Andra berdecak pelan sambil menyentak tangannya ke meja. Ia baru saja mendapat kabar bahwa Alana cuti hari ini. Wanita itu tidak bisa masuk kantor lantaran sedang sakit.
Dan hal itu tak ayal membuat pikiran Andra menjadi gusar. "Alana masih sakit? Apa jangan-jangan kemarin itu dia bukan hanya masuk angin biasa. Apa saat ini sakitnya parah, sampai dia tidak bisa masuk kerja?" gumam Andra bertanya-tanya. Raut wajahnya tampak cemas. Secara tak sadar, saat ini Andra begitu mengkhawatirkan Alana. "Hah, sekarang aku jadi tidak fokus. Kenapa pikiranku mendadak kacau? Hanya karena Alana sakit, aku jadi ikut uring-uringan! Seharusnya aku tak perlu berlebihan seperti ini?" Andra mengacak rambutnya. Lalu ia berusaha fokus untuk menatap pada layar monitor yang telah terpampang di hadapannya. Andra berusaha mengusir segala kemelut yang merundung pikirannya. Sebisa mungkin Andra mengenyahkan Alana dari benaknya. Saat ini yang perlu ia lakukanAndra berdecak dengan kesal. Buku-buku jemarinya saling mengepal dengan kuat. Andra tidak pernah menduga jika Danu akan membayarkan uang denda itu. Sial!“Kenapa kamu mendadak diam, Pak Andra yang terhormat? Apa kamu sudah mati kutu begitu mendengar ucapan telak dariku?” Danu mengejek Andra dengan senyumnya yang terlihat menyebalkan.Andai saja Andra tak ingat martabatnya sebagai boss perusahaan besar, pasti saat ini Andra sudah bangkit dan melayangkan tinjuan di wajah Danu itu.“Kenapa kamu harus repot-repot membayar denda untuk Alana? Siapa kamu sebenarnya?” tanya Andra setelah beberapa saat terdiam.Rasa penasaran masih mengusik dalam hatinya. Sedekat itukah hubungan antara Danu dengan Alana? Hingga lelaki itu mau mengeluarkan uang yang terbilang banyak demi Alana.“Aku? Kamu bertanya siapa aku? Aku adalah lelaki yang ingin Alana bahagia. Dan aku adalah lelaki yang akan memastikan tidak ada satu
“Baik. Terimakasih banyak Danu. Karena kamu mau repot-repot melakukan semua ini untukku,” ucap Alana yang dibalas Danu dengan anggukan dan senyum hangat.“Jangan bilang terimakasih. Aku melakukannya sebagai Ayah Rehan. Aku juga melakukannya sebagai teman baikmu. Aku tidak rela, Alana. Jika wanita sebaik kamu harus terus-menerus berhubungan dengan lelaki yang sangat arogan dan pengecut seperti Andra. Maaf jika aku berkata buruk tentang mantan suamimu itu. Tapi aku berkata sesuai dengan yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Saat aku bertemu dengannya. Aku bisa menilai, betapa tidak pantasnya dia untuk menjadi ayah kandungnya Rehan. Bahkan aku ragu kalau dulu dia pernah menjadi suami yang baik untukmu,” lanjut Danu menuturkan pendapatnya tentang Andra.Alana menundukan pandangannya. Ia menatap kosong pada meja ruang tengah yang ada di hadapannya.‘Kamu salah, Danu. Dulu Andra adalah sosok suami yang sangat baik
Selesai mengantarkan Rehan, Alana langsung melanjutkan perjalanan untuk berangkat ke kantor dengan kendaraan umum. Dan kini ia sudah tiba di perusahaan Andra yang sangat tinggi dan besar.Alana membiarkan punggungnya bersandar pada lift yang akan membawa tubuhnya naik ke lantai dimana ruangan Andra berada.Sambil memejamkan matanya sejenak, Alana menarik napasnya dengan pelan. Sekarang ini Alana merasa jika ia harus melepaskan sesuatu yang sangat berat dalam hidupnya.“Aku harus bisa melakukan ini. Aku yakin aku bisa hidup tanpa Andra dan baying-bayangnya. Aku harus menjalani hidupku sendiri dengan anak-anakku. Dulu saja aku bisa melakukannya saat mengandung Rehan. Aku percaya jika anak-anakku akan memberiku kekuatan. Mereka adalah yang paling berharga dalam hidupku,” gumam Alana menatap dinding lift yang mana saat ini hanya ada ia sendiri.TING!Lift berdenting. Dan berhenti tepat di tempat tujuan Alana. Alana
“Selamat pagi sayang!” Sherly menyapa sembari memberikan senyum termanisnya pada Andra.Andra hanya menatapnya sebentar. Lalu kembali berkutat dengan pekerjannya. Andra sudah tahu kalau Sherly akan datang ke kantornya pagi ini. Karena Nita yang memberitahunya.Dan seperti yang Nita katakan, Andra harus berusaha menjaga sikapnya pada Sherly. Karena mengingat penyakit kanker darah yang diderita oleh wanita itu. Setidaknya begitulah yang selalu Nita tekankan pada Andra.“Tadi aku melihat Alana yang baru saja keluar dari ruang kerjamu. Kamu sudah memecatnya ‘kan sayang?” tanya Sherly. Wajahnya tampak begitu senang.“Bukan. Dia mengundurkan diri dari pekerjaannya.” Andra menyahut. Membuat Sherly menautkan alisnya.‘Oh. Jadi wanita itu mengundurkan diri? Aku pikir Andra yang sudah memecatnya. Hmm.. pantas saja sekarang wajah Andra terlihat muram. Apa karena Andra tidak senang Alana
“Aku akan telpon Virny dulu, Bu. Biasanya jam segini dia belum tidur,” kata Alana sambil bangkit dari duduknya. Kemudian Alana menepuk pelan pundak Winarti, sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya.Sementara itu, Ratna yang baru saja keluar dari rumah yang masih ditinggali oleh Alana dan keluarganya, kini segera masuk ke dalam mobil miliknya sambil tangannya merogoh ponselnya dari dalam tas.Ratna kemudian menempelkan ponsel itu ke telinga. Ia sedang mendial nomor seseorang.‘Hallo?’ suara seorang wanita terdengar dari seberang telpon.“Hallo, Mbak Sherly? Aku sudah bicara pada Alana dan keluarganya agar mereka segera mengosongkan rumah itu besok. Dan mereka setuju. Jadi besok Mbak Sherly bisa membeli rumah itu,” seru Ratna dengan wajah yang sumringah.Ya. Orang yang membeli rumah sewa milik Ratna dengan harga yang tinggi itu adalah Sherly. Sherly sengaja melakukannya agar ia bisa membuat Alana pin
Sementara Andra memilih menulikan telinganya dengan tetap fokus memasukan makanan ke dalam mulut.“Om setuju, Sherly. Lalu bagaimana dengan kamu, Andra? Apa kamu setuju dengan usul Sherly?” Darma melemparkan pertanyaan pada Andra. Yang hanya menjawab dengan mengedikkan bahunya.“Terserah saja. Aku ikut apa yang kalian katakan,” jawab Andra tak acuh. Meskipun suaranya terdengar biasa saja.Arwen menatap Andra dan ia masih bisa menilai jika Andra masih menjadi satu-satunya orang yang merasa paling keberatan dengan pernikahan ini.Meskipun sebenarnya Arwen juga tidak terlalu mendukung pernikahan Andra dan Sherly karena Arwen tahu Andra tak bisa mencintai putrinya, tapi mengingat Sherly yang menderita penyakit parah membuat Arwen hanya bisa menurut saja pada kemauan putrinya itu.“Kan kita yang akan menikah, sayang. Kenapa kamu malah bilang terserah. Aku juga pasti butuh pendapat kamu. Siapa tahu kamu ingin k
Alana menghembuskan napasnya pelan. Ia paham. Perasaan Rehan pasti akan hancur setelah mendengar kenyataan yang sebenarnya.Apalagi Rehan begitu menyayangi Danu. Mereka sudah seperti ayah dan anak. Rehan menganggap bahwa Danu adalah ayahnya sejak ia lahir. Lalu sekarang, sebuah kenyataan pahit telah memukul mimpi anak itu.Ternyata kenyataan tak semanis yang ia rasakan.“Mama minta maaf.”“Kenapa Mama tidak pernah bilang kalau Ayah Danu itu bukan Ayahnya Rehan? Rehan sayang sekali sama Ayah Danu. Rehan sudah cerita sama teman-teman di sekolah. Kalau Rehan punya ayah yang baik dan bekerja sebagai dokter. Tapi mereka tidak ada yang percaya. Kata mereka ayahnya Rehan tidak mungkin seorang dokter. Dan ternyata memang benar apa yang dibilang oleh teman-teman. Kalau Rehan memang tidak memiliki ayah yang bekerja sebagai dokter.” Rehan bangkit duduk. Menghadap Alana sambil bercerita dan menyeka air matanya.Alana m
“Apa? Alana hamil?” pekik Andra membuat kepala Nita dan Darma tertoleh kearah pintu.“Andra!”“Se-sejak kapan kamu berdiri di sana?!” Nita bertanya dengan wajah pucat pasi. Ia dan Darma sama-sama terkejut ketika mendapati Andra sudah berdiri di ambang pintu dan menatap mereka dengan pandangan menusuk.“Sejak kalian menceritakan tentang semua rencana busuk yang telah kalian buat padaku dan Alana!” geram Andra meninggikan intonasi suaranya.Nita meneguk ludahnya gelisah. Sementara Darma berusaha bersikap biasa saja meskipun ia mengumpat dalam hatinya. Seharusnya tadi Darma menutup pintu kamarnya dengan rapat. Sekarang ia sudah tertangkap basah oleh Andra. Kali ini, Andra pasti akan sangat marah padanya.“Kenapa kalian melakukan semua ini, hah?! Kenapa kalian tega menghancurkan rumah tangga anak kalian sendiri demi materi?! Demi kekuasaan! Jadi saat itu Alana sedang hamil, dan kalian malah mengusir
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it