Bab 93Daffin masuk ke dalam kamar sambil membawa segala susu untuk istrinya. Dipandangnya Hana yang duduk di atas tempat tidur. "Capek ya." Daffin duduk di tepi tempat tidur dan mengusap kepala istrinya.Hana tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Setelah puas jalan-jalan di mall, kini ia merasa amat kelelahan."Anak-anak papi capek ya? Apa, sudah capek tapi gak bawa apa-apa pulang. Oh cuma di sogok dengan bakso beranak?" Daffin berkata dengan mengusap perut istrinya. Hana tertawa saat mendengar sindiran dari suaminya. "Kita sudah buat kesepakatan, hanya jalan-jalan di mall dan makan bakso." Sambil mengusap perutnya. Diambilnya gelas yang berisi susu coklat yang diberikan suaminya. "Dihabiskan." Daffin tersenyum."Iya." Hana meminum susunya hingga habis dan meletakkan gelas kosong ke atas nakas. "Abang kaki Hana pegel." Perutnya yang sudah buncit, membuat ia kesulitan untuk menunduk dan memijat kakinya sendiri."Udah nyampe rumah ya dek, baru terasa capeknya." Daffin menarik h
Mita menarik napas panjang dan kemudian menghembusnya. "Hana mama mau ngasih tahu. "Ia berkata , setelah mereka selesai sarapan pagi."Kasih tahu apa ma?" tanya Hana. Daffin diam memandang mamanya. Rencana kedua orang tuanya yang akan kembali ke rumah besar milik kedua keluarganya, sudah ia ketahui. Ia berharap agar Hana mau menerima keputusan kedua mertuanya.Mita diam memandang Hana. Ia sudah menyusun kata-kata untuk memberitahu menantunya. Namun melihat raut wajah Hana yang seperti ini, membuat konsentrasinya buyer dan tidak tega.Dipegangnya tangan Hana dan sedikit tersenyum."Mama dan papa, sudah terlalu lama di sini. Rumah yang di sana, di tinggal aja. Jadi mama mau pulang ke rumah dan ngurusin rumah, soalnya sudah lama ditinggalin." Mita memberikan penjelasan agar menantunya bisa menerima alasannya."Apa mama, papa nanti datang lagi ke sini?" Hana memandang kedua mertuanya secara bergantian. "Mungkin datangnya cuman untuk main-main aja, bila rindu sama Hana. Hana menganggukk
Jantungnya berdegug dengan sangat hebatnya ketika melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya. Air matanya mengalir tanpa mampu dibendung. Hanya satu doanya agar apa yang dilihatnya saat ini bukan hanya sekedar mimpi.Melihat mamanya seperti ini, sungguh membuat hatinya sedih. Berliana menangis dan memeluk tubuh mamanya."Apa benar ini Berliana?" Susi bertanya dengan suara yang gemetar."Iya ma, aku Berliana." Air matanya menetes, saat melihat tubuh mamanya, yang sudah tidak gemuk seperti dulu lagi. Wanita yang telah melahirkannya, tampak jauh lebih kurus.Susi menangis ketika memeluk putrinya. Rasa rindunya, kini terobati sudah."Maafkan aku, ma, aku salah. Aku benar-benar menyesal." Berliana menangis.Susi menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa nak, lihat Berli pulang seperti ini saja, Mama sudah sangat senang." Diusapnya air mata yang seakan tidak mau berhenti mengalir. Baginya, Berliana adalah nyawanya. Dalam beberapa bulan ini, hidupnya seakan tidak bernyawa. Hidupnya se
Setelah selesai makan malam, Daffin masuk ke kamar bersama dengan istrinya. "Apa adek mau nonton tv?" "Iya," jawab Hana yang berdiri di samping tempat tidur.Dengan cepat pria itu menumpuk beberapa bantal untuk menjadi sandaran punggung Hana.Hana tersenyum, kemudian duduk di atas tempat tidur dan menyandarkan punggungnya di tumpukan bantal yang sudah di siapkan suaminya.Diambilnya remote televisi dan memberikan kepada istrinya. "Ini sayang, remote nya. Cari aja film yang adek suka." "Iya." Hana mengambil remote yang diberikan suaminya."Abang ke ruang kerja sebentar ya dek, ada yang mau dikerjain." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."Iya." Hana sudah mulai sibuk mencari channel yang akan ditontonnya. Pencariannya terhenti dan memandang suaminya dengan kesal.Daffin mengulum senyumnya ketika melihat wajah istrinya yang mulai marah."Mau cium kasih aba-aba dulu kenapa?" Bibirnya maju ke depan."Lupa, kalau gitu ulang lagi. Siap ya dek, Abang cium." Diciumnya bibir istri
"Mau di pijit?" Mendengar istrinya mengeluh, dengan cepat Daffin menawarkan jasanya. Ia duduk di belakang Hana. "Iya, pakai minyak zaitun ya." Hana tersenyum lebar. Ketika sedang pegal, ada yang menawarkan jasa pijat, mana mungkin ia sanggup untuk menolak.Daffin tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Bila istrinya mengeluh sakit dan pegal seperti ini, ia akan selalu memijit bagian yang sakit. Diambilnya minyak zaitun di atas meja yang ada di samping tempat tidur. Saat ini minyak zaitun, begitu sangat penting dan selalu dipakai Hana, sehingga Daffin tidak ingin meletakkan minyak ini di tempat yang sulit untuk temukan. "Hana sudah kasih tahu dokter Lusi, kalau pinggang bagian belakang, suka sakit sekali. Gak kuat duduk lama, juga. Tapi kata dokter Lusi, keluhan seperti ini, memang sudah biasa untuk wanita hamil. Hana juga nggak dikasih obat apa-apa." Hana mengadu dengan suaminya."Kalau pegel, kasih tahu Abang aja, biar Abang pijit." Daffin meneteskan minyak zaitun ke telapak tangan
Berliana berdandan dengan sangat cantik. Rambutnya yang panjang dan lurus dibiarkannya tergirai begitu saja. Lipstik berwarna merah membuat bibir tipisnya tampak menggoda. Disemprotnya parfum merk termahal ke tubuhnya dengan aroma yang begitu sangat enak. "Aku yakin kamu pasti akan mengingat aroma parfum yang aku pakai." Berliana tersenyum."Jujur Daf, aku sangat rindu denganmu. Aku yakin kamu juga sangat merindukan aku." Berliana memejamkan matanya dan mengangkat dagunya ke atas. Dirambahnya leher jenjang nan putih, yang selama ini menjadi kebanggan nya. Ia seakan merasakan sentuhan yang diberikan Daffin untuknya. Bayangan kemesraan yang dulu dirasakannya, kini kembali hadir dalam ingatannya. "Kita akan kembali bersama dan aku ingin kamu membuang jauh Hana dari hidupmu. Aku tidak akan pernah rela bila kamu bersama dengannya." Berliana tersenyum sambil menatap wajah cantiknya di depan cermin."Anak, mama sudah sangat cantik." Susi tersenyum. Entah bagaimana caranya, kini ia dan jug
Hana tidak tahu apa yang ingin dilakukan kakak tirinya. Dalam kondisi hamil seperti ini, ia tidak akan mampu melawan, bila Berliana melakukan tindakan kekerasan terhadapnya. Saat ini yang harus dipikirkannya, adalah keselamatan kedua calon anak yang sedang dikandungnya. Hana mulai berpikir apa yang harus dilakukan. Dipandangnya ponsel yang saat ini sudah dipegangnya. Tidak mungkin rasanya bila menghubungi Mama mertuanya. Lagi pula dari rumah mama mertuanya hingga ke rumahnya memakan waktu sekitar hampir satu jam. Ia duduk dengan gelisah sambil menggenggam tangannya sendiri. Tidak mungkin bila harus menunggu sampai suaminya pulang. Ia juga tidak yakin bahwa nanti Daffin akan berpihak kepadanya. Rasa percaya, tidak sedikitpun bisa diberikan untuk pria tersebut. Ia tidak ingin berharap dan bergantung dengan Daffin. Rasa percaya yang sudah mulai dibangunnya, kini roboh seketika. Setelah berfikir cukup lama, Hana akhirnya menghubungi pengawal pribadinya. "Halo Mbak Nia." Ia langsung men
"Apa kau takut berbicara denganku, sampai harus ada bodyguard." Berliana memandang Nia yang berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu terlihat sedang mengawasi setiap gerak yang dilakukannya."Tentu saja tidak, Mbak Nia ini pengawal pribadi, aku, yang diberi Abang Daffin. Mbak Nia bertugas untuk menjaga aku di manapun berada, termasuk di rumah seperti ini. Bukan hanya ketika mengobrol sama kak Berlin saja, dia ada, tapi juga dia akan selalu ada kemanapun aku pergi." Hana berkata dengan sangat santai dan tersenyum.Perkataan Hana, mampu meningkatkan emosinya. Dadanya terasa panas ketika menahan rasa emosi. Berliana mengepalkan tangannya yang sudah mulai gemetar. "Apa kau merasa Daffin mencintaimu." Berliana tersenyum mengejek adiknya. "Ketahuilah Hana, hanya aku wanita yang dicintainya dan kau hanyalah penggantiku." Nia yang berdiri tidak jauh dari Berliana, menatap dengan tajam. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Hana sudah mengatakan kepadanya untuk tidak melakukan apapun, s