“Kamu mandilah, Alana. Biarkan Rehan istirahat. Ibu mau pergi ke dapur dulu untuk menyiapkan makan malam,” ucap Winarti yang hanya dibalas dengan anggukan pelan oleh Alana.
Kemudian wanita paruh baya itu kini berlalu keluar dari kamar. Menyisakan Alana yang memandangi wajah pulas Rehan. Tangan Alana terulur untuk mengusap pelan rambut yang hitam legam itu. Wajah Rehan sungguh tampan meski matanya sedang tertutup sekalipun.
Dia benar-benar potongan Andra. Mungkin saat Andra masih seusia Rehan, wajah Andra pun juga persis seperti ini.
Ah! Kenapa tiba-tiba Alana jadi memikirkan lelaki itu.
Dengan cepat Alana menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan Andra yang membias di benaknya.
Namun, setelah cukup lama Sherly menunggu, tidak ditemukannya tanda-tanda Andra akan kembali.Bahkan hingga makanan yang mereka pesan telah terhidang di atas meja pun, batang hidung Andra belum juga muncul.“Ke mana Andra? Tidak mungkin dia hanya ke kamar kecil selama itu?” Sherly melirik-lirik kearah tangga, dimana terakhir kali ia melihat tubuh tegap Andra menghilang di sana.Hinggalah seseorang muncul dan menghampiri Sherly. Dia adalah sopir Sherly yang bernama Pak Parmin. Lelaki tua itu tergopoh-gopoh datang dan tiba-tiba saja mendudukan dirinya di tempat duduk Andra begitu saja tanpa permisi.“Pak Parmin kenapa ke sini? Andra-nya mana?” tanya Sherly dengan intonasi suara yang tinggi.
“Loh, itu Mba Alananya datang!” seru Mang Karim sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang sedang ia masak.Kepala Andra menoleh kearah yang Mang Karim lihat. Dan Andra menelan ludahnya berat, saat ia juga melihat Alana yang terkejut melihatnya.Sepertinya Alana juga hendak menghampiri gerobak Mang Karim.“Wah, memang yang namanya feeling seorang istri itu tidak pernah salah ya. Tahu saja Mba Alana kalau suaminya sedang nongkrong di dekat gerobak saya,” ucap Mang Karim lagi yang seakan tidak ada habisnya menggoda mereka yang tanpa Mang Karim tahu, adalah sudah bukan lagi suami istri.Alana memilin jemarinya semakin mendekat. Sedangkan Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Sambil Andra berdecak dalam hati.
Kemudian Andra menggeleng dengan tegas."Tidak! Kalian berdua salah. Sejak hari dimana Alana sudah membuat hidupku hancur, saat itu aku sudah melenyapkannya dari hati dan pikiranku. Bagiku Alana yang dulu sudah mati. Dan Andra yang dulu pun juga sudah mati. Tidak ada satu pun yang tersisa dalam diriku selain kebencian yang mendalam padanya!" Andra berkata dengan rahang yang merapat.Entah mengapa membuat senyum miring tersungging di bibir Nita.Sedangkan Darma, wajahnya masih menatap Andra dengan datar dan tegas."Dan tentang Sherly, semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan Alana. Jadi aku minta, jangan pernah membawa-bawa nama Alana. Di saat kita sedang memperdebatkan tentang perjodohan ini!" air muka Andra tampak begitu serius. Kedua matanya m
"Apa yang sedang Alana lakukan di sana? Seenaknya saja dia mau bersantai sementara tenggorokanku kering menunggu kopi pahit darinya?!" desis Andra menatap tajam pada layar monitornya."Ck! Alana. Kamu harus diberi pelajaran!" Andra bangkit berdiri dari duduknya.Dan sekarang ia sudah melangkah lebar keluar dari ruangannya.Tentu saja kakinya mengarah menuju ke pantry kantor. Dimana Alana tengah duduk manis menikmati kesantaiannya. Setidaknya itulah yang Andra pikirkan.Begitu kaki Andra tiba di ambang pintu, ia langsung berseru pada Alana."Begini yang kamu lakukan di pantry saat aku sedang sibuk di ruanganku, Alana? Apa kamu tidak tahu kalau sekarang belum jam istirahat?" sentak Andra dengan waj
Andra terdiam dengan menghunuskan tatapan dinginnya pada Alana yang tertunduk. Lalu Andra menghembuskan napas kasar, kemudian menurunkan kaki Alana dan ia bangkit berdiri.'Aduh, apa kelancanganku tadi sudah membuat Andra marah? Kenapa Andra menatapku dengan cara seperti itu?' batin Alana bertanya-tanya.Manik mata Alana memerhatikan punggung tegap Andra yang bergerak menuju sebuah laci. Andra mengeluarkan sesuatu dari sana lalu ia kembali berbalik menatap Alana."Terima itu!" kata Andra sembari melempar sesuatu dan refleks Alana menangkapnya."Olesi salep itu di pergelangan kakimu yang bengkak. Jika kamu merasa sudah bisa berdiri dan melangkah, maka segera pergi dari ruanganku! Ingat, Alana. Jangan merasa senang dengan apa yang ku lakukan padamu
“Mama harus banyak makan. Karena tenaga Mama pasti terkuras setelah bekerja. Sini Rehan suapin Ma. Aaak..”Alana membuka mulutnya saat tangan mungil itu menyodorkan sesendok makanan. Lalu Alana menerima suapan Rehan dengan senyum yang tersungging di bibir.“Wah, ternyata Mama hebat makannya. Rehan senang kalau Mama banyak makan,” kata Rehan mengacungkan jempol kanannya pada Alana.Winarti tersenyum menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menyuap makanan ke dalam mulut.Sementara Alana menatap lurus pada Rehan yang juga mulai mengunyah makanannya. Terbesit perasaan berat dalam hatinya, apakah Alana harus memberitahu Rehan dan Winarti sekarang. Kalau besok Alana akan pergi ke bali dalam beberapa hari?
Andra yang sedang bersandar pada hardboard ranjang sembari memainkan ponsel, kini mengangkat kepalanya dan menatap Alana dengan mata yang menyipit.“Mengapa panggilan ‘Pak’ itu selalu hilang dari mulutmu saat kita sedang berada di luar kantor, Alana?” tanya Andra dan Alana masih membisu di tempatnya. Kedua kaki wanita itu seakan telah dipaku dan ia tak bisa lari kemanapun.“Tapi tidak masalah. Aku memang lebih suka jika kamu memanggilku dengan nama saat kita tak sedang bekerja.” Andra menaruh ponselnya di atas nakas. Kemudian ia turun dari ranjang dan bergerak mendekati Alana.Yang membuat Alana menahan napas adalah, lelaki bertubuh jangkung itu juga sama-sama menggunakan bathrobe hotel. Hingga Alana berpikir, apakah tubuh Andra juga sama-sama polos di balik bathrobe itu?
Tatapan Alana yang berurai air mata membuat Andra mengumpat dan segera bangkit dari tubuh wanita itu.“Ah, Siall!” Andra menggeram. Dan tanpa melihat lagi kearah Alana, Andra bergerak cepat meraih ponselnya yang ada di atas nakas lalu keluar dari kamar hotel itu dan menutup pintu dengan membantingnya.BRAK!Alana bangkit duduk dan terhenyak menatap kearah pintu. Ia juga membetulkan bathrobe-nya.“Kenapa Andra tiba-tiba pergi dan marah seperti itu?” gumam Alana, tapi kemudian ia menarik napasnya lega. “Syukurlah. Karena dia tidak jadi menyentuhku. Meski sejujurnya aku sangat merindukan sentuhan Andra. Tapi jika ia menyentuhku dengan penuh penghinaan, maka lebih baik dia tidak melakukannya. Apalagi saat ini kita s
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it