“Kenapa kamu yang nyiram tanaman di belakang? Ke mana Umar?”Banyu sengaja pulang cepat sore ini, karena hendak mengajak Damay pergi keluar. Tidak hanya itu, sebenarnya ia merasa tidak betah berada di kantor dan ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Tidak seperti biasanya, Banyu lebih memilih berada di kantor, bertemu relasi, atau menghadiri beberapa undangan dari rekan politiknya.Bibir polos Damay itu mengerucut. Mengangkat wajah untuk melihat Banyu yang tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya. Damay yakin sekali ini bukan waktunya Banyu pulang ke rumah, tapi mengapa pria itu sudah ada di sini. “Kok sudah pulang?”“Kenapa, kamu yang nyiram taman belakang?” ulang Banyu belum mendapatkan jawaban dari Damay. Ia pun menoleh ke sekeliling tapi tidak mendapati Umar sama sekali. Bahkan, dari depan menuju belakang, Banyu juga belum melihat sosok Umar.“Bosen! Di rumah cuma makan tidur, nyuci baju, jemur, setrika!” Damay mengalihkan pandangan dari Banyu. Kembali menyiram beberapa tanaman yang ter
“Mau makan malam di mana?”Tahu bahwa Banyu tidak menyukainya memakai lipstik berwarna merah menyala, maka Damay kali ini memoles bibirnya dengan warna yang natural. Damay pun berpenampilan sangat kasual dengan hanya memakai kaos, celana jeans dan flat shoes. Tidak lupa, Damay menggerai rambut bergelombangnya, untuk menutupi jejak merah yang ditinggalkan Banyu di lehernya.“Kamu mau makan apa?” Banyu yang baru saja menuruni tangga langsung meraih tangan Damay, lalu menautkan jemari mereka. Ia bertanya balik, karena belum menemukan tempat untuk makan malam. Yang jelas, tujuan sebenarnya adalah membawa Damay ke sebuah pusat perbelanjaan dan membeli beberapa barang kebutuhan gadis itu.Sembari berjalan keluar di samping Banyu, Damay menunduk dan melihat jemari mereka yang saling bertaut. Pikirannya seolah sulit menerima jika Banyu bisa melakukan semua hal seperti ini. Mengingat, semua sikap kasar yang pria itu lakukan dahulu kala. Damay jadi berpikir, apakah pria yang kini sudah menjadi
“Kita ke mall lagi?” Dua hari lalu, Damay dan Banyu juga pernah datang ke tempat tersebut. Hari itu, adalah puncak dari semua masalah yang ada. Damay pergi dari Banyu, tapi ujung-ujungnya ia kembali lagi dengan sukarela ke rumah pria itu. Sampai akhirnya, Damay sudah berganti status menjadi istri Banyu dalam sekejap mata. “Kamu belum beli …” Banyu menjeda sejenak kalimatnya agar fokus memarkirkan mobil. Setelah berhenti dengan sempurna, Banyu memandang Damay sembari mematikan mesin mobilnya. “Pakaian dalam, kan?” Damay tersenyum datar, disertai kekehan garing menanggapinya. Membuka sabuk pengamannya dengan perlahan, lalu berujar ragu untuk memastikan. “Mau beli di sini?” “Memangnya di mana lagi?” “Kan, katanya mau beli on-line.” Tatapan Banyu kemudian turun pada bagian dada gadis itu. “Bukannya, lebih afdol kalau bisa sekalian dicoba?” Banyu mengulang kalimat yang pernah dikatakan Damay kala itu di ruang kerjanya. “Masa’ nyobanya di depan Bapak?” Damay sedikit menunduk, tapi ta
“Pak … Banyu yakin mau masuk ke sana?”Sebenarnya, Damaylah yang merasa ragu untuk memasuki toko yang sudah ada di depannya. Dari nama merek yang terpajang di atas bingkai pintu saja, Damay tahu kalau harga barang-barang di dalam sangat luar biasa mahal. Karena itulah, Damay tidak yakin untuk masuk, terlebih untuk membeli pakaian dalam di sana.Banyu mengangguk sangat yakin. “Merek mereka sudah terkenal, jadi kenapa harus ragu.”Damay berbalik, dan tanpa sadar menyelipkan tangan pada lengan Banyu. Sedikit merapat untuk berbicara pelan pada sang suami. “Pasti mahal, Pak. Cuma pake di dalam, terus nggak ada yang lihat. Jadi, ngapain capek-capek beli?”“Dibeli untuk dipakai,” ujar Banyu melepas tangan Damay, lalu membalik kembali tubuh gadis itu. Untuk kesekian kalinya, pemikiran gadis itu benar-benar membuat Banyu menggeleng kepala. Jika wanita lain, Banyu yakin mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada pada saat ini. “Dan cuma aku yang boleh lihat.”“Eh.” Wajah Damay sontak
“Nggak mau … dicoba dulu.” Banyu kemudian berdehem, karena kamar Damay tiba-tiba terasa panas baginya. Melihat beberapa paper bag yang diletakkan begitu saja di sofa, membuat Banyu bertanya-tanya, apakah semua barang yang dibeli beberapa waktu lalu tidak menarik bagi Damay. Seingat Banyu, setiap ia selesai mengantar Tari shopping, adiknya itu pasti akan buru-buru mengeluarkan semua barang belanjaan dan mencobanya kembali satu per satu. Namun, tidak dengan Damay yang justru langsung berlari ke ranjang dan menghempas tubuh di sana. “Nanti.” Damay bertelungkup lalu meregangkan seluruh otot di tubuhnya. Terbiasa berada di rumah dan jarang berjalan-jalan seperti tadi, ternyata cukup membuat kaki Damay merasa pegal. Setelah ini, Damay akan minta tolong untuk dibelikan timbangan badan, agar ia bisa melihat bobot tubuhnya saat ini. Hanya makan tidur, dan tidak melakukan kegiatan apapun, sepertinya sudah membuat tubuh damay sedikit melebar. “Tunggu Pak Banyu keluar, baru aku coba.” “Kalau ak
Banyu tidak pernah menduga, jika menikah dengan Damay akan mewarnai kehidupan monotonnya sedemikian rupa. Terkadang, Banyu harus mengelus dada karena sikap sang istri yang terlalu polos dan terus terang. Namun, di sisi lain Banyu bisa dibilang beruntung karena mengatur gadis yang berusia 19 tahun yang sudah menjadi istrinya itu tidak terlalu merepotkan.Banyu tidak bisa membayangkan jika ia akan hidup bersama Elok sebagai sepasang suami istri. Karakter Elok yang dominan dan ambisius itu, pasti akan selalu mengalami bentrok dengan Banyu bila mereka bersama.Sementara Damay, gadis itu terlalu mudah untuk dimanipulasi oleh Banyu. Dalam artian, di usia Damay yang masih 19 tahun, Banyu masih bisa membentuk karakter dan mengarahkan sang istri sesuai dengan keinginannya.Hal itu pun terbukti. Semakin hari, Damay semakin bisa diarahkan meski terkadang, mulutnya itu masih saja suka membantah dan melayangkan protes terlebih dahulu pada Banyu. Namun pada akhirnya, Damay akan menurut dan melakuka
Mulut Damay tidak berhenti terbuka, dan memandang kagum pada kamar bulan madunya dengan Banyu. Sebuah tempat tidur berukuran king size, dengan taburan kelopak mawar berbentuk hati di atasnya, membuat wajah Damay seketika bersemu.Sejenak, Damay mengingat percakapannya dengan Banyu kemarin malam, tentang hubungan intim yang belum siap ia lakukan. Apa benar Banyu tidak akan memaksanya untuk melakukan hubungan suami istri, jika Damay memang tidak siap?Bukankah, pria itu suka memaksa dan kerap bertindak semaunya? Jadi, apakah Banyu bisa berpegang teguh dengan ucapannya tersebut.“Jangan dilihatin terus, nanti mukamu tambah merah,” ejek Banyu yang sedari tadi sudah memperhatikan ekspresi Damay dan ke mana kedua mata gadis itu tertuju.Bibir Damay langsung mengerucut, lalu memalingkan wajah dari Banyu. Kenapa jantungnya selalu saja berdebar kencang ketika bersama Banyu seperti ini. Apakah, ini yang dinamakan cinta?Oh, tidak bisa! Damay tidak boleh jatuh cinta pada Banyu, sebelum pria itu
Ponsel Banyu kembali berbunyi. Karena nama yang sama kembali muncul di sana, maka tanpa segan ia segera menolak panggilan tersebut. Tidak ingin malam yang sudah ditunggu-tunggunya terganggu, Banyu akhirnya mematikan benda canggih miliknya. Membiarkannya tergeletak di nakas, dan akan menyalakannya besok pagi. Suara pintu kamar mandi yang terbuka, membuat Banyu yang hanya memakai handuk memalingkan wajah. Di kepalanya, sudah terbayang tubuh sensual sang istri memakai lingerie yang sudah Banyu pilihkan sebelumnya. Akan tetapi, semua ekspektasi Banyu runtuh seketika, saat melihat Damay keluar dengan tubuh berbalut bathrobe dengan rapat. Rasa-rasanya, Banyu ingin mengumpat dengan keras karena terlalu kesal bercampur geregetan dengan sikap istrinya itu. “Ke mana lingerinya?” Banyu menahan napas, agar emosinya tetap stabil pada tempatnya. Jika tidak, ia pasti akan langsung menerjang Damay dan tidak akan memiliki kesabaran seperti ini lagi. Bayangkan saja, tujuh hari lebih Banyu menunggu h
Halu Mba beb ... Kita langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Bukan Istri Sah. Plus, yang sudah ngasih usulan nama anaknya pak Banyu yaa. Amee la : 1.000 koin GN + pulsa 200rb ArPi Kim : 750 koin GN + pulsa 150 rb Zee Sandi : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb Tyarini : 250 koin Gn + pulsa 25 rb RiztyrieM : 150 koin Gn + pulsa 20 rb Sila klaim via DM ke igeh saia yaa, @kanietha_ dan jangan lupa untuk follow lebih duluuh yaa. Atas semua atensinya untuk pak Banyu juga Damay, saia ucapkan terima kasih banyak-banyak. Kiss so muuch ....PS : Saia tunggu sampe tangga 28 Sept '22 pukul 12.00 siang hari yakk.Kalau masih belum setor, saia anggap HANGUS.🙏🙏🙏
“Haloo, cucu Eyang …” Airin langsung mengambil alih bayi tampan yang semakin menggemaskan dari gendongan Damay. Mengangkatnya setinggi kepala, lalu memberi ciuman gemas pada kedua pipi gembilnya. Bayi mungil yang sudah berusia tiga bulan itu, hanya bisa tertawa geli dengan ulah wanita yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. “Kamu titip sini aja sama Eyang, ya!” seru Airin berbicara pada bayi yang tersenyum melihatnya. “Biar daddy sama mami aja yang ke Kalimantan, sekalian bulan madu.” Seno menggeleng melihat tingkah istrinya, yang memang sangat merindukan seorang cucu. Tidak hanya Airin sebenarnya, tapi Seno juga berharap hal yang sama. Namun, apa mau dikata jika Bumi dan Tari masih belum kunjung diberi keturunan hingga saat ini. Keduanya sudah mengikuti program hamil dan menjalankan semua perintah dari dokter, tapi, sampai saat ini masih belum berhasil. Sejenak, Seno sempat berpikir. Bagaimana bila Damay dahulu kala benar-benar menjadi menantunya. Akan tetapi, Seno dengan s
Malam yang penuh ketegangan itu, akhirnya bisa dilewati Damay dan Banyu dengan rasa lega. Hanya berdua tanpa keluarga, dan benar-benar buta akan semua hal. Mereka hanya mengandalkan petunjuk dan perintah dokter, serta para perawat yang bertugas untuk mengecek kondisi Damay.Setelah ini, Banyu hanya akan memfokuskan diri dengan keluarga kecilnya. Baru kali ini Banyu benar-benar menghadapi semua ketegangan seorang diri. Tanpa support dari keluarga, yang dahulu kala pernah ia bela mati-matian. Hampir seluruh hidup Banyu, sudah ia curahkan pada Selly, maupun Tari. Namun, tidak satu pun dari keduanya datang, atau paling tidak, menghubungi Banyu melalui panggilan telepon.Hanya ada Adam, yang sesekali mengirimkan pesan untuk bertanya mengenai proses kelahiran cucunya. Sementara yang lain, seolah tenggelam bak ditelan bumi.Justru, orang lainlah yang kini terasa seperti keluarga bagi Banyu. Ada Airin, yang langsung menelepon pagi itu, ketika Damay mengabarkan bahwa sang bayi laki-lakinya sud
“Tarik napas.” Damay mengikuti instruksi Banyu, ketika kontraksinya mulai kembali datang. Sejak pria itu kembali dari kantor, yang dilakukan Damay hanyalah menempel pada sang suami. Saat kontraksi itu datang, yang diinginkan Damay hanya berada di dalam pelukan Banyu, dan menginginkan sang suami untuk mengusap punggung, maupun perutnya dengan perlahan. “Masih kuat?” tanya Banyu kembali memastikan kondisi istrinya. Banyu memang tidak bisa merasakan rasa sakit yang mulai kerap menghampiri sang istri. Namun, jika dilihat dari wajah pias disertai bulir keringat yang membasahi wajah Damay, Banyu yakin bahwa rasa sakit itu benar-benar luar biasa. Itu baru kontraksi, bagaimana jika waktu kelahiran itu akhirnya tiba? “Kuat.” Damay berujar lirih untuk menyemangati dirinya sendiri. Sudah hampir seharian ini Damay merasakan sakit yang tidak ada duanya. Sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki sungguh merasakan semua nyeri tanpa terkecuali. “Tapi sakiiit.” “Sabar sebentar.” Banyu masih memeluk
“Sebentar lagi aku tinggal, sebelum makan siang aku balik.” Jelang subuh, Damay mulai mengeluh sakit perut. Baik Airin maupun dokter yang menangani Damay, sudah berpesan agar jangan terlalu panik dalam menghadapi kontraksi jelang hari perkiraan lahir. Apalagi, jika rentang waktu kontraksi tersebut belumlah terlalu rapat, Namun, tidak dengan Banyu. Ketika ia mendengar keluhan yang berbeda dari sang istri, Banyulah yang merasa panik lebih dulu. Semua tas persiapan untuk pergi ke rumah sakit, langsung Banyu letakkan sendiri di bagasi mobil tanpa menyuruh siapa pun. Banyu ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, jika semua persiapan sudah lengkap dan tidak ada yang kurang sama sekali. Tidak cukup sampai di situ. Begitu pagi menjelang, Banyu segera meminta Damay bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Karena ada meeting yang tidak bisa ditinggal Banyu pagi harinya, maka ia merasa lebih aman jika meninggalkan Damay di rumah sakit. “Tapi kalau ada apa-apa, cepat kabari aku,” tambah Ban
“Nggak usah beli boks bayi, taruh aja di kasur, beres. Nggak ribet angkat-angkat.” Banyu masih berdiri di samping boks bayi, yang menarik perhatiannya. Namun, Damay sudah meninggalkannya karena tidak setuju membeli tempat tidur khusus untuk bayi mereka. Bukankah lebih aman jika bayi mungil mereka nantinya diletakkan di boks bayi, daripada di atas tempat tidur? Banyu yang masih ingin membeli tempat tidur untuk bayinya, bergegas menyusul Damay yang tengah berbicara dengan salah satu pramuniaga toko. Banyu menunggu sejenak, sampai Damay menyelesaikan obrolannya sembari menyerahkan daftar catatan perlengkapan bayi yang akan dibeli kali ini. “Bukannya lebih enak dan aman pake boks bayi?” ujar Banyu setelah pramuniaga toko pergi, untuk mencari dan mempersiapkan barang-barang pesanan Damay. “Tetanggaku yang pernah lahiran, nggak ada yang pernah beli boks bayi, aman-aman aja.” Mata Damay menyasar pada kursi tunggu yang berada di sebelah pintu bagian dalam. Kemudian, ia kembali meninggalkan
“Pak Banyuu.” Damay menempel pada bingkai pintu ruang kerja Banyu. Menguap sebentar, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Kerjanya masih lama? Aku sudah ngantuk.” Banyu mengalihkan wajah dari laptop. “Tidur aja duluan.” Bagaimana Damay bisa tidur jika tidak ada Banyu di sampingnya. Jika siang hari, Damay memang sudah terbiasa tidur tanpa Banyu, karena suaminya itu memang harus bekerja. Namun, ketika malam menjelang seperti ini, Damay tidak bisa memejamkan mata kecuali ada Banyu di sampingnya. Hal ini sudah terjadi sejak awal-awal kehamilan Damay, dan ini pertama kalinya Banyu belum masuk ke kamar mereka, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Aku nggak bisa tidur,” keluh Damay kemudian berjalan masuk menghampiri Banyu. Damay mendudukkan dirinya di atas paha Banyu, lalu bersandar pada tubuh sang suami. “Nggak ada yang meluk.” Banyu terkekeh pelan, lalu merengkuh tubuh Damay dengan kedua tangannya. Semakin hari, istrinya itu semakin posesif, manja, dan tida
“Ini pertama, dan terakhir kalinya kita pergi nonton.” Belum ada lima menit mereka berdua duduk berdampingan di dalam bioskop, Damay sudah menguap hingga berulang kali. Saat penerangan di dalam ruang mulai dimatikan, detik itu juga Damay langsung menutup mata dan merajut mimpinya dengan lelap. Menyisakan Banyu, yang pada akhirnya harus menonton film romantis pilihan sang istri, yang sangat membosankan seorang diri. Damay tergelak tanpa melepas tangannya yang bergelayut rapat pada lengan Banyu. “Ngajaknya, sih, pas jam aku tidur siang. Jadinya ngantuk, kan? Apalagi habis makan banyak di rumah bu Airin, tambah lengket mataku jadinya.” Banyu berdecak, tapi tersenyum kemudian saat melihat wajah Damay yang tampak ceria. Lebih baik seperti ini, daripada harus melihat sang istri menangis seperti pagi tadi. “Ini mau makan lagi? Pulang? Atau … ke mana?” “Cari tempat duduk, ngabisin pop corn, terus kita pulang.” Banyu tidak salah jika masih saja menganggap sang istri terlalu naif. Sebenar
Banyu membuka pintu kamar dengan perlahan. Menghela sejenak, saat melihat Damay sudah berbaring miring dengan memakai selimut yang dipakainya dengan asal. Tubuh Damay masih terlihat berguncang kecil, karena sesenggukan dengan sisa tangis yang belum kunjung hilang.Setelah mendengar semua isi perasaan Damay, Banyu akhirnya menyadari di mana letak kesalahannya. Tari dan keluarganya memang penting bagi Banyu, tapi mereka semua bukanlah hal yang utama setelah ia memiliki istri. Harusnya, Banyu bisa menempatkan diri ketika berada di situasi seperti sekarang.Damay benar tentang Tari. Harusnya, Banyu tidak perlu lagi memikirkan Tari karena sang adik sudah memiliki keluarga sendiri. Tari sudah dewasa dan bahagia bersama Bumi. Jadi, Banyu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana perasaan Tari saat ini.Banyu naik ke atas tempat tidur dan langsung membaringkan tubuh di samping Damay. Memeluk istrinya dari belakang, kemudian mengusap perut buncit itu dengan perlahan.“Mau ke tempat bu Airi