"Van, hari ini ada dinner di luar. Kamu ikut, 'kan?" Elvano menatap Zion sekilas, lalu menggeleng singkat. " Leana sedang hamil muda, kasihan jika ditinggal sendiri. Apalagi dia sedang manja-manjanya beberapa hari ini." Air yang baru saja Zion teguk langsung menyembur begitu saja. Pria itu terbatuk, nafasnya terngah. Setelah berdehem serta menormalkan deru nafasnya, Zion menatap Elvano dalam. "Van, jangan bilang kamu sudah cinta sama istri kamu sendiri?" celetuknya dengan seringai menggoda."Dia istri saya, bukankah hal wajar?" Zion menganga mendengar balasan singkat itu, dia melangkah mendekat──meneliti raut Elvano yang tak terlihat bercanda. "Luar biasa! Leana mampu membuat kamu move on dari Sasmita dalam waktu beberapa bulan saja?!" Zion berseru heboh, membuat Elvano memutar bola mata malas. "Jangan sebut nama dia lagi," timpal Elvano datar. "Kenapa memanganya? Kamu masih kepikiran sama──" "Stop, oke? Lebih baik selesaikan jadwal hari ini, saya juga akan pulang cepat." Zi
"Selamat sore, Mbok Sumi." Leana menyapa mbok Sumi ceria, lalu merebahkan punggunya pada sofa. "Bu Leana sudah pulang kerja, butuh sesuatu tidak?" Leana menggeleng sembari tersenyum singkat. "Tidak, Mbok. Saya hanya sedikit merasa lelah." Mbok Sumi mendekat, lalu berdiri di belakang perempuan itu. "Permisi ya, Bu." Mbok Sumi mulai memijat pelan pundak Leana, membuat sang empu keenakan."Pijatan Mbok Sumi memang tiada duanya!" seru Leana, membuat wanita paruh baya itu tersenyum lembut. Beberapa hari ini mbok Sumi memang sering memijatnya, mengingat perempuan itu selalu mengeluh tentang pusing serta pegal-pegal."Mas Elvano belum pulang, Mbok?""Belum, Bu. Apakah Pak Elvano tidak memberi tahu Ibu jika beliau akan pulang telat?" Leana menggeleng, lalu mengecek ponselnya."Eh, iya! Ini dia chat beberapa menit yang lalu. Katanya ada yang perlu diurus, makanya pulang telat," tutur Leana lesu di akhir kalimatnya, mbok Sumi yang melihat itu hanya mampu mengulum senyum. Leana selain berubah
Sania menghembuskan nafas pasrah ketika Alvaro──yang tak lain adalah suaminya sendiri terus saja membahas mengenai aset-aset mereka yang akan diserahkan ke cucunya yang belum lahir. "Papa, sudahlah. Kandungan Leana juga usianya masih empat minggu." "Tidak bisa begitu, Ma. Pokoknya kita harus menyediakan ini sedini mungkin, Mama tahu sendiri jika Elvano tidak mau mengurus prusahaan, hidupnya sudah didedikasikan untuk menjadi dokter. Terus kepada siapa aset-aset semua ini kalau bukan untuk cucu pertama kita." "Baiklah, gimana baiknya menurut Papa saja, Mama hanya mengikuti." Alvaro tersenyum lebar, membuat Sania menggelengkan kepala pelan. "Pa. Beberapa bulan lagi ada pembukaan butiknya Zelina di cabang Bali dan Lombok. Mama tidak apa-apa 'kan ikut ke sana?" Alvaro menatap sang istri dalam, lalu menggeleng singkat. "Boleh, tapi jangan lupa untuk selalu perhatikan Leana juga, Ma. Papa tahu jika Mama tidak akrab dengan dia. Tapi setidaknya ajaklah dia jalan-jalan, mau bagaimanapun di
Sasmita merasakan jika aliran darahnya terhenti, jantungnya kian berdegup kencang, bahkan kini tangannya bergetar di bawah meja. Tidak mungkin, bukan. Tidak mungkin Elvano dan Leana melakukan sampai sejauh itu. Sasmita sangat mengenal Elvano, selama menjalin hubungan dengannya. Elvano bahkan hanya memegang tangannya, dan itu juga yang membuat Sasmita kesal serta sempat meragukan perasaan Elvano terhadapnya. "Aku kenal Elvano, jangan berbohong Leana. Leluconmu sama sekali tak ada lucunya!" Leana mengerjap polos. "Eum, ya sudah jika Kakak tidak percaya. Aku bisa apa?" celetuk Leana dengan senyuman lebar, bahkan sekarang dia berlagak seperti adik kecil yang lugu. "Tutup mulutmu Leana, aku semakin tidak mengenalmu sekarang!" Sasmita dengan cepat menyambar tasnya kasar, lalu mendekat ke arah Leana sembari berbisik lirih. "Tunggu saja adik kecil, aku akan merebutnya kembali." Perempuan itu melenggang santai, meninggalkan Leana yang menegang di tempatnya.Bunyi ponsel menyadarkannya, dia b
Dua hari setelah pertemuannya dengan Sasmita, Leana merasa cukup lega. Karena nyatanya Sasmita tak muncul lagi di hadapannya. Dan Leana akan memastikan apakah Sasmita pulang ke Italia atau tidak. "Kak Lea!" Leana tersenyum lebar melihat Arsen. "Kok sore-sore begini datangnya? Memangnya Mas Elvano izinin Kakak?" tanya Arsen sembari mengambil alih paper bag yang Leana bawa. "Tenang, kakak udah izin. Jadi, aman terkendali," canda Leana sembari melepas sepatunya, dan masuk ke dalam rumahnya. "Ibu di mana?" "Tidak tahu, katanya mau ke Batam besok sore." Leana yang sudah mendudukkan bokongnya langsung menoleh ke arah Arsen. "Ada urusan apa sampai Ibu ke luar kota?" Arsen hanya mengangkat bahu. Leana yang melihatnya hanya terdiam, lalu menepuk pundak Arsen pelan. "Tolong ambil piring, sama air dingin di kulkas." Arsen mengangguk, tapi langkahnya terhenti kala mengingat sesuatu. Dia pun berbalik sembari menatap Leana. "Kakak minum air dingin?" "Iya, kenapa?" jawab Leana dengan tatapan b
Tubuh Elvano menegang, lalu menarik tangannya yang sedari terus mengelus perut datar Leana. "Ayo tidur, aku juga mau lanjut bekerja." Leana menelan ludah susah payah, dia tahu jika Elvano sedang mengalihkan pembicaraan."Ya, aku juga mengantuk sehabis makan." Leana berucap serak, dia merasa malu sekaligus tersakiti disaat yang bersamaan. Bukankah mereka sudah sepakat untuk tak melibatkan hati? Lantas mengapa perasaannya melampaui batas? Dan akhirnya Leana kecewa akan ekspektasinya sendiri. Sementara itu, Elvano kembali mengusap perut datar Leana. "Hai, Little Bunny. Mama kamu sudah mengantuk. Jadi, kamu juga harus tidur, ya?" Elvano berucap gugup, terlihat jelas jika pria itu sudah tak nyaman dengan suasana yang terjadi."Okay, Papa!" celetuk Leana sambil memasang senyuman lebar, tetapi tidak dengan sorot matanya yang berkaca-kaca.Pria itu pun membantu Leana menuju kasur, lalu membaringkan sang istri penuh kehati-hatian. "Selamat tidur, little bunny." Elvano mengusap perut Leana perl
Leana tak henti-hentinya mengutuki kecerobohannya. "Mas Elvano pasti marah karena aku tidak mengangkat panggilannya," gumam perempuan itu resah, dia melihat ponselnya yang baru terisi lima persen. "Kak Lea, makan dulu, yuk. Sudah pukul sepuluh, nanti kemalaman." Leana menatap Arsen yang berada di ambang pintu. "Arsen, apa Mas Elvano belum balik juga? Coba tolong lihat sekali lagi mobilnya, siapa tahu sudah datang." Arsen menggeleng pelan. "Sudah lima kali aku bolak-balik, dan mobil Mas Elvano belum datang juga." Leana menghembuskan nafas berat. "Ya sudah, kamu duluan saja ke meja makan. Nanti Kakak menyusul." Arsen terlihat ragu-ragu. Namun, tak urung mengiyakan. Leana kembali menelpon Elvano, tapi nihil. Perempuan itu tak kehabisan akal, sekarang justru dia mencari kontak Zion, dan langsung menghubungi pria itu. "Halo, maaf mengganggu malam-malam, Mas, Zion. Saya mau tanya, apakah Mas Elvano masih di rumah sakit?""Hah? Vano? Tidak, Vano sudah pamit pulang sebelum dia makan mala
Bukankah aku terlalu percaya diri? Aku selalu mengatakan jika kamu akan mencintaiku suatu saat nanti. Tetapi apa? Justru aku yang semakin terjatuh dan terjebak dalam cinta sepihak ini. ~Leana Pramita~●●● "Pasiennya perempuan, dan tadi aku ikut membantunya karena dia akan terjatuh. Aku tahu jika pernikahan yang kita jalani tidak ada cinta, tetapi aku tidak mungkin menghianatimu." Ingin rasanya Leana berteriak di depan wajah Elvano jika dirinya mencintai pria itu. Namun, Leana tahu pada akhirnya Elvano akan menghindari pembicaraannya, seperti malam kemarin. Saat pernyataan cinta keluar dari bibirnya. "Mas Elvano tidak perlu khawatir, aku hanya bertanya. Dan aku juga percaya sama papanya little bunny ini." Leana tersenyum simpul sembari menepuk lembut punggung Elavno. Ya, benar, wangi parfum seperti itu bukan hanya satu orang yang pakai. Dan Leana tidak boleh berprasangka buruk pada Elvano. "Terima kasih, sudha percaya." Pria itu tersenyum tulus, tapi tidak dengan pikirannya yang