Benar. Sudah ada taksi yang menunggunya. Anne duduk begitu patuh. Seperti manekin yang tidak memiliki hak di mana ia harus berdiri dan di mana ia ingin ditempatkan. Waktu berjalan terasa begitu lambat. Hujan juga semakin deras. Bibir Anne tersenyum ketika membayangkan Austin akan menunggunya sembari membawakan payung untuknya. Sayangnya, senyumnya berubah getir.
Rumah yang sangat besar, membenteng indah dan kokoh. Seolah-olah tubuh Anne yang kecil akan tertelan di dalamnya.
‘Ah, mungkin saja bayanganku tadi terlalu manis. Ternyata aku begitu tidak tahu diri mengharapkan sesuatu yang sejak awal bukan milikku,’ batin Anne.
Kedatangan Anne disambut aura gelap dan mengerikan. Austin menatapnya seperti ingin membunuhnya saat itu juga. Anne tidak berani bersuara, bahkan suara napasnya ia tahan.
“Bisakah kau lebih cepat sedikit?” tanya Austin. “Elena membutuhkanku, Anne. Dia takut dengan suara hujan. Dia membutuhkanku untuk memeluknya. Kau tahu itu, bukan?” sambungnya.
“Austin, bukankah aku juga istrimu?” tanya Anne sembari memalingkan wajahnya. Antara takut dan ingin mendapatkan sedikit haknya.
“Apa katamu?” pekik Austin sembari mencengkeram tangan Anne.
“Akh. Austin, sakit,” rintih Anne.
“Anne, kau jangan salah paham. Kalau bukan karena Elena, aku tidak akan sudi untuk menikahimu.”
Situasi apa yang saat ini sedang Anne hadapi? Tatapan kebencian itu menusuk jantung Anne. Anne ketakutan dibuatnya.
“Anne, apa kau tahu artinya? Aku menikahimu karena aku mencintai istriku. Aku memang mengikat janji suci denganmu tapi istriku hanyalah Elena,” ucap Austin.
Anne diam sejenak. Mencerna setiap kalimat yang melilitnya. “Apa kau sudah selesai menjelaskannya, Austin?” tanya Anne, lirih.
Austin mendelik. Ia mengira kalau Anne akan menampar dan meminta cerai darinya. Diluar dugaan, Anne menahan diri meski sudah dilukai.
“Anne, aku juga tidak bisa memungkiri kalau kau istriku, tapi aku tidak mencintaimu.”
Anne terdiam kembali. Terdapat keputus asaan dalam diri Austin. Cinta? Anne bahkan tidak pernah membayangkan itu sebelumnya. Siapa yang tidak akan jatuh hati pada pria tampan dan juga mapan? Namun, untuk apa semua itu jika hanya menyisakan lara yang akan berlangsung cukup panjang?
Austin melepaskan cengkeraman tangannya. Pergelangan tangan Anne sampai memerah. Ditambah lagi dengan gaun Anne yang basah karena air hujan, membuat Anne merasakan kedinginan yang berlipat.
“Aku tidak akan pernah datang untuk bermalam di sini,” ucap Austin.
“Iya. Aku mengerti,” jawab Anne. Tidak ada kata bantahan karena ia tahu situasi seperti apa yang sedang terjadi.
“Anne, jangan pernah sedikitpun untuk mencintaiku. Aku tidak ingin menyakitimu karena cintamu yang sepihak,” ujar Austin.
Anne mencoba untuk memberanikan diri menatap Austin. “Bagaimana jika aku sudah memiliki cinta yang kau sebutkan?” tanya Anne.
“Kau bisa merasakan hartaku, tapi tidak dengan diriku.”
“Aku pasti bisa membuatmu jatuh cinta padaku,” kata Anne. Entah setan apa yang sudah merasukinya sampai bicara seperti itu.
“Aku sudah memperingatkanmu, Anne. Kalau kau terluka karena harapanmu sendiri, jangan pernah menyalahkanku.”
Anne merasa bodoh. Ia tidak berpikir kalau luka yang Austin torehkan padanya akan semakin dalam kalau ia memiliki perasaan untuk pria yang mustahil bisa mencintainya.
“Anne, semakin kau memperkecil harapanmu, semakin kau bisa menyelamatkan dirimu.”
“Kenapa aku tidak boleh berharap?”
“Karena sejak awal, aku sama sekali tidak berniat untuk menganggapmu ada.”
Suara hujan menyamarkan isak tangis Elena. Ia meringkuk, duduk di atas sofa merangkul lututnya. Matanya yang memerah menatap ke arah meja, memperhatikan foto pernikahan mereka beberapa tahun yang lalu. Pernikahan penuh cinta yang saat ini telah ternoda oleh pernikahan kedua.“Austin, aku kira hatiku kuat. Ternyata rasanya begitu sakit,” gumam Elena. Buliran airmata terus mengalir tanpa henti. Elena takut mendengar petir yang bergemuruh, tapi ia lebih takut kalau suatu saat ia tersingkir dari posisinya sebagai Nyonya Austin. Gelar yang selama ini ia jaga dengan sangat baik.“Elena!” Suara teriakan yang cukup keras, bersamaan dengan pintu yang dibuka kasar membuat Elena menoleh ke arah sumber suara. Pria yang seharusnya tidak menemuinya, datang dalam kead
Bibi Anh sedikit terkejut. Anne kembali dengan airmata yang membasahi pipinya. Ia berlari naik ke lantai atas. Isak tangisnya tidak bisa ia tahan. Merasa dirinya menjadi wanita terbodoh yang memiliki harapan. Harapannya yang selalu pupus dan membusuk dalam waktu yang terlalu singkat. Anne salah dalam memilih tempat untuk menenangkan diri. Ia malah masuk ke dalam kamar. Ternyata, kamar pengantinnya masih sama seperti semalam. Mengingatkan kembali akan posisinya yang tidak berarti. Bunga-bunga yang menghias indah, kelopak-kelopak yang bertebaran, masih utuh meski sudah layu. Sama seperti perasaan Anne saat ini.Hiks ... Hiks ... Hiks ... Anne menyandarkan punggungnya di daun pintu. Tangisnya tanpa suara. Hanya terdengar rintihan dari sisa-sisa bongkahan rasa.“Nyonya muda,
Anne menggigit bibirnya sendiri, melihat Austin yang sudah membelakanginya. Meninggalkannya seorang diri saat semua orang menatapnya dengan tatapan hina. Anne tidak kuasa menahan gejolak luka yang bertubi-tubi menghantamnya. Bisakah ia berbesar hati seperti Elena? Anne memutuskan untuk menghapus buliran cairan bening yang membasahi pipinya. Ia meninggalkan tempat yang sangat melukai hatinya. Posisinya serba salah di mata Austin. Padahal, Anne hanya ingin mendengar kata terima kasih, sayangnya yang Anne dapatkan tidak jauh dari kata kebencian. Anne merenung sembari duduk di dalam taksi. Menyandarkan kepalanya dan mengukir indah harapan baru di atas luka yang masih menganga.
Austin pergi dengan Elena tanpa mempedulikan apakah Anne akan kecewa atau tidak. Awalnya, Elena kepikiran dengan Anne tapi keramaian menghiburnya. Apalagi, Elena sedang berada di tengah-tengah keluarga yang mencintainya. Anne menunggu Austin. Ia tidak menyerah dan terus menunggu seperti orang bodoh. Tidak ada lagi bus malam. Anne sampa ketiduran di halte karena menunggu dan menunggu. Kakinya bahkan terluka karena mengenakan heels dengan ukuran yang tidak terlalu tinggi.“Nona!” Anne mengernyitkan keningnya. Ia merasa ada seseorang yang menyentuh bahu dan juga memanggilnya.“Austin!” pekik Anne.“Apa saya menge
Anne berpegangan pada setiap dinding yang ia lewati. Perasaannya begitu hancur. Kalimat dari Austin yang barus saja terlontar terngiang-ngiang di dalam ingatannya. Tidak ada lagi airmata yang mengalir pada pipinya. Terasa kering dan kosong seperti hatinya.‘Kau pikir, aku sudi menikahimu?’‘Kalau bukan karena Elena yang memohon padaku sampai aku muak karena setiap hari harus mendengar namamu, aku tidak akan pernah menikahimu! Tidak akan pernah, Anne!’‘Wanita kotor!’‘Wanita licik!’‘Jangankan memiliki perasaan untukmu, aku bahkan merasa jijik saat aku berpapasan denganmu!’ Sumpah serapah yang Austin katakan begitu tegas tanpa adanya keraguan. Perasaan Anne sudah hancur lebur
'Apa kau akan terus menggadaikan suamimu, Elena?' Entah kenapa, kata-kata itu tertanam di dalam benak Anne. Terus saja terngiang-ngiang menghantuinya. Nyonya Jean yang tidak lain adalah Ibu kandung Elena, tiba-tiba saja datang berkunjung. Ia muncul dengan cara yang cukup mengejutkan. "Nyonya Jean pasti mendengar semua yang aku bicarakan dengan Kak Elena. Apa maksudnya dengan menggadaikan, ya?" gumam Anne. Nyonya Jean sama sekali tidak menegur Anne dan juga tidak bersikap terlalu sinis. Ia tahu kalau pernikahan antara Anne dan Austin merupakan keinginan Elena. Nyonya Jean membawa Elena pergi. Elena menuliskan semua jadwal dan apa saja yang diperlukan oleh Austin karena kemungkinan Elena tidak akan pulang untuk beberapa hari. Anne menyiapkan makan malam. Ia menghindari makanan yang tidak Austin sukai. Semua hidangan sudah selesai. Elena mengobati tangannya yang terluka karena beberapa sayatan pisau.
Plak! Entah setan apa yang merasuki Anne. Anne menampar Austin cukup keras sampai membekas merah tapak jari-jarinya di pipi Austin. Austin diam membeku. Ia hanya menyentuh pipinya tanpa mengubah posisi. Kesempatan itu digunakan oleh Anne untuk segera menjauh dari Austin yang sedang kehilangan kewarasannya.'Apa? Kenapa pintunya terkunci? Se--sejak kapan?' batin Anne. Anne sangat terkejut. Austin menyembunyikan kunci kamar tersebut entah di mana. Apakah di saku celananya? Pikir Anne."Setelah menamparku, apa kau sudah merasa hebat?" tanya Austin."Austin, buka pintunya!" pinta Anne."Bagaimana kalau aku tidak mau?" ujar Austin."Austin!" teriak Anne. "Apa belum puas kau merendahkanku, hah? Apa aku memiliki salah padamu?" teriak Anne lagi. Sebuah perjanjian menjerat Anne. Menyeretnya masuk ke dalam suatu hubungan yang terjalin sangat erat. Batasan, perlindungan, seperti menyerang Anne dar
Anne melewati malam yang mencengkam tersebut tanpa bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Elena atau bagaimana ia harus berhadapan dengan Austin. Austin tidak kembali. Mungkin saja ia menginap di tempat lain atau menyusul Elena, pikir Anne. Saat makanan tersaji di atas meja, tidak ada sedikitpun selera untuk menyentuhnya. Bayangan Austin terhadapnya terngiang jelas. Tap ... Tap ... Tap ... Suara langkah kaki mulai mendekat. Anne menoleh dan melihat pada sosok yang semakin membuatnya gemetar. "Anne, kenapa wajahmu pucat? Apa kau sakit?" "Kak Elena, aku tidak apa-apa," kata Anne. Anne mengelak menjawab. Menilik sikap Elena yang tulus dan perhatian padanya, membuat Anne semakin dicekik oleh rasa bersalah. Wajah Elena yang menunjukkan sebuah harapan besar, tidak mungkin akan Anne patahkan."Kak, bisakah ajarkan aku memasak makanan yang disuka
Austin kembali masuk ke dalam. Berusaha melupakan perasaan sesak yang tidak juga kunjung hilang dari hatinya.Austin membiarkan Anne pergi, tapi Anne memenuhi benak Austin. Bayangan-bayangan buruk melintas dengan keji."Austin!" Seorang pria paruh baya memanggilnya. "Austin!" teriak pria itu sembari membentak."Ah!" pekik Austin. Ia melangkahkan kakinya dengan pikiran kosong, sehingga tidak mendengar saat ada orang lain yang memanggilnya. "Ayah!" panggil Austin."Ayah tunggu di ruang kerja. Panggil Elena karena ada yang mau Ayah bicarakan dengan kalian," ucap Tuan Harold."Baik, Ayah."Austin baru sadar kalau Elena tidak ada di aula perjamuan. Acara sudah hampir selesai. Apa yang terjadi pada Anne seakan-akan tidak ada satu orang pun yang mengingatnya."Elena!" panggil Austin.Elena menoleh. "Austin," balas Elena."Ayah memanggil kita," ucap Elena."Kenapa tidak kau bawa Anne saja?" tanya Elena. "Bukankah kau baru saja mengejarnya?" imbuhnya dengan perasaan cemburu yang tidak lagi ia
Saat ini, Mattew sangat marah dengan sikap Austin. Baginya, cara memperlakukan Anne kali ini sudah sangat keterlaluan.Bagaimana mungkin, seorang suami menatap hina pada istrinya sendiri? Bahkan ia seperti bisu dan lumpuh tanpa memberikan bantuan ketika semua menginjak harga diri Anne."Nona Anne, ayo pergi!" ucap Mattew sembari memegang lengan Anne. Jari Anne bahkan berdarah karena ia dipaksa memungut pecahan gelas menggunakan tangannya secara langsung."Tapi, pekerjaaan saya ...""Anda di sini sebagai tamu. Tidak layak Anda melakukan sesuatu yang bukan menjadi bagian Anda," ucap Mattew. "Jika mereka tidak bisa menghargai Anda, biar saya yang menghormati Anda, Nona," sambungnya."Kenapa saya harus mendengarkan Anda?" tanya Anne untuk meyakinkan pilihannya."Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Apa Anda sedang mencari sebuah pengakuan?" ucap Mattew.Ucapannya terdengar sangat menohok. Menampar pikiran jernih Anne. Anne berdiri mengikuti gerakan Mattew.Anne membutuhkan pundak untukny
Dengan hati yang dipenuhi luka, Anne meraih seragam pelayan yang terjatuh di atas lantai. Ia menahan air matanya yang berharga.Anne mencoba kembali menyadarkan dirinya sendiri. Ia tidak boleh larut ke dalam kenikmatan sesaat yang tidak seharusnya.'Benar. Seperti inilah seharusnya aku diperlakukan,' batin Anne.Gaun mahal, heels, semua barang yang melekat ditubuh Anne, sudah ia tanggalkan. Ia menggantinya dengan seragam pelayan yang sudah usang.Elena masih menunggu. Ia ingin tahu, apakah Anne akan benar-benar kembali pada dirinya dulu yang sangat miskin atau akan berbalik membantahnya.Anne dan Elena, hubungan keduanya semakin memanas. Elena yang tidak siap dengan kecemburuannya, sedangkan Anne yang tidak ingin melewati batasannya.Keduanya memiliki pemikiran berbeda. Bertolak belakang antara ketakutan dan kebutuhan."Pakaian itu jauh lebih cocok untukmu," kata Elena sedikit mencibir Anne.Elena berbalik. Ia keluar dari ruang ganti tanpa menunggu jawaban atau bantahan dari mulut Ann
Anne keluar dari taksi. Ia langsung dipanah oleh tatapan orang-orang yang menyambutnya.Deg!Deg!Deg!Semuanya menatapnya asing, jijik, dan mengintimidasi. Anne menjadi takut untuk melangkah semakin jauh. Langkahnya seperti diam di tempat.Apalagi, jantungnya terus berdebar tidak tenang. Saat tubuh Anne berada dekat dengan bibir pintu, ia merasa menjadi sangat kecil.Pintu itu seperti ingin menelannya. Tubuh Anne gemetaran. Ia dipandang sebelah mata, bahkan sebelum dirinya masuk dan berbaur ke dalam acara tersebut.'Sepertinya, lebih baik aku pergi,' batin Anne.Tap!Anne menoleh pada seseorang yang menepuk bahunya. Seorang pria tampan yang saar ini sudah berdiri di sampingnya."Tuan Mattew!" pekik Anne."Apa yang Anda lakukan dengan berdiri sendirian di sini?" tanya Mattew. "Di mana Austin?" sambungnya."Dia terlalu sibuk. Bisakah Anda singkirkan tangan Anda dari pundak saya?" pinta Anne dingin.Tidak tahu bagaimana harus merespon. Mattew ingin menuruti keinginan Anne, tapi sayangny
Anne duduk diam menatap dinding yang kosong. Semuanya terasa hambar. Gaun mahal yang indah itu tidak menghilangkan fakta bahwa dirinya tidak diharapkan di dalam keluarga Austin."Kenapa aku semakin merasa kesepian?" gumam Anne.Anne beranjak dari tempatnya. Ia keluar dari rumah mewah yang nyatanya, juga bukan miliknya.Tap ... Tap ... Tap ...Heels itu menghentak di atas lantai. Membuat suara yang cukup nyaring di tengah kesunyiannya.Rambut Anne digulung ke belakang. Ia hanya menyisakan sedikit poninya. Make up tipis, juga gaun mewah yang Elena berikan untuknya."Ka ..." Tangan Anne melambai dan bibirnya hendak memanggil, tapi ia menariknya kembali.'Aku tidak seharusnya ada di antara mereka,' batin Anne.Anne membalikkan tubuhnya. Ia tidak ingin menjadi pengganggu antara hubungan Elena dan Austin yang nampak sangat harmonis.Mereka terlihat bercengkerama dan saling bercerita dengan bibir yang tersenyum lebar. Keindahan itu akan berlangsung lama, andai saja Anne tidak muncul di tenga
21Cukup lama Elena terbelenggu dalam perasaan cemburu yang membutakan mata hatinya. Hingga ia tidak ingin lagi bertegur sapa dengan Anne.Kali ini, mata hatinya terbuka lagi untuk memulai semuanya kembali. Elena mencoba menghilangkan rasa sakit yang terus melukai hatinya.Elena bersiap pergi menemui Anne. Namun, kakinya baru saja menuruni tangga, ia harus berhadapan dengan Austin."Elena, kau mau ke mana?" tanya Austin menoleh pada istrinya. Padahal, ia sedang merapikan pakaiannya di depan cermin besar dekat kamar tamu.Elena diam sesaat. Ia tidak ingin menjawab ke mana tujuannya. "Tidak, aku hanya sedikit lapar Austin," elaknya."Oh, aku kira mau menemui wanita itu," desis Austin."Tidak." Elena tersenyum tipis. "Elena, nanti malam ada acara keluarga di rumah Ayah. Aku harap, kau tidak punya alasan untuk menolak datang ke sana," kata Austin."Aku akan usahakan, Austin," jawab Elena."Oke." Austin melangkah mendekati Elena. Manik mata hitam mereka saling beradu. Tangan Austin mengus
Pagi hari, Elena keluar dari rumahnya untuk menghirup udara segar. Malam panjang bersama Austin sudah ia lalui meski hanya sekadar saling menatap di atas ranjang.Elena melirik ke arah rumah Anne. Rumah itu nampak sepi. Hatinya bertanya-tanya, apakah Anne baik-baik saja dalam kesunyian itu? Ada rasa khawatir di benak Elena, tapi ia masih enggan menemui Anne.Tidak berselang lama, Anne keluar dari rumah. Mereka saling menatap dengan perasaan canggung. Sebelum kemudian saling memalingkan wajah."Ternyata, kesalahanku fatal. Kak Elena pasti membenciku sekarang," gumam Anne lirih.Anne melangkahkan kakinya dan berniat bicara pada Elena. Namun, belum sampai tangannya menggapai, Elena sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu. Hati Anne berdenyut nyeri, sikap dingin Elena begitu menyiksanya.Elena berdiri di balik pintu. Wanita itu melihat dari celah jendela. Anne masih berdiri mematung, wajahnya nampak gelisah. Elena merasa bersalah, tapi ego nya menahan Elena untuk bicara pada Anne.Elena ber
19Elena duduk meringkuk memeluk lutut di depan jendela. Menatap rintik hujan yang mengguyur bumi sejak sore hari membuat hati Elena sedikit tenang.Dua sisi dirinya terus bermonolog mengatakan bahwa sikapnya pada Anne salah. Tapi sisi lain dirinya juga mengakui bahwa Elena cemburu. Dadanya terasa kian sesak, ada sedikit rasa sesal di dalam hatinya.Kenapa ia meminta Austin menikah lagi, sementara pria itu tidak pernah menuntut anak darinya.Pikiran Elena melayang pada saat mereka sedang berdebat kala itu."Austin, aku ingin kau menikah lagi," ucap Elena menatap lekat pada Austin yang duduk di hadapannya."Apa maksudmu, Elena?" Austin mengernyitkan dahi keheranan."Aku tidak akan bisa mengandung anakmu, tapi kau bisa memiliki keturunanmu." Elena mengubah posisi duduknya."Kau pikir, apa definisi kebahagiaan bagiku?" Austin meradang hingga nada bicaranya mulai sengit."Austin, pikirkan untuk masa depan kita. Kau harus memiliki keturunan yang akan meneruskan semua bisnismu. Bukankah rum
Anne ketakutan karena semalam Austin hampir memaksanya untuk menyerahkan mahkota kesucian yang ia jaga. Ia butuh ketenangan sehingga menunggu Elena. Sayangnya, respon yang Elena berikan diluar bayangannya.Anne merasa sesak tanpa bisa berkata-kata. Kakinya yang lemas semakin tidak mampu menompang tubuhnya.Elena menuduh Anne dengan sengaja menemuinya untuk memamerkan apa yang telah dilakukan Anne dengan Austin tanpa mengetahui seberapa takutnya Anne dan memilih untuk kabur.Anne bingung. Ke mana ia harus bersandar? Elena menatapnya dengan kebencian. Bahkan, Elena masuk ke dalam rumah tanpa menolah sedikitpun.'Bagaimana bisa jadi seperti ini?' batin Anne.**Elena menyandarkan punggungnya pada daun pintu. Kakinya juga lemas dan berangsur turun hingga Elena merasakan dinginnya lantai.Elena memeluk lututnya. Ia mulai tenggelam ke dalam emosi. Elena begitu egois. Ia merasa hanya dirinya sendiri yang terluka tanpa ingin tahu bagaimana stress dan frustasinya Anne maupun Austin.Elena meli