Jantungnya berdegug dengan sangat hebatnya ketika melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya. Air matanya mengalir tanpa mampu dibendung. Hanya satu doanya agar apa yang dilihatnya saat ini bukan hanya sekedar mimpi.Melihat mamanya seperti ini, sungguh membuat hatinya sedih. Berliana menangis dan memeluk tubuh mamanya."Apa benar ini Berliana?" Susi bertanya dengan suara yang gemetar."Iya ma, aku Berliana." Air matanya menetes, saat melihat tubuh mamanya, yang sudah tidak gemuk seperti dulu lagi. Wanita yang telah melahirkannya, tampak jauh lebih kurus.Susi menangis ketika memeluk putrinya. Rasa rindunya, kini terobati sudah."Maafkan aku, ma, aku salah. Aku benar-benar menyesal." Berliana menangis.Susi menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa nak, lihat Berli pulang seperti ini saja, Mama sudah sangat senang." Diusapnya air mata yang seakan tidak mau berhenti mengalir. Baginya, Berliana adalah nyawanya. Dalam beberapa bulan ini, hidupnya seakan tidak bernyawa. Hidupnya se
Setelah selesai makan malam, Daffin masuk ke kamar bersama dengan istrinya. "Apa adek mau nonton tv?" "Iya," jawab Hana yang berdiri di samping tempat tidur.Dengan cepat pria itu menumpuk beberapa bantal untuk menjadi sandaran punggung Hana.Hana tersenyum, kemudian duduk di atas tempat tidur dan menyandarkan punggungnya di tumpukan bantal yang sudah di siapkan suaminya.Diambilnya remote televisi dan memberikan kepada istrinya. "Ini sayang, remote nya. Cari aja film yang adek suka." "Iya." Hana mengambil remote yang diberikan suaminya."Abang ke ruang kerja sebentar ya dek, ada yang mau dikerjain." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."Iya." Hana sudah mulai sibuk mencari channel yang akan ditontonnya. Pencariannya terhenti dan memandang suaminya dengan kesal.Daffin mengulum senyumnya ketika melihat wajah istrinya yang mulai marah."Mau cium kasih aba-aba dulu kenapa?" Bibirnya maju ke depan."Lupa, kalau gitu ulang lagi. Siap ya dek, Abang cium." Diciumnya bibir istri
"Mau di pijit?" Mendengar istrinya mengeluh, dengan cepat Daffin menawarkan jasanya. Ia duduk di belakang Hana. "Iya, pakai minyak zaitun ya." Hana tersenyum lebar. Ketika sedang pegal, ada yang menawarkan jasa pijat, mana mungkin ia sanggup untuk menolak.Daffin tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Bila istrinya mengeluh sakit dan pegal seperti ini, ia akan selalu memijit bagian yang sakit. Diambilnya minyak zaitun di atas meja yang ada di samping tempat tidur. Saat ini minyak zaitun, begitu sangat penting dan selalu dipakai Hana, sehingga Daffin tidak ingin meletakkan minyak ini di tempat yang sulit untuk temukan. "Hana sudah kasih tahu dokter Lusi, kalau pinggang bagian belakang, suka sakit sekali. Gak kuat duduk lama, juga. Tapi kata dokter Lusi, keluhan seperti ini, memang sudah biasa untuk wanita hamil. Hana juga nggak dikasih obat apa-apa." Hana mengadu dengan suaminya."Kalau pegel, kasih tahu Abang aja, biar Abang pijit." Daffin meneteskan minyak zaitun ke telapak tangan
Berliana berdandan dengan sangat cantik. Rambutnya yang panjang dan lurus dibiarkannya tergirai begitu saja. Lipstik berwarna merah membuat bibir tipisnya tampak menggoda. Disemprotnya parfum merk termahal ke tubuhnya dengan aroma yang begitu sangat enak. "Aku yakin kamu pasti akan mengingat aroma parfum yang aku pakai." Berliana tersenyum."Jujur Daf, aku sangat rindu denganmu. Aku yakin kamu juga sangat merindukan aku." Berliana memejamkan matanya dan mengangkat dagunya ke atas. Dirambahnya leher jenjang nan putih, yang selama ini menjadi kebanggan nya. Ia seakan merasakan sentuhan yang diberikan Daffin untuknya. Bayangan kemesraan yang dulu dirasakannya, kini kembali hadir dalam ingatannya. "Kita akan kembali bersama dan aku ingin kamu membuang jauh Hana dari hidupmu. Aku tidak akan pernah rela bila kamu bersama dengannya." Berliana tersenyum sambil menatap wajah cantiknya di depan cermin."Anak, mama sudah sangat cantik." Susi tersenyum. Entah bagaimana caranya, kini ia dan jug
Hana tidak tahu apa yang ingin dilakukan kakak tirinya. Dalam kondisi hamil seperti ini, ia tidak akan mampu melawan, bila Berliana melakukan tindakan kekerasan terhadapnya. Saat ini yang harus dipikirkannya, adalah keselamatan kedua calon anak yang sedang dikandungnya. Hana mulai berpikir apa yang harus dilakukan. Dipandangnya ponsel yang saat ini sudah dipegangnya. Tidak mungkin rasanya bila menghubungi Mama mertuanya. Lagi pula dari rumah mama mertuanya hingga ke rumahnya memakan waktu sekitar hampir satu jam. Ia duduk dengan gelisah sambil menggenggam tangannya sendiri. Tidak mungkin bila harus menunggu sampai suaminya pulang. Ia juga tidak yakin bahwa nanti Daffin akan berpihak kepadanya. Rasa percaya, tidak sedikitpun bisa diberikan untuk pria tersebut. Ia tidak ingin berharap dan bergantung dengan Daffin. Rasa percaya yang sudah mulai dibangunnya, kini roboh seketika. Setelah berfikir cukup lama, Hana akhirnya menghubungi pengawal pribadinya. "Halo Mbak Nia." Ia langsung men
"Apa kau takut berbicara denganku, sampai harus ada bodyguard." Berliana memandang Nia yang berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu terlihat sedang mengawasi setiap gerak yang dilakukannya."Tentu saja tidak, Mbak Nia ini pengawal pribadi, aku, yang diberi Abang Daffin. Mbak Nia bertugas untuk menjaga aku di manapun berada, termasuk di rumah seperti ini. Bukan hanya ketika mengobrol sama kak Berlin saja, dia ada, tapi juga dia akan selalu ada kemanapun aku pergi." Hana berkata dengan sangat santai dan tersenyum.Perkataan Hana, mampu meningkatkan emosinya. Dadanya terasa panas ketika menahan rasa emosi. Berliana mengepalkan tangannya yang sudah mulai gemetar. "Apa kau merasa Daffin mencintaimu." Berliana tersenyum mengejek adiknya. "Ketahuilah Hana, hanya aku wanita yang dicintainya dan kau hanyalah penggantiku." Nia yang berdiri tidak jauh dari Berliana, menatap dengan tajam. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Hana sudah mengatakan kepadanya untuk tidak melakukan apapun, s
Ingin sekali Berliana meremas mulut adik tirinya, namun ia, tidak berani melakukannya, ketika memandang Nia yang berdiri tidak jauh darinya. Wanita yang berstatus pengawal pribadi itu, tampak selalu waspada. Sebagai seorang artis, ia tahu, seperti apa kemampuan seorang pengawal pribadi, tidak mungkin bisa dihadapinya. "Kenapa? ingin pukul aku? bukankah dulu kalian paling suka memukuli aku?Bila ada papa, kalian begitu sangat baik kepada aku. Namun bila papa tidak di rumah, apa pun aku tidak boleh makan. Aku hanya di suruh untuk bekerja. Rumah yang selama ini menjadi surga untuk ku, berubah menjadi sebuah neraka, karena keberadaan kalian kakak dan mama. Bahkan aku harus pergi dari rumah yang aku sayangi, karena tidak sanggup dengan sikap kasar kalian. Tapi aku nggak mau melakukan hal itu sama kakak, karena apa?Aku lagi hamil kak." Hana tersenyum dan mengusap perutnya. Selama ini, apa yang dirasakannya tidak pernah bisa diungkapkannya. Namun saat ini, ia ingin melepaskan semua sesak
"Aku sudah mengatakan aku hanya ingin melihat kondisimu," balas Berliana."Kakak sudah melihat kondisi aku, kakak lihat, aku sangat baik. Jadi silahkan pergi. Maaf bukan niat aku mengusir, tapi Aku sekarang sedang hamil. Aku butuh banyak waktu untuk beristirahat." Hana tersenyum."Berani sekali kau mengusirku, ini rumahku." Berliana mengeraskan suaranya. Namun lagi-lagi, ia tidak berani melakukan apapun terhadap Hana.Hana tertawa lepas ketika mendengar ucapan Berliana. "Jangan mimpi terlalu tinggi kak. Rumah ini milik bang Daffin, sedangkan Aku, adalah istrinya. Di rumah ini, akulah nyonya besarnya. Sedangkan kakak, hanyalah masa lalu ." Hana tersenyum sambil mengibaskan tangannya, layaknya mengusir seekor lalat.Berliana diam dengan wajah merah padam. Ia sudah bertekad datang ke rumah ini, untuk menemui Hana dan menemui Daffin. Ia sudah bertekad untuk mempertontonkan kemesraannya bersama dengan pria mantan calon suaminya di depan Hana.***Setelah mendapat telepon dari Nia, Daffin b
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat