Ya. Andra sengaja sekali mencari tahu alamat rumah Alana pada seorang HRD di perusahaannya. Lantas Andra memesan buket bunga yang mewah, dan cokelat yang paling enak dan tentu saja mahal untuk Alana.
“Bahkan aku masih mengingat kesukaanmu sampai detik ini. Cokelat memang manis, Alana. Tapi apa kamu masih bisa menelannya jika tahu cokelat itu dariku? Aku jadi membayangkan akan bagaimana reaksimu? Apakah kamu akan membuang semua hadiah pemberianku, atau justru tetap menerimanya.” Andra masih menyunggingkan senyum miring di wajahnya.
Matanya menyipit menatap pada langit yang tempak terang di atas sana. Andra jadi tidak sabar ingin segera menelpon Alana, dan memberitahukan kalau ialah yang memberikan kejutan itu.
Tapi tentu saja Andra akan sambil mengucapkan selamat ulang tahun dengan bahasa yang paling manis untuk Alana. Mantan istri yang sudah membuat hidupnya hancur berantakan.
***
“Hallo, Vir? Aku mau tanya. Apa yang n
“Kamu sedang apa? Kenapa kamu terlihat gelisah seperti sedang memikirkan sesuatu? Apa kamu sedang ada masalah, Alana? Kamu bisa cerita sama aku kalau kamu mau.” Danu tetap berdiri di tempatnya. Tak berani masuk ke dalam kamar Alana di saat Rehan tak sedang ada di sana.Alana menggelengkan kepala sambil memaksakan senyumnya. Lantas ia berdiri menghampiri Danu.“Sungguh, Alana. Aku tak akan keberatan jika menjadi tempatmu menceritakan segala keluh kesah. Aku akan setia mendengarnya agar beban di hatimu berkurang.” Danu kembali menawarkan dirinya.Danu tahu sekali jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Alana. Wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu namun enggan mengatakannya. Danu hanya ingin membuat Alana merasa lega, itu sebabnya ia menawarkan diri.‘Danu sangat peka. Dia selalu tahu saat aku sedang ada masalah. Tapi aku tidak mungkin mengatakannya pada Danu. Cukup aku yang menelan sendiri perlakuan Andra padaku
Hari semakin sore. Nita pun sudah pulang satu jam yang lalu. Kini Alana harus menyerahkan dokumen-dokumen penting ke ruangan Andra.Sambil ada sesuatu yang ingin Alana katakan pada lelaki itu. Dan Alana pikir sekarang adalah waktu yang tepat.TOK! TOK! TOK!“Masuk!” suara baritone milik Andra menyahut. Dan Alana segera mendorong pintu dengan tangannya.“Selamat sore, Pak Andra! Aku membawa dokumen penting yang harus Anda tandatangani.”“Letakan saja di atas meja!”Alana mengangguk, lalu menaruh dokumen itu di atas meja seperti yang Andra perintahkan. Andra yang sedang memijit dagunya sambil fokus menatap pada layar monitor, kini mengangkat kepala saat menyadari jika Alana masih berdiri mematung di hadapannya.“Ada apa lagi?” tanya Andra menaikan sebelah alisnya.Alana memilin jemari. Ia balas menatap Andra dengan bola matanya yang bulat. Kemudian berkata.&ldquo
Berontakan Alana tak berarti apapun. Andra tetap mendekap tubuh rampingnya dengan begitu erat. Tak peduli pada kedua pipi Alana yang sudah banjir air mata.“Melepaskanmu? Tidak akan semudah itu! Aku masih belum puas merendahkanmu!” kata Andra.Dan Alana yang mendapat sedikit tenaga, kini menendang barang berharga milik Andra lantas menampar pipi lelaki itu dengan kuat.“Aargghh!”“Kamu memang tidak akan pernah puas, Ndra. Kamu tidak akan pernah puas selama dendam itu masih menguasai hati dan pikiran kamu!” tegas Alana dengan meninggikan suaranya. Matanya berkilat tajam menatap pada Andra yang meringis memegangi barangnya yang tadi ia tendang sekuat tenaga.“Alana.. kamu!” Andra hendak meraih tangan Alana lagi. Tapi cepat Alana pergi keluar dari ruangan Andra. Meninggalkan lelaki itu yang berjalan menunduk untuk duduk di kursi kerjanya.“Arrgghh.. sialnya Alan
Danu memang sudah terbiasa bercanda seperti ini. Membahas tentang cintanya yang sudah beberapa kali ditolak oleh Alana. Meski Alana tahu betul di dalam hatinya Danu pasti merasa sakit. Tapi Alana bisa apa. Alana tidak mau menikah dengan Danu tanpa dilandasi dengan cinta.“Oh iya. Bagaimana dengan pekerjaanmu di kantor tadi? Apa sangat melelahkan?” tanya Danu setelah mereka terdiam beberapa saat. Kini Danu berusaha memecahkan keheningan.Alana menggeleng. “Tidak terlalu. Apalagi hari ini kami tidak lembur. Jadi tidak terasa melelahkan.”Danu manggut-manggut. Kini ia mengubah posisi duduknya agar miring menghadap Alana, Danu menopang sebelah sikunya di kepala kursi. Maka wajah Alana yang begitu cantik terpampang jelas di depan matanya.“Dan soal boss mu. Sepertinya kamu belum pernah cerita tentang boss mu di kantor itu ‘kan Alana? Bagaimana rupa boss mu itu? Apa dia sangat tampan, tinggi, arogan dan dingin seperti yang ad
Karena Alana memang tak berada di sana. “Ini bukan aku, Alana! Sosok ini bukan diriku! Andra yang sebenarnya tidak seperti ini. Dulu aku masih menyukai warna dalam hidupku. Dulu aku masih memiliki senyum yang tulus dan lembut dalam diriku. Tapi sekarang, semua itu sudah kamu renggut. Kamu sudah merenggutnya tanpa perasaan,” ucap Andra. Tapi kali ini sambil terkekeh pelan.Andra tertawa. Namun tawa itu tak menyiratkan kebahagiaan sama sekali. Yang ada hanya nada getir yang mana akan membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa kasihan.“Kemana kamu membawa pergi diriku yang dulu, Alana? Hingga sekarang aku sudah berubah menjadi sosok Andra yang tak punya hati. Aku tak lagi bisa mengenal warna dalam hidupku. Hidupku sudah gelap. Sangat gelap. Dan kamu yang sudah mengubahnya,” lirih Andra pelan-pelan memejamkan kelopak matanya. Membayangkan kembali saat-saat Alana meninggalkan selembar surat di atas ranjang kontrakan mereka.Bayangan Andra
Sementara Darma tertawa dalam hatinya. Ya. Memang inilah yang Darma tunggu. Dengan sengaja Darma ingin Alana mendengarnya lalu kemudian wanita itu merasakan sakit hati.‘Rasakan kamu wanita murahan! Saya harus menunjukan pada kamu dimana tempat kamu yang sebenarnya. Yaitu di bawah kaki Andra. Kamu hanya pantas menjadi babunya Andra. Bukan jadi pendampingnya. Mimpi jika kamu berniat mengejar cinta Andra kembali. Karena yang pantas menjadi menantu saya hanya Sherly. Saya tidak sudi memiliki menantu seperti kamu! Dan ya, sekarang kamu sudah paham seberapa rendah derajat kamu, bukan?’ batin Darma berkata dengan sinis.Tapi sebaris senyum jumawa masih terukir di wajahnya. Tampak jelas raut puas di wajah Darma.“Pa! Kita belum—““Maaf. Ini kopinya, Tuan Darma. Silakan. Aku permisi..” belum juga Andra menyelesaikan kata-katanya, Alana sudah memotong dengan pamit pada Darma.Darma mengangguk mengibaskan
“Kamu memang wanita yang tidak tahu diri ya. Mulai berani kamu sama saya? Apa karena kamu bekerja di perusahaan Andra, jadi merasa mendapat perlindungan? Heh, dengar Alana. Andra tidak akan peduli padamu. Mau kamu mati atau hidup. Bahkan Andra tidak akan peduli dengan itu!”Alana tetap tersenyum. Meski hatinya hanya sedang menahan diri agar tak terpancing emosi atas hardikan Darma padanya.“Terserah Anda mau mengatakan apa, Tuan. Tapi yang jelas, aku bukan lagi Alana yang akan diam seperti dulu jika Anda menindasku. Jadi maaf kalau aku sedikit kurang sopan karena menjawab setiap ocehan Anda. Niatku di sini adalah untuk bekerja. Bukan untuk mencari masalah dengan siapapun. Termasuk dengan Anda, Tuan. Jadi jika Tuan tidak ada kepentingan lain. Bisakah Anda pergi dan membiarkan aku kembali fokus dengan pekerjaanku?” pinta Alana yang secara tidak langsung mengusir Darma.Tentu saja Darma terkejut dengan sikap Alana yang berani-beraninya menga
“Ah, Anda bisa menilainya sendiri. Seberapa dekat kami berdua,” jawab Danu dengan enteng. Lalu menoleh pada Alana yang hanya bisa menghembuskan napas lelah. Alana tak berniat mengelak atau pun meluruskan keadaan. Karena yang ia inginkan saat ini adalah segera pulang dan menghindar dari Andra.“Ya sudah. Kalau begitu aku permisi. Tadinya aku ingin menawari tumpangan pada sekretarisku yang sedang berdiri sendirian di pinggir jalan. Sebagai atasannya aku hanya mengandalkan sedikit rasa simpati. Tapi ternyata dia sedang menunggu jemputan seseorang,” ucap Andra terus terang.Alana memandangnya sembari menggigit bibir. Entah mengapa Alana bisa menangkap ada nada cemburu di dalam ucapan Andra barusan.“Baik. Terimakasih sudah bersimpati terhadap Alana. Tapi saat ini sudah ada aku yang akan menjaganya. Iya ‘kan Alana?” Danu melemparkan pertanyaan yang membuat Alana terhenyak dan tergagap di tempatnya.“Engh, iya,&rd
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it