Ia merasa terkejut ketika melihat kedatangan mama dan papanya. Ditelannya air ludah yang terasa kering dan juga kelat. Mita duduk di sofa sambil memandang putranya. "Ini hari libur, apa Mama sama papa nggak mau liburan?" Daffin memandang kedua orang tuanya secara bergantian."Hana mana?" tanya Mita tanpa menjawab pertanyaan dari Daffin."Di kamar, tidur." Mita menganggukkan kepalanya."Apa Mama, papa, nggak mau liburan. Atau bersantai di rumah?" Daffin kembali memberikan pertanyaan yang sama, ketika kedua orang tuanya itu tidak menjawab pertanyaan yang diberikannya. "Liburan dan bersantai, bisa di mana saja, tanpa harus repot-repot pergi ke mana-mana." Surya menjawab dengan santainya. Daffin diam mendengar ucapan papanya. Dirinya bingung harus berkata apa saat ini. Diawasi seperti ini sungguh membuat dirinya tidak nyaman."Akhirnya kamu bawa juga istri kamu pulang, kirain bakalan tetap di rumah sakit sampai 9 bulan." Mira menyindir putranya dan tidak bebas bergerak.Daffin han
"Ini mau? "Mita menawarkan Hana ayam bakar."Mau ma," jawab Hana yang tersenyum lebar. Surya tersenyum ketika melihat menantunya. "Makannya yang banyak.""Iya pa, sepertinya karena lama di rumah sakit. Kebanyakan dikasih vitamin, jadinya kuat makan." Hana tersenyum.Mita merasa kasihan ketika mendengar ucapan Hana. Menantunya begitu sangat polos tanpa memiliki firasat, kalau sudah dikerjai oleh suaminya sendiri. Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya. "Ini enak." Diletakkannya sendok berisi sup daging di ujung bibir istrinya. Hana memandang suami."Ayo di coba." "Iya," jawabnya yang membuka mulutnya."Enak?" Daffin menunggu jawaban dari istrinya."Lebih enak yang Hana masak." Hana berbisik. Meskipun sudah mengecilkan suaranya namun Mita dan surya dapat mendengar apa yang dikatakannya."Apa iya?" Daffin dengan cepat mencicipi rasa sup daging sapi yang di mangkoknya.Hana diam dan menunggu jawaban yang akan disampaikan suaminya. Mungkin hanya perasaannya saja, bahwa rasa mas
Setelah menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja, Daffin kembali ke kamarnya. Dilihatnya Hana yang saat ini sudah tertidur. Diambilnya coretan skripsi yang ada di tangan istrinya secara hati-hati dan meletakkan ke atas nakas.Daffin juga mengambil laptop yang masih dalam kondisi menyala dari atas pangkuan istrinya. Ia tahu bahwa Hana tertidur dan belum menyimpan datanya. Dibacanya sekilas tentang isi skripsi yang dibuat istrinya dengan tersenyum. "Sayang, abang gak ngerti tentang ekonomi. Kalau seandainya ngerti, pasti akan dibantu kerjakan." Diusapnya kepala Hana. Disimpannya folder skripsi istrinya terlebih dahulu dan kemudian memindahkan benda petak yang berlipat tersebut dan meletakkan ke atas nakas. Ia duduk di tepi tempat tidur dan tersenyum menatap wajah cantik istrinya yang saat ini sudah tertidur lelap. Diciumnya kening dan dan bibir dengan lembut tanpa membangunkan istrinya. Pria itu kemudian pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan juga menyikat gigi.Ia kembali dar
"Iya," jawab Daffin yang menuruti perintah istrinya. Pria itu duduk dengan mata yang terpejam karena sangat mengantuk."Abang mie nya mau pakai bakso?" tanya Hana."Mau." Daffin sedikit membuka matanya. "Sosis, telur apa pakai?" "Iya pakai." Pria itu tetap menjawab pertanyaan, meskipun dalam keadaan sangat mengantuk. "Pedes." Hana kembali bertanya."Iya, pedas," Jawab Daffin. "Oke." Hana mengangkat jempolnya, setelah mendengar permintaan suaminya. Hana menyiapkan bumbu-bumbu untuk mie goreng yang akan di masaknya. Bawang putih, bawang merah, daun bawang dan sayur sawi, semuanya sudah di sediakan oleh pelayan dapur, dalam bentuk setelah di iris. Sehingga Hana langsung menumis saja.Daffin yang sejak tadi sangat mengantuk, kini membuka matanya, ketika mencium aroma enak masakan istrinya. Meskipun malas beranjak dari duduknya namun pria itu tetap berdiri dan berjalan mendekati Hana yang sibuk dengan wajannya.Hana sangat terkejut ketika suaminya sudah berdiri di belakangnya. "Tung
"Apa sudah siap Daffin memandang Hana yang sudah diam setelah kekenyangan."Sudah tapi sekarang jadinya ngantuk." Hana menutup mulutnya yang menguap.Senyum mengembang di bibirnya, ketika melihat istrinya yang sudah mengantuk dan malas untuk bergerak, setelah selesai makan. "Mau digendong?" Daffin menawarkan.Hana begitu sangat senang mendapatkan tawaran seperti ini dari suaminya. Dengan cepat menganggukkan kepalanya."Istri siapa sih kok manja sekali." Daffin tersenyum dan menggendong tubuh istrinya."Hana tadi nggak minta, Abang yang nawarin." Hana menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya. Matanya sudah sangat mengantuk, sehingga tidak ingin berdebat dengan DaffinDaffin hanya tersenyum ketika mendengar jawaban istrinya. Dilihatnya mata Hana yang sudah terpejam. "Cepat kali tidurnya," ucapnya yang dijawab dengan jawaban yang tidak jelas.Mendengar jawaban Hana yang seperti ini, ia tahu, bahwa istrinya sudah begitu sangat mengantuk. Pria itu sudah tidak berkata apa-apa la
Hana hanya diam dengan menahan senyumnya, ketika mendengar ucapan sahabatnya. Mereka menghentikan obrolan ketika dosen pembimbingnya sudah masuk ke dalam ruangan. "Selamat pagi pak." Hana, Nara menyapa dosennya dengan berdiri, ketika melihat dosen yang ditunggu masuk ke dalam ruangan."Ya pagi gimana apa sudah diperbaiki coretan kemarin tanya pria berkacamata yang duduk di kursi yang berada di depan Nara dan Hana."Sudah pak," jawab Hana yang tersenyum dan memberikan skripsinya yang sudah di print out terlebih dahulu kepada dosen pembimbingnya, serta coretan sebelumnya.Dosen yang bernama Haryono itu mengecek skripsi milik Hana. "Ini sudah oke ya. Bapak cek sudah diperbaiki semua yang bapak minta. Ibu Diah sudah ACC juga.""Iya sudah pak," jawab Hana yang tersenyum ketika melihat dosen pembimbingnya memberikan tanda tangan dan juga tulisan ACC di lembar covernya."Nara apa sudah daftar ujian?" tanya pak Haryono beliau sangat mengingat bahwa mahasiswinya itu sudah mendapat tanda ta
Daffin memandang istrinya yang saat ini sudah duduk di sampingnya. Diperhatikannya wajah Hana yang memang tampak pucat. "Adek, pulang aja ya, di rumah bisa istirahat. Nggak usah ikut ke kantor." sarannya. Mungkin saja istrinya butuh banyak waktu untuk beristirahat. Hana menggelengkan kepalanya. "Mau ikut Abang," ucapnya dengan manja. Saat ini dirinya sudah merasa nyaman dekat dengan suaminya. Rasanya ingin selalu dekat di setiap waktu.Daffin tersenyum ketika mendengar permintaan istrinya."Ya udah nggak apa, di kantor juga ada ruang istirahat kok nanti bisa istirahat di kantor." Pria itu mengusap kepala istrinya."Hana sehat, makan banyak, tidur kuat." Hana juga tidak mengerti mengapa wajahnya jadi pucat seperti ini.Apa yang dikatakan istrinya memang benar. Daffin menganggukkan kepalanya. "Apa Hana beneran pucat?" Hana bertanya dengan memandang wajah suaminya."Iya dek," jawab Daffin. Jujur saja, melihat wajah istrinya pucat seperti ini, membuatnya panik dan cemas.Hana membuka ka
Hana masuk ke dalam ruangan suaminya. Melihat di dalam ruangan, membuat dirinya terkagum. Ruangan ini sangat besar. Dengan mengunakan konsep disain modern dan elegan. Dinding menggunakan wallpaper berwarna hitam yang dikombinasi putih yang menjadi warna favorit suaminya. Ruang ini sangat luas dan terasa lapang karena memang hanya ada meja kerja yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran yang cukup besar berwarna hitam, kursi kerja berwarna hitam dan besar. Kursi sofa berwarna putih dan lemari yang menjadi tempat penyimpanan dokumen dan lemari yang berisi barang-barang keramik yang cantik. "Apa mau sekarang kantinnya? atau bentar lagi?" Daffin memandang istrinya yang saat ini duduk di depannya."Bentar lagi juga boleh." Hana tersenyum. "Kalau gitu abang mau balas email sebentar ya. Ada mau ngecek tentang laporan juga," jelas Daffin."Iya," jawab Hana yang beranjak dari duduk. "Sini dek." Daffin memanggil istrinya yang akan berjalan menuju ke sofa."Ada apa?" tanya Hana yang mengh
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat