19Elena duduk meringkuk memeluk lutut di depan jendela. Menatap rintik hujan yang mengguyur bumi sejak sore hari membuat hati Elena sedikit tenang.Dua sisi dirinya terus bermonolog mengatakan bahwa sikapnya pada Anne salah. Tapi sisi lain dirinya juga mengakui bahwa Elena cemburu. Dadanya terasa kian sesak, ada sedikit rasa sesal di dalam hatinya.Kenapa ia meminta Austin menikah lagi, sementara pria itu tidak pernah menuntut anak darinya.Pikiran Elena melayang pada saat mereka sedang berdebat kala itu."Austin, aku ingin kau menikah lagi," ucap Elena menatap lekat pada Austin yang duduk di hadapannya."Apa maksudmu, Elena?" Austin mengernyitkan dahi keheranan."Aku tidak akan bisa mengandung anakmu, tapi kau bisa memiliki keturunanmu." Elena mengubah posisi duduknya."Kau pikir, apa definisi kebahagiaan bagiku?" Austin meradang hingga nada bicaranya mulai sengit."Austin, pikirkan untuk masa depan kita. Kau harus memiliki keturunan yang akan meneruskan semua bisnismu. Bukankah rum
Pagi hari, Elena keluar dari rumahnya untuk menghirup udara segar. Malam panjang bersama Austin sudah ia lalui meski hanya sekadar saling menatap di atas ranjang.Elena melirik ke arah rumah Anne. Rumah itu nampak sepi. Hatinya bertanya-tanya, apakah Anne baik-baik saja dalam kesunyian itu? Ada rasa khawatir di benak Elena, tapi ia masih enggan menemui Anne.Tidak berselang lama, Anne keluar dari rumah. Mereka saling menatap dengan perasaan canggung. Sebelum kemudian saling memalingkan wajah."Ternyata, kesalahanku fatal. Kak Elena pasti membenciku sekarang," gumam Anne lirih.Anne melangkahkan kakinya dan berniat bicara pada Elena. Namun, belum sampai tangannya menggapai, Elena sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu. Hati Anne berdenyut nyeri, sikap dingin Elena begitu menyiksanya.Elena berdiri di balik pintu. Wanita itu melihat dari celah jendela. Anne masih berdiri mematung, wajahnya nampak gelisah. Elena merasa bersalah, tapi ego nya menahan Elena untuk bicara pada Anne.Elena ber
21Cukup lama Elena terbelenggu dalam perasaan cemburu yang membutakan mata hatinya. Hingga ia tidak ingin lagi bertegur sapa dengan Anne.Kali ini, mata hatinya terbuka lagi untuk memulai semuanya kembali. Elena mencoba menghilangkan rasa sakit yang terus melukai hatinya.Elena bersiap pergi menemui Anne. Namun, kakinya baru saja menuruni tangga, ia harus berhadapan dengan Austin."Elena, kau mau ke mana?" tanya Austin menoleh pada istrinya. Padahal, ia sedang merapikan pakaiannya di depan cermin besar dekat kamar tamu.Elena diam sesaat. Ia tidak ingin menjawab ke mana tujuannya. "Tidak, aku hanya sedikit lapar Austin," elaknya."Oh, aku kira mau menemui wanita itu," desis Austin."Tidak." Elena tersenyum tipis. "Elena, nanti malam ada acara keluarga di rumah Ayah. Aku harap, kau tidak punya alasan untuk menolak datang ke sana," kata Austin."Aku akan usahakan, Austin," jawab Elena."Oke." Austin melangkah mendekati Elena. Manik mata hitam mereka saling beradu. Tangan Austin mengus
Anne duduk diam menatap dinding yang kosong. Semuanya terasa hambar. Gaun mahal yang indah itu tidak menghilangkan fakta bahwa dirinya tidak diharapkan di dalam keluarga Austin."Kenapa aku semakin merasa kesepian?" gumam Anne.Anne beranjak dari tempatnya. Ia keluar dari rumah mewah yang nyatanya, juga bukan miliknya.Tap ... Tap ... Tap ...Heels itu menghentak di atas lantai. Membuat suara yang cukup nyaring di tengah kesunyiannya.Rambut Anne digulung ke belakang. Ia hanya menyisakan sedikit poninya. Make up tipis, juga gaun mewah yang Elena berikan untuknya."Ka ..." Tangan Anne melambai dan bibirnya hendak memanggil, tapi ia menariknya kembali.'Aku tidak seharusnya ada di antara mereka,' batin Anne.Anne membalikkan tubuhnya. Ia tidak ingin menjadi pengganggu antara hubungan Elena dan Austin yang nampak sangat harmonis.Mereka terlihat bercengkerama dan saling bercerita dengan bibir yang tersenyum lebar. Keindahan itu akan berlangsung lama, andai saja Anne tidak muncul di tenga
Anne keluar dari taksi. Ia langsung dipanah oleh tatapan orang-orang yang menyambutnya.Deg!Deg!Deg!Semuanya menatapnya asing, jijik, dan mengintimidasi. Anne menjadi takut untuk melangkah semakin jauh. Langkahnya seperti diam di tempat.Apalagi, jantungnya terus berdebar tidak tenang. Saat tubuh Anne berada dekat dengan bibir pintu, ia merasa menjadi sangat kecil.Pintu itu seperti ingin menelannya. Tubuh Anne gemetaran. Ia dipandang sebelah mata, bahkan sebelum dirinya masuk dan berbaur ke dalam acara tersebut.'Sepertinya, lebih baik aku pergi,' batin Anne.Tap!Anne menoleh pada seseorang yang menepuk bahunya. Seorang pria tampan yang saar ini sudah berdiri di sampingnya."Tuan Mattew!" pekik Anne."Apa yang Anda lakukan dengan berdiri sendirian di sini?" tanya Mattew. "Di mana Austin?" sambungnya."Dia terlalu sibuk. Bisakah Anda singkirkan tangan Anda dari pundak saya?" pinta Anne dingin.Tidak tahu bagaimana harus merespon. Mattew ingin menuruti keinginan Anne, tapi sayangny
Dengan hati yang dipenuhi luka, Anne meraih seragam pelayan yang terjatuh di atas lantai. Ia menahan air matanya yang berharga.Anne mencoba kembali menyadarkan dirinya sendiri. Ia tidak boleh larut ke dalam kenikmatan sesaat yang tidak seharusnya.'Benar. Seperti inilah seharusnya aku diperlakukan,' batin Anne.Gaun mahal, heels, semua barang yang melekat ditubuh Anne, sudah ia tanggalkan. Ia menggantinya dengan seragam pelayan yang sudah usang.Elena masih menunggu. Ia ingin tahu, apakah Anne akan benar-benar kembali pada dirinya dulu yang sangat miskin atau akan berbalik membantahnya.Anne dan Elena, hubungan keduanya semakin memanas. Elena yang tidak siap dengan kecemburuannya, sedangkan Anne yang tidak ingin melewati batasannya.Keduanya memiliki pemikiran berbeda. Bertolak belakang antara ketakutan dan kebutuhan."Pakaian itu jauh lebih cocok untukmu," kata Elena sedikit mencibir Anne.Elena berbalik. Ia keluar dari ruang ganti tanpa menunggu jawaban atau bantahan dari mulut Ann
Saat ini, Mattew sangat marah dengan sikap Austin. Baginya, cara memperlakukan Anne kali ini sudah sangat keterlaluan.Bagaimana mungkin, seorang suami menatap hina pada istrinya sendiri? Bahkan ia seperti bisu dan lumpuh tanpa memberikan bantuan ketika semua menginjak harga diri Anne."Nona Anne, ayo pergi!" ucap Mattew sembari memegang lengan Anne. Jari Anne bahkan berdarah karena ia dipaksa memungut pecahan gelas menggunakan tangannya secara langsung."Tapi, pekerjaaan saya ...""Anda di sini sebagai tamu. Tidak layak Anda melakukan sesuatu yang bukan menjadi bagian Anda," ucap Mattew. "Jika mereka tidak bisa menghargai Anda, biar saya yang menghormati Anda, Nona," sambungnya."Kenapa saya harus mendengarkan Anda?" tanya Anne untuk meyakinkan pilihannya."Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Apa Anda sedang mencari sebuah pengakuan?" ucap Mattew.Ucapannya terdengar sangat menohok. Menampar pikiran jernih Anne. Anne berdiri mengikuti gerakan Mattew.Anne membutuhkan pundak untukny
Austin kembali masuk ke dalam. Berusaha melupakan perasaan sesak yang tidak juga kunjung hilang dari hatinya.Austin membiarkan Anne pergi, tapi Anne memenuhi benak Austin. Bayangan-bayangan buruk melintas dengan keji."Austin!" Seorang pria paruh baya memanggilnya. "Austin!" teriak pria itu sembari membentak."Ah!" pekik Austin. Ia melangkahkan kakinya dengan pikiran kosong, sehingga tidak mendengar saat ada orang lain yang memanggilnya. "Ayah!" panggil Austin."Ayah tunggu di ruang kerja. Panggil Elena karena ada yang mau Ayah bicarakan dengan kalian," ucap Tuan Harold."Baik, Ayah."Austin baru sadar kalau Elena tidak ada di aula perjamuan. Acara sudah hampir selesai. Apa yang terjadi pada Anne seakan-akan tidak ada satu orang pun yang mengingatnya."Elena!" panggil Austin.Elena menoleh. "Austin," balas Elena."Ayah memanggil kita," ucap Elena."Kenapa tidak kau bawa Anne saja?" tanya Elena. "Bukankah kau baru saja mengejarnya?" imbuhnya dengan perasaan cemburu yang tidak lagi ia
Austin kembali masuk ke dalam. Berusaha melupakan perasaan sesak yang tidak juga kunjung hilang dari hatinya.Austin membiarkan Anne pergi, tapi Anne memenuhi benak Austin. Bayangan-bayangan buruk melintas dengan keji."Austin!" Seorang pria paruh baya memanggilnya. "Austin!" teriak pria itu sembari membentak."Ah!" pekik Austin. Ia melangkahkan kakinya dengan pikiran kosong, sehingga tidak mendengar saat ada orang lain yang memanggilnya. "Ayah!" panggil Austin."Ayah tunggu di ruang kerja. Panggil Elena karena ada yang mau Ayah bicarakan dengan kalian," ucap Tuan Harold."Baik, Ayah."Austin baru sadar kalau Elena tidak ada di aula perjamuan. Acara sudah hampir selesai. Apa yang terjadi pada Anne seakan-akan tidak ada satu orang pun yang mengingatnya."Elena!" panggil Austin.Elena menoleh. "Austin," balas Elena."Ayah memanggil kita," ucap Elena."Kenapa tidak kau bawa Anne saja?" tanya Elena. "Bukankah kau baru saja mengejarnya?" imbuhnya dengan perasaan cemburu yang tidak lagi ia
Saat ini, Mattew sangat marah dengan sikap Austin. Baginya, cara memperlakukan Anne kali ini sudah sangat keterlaluan.Bagaimana mungkin, seorang suami menatap hina pada istrinya sendiri? Bahkan ia seperti bisu dan lumpuh tanpa memberikan bantuan ketika semua menginjak harga diri Anne."Nona Anne, ayo pergi!" ucap Mattew sembari memegang lengan Anne. Jari Anne bahkan berdarah karena ia dipaksa memungut pecahan gelas menggunakan tangannya secara langsung."Tapi, pekerjaaan saya ...""Anda di sini sebagai tamu. Tidak layak Anda melakukan sesuatu yang bukan menjadi bagian Anda," ucap Mattew. "Jika mereka tidak bisa menghargai Anda, biar saya yang menghormati Anda, Nona," sambungnya."Kenapa saya harus mendengarkan Anda?" tanya Anne untuk meyakinkan pilihannya."Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Apa Anda sedang mencari sebuah pengakuan?" ucap Mattew.Ucapannya terdengar sangat menohok. Menampar pikiran jernih Anne. Anne berdiri mengikuti gerakan Mattew.Anne membutuhkan pundak untukny
Dengan hati yang dipenuhi luka, Anne meraih seragam pelayan yang terjatuh di atas lantai. Ia menahan air matanya yang berharga.Anne mencoba kembali menyadarkan dirinya sendiri. Ia tidak boleh larut ke dalam kenikmatan sesaat yang tidak seharusnya.'Benar. Seperti inilah seharusnya aku diperlakukan,' batin Anne.Gaun mahal, heels, semua barang yang melekat ditubuh Anne, sudah ia tanggalkan. Ia menggantinya dengan seragam pelayan yang sudah usang.Elena masih menunggu. Ia ingin tahu, apakah Anne akan benar-benar kembali pada dirinya dulu yang sangat miskin atau akan berbalik membantahnya.Anne dan Elena, hubungan keduanya semakin memanas. Elena yang tidak siap dengan kecemburuannya, sedangkan Anne yang tidak ingin melewati batasannya.Keduanya memiliki pemikiran berbeda. Bertolak belakang antara ketakutan dan kebutuhan."Pakaian itu jauh lebih cocok untukmu," kata Elena sedikit mencibir Anne.Elena berbalik. Ia keluar dari ruang ganti tanpa menunggu jawaban atau bantahan dari mulut Ann
Anne keluar dari taksi. Ia langsung dipanah oleh tatapan orang-orang yang menyambutnya.Deg!Deg!Deg!Semuanya menatapnya asing, jijik, dan mengintimidasi. Anne menjadi takut untuk melangkah semakin jauh. Langkahnya seperti diam di tempat.Apalagi, jantungnya terus berdebar tidak tenang. Saat tubuh Anne berada dekat dengan bibir pintu, ia merasa menjadi sangat kecil.Pintu itu seperti ingin menelannya. Tubuh Anne gemetaran. Ia dipandang sebelah mata, bahkan sebelum dirinya masuk dan berbaur ke dalam acara tersebut.'Sepertinya, lebih baik aku pergi,' batin Anne.Tap!Anne menoleh pada seseorang yang menepuk bahunya. Seorang pria tampan yang saar ini sudah berdiri di sampingnya."Tuan Mattew!" pekik Anne."Apa yang Anda lakukan dengan berdiri sendirian di sini?" tanya Mattew. "Di mana Austin?" sambungnya."Dia terlalu sibuk. Bisakah Anda singkirkan tangan Anda dari pundak saya?" pinta Anne dingin.Tidak tahu bagaimana harus merespon. Mattew ingin menuruti keinginan Anne, tapi sayangny
Anne duduk diam menatap dinding yang kosong. Semuanya terasa hambar. Gaun mahal yang indah itu tidak menghilangkan fakta bahwa dirinya tidak diharapkan di dalam keluarga Austin."Kenapa aku semakin merasa kesepian?" gumam Anne.Anne beranjak dari tempatnya. Ia keluar dari rumah mewah yang nyatanya, juga bukan miliknya.Tap ... Tap ... Tap ...Heels itu menghentak di atas lantai. Membuat suara yang cukup nyaring di tengah kesunyiannya.Rambut Anne digulung ke belakang. Ia hanya menyisakan sedikit poninya. Make up tipis, juga gaun mewah yang Elena berikan untuknya."Ka ..." Tangan Anne melambai dan bibirnya hendak memanggil, tapi ia menariknya kembali.'Aku tidak seharusnya ada di antara mereka,' batin Anne.Anne membalikkan tubuhnya. Ia tidak ingin menjadi pengganggu antara hubungan Elena dan Austin yang nampak sangat harmonis.Mereka terlihat bercengkerama dan saling bercerita dengan bibir yang tersenyum lebar. Keindahan itu akan berlangsung lama, andai saja Anne tidak muncul di tenga
21Cukup lama Elena terbelenggu dalam perasaan cemburu yang membutakan mata hatinya. Hingga ia tidak ingin lagi bertegur sapa dengan Anne.Kali ini, mata hatinya terbuka lagi untuk memulai semuanya kembali. Elena mencoba menghilangkan rasa sakit yang terus melukai hatinya.Elena bersiap pergi menemui Anne. Namun, kakinya baru saja menuruni tangga, ia harus berhadapan dengan Austin."Elena, kau mau ke mana?" tanya Austin menoleh pada istrinya. Padahal, ia sedang merapikan pakaiannya di depan cermin besar dekat kamar tamu.Elena diam sesaat. Ia tidak ingin menjawab ke mana tujuannya. "Tidak, aku hanya sedikit lapar Austin," elaknya."Oh, aku kira mau menemui wanita itu," desis Austin."Tidak." Elena tersenyum tipis. "Elena, nanti malam ada acara keluarga di rumah Ayah. Aku harap, kau tidak punya alasan untuk menolak datang ke sana," kata Austin."Aku akan usahakan, Austin," jawab Elena."Oke." Austin melangkah mendekati Elena. Manik mata hitam mereka saling beradu. Tangan Austin mengus
Pagi hari, Elena keluar dari rumahnya untuk menghirup udara segar. Malam panjang bersama Austin sudah ia lalui meski hanya sekadar saling menatap di atas ranjang.Elena melirik ke arah rumah Anne. Rumah itu nampak sepi. Hatinya bertanya-tanya, apakah Anne baik-baik saja dalam kesunyian itu? Ada rasa khawatir di benak Elena, tapi ia masih enggan menemui Anne.Tidak berselang lama, Anne keluar dari rumah. Mereka saling menatap dengan perasaan canggung. Sebelum kemudian saling memalingkan wajah."Ternyata, kesalahanku fatal. Kak Elena pasti membenciku sekarang," gumam Anne lirih.Anne melangkahkan kakinya dan berniat bicara pada Elena. Namun, belum sampai tangannya menggapai, Elena sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu. Hati Anne berdenyut nyeri, sikap dingin Elena begitu menyiksanya.Elena berdiri di balik pintu. Wanita itu melihat dari celah jendela. Anne masih berdiri mematung, wajahnya nampak gelisah. Elena merasa bersalah, tapi ego nya menahan Elena untuk bicara pada Anne.Elena ber
19Elena duduk meringkuk memeluk lutut di depan jendela. Menatap rintik hujan yang mengguyur bumi sejak sore hari membuat hati Elena sedikit tenang.Dua sisi dirinya terus bermonolog mengatakan bahwa sikapnya pada Anne salah. Tapi sisi lain dirinya juga mengakui bahwa Elena cemburu. Dadanya terasa kian sesak, ada sedikit rasa sesal di dalam hatinya.Kenapa ia meminta Austin menikah lagi, sementara pria itu tidak pernah menuntut anak darinya.Pikiran Elena melayang pada saat mereka sedang berdebat kala itu."Austin, aku ingin kau menikah lagi," ucap Elena menatap lekat pada Austin yang duduk di hadapannya."Apa maksudmu, Elena?" Austin mengernyitkan dahi keheranan."Aku tidak akan bisa mengandung anakmu, tapi kau bisa memiliki keturunanmu." Elena mengubah posisi duduknya."Kau pikir, apa definisi kebahagiaan bagiku?" Austin meradang hingga nada bicaranya mulai sengit."Austin, pikirkan untuk masa depan kita. Kau harus memiliki keturunan yang akan meneruskan semua bisnismu. Bukankah rum
Anne ketakutan karena semalam Austin hampir memaksanya untuk menyerahkan mahkota kesucian yang ia jaga. Ia butuh ketenangan sehingga menunggu Elena. Sayangnya, respon yang Elena berikan diluar bayangannya.Anne merasa sesak tanpa bisa berkata-kata. Kakinya yang lemas semakin tidak mampu menompang tubuhnya.Elena menuduh Anne dengan sengaja menemuinya untuk memamerkan apa yang telah dilakukan Anne dengan Austin tanpa mengetahui seberapa takutnya Anne dan memilih untuk kabur.Anne bingung. Ke mana ia harus bersandar? Elena menatapnya dengan kebencian. Bahkan, Elena masuk ke dalam rumah tanpa menolah sedikitpun.'Bagaimana bisa jadi seperti ini?' batin Anne.**Elena menyandarkan punggungnya pada daun pintu. Kakinya juga lemas dan berangsur turun hingga Elena merasakan dinginnya lantai.Elena memeluk lututnya. Ia mulai tenggelam ke dalam emosi. Elena begitu egois. Ia merasa hanya dirinya sendiri yang terluka tanpa ingin tahu bagaimana stress dan frustasinya Anne maupun Austin.Elena meli