Andra terdiam sebentar. Matanya menyipit menatap pada Alana. Tampak keraguan tergambar dari raut wajah wanita itu. Apalagi bibir Alana sedikit bergetar saat mengucapkannya.
Membuat Andra semakin yakin, bahwa bayi itu memang miliknya.“Sayangnya kamu tidak pintar berbohong, Alana! Mulutmu mungkin bisa berkali-kali mengatakan kebohongan. Tapi wajahmu tidak bisa menyembunyikan itu. Gelagatmu justru membuat aku semakin yakin, kalau kamu sedang mengandung anakku!” ucap Andra. Mata Alana melebar saat itu juga. Bagaimana bisa Andra tahu kalau ia sedang berbohong? Tapi Alana tidak akan menyerah. Ia tidak mau kalah dari Andra. “Kenapa kamu terlalu percaya diri, Andra? Kamu mau mengaku-ngaku bayi yang ada dalam kandunganku ini? Eh? Maaf. Tapi bukannya dulu kamu sendiri yang pernah bilang, kalau kamu tidak akan pernah sudi memiliki seorang anak yang lahir dari rahim wanita hina sepertiku? Lalu kenapa sekarangAlana tersenyum tipis seraya menganggukan kepalanya.“Baik, Pak Rendy. Terimakasih banyak. Aku pamit pulang.”Rendy mengangguk. Membiarkan Alana bangkit berdiri dan keluar dari ruangannya.“Aku lega, karena aku bisa pulang cepat. Andra pasti masih ada di restoran ini dan aku tidak mau terus-menerus bertemu dengannya. Dia pasti akan mendesakku tentang bayi ini. Dia bisa seyakin itu kalau aku sedang mengandung anaknya,” gumam Alana sambil berjalan pelan keluar melewati pintu restoran.Tujuan Alana tentu saja pulang ke rumah sewanya.Dan tanpa Alana ketahui, Andra yang sedari tadi mencari Alana dan menunggu Alana, kini keluar dari persembunyiannya.Ditatapnya punggung Alana dengan mata yang menyipit.“Alana. Kamu tidak akan bisa pergi dariku! Hari ini, aku akan tahu dimana kamu tinggal!”Alana menghentikan sebuah angkot yang melintas di depannya. Lantas Alana masuk ke dalam dan ia
Bukannya menjawab pertanyaan Danu, Andra malah terdiam. Lidahnya kelu untuk sekadar bicara.“Ayah kenal sama Om baik?” tanya Rehan mendongkak menatap Danu. DEG!“A.. ayah?” mendengar bibir Rehan memanggil Danu dengan sebutan ayah, terasa meremas ulu hati Andra.Tunggu! Kenapa Rehan bisa memanggil Danu ayah?Danu menarik kedua pundak Rehan dan menahan dengan kedua tangannya. Tapi matanya lurus masih menusuk bola mata Andra dengan tatapan tajam.“Iya, Rehan. Ayah kenal dengan orang ini. Dan dia bukan orang yang baik. Jadi Ayah minta, kamu tidak usah dekat-dekat lagi dengan dia!”Mata Andra menyipit mendengar ucapan Danu barusan.“Tapi Om ini memang baik, Ayah. Dia yang bawa Rehan ke rumah sakit waktu itu,” seru Rehan pada Danu.“Pokoknya Ayah bilang tidak boleh!” Danu segera menyahut. Membuat mulut Rehan terkatup rapat.Saat itu, Alan
Tubuh Alana membeku. Suara Andra terdengar serak kali ini. Tapi Alana hanya menghentikan langkahnya saja. Tak berniat berbalik menatap Andra.“Dan sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Papa sempat menyampaikan permintaan maafnya untuk kamu. Dia sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah salah. Mama juga sama. Dia yang selalu memberiku dukungan untuk mencari keberadaan kamu dan anak kita, Alana. Mama ingin sekali bertemu dengan kamu dan meminta maaf. Apalagi jika Mama tahu kalau ternyata anak kita sudah besar dan tumbuh dengan sehat, Mama pasti akan senang melihat Rehan. Cucu lelaki pertamanya.” Andra berkata dengan mata yang berkaca-kaca.Bibirnya tampak bergetar saat bicara. Sementara wajahnya menatap punggung Alana penuh harap.Alana sendiri masih mematung. Tubuhnya membeku mendengar setiap rentetan penjelasan Andra. Sedangkan ia hanya bisa meneguk ludahnya beberapa kali.‘Om Darma meninggal? Apa benar, kalau oran
Dan Andra menatapnya dengan raut tak menyangka. Ternyata Danu sudah hadir dalam hidup Alana bahkan sebelum Rehan lahir ke dunia ini.Pantas jika Rehan tampak begitu lengket dengan Danu. Dan pantas jika Rehan memanggil Danu dengan sebutan ayah.Sekarang Andra menjadi gamang sendiri. Harusnya ia berterimakasih pada Danu, karena telah menjaga Alana dan anaknya.Tapi dalam lubuk hati Andra, rasa cemburu melingkupinya. Ia juga ingin sedekat itu dengan anak kandungnya. Hatinya merasa sakit saat mendapati ternyata Rehan lebih dekat dengan orang lain.“Bayangkan, Andra. Bagaimana jika seandainya Tuhan tidak mengirim Danu dalam kehidupan Rehan? Pasti anak itu akan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Rehan akan merasa berbeda dengan anak yang lain. Teman-temannya memiliki keluarga yang lengkap, sementara dia tidak. Untuk itulah Danu sangat berjasa dalam hidup Rehan. Dia menjadi sosok ayah yang sangat melindungi cucuku. Jadi jangan pernah k
Axel mengedikan bahunya. Ia setengah menahan tawa melihat wajah Andra yang merasa terganggu dengan godaan para wanita bayaran itu.“Kenapa? Kamu datang ke apartemenku pasti untuk menenangkan pikiran, bukan? Sekarang nikmati saja sentuhan mereka. Aku jamin pikiranmu akan langsung rileks,” ejek Axel yang kembali meneguk sodanya. Sambil membiarkan wanita seksi itu menciumi pipi kanannya hingga membuat Andra mendengkus risih.“Ck! Axel! Aku ke sini bukan untuk bersenang-senang. Aku hanya ingin bicara denganmu! Bukan untuk bermain dengan mereka!” tegas Andra dan ia mulai melayangkan tatapan tajamnya kearah Axel.Yang akhirnya membuat Axel terkekeh pelan, tapi kepalanya mengangguk mengiyakan.Cukup! Axel tidak ingin membuat Andra marah. Ia tahu jika Andra datang padanya pasti suasana hati lelaki itu sedang carut marut.Untuk itu, Axel mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompetnya lalu ia berikan pada dua wanita itu.
Alana membasuh piring-piring yang sudah ia sabuni itu, sambil benaknya meresapi perkataan Danu.“Aku tidak tahu, Danu. Aku sedang tidak ingin membahas tentang itu,” ucap Alana menggeleng pelan.Kini Alana selesai mencuci piring dan ia membalikan badannya hendak pergi dari dapur. Akan tetapi Danu masih berdiri tegap di belakangnya dengan kedua tangan yang menyilang di depan—dada.Matanya menatap Alana dengan lurus.“Maaf, Alana. Bukannya aku ikut campur dengan urusanmu. Hanya saja aku tidak bisa membiarkan seseorang yang sudah membuat kamu dan Rehan menderita, kini datang kembali untuk mengajak kamu hidup bersama. Sumpah demi apapun aku tidak rela, Alana. Orang tua Andra sudah banyak menorehkan luka di hati kamu. Rehan dan bayi yang kamu kandung saat ini adalah korban dari kebejatan mereka. Lalu sekarang tiba-tiba saja Andra datang dan ingin memintamu kembali ke pelukannya? Tidak! Dia tidak bisa melakukan itu!”
Andra masih abai. Ia tak menggubris sindiran Axel. Tangan Andra justru kembali meraih cangkir tehnya lalu kali ini Andra memilih untuk menandaskan teh itu hingga tak bersisa.“Kamu tahu? Kaca sekokoh apapun, tetap saja namanya kaca. Jika sudah retak, akan sulit memperbaikinya. Apalagi jika kaca itu hancur berkeping-keping. Mustahil untuk menyatukan serpihannya kembali menjadi utuh seperti semula. Begitu juga dengan hati seorang wanita. Kalau kamu sudah pernah menorehkan luka di hatinya, wanita akan membutuhkan waktu lama untuk bisa sembuh dari luka itu. Jadi menurutku sangat wajar jika Alana masih belum mau bicara denganmu,” jelas Axel.Dan perkataannya membuat Andra termenung. Benaknya berpikir tentang benarnya ucapan Axel.Mustahil hati Alana akan bisa sembuh dalam sekejap. Andra sudah banyak menorehkan luka di sana.Ya. Andra memang—brengsek!Sadar jika malam sudah semakin larut, Andra menghembuskan napasnya kasar, lalu ia memilih
Kali ini nadanya terdengar antusias. Karena Andra tak menyangka jika ternyata sekretaris barunya ini juga memiliki seorang anak laki-laki. Itu artinya Andra bisa bertanya tentang mainan apa saja yang paling disukai oleh anak laki-laki di umur tujuh tahunan.Karena rencananya, setelah pulang dari kantor, Andra akan pergi ke toko mainan untuk membelikan sebuah kado untuk Rehan.Ya. Andra akan mencoba lagi peruntungannya hari ini. Siapa tahu kali ini Rehan akan luluh melihatnya, dan Andra bisa memeluk anak lelakinya itu.“Setiap anak biasanya tidak selalu sama kesukaannya, Pak. Tapi kalau anakku, dia paling senang jika aku membelikannya mobil-mobilan dan juga robot. Tapi Robotnya harus yang bisa bergerak sendiri. Sekarang ‘kan banyak sekali robot yang pakai batu batre. Kalau mobil-mobilan, dia paling suka yang pakai remote.” Vani menuturkan. Ia menceritakan tentang kesenangan anak laki-lakinya di rumah.Andra menaikan sebelah alisnya menatap Vani.
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it