“Rehan tidak mau mainan dari om itu, Ma! Om itu sendiri ‘kan yang bilang kalau Rehan tidak suka dengan mainannya, tinggal dibuang saja,” seru Rehan mengulangi ucapan Andra yang tadi.
Alana menarik napasnya pelan. Ia sangat tahu jika Rehan masih marah pada Andra. “Kamu boleh marah. Mama mengerti. Tapi mainan itu tidak salah apa-apa. Kalau kamu tidak mau dengan mainannya. Nanti kita bisa kasihkan ke orang lain,” ucap Alana. Sembari tangannya mengusap pelan rambut Rehan yang hitam legam.“Iya, Ma. Sama susu hamil itu, sekalian saja Mama kasihkan ke orang lain juga! Rehan yakin, adik bayi juga tidak mau mendapat pemberian dari om itu! Jadi Mama tidak perlu minum susu hamil itu. Nanti kita bisa beli lagi yang baru, Ma. Yang jelas, Mama jangan terima sogokan apapun dari om itu!” ucap Rehan pada Alana. Sebelum kemudian bocah kecil itu berlari masuk ke dalam rumah.“Rehan!” Alana berseru memanggil Rehan.“Sebentar, Cha. Aku sedang mencatat pesanan,” ucap Alana pada Icha yang berdiri di sampingnya. Lalu Alana kembali fokus mencatat pesanan lagi. Tapi dengan cepat Icha berbisik di telinga Alana.“Pelanggan di meja nomor 15 mencarimu. Katanya dia tidak mau pesan makanan apapun kalau bukan kamu yang melayaninya. Jadi ayo cepat ke sana, dan meja nomor 24 ini biar aku saja yang melayani mereka!” bisik Icha membuat Alana tercenung di tempatnya.Dengan melempar senyum ramah, Icha langsung mengambil alih pekerjaan Alana.Sementara Alana yang sejujurnya masih bingung dengan siapa pelanggan yang ingin dilayani olehnya itu, kini mulai melangkahkan kakinya untuk berjalan menuju meja nomor lima belas.“Aneh. Baru kali ini ada pelanggan yang memilih-milih ingin dilayani oleh siapa. Dan, kenapa pelanggan itu malah ingin dilayani olehku?” gumam Alana bertanya-tanya. Tapi kakinya tetap melangkah.Hingga akhirnya Alan
Alana menoleh lantas mengangguk pelan. Segera saja Alana memutuskan tatapannya dengan Andra. Kini Andra memerhatikan setiap gerak-gerik Alana yang memberikan piring kotornya pada Icha untuk dibawa ke dapur. Sementara Alana sendiri tampak sibuk mengelap meja itu.“Andra! Kamu Andra Wijaya ‘kan?” seruan seseorang yang tiba-tiba saja datang menghampiri Andra, membuat Andra mengalihkan pandangannya dari Alana.Kini mata Andra menoleh pada orang itu dengan kening yang berkerut. Alana pun ikut menoleh sebentar. Alana kenal dengan orang itu. Tapi yang membuat Alana heran, apa Andra dan orang itu saling mengenal?“Iya. Aku Andra. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Andra. Pada seorang lelaki yang mungkin seusia dengannya. Lelaki itu tampak berbalut kemeja dan dasi sama seperti Andra.Dia adalah Dion. Pemilik asli dari restoran itu. Dion tersenyum mendengar pertanyaan Andra. “Tentu saja
Andra mengedikkan bahunya. “Makanya. Kamu harus ikut pulang denganku. Ayo! Sekarang diamlah dan jangan membantah lagi! Karena hujan deras begini tidak baik bagi kehamilanmu!” Andra merangkul pundak Alana lalu menariknya dan membawanya berjalan menuju mobil.Andra membuka pintu untuk Alana, kemudian Alana masuk ke dalamnya. Meski dengan wajah yang sedikit merengut.Setelah itu, Andra masuk melalui pintu yang satunya dan ia mendudukan dirinya di kursi kemudi. Tak menunggu lama, Andra langsung menjalankan mobilnya menjauhi restoran itu.Mobil Andra menembus hujan dan membelah jalanan kota yang cukup lenggang. Coba saja tadi Alana benar-benar menunggu angkutan umum, Andra sangsi kalau akan ada angkutan umum yang mau beroperasi di saat hujan deras begini. Tapi kini Andra dan Alana disiksa oleh kecanggungan yang melingkupi suasana di dalam mobil itu. Andra berkali-kali menelan ludahnya bingung. Ia ingin mengakhiri kesenyapan ini. Tapi apa yang
Bisa-bisa Rehan marah padanya.“Iya, Ma? Mama naik apa ke sini? Naik ojeg ya? Makanya kehujanan?” tanya Rehan yang juga penasaran. Tangan Rehan menyentuh baju Alana yang basah.Alana mengangguk patah-patah, sambil bibirnya memaksakan untuk tersenyum.“Engh, iya. Mama naik ojeg. Makanya baju Mama basah,” sahut Alana berdusta.Winarti menatap dengan khawatir. “Ya sudah. Ibu siapkan dulu air hangat buat kamu ya. Kamu harus mandi air hangat, Alana. Kalau tidak, nanti kamu bisa sakit,” ucap Winarti hendak membalikan badannya untuk beranjak ke dapur.Tapi segera dicegah oleh Alana.“Tidak usah, Bu. Aku bisa mandi dengan air dingin saja.”“Tidak boleh. Kamu habis hujan-hujanan. Kamu bisa masuk angin kalau mandi air dingin lagi,” tegas Winarti. Ia sangat memerhatikan kesehatan Alana. Lebih lagi Winarti cemas pada kehamilan Alana.Seharusnya Alana tidak bekerja hingga m
Akhirnya jam kantor telah habis. Dan Andra sudah bersiap berjalan menuju mobilnya yang terparkir di baseman. Sesampainya di mobil, Andra menghempaskan pantatnya di balik kemudi. Lalu menaruh rantang makanan serta parsel buah yang tadi Nita titipkan padanya ke kursi yang di sebelahnya.“Sepertinya masakan Mama lumayan enak. Wanginya sampai tercium dan membuat perutku lapar lagi,” ucap Andra tersenyum melirik kearah rantang makanan milik Nita.Lalu Andra menggelengkan kepalanya sambil mulai menyalakan mesin mobilnya.“Jam segini Alana pasti sudah pulang dari restoran. Hhh.. semoga saja Alana tak menolak pemberianku kali ini,” gumam Andra sambil menyetir mobilnya. Membelah jalanan kota.Sementara itu..Di dalam rumahnya, Alana sedang mencuci piring dan gelas kotor di wastafel. Alana menyabuni gelas itu lalu membasuhnya dengan hati-hati.Tapi kemudian keningnya mengernyit saat ia merasakan sesuatu di perutnya. Tidak! Bukan gera
Sejurus kemudian, mobil Andra berhenti tepat di pelataran rumah sakit. Andra segera keluar dari mobil dan ia kembali menggendong tubuh Alana. Sementara Winarti berseru memanggil para perawat yang ada di sana yang begitu melihat Alana mereka langsung cekatan membantu membaringkannya di atas ranjang yang akan didorong ke UGD.“Mohon tunggu di luar, Pak. Bu.” suster itu berseru pada Andra dan Winarti sebelum kemudian mereka menutup pintu ruang UGD.“Alana.. Tolong selamatkan putri dan cucuku, Ya Tuhan. Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi pada mereka,” pinta Winarti dengan mata yang berkaca-kaca. Lalu tubuhnya meluruh dan duduk di atas kursi tunggu yang berada di depan ruang UGD.Rehan memeluk tubuh Winarti dari samping sambil menangis. Kedua pipi gembil bocah lelaki itu telah basah. Dan Andra memerhatikannya sambil menahan pedih.Andra ingin memeluk Rehan. Membiarkan Rehan menyandarkan kepala di pundaknya. Andra ingin s
Di dalam mobil, Andra tampak fokus mengendarai mobilnya sambil menatap lurus pada jalanan yang terhampar di depan sana. Hingga Andra tak sadar, jika Winarti memerhatikannya dari samping. Wanita paruh baya itu menatap iba pada Andra.‘Kasihan kamu, Andra. Rehan masih belum mau menganggap kamu sebagai papanya. Rehan masih menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak mau bicara sama kamu. Padahal sebenarnya kamu memang tidak sejahat kedua orang tuamu. Kamu hanya korban hasutan. Kamu juga menyakiti Alana karena tidak tahu tentang yang sebenarnya.’ Winarti bergumam di dalam batinnya.Memang benar. Jika saja Andra tahu dari awal tentang semua yang terjadi di masa lalu itu, pasti Andra tidak akan mungkin sampai hati menyakiti Alana. Karena dalam hidup Andra, Alana adalah nyawanya.‘Tapi aku masih ragu. Jika Nyonya Nita benar-benar sudah berubah dan tidak lagi membenci Alana. Sebab yang aku tahu, Nyonya Nita itu sangat angkuh dan bisa nekat melakukan a
Dan kini giliran Andra yang bungkam seribu bahasa. Pandangan Andra menunduk ke bawah. Menatap pada lantai rumah sakit yang sehampa hatinya.Sekarang Andra mengerti. Mengapa Rehan bisa sedekat itu dengan Danu. Sungguh! Andra merasa kalau ia bukanlah apa-apa. Andra bukan sosok ayah kandung yang baik untuk anaknya.“Lalu setelah kamu tahu betapa berartinya Danu dalam hidup Rehan, apakah kamu juga akan langsung menyerah begitu saja?” tanya Winarti tiba-tiba. Suaranya terdengar tegas kali ini.Cepat Andra menoleh. Menatap Winarti yang tengah menatapnya dengan pandangan yang lurus.“Katanya kamu mencintai anakku? Kamu bilang kamu mau menjaga cucu-cucuku? Mana keberanian kamu, Andra? Hanya mendapat penolakan Rehan saja sudah membuat kamu merasa kecewa. Ingat, Andra! Dalam hidup ini, tidak semua hal yang kita inginkan bisa didapatkan dengan mudah. Ada beberapa yang memerlukan perjuangan untuk mendapatkannya!” papar Winarti.Andra mengan
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it