Rehan manggut-manggut. “Iya, Ma. Yang satunya lagi buat adik bayi. Biar nanti kalau adik bayi lahir. ‘Kan bisa main bareng sama Rehan.”
Danu mengulum senyum. Sementara Alana menaikan sebelah alisnya.“Sayang. Kita ‘kan belum tahu adik bayinya laki-laki atau perempuan. Nanti kalau kita beli robot tapi ternyata adik bayinya perempuan, gimana?” tanya Alana.“Berarti kita beli boneka barbie juga, Ma. ‘Kan anak perempuan suka boneka barbie.” Rehan berseru. Membuat Danu kembali terkekeh sambil mengacak pelan rambut anak itu. Sementara Alana menggeleng-gelengkan kepala. Tapi kemudian ia juga tersenyum pada Rehan.“Ya sudah. Kita beli boneka barbie juga. Tapi kamu yang pilihkan boneka barbienya ya,” kata Alana.“Siap, Ma!” Rehan mengangguk senang. Lantas segera pergi menuju jajaran boneka barbie yang cantik-cantik. Danu dan Alana hanya memandanginya sambiAndra tercenung sesaat. Mendengar nama Alana membuat Andra kembali teringat dengan wajah mantan istrinya itu. Alana-nya yang sampai detik ini masih belum bisa Andra temukan.Padahal Andra selalu mencari Alana setelah jam kantornya habis. Ia juga menyuruh orang untuk mencari pujaan hatinya itu. Akan tetapi sampai saat ini semuanya belum membuahkan hasil.Alana-nya masih belum bisa ditemukan.“Ah, tidak. Hanya saja nama mama kamu mirip sekali dengan nama mantan istri Om.” Andra berkata jujur. Sementara Rehan manggut-manggut.“Oh. Jadi mantan istri Om namanya Alana ya? Wah, sama kayak nama mama aku.” Rehan menyengir lebar.Sejenak Andra menautkan alisnya. Kini tatapan Andra berubah. Dipandangnya Rehan dengan wajah menyelidik.“Kalau boleh tahu, Mama kamu seperti apa?” tanya Andra penasaran.Entah mengapa ia ingin sekali menanyakan tentang ini pada Rehan. Sebab Andra merasa, jika anaknya masih hidup
Nita menggeleng. Kini ia mengangkat tangannya untuk menepuk pelan pundak Andra. Memberikan semangat dan keyakinan pada putra semata wayangnya itu.“Kamu harus yakin, Andra. Kalau Alana pasti mau menerima kamu lagi. Karena hati Mama begitu kuat. Mama percaya kalau Alana masih mencintai kamu sampai saat ini. Kamu tidak boleh menyerah untuk mendapatkan cinta Alana kembali. Karena Alana akan tetap jadi milik kamu, Andra.” Andra mengangguk. Kemudian ia mengukir senyum lebar di bibirnya.Ya. Benar apa yang Nita katakan. Kalau Andra harus yakin jika hati Alana masih untuknya. Meskipun Andra tidak tahu, bagaimana kabar hubungan Alana dengan Danu saat ini?Tapi entah mengapa, hati Andra selalu merasa, kalau Alana masih mencintainya.*** Tok! Tok! Tok!“Iya, sebentar.” Winarti beranjak dari dapur menuju ruang tamu. Karena ia mendengar suara ketukan pintu.KLEK!“Nenek!”
Dengan mengenakan seragam pelayan restoran yang berwarna cokelat muda, Alana melangkah percaya diri menuju meja nomor tiga belas.Dan ternyata apa yang dikatakan oleh Anes memang benar. Tadinya meja nomor tiga belas itu masih kosong. Tapi kini dua orang lelaki berperawakan jangkung sudah duduk di sana.Yang satunya langsung tersenyum melampai pada Alana.“Mbak?” sambil berseru memanggil Alana karena ingin segera memesan makanan.Sementara lelaki yang satunya lagi tak bisa Alana lihat wajahnya. Karena posisi lelaki itu yang duduk membelakangi Alana. Dan kaki Alana yang ramping, kini nyaris mencapai meja mereka.“Selamat siang, Pak. Mau pesan apa?” tanya Alana dengan ramah. Bibirnya menyunggingkan senyum sepenuh hati.Akan tetapi senyum itu langsung memudar ketika matanya bersitatap dengan lelaki yang tadi belum sempat Alana lihat wajahnya.Alana terkejut. Begitupun dengan lelaki itu yang sama terkejutnya seperti A
Andra terdiam sebentar. Matanya menyipit menatap pada Alana. Tampak keraguan tergambar dari raut wajah wanita itu. Apalagi bibir Alana sedikit bergetar saat mengucapkannya.Membuat Andra semakin yakin, bahwa bayi itu memang miliknya.“Sayangnya kamu tidak pintar berbohong, Alana! Mulutmu mungkin bisa berkali-kali mengatakan kebohongan. Tapi wajahmu tidak bisa menyembunyikan itu. Gelagatmu justru membuat aku semakin yakin, kalau kamu sedang mengandung anakku!” ucap Andra.Mata Alana melebar saat itu juga. Bagaimana bisa Andra tahu kalau ia sedang berbohong?Tapi Alana tidak akan menyerah. Ia tidak mau kalah dari Andra. “Kenapa kamu terlalu percaya diri, Andra? Kamu mau mengaku-ngaku bayi yang ada dalam kandunganku ini? Eh? Maaf. Tapi bukannya dulu kamu sendiri yang pernah bilang, kalau kamu tidak akan pernah sudi memiliki seorang anak yang lahir dari rahim wanita hina sepertiku? Lalu kenapa sekarang
Alana tersenyum tipis seraya menganggukan kepalanya.“Baik, Pak Rendy. Terimakasih banyak. Aku pamit pulang.”Rendy mengangguk. Membiarkan Alana bangkit berdiri dan keluar dari ruangannya.“Aku lega, karena aku bisa pulang cepat. Andra pasti masih ada di restoran ini dan aku tidak mau terus-menerus bertemu dengannya. Dia pasti akan mendesakku tentang bayi ini. Dia bisa seyakin itu kalau aku sedang mengandung anaknya,” gumam Alana sambil berjalan pelan keluar melewati pintu restoran.Tujuan Alana tentu saja pulang ke rumah sewanya.Dan tanpa Alana ketahui, Andra yang sedari tadi mencari Alana dan menunggu Alana, kini keluar dari persembunyiannya.Ditatapnya punggung Alana dengan mata yang menyipit.“Alana. Kamu tidak akan bisa pergi dariku! Hari ini, aku akan tahu dimana kamu tinggal!”Alana menghentikan sebuah angkot yang melintas di depannya. Lantas Alana masuk ke dalam dan ia
Bukannya menjawab pertanyaan Danu, Andra malah terdiam. Lidahnya kelu untuk sekadar bicara.“Ayah kenal sama Om baik?” tanya Rehan mendongkak menatap Danu. DEG!“A.. ayah?” mendengar bibir Rehan memanggil Danu dengan sebutan ayah, terasa meremas ulu hati Andra.Tunggu! Kenapa Rehan bisa memanggil Danu ayah?Danu menarik kedua pundak Rehan dan menahan dengan kedua tangannya. Tapi matanya lurus masih menusuk bola mata Andra dengan tatapan tajam.“Iya, Rehan. Ayah kenal dengan orang ini. Dan dia bukan orang yang baik. Jadi Ayah minta, kamu tidak usah dekat-dekat lagi dengan dia!”Mata Andra menyipit mendengar ucapan Danu barusan.“Tapi Om ini memang baik, Ayah. Dia yang bawa Rehan ke rumah sakit waktu itu,” seru Rehan pada Danu.“Pokoknya Ayah bilang tidak boleh!” Danu segera menyahut. Membuat mulut Rehan terkatup rapat.Saat itu, Alan
Tubuh Alana membeku. Suara Andra terdengar serak kali ini. Tapi Alana hanya menghentikan langkahnya saja. Tak berniat berbalik menatap Andra.“Dan sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Papa sempat menyampaikan permintaan maafnya untuk kamu. Dia sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah salah. Mama juga sama. Dia yang selalu memberiku dukungan untuk mencari keberadaan kamu dan anak kita, Alana. Mama ingin sekali bertemu dengan kamu dan meminta maaf. Apalagi jika Mama tahu kalau ternyata anak kita sudah besar dan tumbuh dengan sehat, Mama pasti akan senang melihat Rehan. Cucu lelaki pertamanya.” Andra berkata dengan mata yang berkaca-kaca.Bibirnya tampak bergetar saat bicara. Sementara wajahnya menatap punggung Alana penuh harap.Alana sendiri masih mematung. Tubuhnya membeku mendengar setiap rentetan penjelasan Andra. Sedangkan ia hanya bisa meneguk ludahnya beberapa kali.‘Om Darma meninggal? Apa benar, kalau oran
Dan Andra menatapnya dengan raut tak menyangka. Ternyata Danu sudah hadir dalam hidup Alana bahkan sebelum Rehan lahir ke dunia ini.Pantas jika Rehan tampak begitu lengket dengan Danu. Dan pantas jika Rehan memanggil Danu dengan sebutan ayah.Sekarang Andra menjadi gamang sendiri. Harusnya ia berterimakasih pada Danu, karena telah menjaga Alana dan anaknya.Tapi dalam lubuk hati Andra, rasa cemburu melingkupinya. Ia juga ingin sedekat itu dengan anak kandungnya. Hatinya merasa sakit saat mendapati ternyata Rehan lebih dekat dengan orang lain.“Bayangkan, Andra. Bagaimana jika seandainya Tuhan tidak mengirim Danu dalam kehidupan Rehan? Pasti anak itu akan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Rehan akan merasa berbeda dengan anak yang lain. Teman-temannya memiliki keluarga yang lengkap, sementara dia tidak. Untuk itulah Danu sangat berjasa dalam hidup Rehan. Dia menjadi sosok ayah yang sangat melindungi cucuku. Jadi jangan pernah k
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it