"Mas, untuk malam ini saja bisakah kamu tinggal lebih lama?"
Arya menghela napas dalam. Setelah memastikan pakaiannya rapi, dia berjalan dan menarik tubuh ramping Risa dalam dekapan hangat yang selalu membuat gadis itu candu.
"Maaf, Risa. Untuk malam ini, aku harus kembali. Tapi, aku berjanji satu minggu lagi kita akan pergi ke Maldives dan menghabiskan waktu di sana. Hanya berdua! Kamu dan aku," bisik Arya lembut.
"Janji?"
"Ya, aku berjanji," jawabnya sambil tersenyum.
Arya pun pergi sedangkan Risa hanya mampu menatap lelaki itu menghilang dari balik pintu tanpa sanggup menahannya walau hanya sedetik saja.
Kamar yang sempat hangat karena gelora asmara yang membara di antara mereka kini kembali dingin dan sunyi.
"Ah, andai Mas Arya milikku seutuhnya," batin Risa penuh harap.
Namun, akal pikirannya menolak. Mungkinkah bosnya itu dapat menjadi miliknya? Seketika, ia terbayang wajah istri bosnya dan juga sahabat baiknya.
"Nazwa, maafkan aku," lirih Risa.
****
[Risa, bisakah pagi ini kamu datang ke rumahku?] Sekilas isi pesan yang Nazwa kirimkan pagi ini.
Risa mendengus lalu melemparkan ponsel ke atas ranjang dan memilih untuk mandi tanpa membalas pesan terlebih dahulu.
Sebenarnya, Risa sangat malas ketika diminta harus pergi ke sana. Bila sudah berada di sana, mau tidak mau, ia harus menyaksikan kemesraan Arya dan Nazwa tepat di depan matanya. Tentu saja, itu akan selalu berakhir dengan dia menahan rasa cemburu.
Risa masih ingat jelas ketika terakhir kali berkunjung ke sana: Arya tengah menyuapi Nazwa dan sesekali mengecup punggung tangan Istrinya itu dengan sangat romantis. Ia cemburu, tetapi dia bisa apa? Ia hanya mampu diam dan menangis di dalam hati.
Namun, dia juga tidak punya alasan untuk menolak ke rumah sahabatnya itu.
[ Baiklah. Tunggu, aku, ya.] balas Risa pada akhirnya.
*****
"Hai, Risa! Kamu sudah datang," ucap Nazwa ketika Risa baru saja memasuki kediamannya yang mewah.
"Hai! Apa kabar, Nazwa?" tanya Risa sambil memeluk tubuh sang sahabat.
"Aku merasa lebih sehat hari ini. Terima kasih sudah menyempatkan datang pagi ini." Nazwa mengurai pelukan lalu menggenggam tangan Risa.
"Syukurlah aku bahagia mendengarnya." Risa tersenyum ramah seperti biasanya, dan sesekali melirik ke arah Arya yang selalu tampan.
"Oh, ya hampir lupa! Aku punya hadiah untukmu," pekik Nazwa menganggetkan Risa.
"Hah, hadiah? Apa kamu lupa kalau ulang tahunku masih lama, Nazwa."
"Memangnya, jika seorang sahabat ingin memberikan hadiah harus menunggu ulang tahun dulu?"
"Ah iya kita kan sahabat," ungkap Risa dengan nada lirih di akhir kalimat.
Risa tersenyum getir mendengar ucapan Nazwa. Ada perasaan tidak nyaman mendengar kata sahabat. Terlebih, dia telah "mencuri" suami sahabatnya sendiri.
"Hehehe... Sayang, aku mau ambil hadiah untuk, Risa," ucap Nazwa sambil menyentuh tangan Arya.
"Biar aku saja yang bawa hadiahnya nanti. Sekarang, aku antar kamu langsung ke taman ya," ucap Arya sambil membelai lembut wajah pucat Nazwa.
Risa memalingkan wajah. Hal remeh seperti itu pun membuat rasa cemburu di dalam dadanya tak terkendali.
"Yuk Risa," ajak Nazwa lembut, Risa hanya menganggukan kepala lalu mengikuti sepasang suami istri itu dari arah belakang.
Arya mendorong kursi roda Nazwa dengan sangat hati-hati. Bahkan, saat mereka sampai di taman, Arya membopong tubuh Nazwa dan mendudukannya di kursi taman dengan telaten.
"Risa, kamu mau teh?"
"Boleh," jawabnya sambil tersenyum.
Perlahan, Nazwa menuangkan teh jasmine pada cangkir. Namun, karena tangannya yang terus bergetar, teh itu tumpah dan mengenai rok yang dikenakan Risa.
Risa terperanjat sedangkan Nazwa seketika panik lalu menjerit.
"Ya ampun, Risa maafkan aku!" pekik Nazwa dengan raut wajah penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, Nazwa aku baik-baik saja." Risa mencoba untuk menenangkan sambil memeluk tubuh Nazwa.
Namun, usahanya sia-sia Nazwa tetap histeris sambil terus meminta maaf kepada Risa. Beruntung, Arya segera memeluk tubuh Nazwa. Ajaib, sahabat Risa itu langsung tenang saat itu juga! Arya pun segera membopong masuk ke kamar dan merebahkan tubuh ringkih sang istri di ranjang.
"Maafkan aku, Risa," lirih Nazwa.
Risa menggenggam tangan dingin Nazwa dengan erat, "Aku gak kenapa-kenapa kok, Nazwa."
"Tapi rokmu basah."
"Tidak apa-apa, aku bisa pulang dan mengganti baju."
"Tapi—"
Melihat sang istri yang mulai panik, Arya mendekati Nazwa, dan membelai lembut rambut sang istri. "Sayang, sudah ya aku bisa membelikan rok baru untuk, Risa. Sekarang, kamu istirahat saja jangan terlalu banyak pikiran," ucapnya penuh perhatian.
"Benarkah?"
"Iya Sayang. Ya, sudah kami berangkat dulu." Arya mencondongkan tubuh lalu mengecup kening Nazwa mesra.
Sementara itu, Risa memutuskan untuk meninggalkan kamar terlebih dahulu. Dia tak tahan melihat pemandangan romantis pasutri tersebut.
"Sayang, jangan lupa hadiah untuk sahabatku!"
Langkah Risa terhenti saat hendak mencapai pintu. Lagi-lagi, istri Arya itu menyebut dirinya sebagai sahabat.
"Risa?" panggil Arya.
Ia terperanjat mendengar sapaan itu dan segera menghapus air mata yang sempat mengalir di pipi.
"Iya, Pak. Maafkan aku malah melamun,"
"Iya, tidak apa-apa. Ya, sudah ayo kita pergi."
Risa mengangguk lalu memutar tubuh ke arah Nazwa melambaikan tangan sebelum ia benar-benar keluar dari kamar. Sempurna! Drama mereka sempurna. Entah sampai kapan dapat mengelabui Nazwa?
Sesak, Risa berlari menuju taman meraih tas dan berniat untuk langsung meninggalkan rumah itu. Namun, Arya menahan pergerakannya dan menarik tubuh Risa menuju sebuah paviliun yang terletak tak jauh dari taman.
"Apa yang, Anda laku—" ucapan Risa terputus saat Arya lebih dahulu mengecup bibir tipis Risa.
"Maaf, sudah membuatmu tak nyaman berada di dekat, Nazwa," bisik Arya lembut.
Embusan napas Arya di telinganya serta aroma maskulin yang berasal dari tubuh pria itu membuat Risa mengigit bibirnya sendiri.
"Bolehkah aku saja yang mengigit bibir seksimu itu?" goda Arya saat ia melihat reaksi Risa.
Refleks Risa menengadahkan kepala, tatapan mata keduanya beradu. Iris sekelam malam itu pun mampu membuat Risa tenggelam dalam pesona seorang Arya. Perlahan, Risa memejamkan mata saat Arya semakin mendekatkan wajahnya. Sentuhan lembut di bibir se merah delima itu pun mampu membuat Risa melayang.
"Apa kamu menginginkan lebih?" bisik Arya saat ia melepaskan ciumannya dan mendengar desah halus lolos dari bibir seksi Risa.
Risa membuka mata pipi putih mulusnya seketika merona mendengar godaan itu.
"Andai saja ini di rumahku, maka aku kan meminta lebih. Aku sangat ...." Risa menghentikan kata-katanya dan diakhiri desahan.
Arya memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Kamu nakal, Risa! Nanti malam, aku akan membuatmu terjaga sampai pagi," ungkap Arya sambil menarik tubuh seksi Risa ke dalam dekapannya. "Baiklah, aku jadi tak sabar," balasnya sambil mengedipkan sebelah mata. Ia pun melepaskan diri dari dekapan Arya, lalu berjalan keluar paviliun. Sedangkan Arya masih berada di paviliun sambil terus menatap tubuh Risa yang berjalan dengan sangat anggun--membuat sesuatu di balik celananya menegang. "Maaf, Nazwa. Tapi, sahabatmu itu selalu membuatku penasaran!" Senyum tipis tersungging di wajah pria pemilik hati dua sahabat itu.Akibat insiden teh yang tertumpah itu, Nazwa bersikeras meminta sang suami untuk membelikan baju untuk Risa. Setelah menyetujui permintaanya, pasangan gelap ini pun segera menuju butik langganan para artis, istri pengusaha, dan para istri pejabat. Dulu, sebelum Nazwa jatuh sakit dan lumpuh. Hampir setiap minggu ia mengajak Risa untuk shopping di butik itu. Tapi, kini? Nazwa bahkan membiarkan suaminya pergi dengan Risa ke butik walaupun bersama supir dan juga asisten pribadi Arya di depan. Suasana di mobil terasa begitu canggung, tidak ada percakapan antara Risa ataupun Arya. Mereka tampak sibuk dengan ponselnya, dan hanya sesekali saling mencuri pandang. "Ayo, Risa!" ajak Arya sambil berjalan mendahului setelah mobil mereka tiba di halaman butik."Haruskan kita, ke sini?" Risa berbisik dan sesekali melirik ke dua penggangu di mobil depan, takut jika mereka mendengar ucapannya."Tidak usah cemas, tidak akan ada yang curiga," jawabnya tanpa menoleh. Dengan langkah lesu, Risa mengiku
"Geli, Mas Arya. Sudah cukup! Kita di kantor loh," tolak Risa saat Arya tiba-tiba memeluk dan menghujaninya dengan ciuman. Sekuat tenaga Risa mencoba untuk melepaskan diri dari dekapan Arya. Risa khawatir ada seseorang yang melihat mereka tengah bermesraan. "Sebentar saja, Risa. Aku mohon," ucapnya lirih dan terus memeluk dengan erat. Arya melepaskan pelukan, perlahan dia mengecup leher jenjang Risa hingga membuat desah lembut lolos dari bibir semerah delima itu. "Hanya kamu yang mampu menjadi peredam amarahku, Risa sayang," bisik Arya dengan napas yang menderu. Risa hampir terbuai dengan sentuhan demi sentuhan yang dirasakannya. "Mas, ah, kamu membuatku basah," desah Risa menggoda. Merasa keinginannya akan bersambut, dalam sekali ayun Arya mengangkat tubuh Risa dalam gendongannya. Dia menghempaskan tubuh sang kekasih ke sofa, dan membuat Risa berada dalam kungkungannya. Perlahan Arya membelai wajah cantik yang kini berada tepat di hadapannya, gairah Arya semakin tertantang sei
Nazwa masih belum percaya dengan kenyataan yang baru saja ia ketahui. Selama ini, dokter pribadi yang merawatnya adalah seorang dokter perempuan. Maka, saat Nazwa melihat Dika yang akan menggantikan Dokter Sarah membuat ia sedikit merasa canggung. "Sayang, aku ingin bicara kepada, Ayah," ungkap Nazwa dengan sorot mata sendu. "Untuk apa? Sudah tidak apa-apa. Ayah pasti tahu apa yang terbaik untuk, Putrinya," ungkap Arya sambil merebahkan tubuh ringkih Nazwa di ranjang. Arya menempatkan dirinya tepat di sebelah Nazwa, meskipun saat ini amarah hampir membakar sebagian hatinya. Namun, dia berusaha tetap tenang di hadapan Nazwa, dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. "Tapi, apa kamu yakin?" tanya Nazwa ragu. "Kamu tahu kan bagaimana sifat, Ayah?"Nazwa terdiam, tentu saja ia tahu bagaimana sifat sang ayah yang jika telah memutuskan satu hal pantang sekali untuk kembali menarik keputusannya. "Maaf, jika mulai besok kehadiran, Kak Dika membuatmu tak nyaman," ucap Nazwa parau.
Berulang kali Risa menatap pantulan dirinya pada cermin. Mengenakan baju tidur transparan dengan belahan dada rendah membuatnya tampak begitu seksi, dan menggoda. Namun, Risa menyadari ada satu hal yang mengganjal di dalam hatinya. Risa terdiam. Selama satu tahun berkencan dengan Arya ini adalah kali pertamanya menginap di rumah itu dengan status kekasih bayangan Arya. Risa bimbang di antara dua pilihan, menyenangkan kekasihnya atau menghargai Nazwa yang pernah menjadi sahabat terbaiknya. "Wah, kamu seksi, Sayang.""Mas Arya!" pekik Risa, ia buru-buru berlari ke arah pintu. Menarik lengan Arya lalu mengunci pintu. Risa menatapnya selintas, lalu berbalik tak mengacuhkan Arya yang tampak bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya. "Hei, kemarilah."Namun, Risa tetap tak acuh terhadap Arya. Ia memilih untuk berjalan menuju jendela yang menghadap langsung ke arah taman. Arya tertawa melihat reaksi Risa yang tak seperti biasanya, "Kamu kelihatan kesal, ada apa?"Sesuatu yang lembut m
Nazwa mengatupkan mulutnya saat mendapati pemandangan yang cukup mengejutkan. Dika bersama Nazwa dalam satu kamar yang sama, terlebih Risa hanya mengenakan handuk membuat sebuah prasangka tersendiri dalam benak Nazwa. "Ma-maaf aku sudah mengganggu. Lanjutkan saja, dan jangan lupa tutup pintu kamar," ucap Nazwa sambil mengulum senyum, lalu memberikan isyarat kepada pelayannya untuk segera mendorong kursi rodanya menjauh. Dika berdecak, dia beralih menatap Risa yang masih saja tak sadarkan diri. Dengan kesal dia membopong tubuh Risa, dan merebahkannya di ranjang. "Bangunlah jalang, dan katakan dengan siapa kamu bercinta!" "Hei, siapa yang kamu sebut jalang?!" pekik seseorang dari ambang pintu. Dika menegakkan tubuh lalu menghadap ke arah sumber suara, dua pria yang sama-sama berparas tampan itu pun saling beradu pandangan. "Apa masalah Anda, Tuan?" tanya Dika sambil menelengkan kepala. "Apa yang sudah kamu lakukan, kepadanya?"Masih dengan tatapan sinis, Arya melangkah mendekati
Risa tersenyum sangat manis, tapi senyuman itu membuat Dika teramat sangat jijik. Dia terus mengumpat di dalam hati, terus merutuki kebodohannya yang dengan mudah masuk ke dalam drama yang diciptakan oleh Arya, dan Risa. "Wah, saya bahagia melihat pemandangan ini. Selamat untuk hubungan kalian," ucap Bramantyo sembari bangkit dari kursi lalu menepuk bahu Dika. Dika masih terdiam, dan saat Bramantyo sudah tak ada dalam jarak pandangannya dia langsung menghempaskan tangan Risa dari lengannya. "Nazwa, dengarkan saya, mereka telah bermain gila di belakangmu," ucap Dika sambil menggenggam tangan Nazwa. Nazwa terkesiap, ia menatap penuh tanya ke arah Arya. Melihat hal itu, Arya bergegas melepaskan genggaman tangan Dika. "Setelah menikmati malam panjang bersama, kamu tega fitnah kami? Apa kamu lupa bagaimana aku begitu kesakitan kamu paksa bercinta sepanjang malam?" ucap Risa lirih, bahkan ia pura-pura menangis. "Hei, jalang, apa yang kamu ucapkan!" pekik Dika, bahkan dia hampir menamp
Risa sangat merindukan hadirnya Arya di setiap malam-malam panjang, yang acap kali membuatnya kesepian. Dan malam ini, harapannya akhirnya bersambut. Risa mencoba membayangkan apa saja yang akan terjadi malam nanti, dan hal itu membuatnya semakin tak sabar. "Aku akan membuatmu melayang, Mas," gumam Risa saat ia menatap dirinya dalam pantulan cermin. Seksi, cantik, dan menggoda. Kesan pertama yang akan selalu Risa tampilkan di hadapan Arya. Maka, saat Arya telah berada dalam dekapannya sudah dapat dipastikan lelaki itu akan terus terbuai dalam gelora yang tak berkesudahan. Risa bergegas ke arah pintu saat ia mendengar suara deru mesin mobil. Senyumannya merekah menatap sosok lelaki bertubuh tegap, dengan dagu terbelah yang membuat gelenyar-gelenyar rasanya semakin terpacu. Pintu terbuka. Tanpa malu-malu Risa berlari ke dalam dekapan Arya, "Kenapa lama sekali?" tanyanya manja. "Kamu sudah tak sabar, Sayang?" tanya Arya, sambil membalas dekapan Risa. Risa tersenyum dan mengangguk
Gaun malam dengan belahan dada rendah, make-up bold, serta rambut yang dibiarkan terurai membuat Risa semakin memesona. Ia berjalan dengan anggunnya menuju tempat di mana pesta itu diadakan. "Selamat malam, Om," sapa Risa anggun kepada Bramantyo yang tengah menyapa tamu bersama Nazwa. Bramantyo terdiam, dia menatap penampilan Risa dengan dahi yang berkerut, begitupun dengan Nazwa yang menatapnya dengan tatapan aneh. "Sstt, Risa kemarilah," bisik Nazwa memberikan isyarat untuk mencondongkan tubuh. "Apa penampilanku aneh?" tanya Risa memastikan. Nazwa mengangguk, ia pun terkekeh saat melihat reaksi ayahnya yang tampak kesal melihat penampilan Risa. "Kamu, pergilah ke kamarku dan ganti pakaian dengan yang lebih tertutup," saran Nazwa berbisik. "Baiklah," ucap Risa mengiyakan, tanpa membuang waktu ia berjalan menjauh dari pesta. Namun, alih-alih mengganti pakaian Risa justru berniat membuat keributan. Ia berjalan menuju taman, merogoh petasan lalu hendak menyulutnya dengan korek a
Angin yang berembus lembut disertai matahari senja yang menyelinap dari celah pepohonan seakan mengantarkan kepergian Arya. Dari balkon kamar, Risa terus menatap mobil jeep yang membawa Arya menjauh, semakin menjauh hingga hilang dari pandangan. Suasana sepi mulai menyelimuti, hanya suara angin yang bergesekan dengan dedaunan menjadi nyanyian alam yang menemani kesendirian Risa. Ia tampak menghela napas dalam sambil mendudukan diri di sebuah kursi kayu. "Setidaknya, di sini aku bisa bernapas lega. Tidak ada lagi Tuan tua menyebalkan itu!" gerutu Risa. Rupanya, Risa masih merasa kesal dengan Bramantyo. Mungkin lebih tepatnya dendam dengan perlakuan menyebalkan lelaki itu terhadap dirinya. "Lihat saja, aku akan membuatmu malu, Bramantyo!" pekik Risa mencurahkan segala kekesalan di dalam hatinya tanpa khawatir ada seorang pun yang mendengarnya. Matahari semakin beranjak ke barat, angin pun berembus lebih kencang. Risa memeluk tubuhnya sendiri karena dingin yang seketika menyergapnya
Tempat yang terasa asing bagi Risa. Tidak ada lagi keramaian, mall, salon, restoran dan tempat-tempat yang biasa Risa datangi jika tengah dilanda rasa bosan. Kini hanya pepohonan menjulang yang menjadi teman setianya. "Ini ponsel baru, meskipun jauh dari keramaian aku dapat menjamin kamu masih bisa berselancar di dunia maya. Tapi ingat, gunakan akun palsu," ungkap Arya saat dia hendak kembali ke kota dan menyerahkan ponsel baru untuk sang kekasih. "Lalu, kapan kamu akan berkunjung kembali? Aku takut lama-lama diam seorang diri di sini." Risa menatap sekeliling lalu bergidik ngeri. "Aku takut setan, Mas," sambungnya sembari memeluk tubuh Arya. Melihat kekasih hatinya seperti itu, Arya terbahak. Risa seperti anak kecil dan dia begitu gemas terhadapnya. "Kok malah ketawa sih?" Ia mencebik dengan tangan yang dilipat di depan dada. Bibir tipis yang mengerucut dengan pipi sedikit menggembung membuat Arya tak tahan untuk tidak mencubit pipi sehalus sutra tersebut. "Aw, Sayang ih. Saki
"Kepalaku pusing sekali," lirih Risa ketika, ia mulai tersadar. Tubuhnya lemas dengan kepala yang terasa pusing sekali. Beberapa kali ia pun mengerjap saat cahaya langsung menerpa wajahnya. "Apa kamu baik-baik, saja?"Beberapa saat ia tertegun, berusaha mengingat suara yang terasa sangat familiar untuknya. "Maafkan aku," ungkapnya lagi sambil mengecup kening Risa lembut. "Mas, Arya?"Arya tersenyum, senyuman laksana sinar matahari pagi yang sangat menenangkan. "Kamu jahat, Mas!" pekiknya, sembari memukul dada bidang Arya. Dalam sekali gerakan, Arya menarik tubuh lemas Risa ke dalam dekapannya. Tangisan Risa semakin menjadi dan tersedu-sedu. "Aku janji tidak akan menyakitimu lagi."***Risa yang belum mampu berjalan, dibopong Arya ke kamar mandi. Dengan sangat telaten, dia melepaskan satu persatu kain yang menempel pada tubuh perempuan itu. Risa tersipu mendapatkan perlakuan seperti itu dari Arya. "Apa wajahku sangat menarik? Sehingga kamu terus menatapku, tanpa berkedip?" Ri
"Setelah ini apa aku harus tetap menunggu?" tanya Risa dengan suara parau. Arya membeku, dengan pikiran yang entah berjelajah ke mana. Hati lelaki itu bimbang, disaat seperti itu jelas dia harus mementingkan Nazwa agar hidupnya selamat. "Bagaimana jika satu bulan kamu bertahan menjadi seorang pelayan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya, dan selang beberapa detik Arya menyesal telah bertanya seperti itu. Gerimis di dalam hati Risa kini menjelma laksana badai. Hatinya luluh lantak mendengar ucapan Arya yang terasa begitu menyakitkan. "Aku tahu kamu pasti akan seperti ini!" ungkap Risa, sambil menghentakkan kaki lalu pergi meninggalkan Arya yang tengah diselimuti perasaan menyesal. Langkah Risa lunglai, energi yang biasanya meluap-luap dalam dirinya kini lenyap begitu saja. Harapan yang sempat ia tanam, tercerabut hanya karena satu ungkapan dari mulut Arya. "Baiklah, sudah saatnya aku menyerah," lirih Risa, sambil terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Meng
"Tuan, Nona Nazwa pingsan!" pekik Mae. Bramantyo bergeming untuk sesaat, dia berbalik lalu berlari menghampiri sang putri. Dia memeluknya erat seraya terus menyebut nama Nazwa. "Siapkan mobil!" teriak Arya. Dalam hitungan detik semua orang dibuat panik dengan kondisi Nazwa yang tiba-tiba kehilangan kesadaran. Begitupun Risa, meskipun tak ada lagi rasa persahabatan di dalam hatinya, tetap saja ia bersikap seolah-olah dirinya yang paling peduli. "Ini semua salahku. Maafkan aku, Nazwa," lirih Risa sambil berlari mengikuti Arya yang membopong tubuh Nazwa. Air mata Risa terus berlinang, air mata palsu yang hanya ingin mendapatkan simpati dari seorang Bramantyo. "Kamu tidak perlu ikut!" Hadang Bramantyo saat Risa hendak masuk ke mobil. "Saat, Nazwa sadar dia pasti akan mencari, Risa. Ayah, aku mohon biarkan dia ikut," sahut Arya dengan posisi kepala menyembul keluar pintu mobil. Bramantyo bergeming, dia seakan menimbang apa yang diucapkan oleh menantunya itu. "Ayah! Nazwa harus seg
"Bukankah sudah saya katakan jika mulai pagi ini kamu harus segera pindah ke kamar pelayan?"Risa menunduk, kedua tangannya saling meremas. "Lalu kenapa jam sepuluh kamu masih berada di sini?!" sambungnya tegas. Suara Bramantyo menggelegar bagaikan gemuruh di tengah-tengah badai. "Maaf, Tuan. Semalam saya tidak bisa tidur," balas Risa dengan suara lirih. Bramantyo berjalan mendekati tumpukan baju yang belum sempat Risa kemas semua. Dahinya lelaki itu berkerut melihat barang-barang mewah yang dimiliki Risa. "Apa kamu seorang simpanan?" tanya Bramantyo tiba-tiba. Risa bagaikan terpaku tepat ke dasar bumi. Petir seakan menyambar dirinya mendengar pertanyaan dari Bramantyo. "Ma-maksud, Tuan apa?""Dari mana kamu mampu membeli baju-baju mewah ini?" Bramantyo meraih satu baju, lalu melemparkan tepat pada wajah Risa. "Setahuku satu helai baju ini setara dengan upahmu bekerja sebagai asisten di kantor. Lalu, bagaimana kamu bisa membeli barang ini?"Tidak ada jawaban yang terlontar dari
Mendung yang bergelayut di wajah Risa berubah menjadi hujan yang tak sanggup lagi ia tahan. Membayangkan dirinya menjadi seorang pelayan sungguh membuatnya terluka. "Maaf, maafkan aku," ucap Arya, mencoba menenangkan hati sang kekasih sambil mendekap nya erat. "Sekarang kamu istirahat, ya, Sayang," sambung Arya sembari melepaskan dekapannya. Namun, Risa menolak. Ia menahan gerakan Arya untuk terus mendekap tubuhnya. "Aku mohon jangan pergi, dan biarkan aku merasakan kenyamanan ini," ungkap Risa dengan suara parau. "Baiklah, jika itu memang keinginanmu."Arya kembali mendekap tubuh Risa dengan penuh cinta dan kehangatan, "Bersabarlah ini hanya untuk sementara."***"Baiklah aku harus segera berkemas," gumam Risa sesaat setelah ia mengembuskan napas berat. Ia menatap sekeliling, kamar mewah dengan nuansa interior eropa itu pasti akan ia rindukan. Kasur kualitas terbaik dengan sprei sutra pilihan, aroma terapi mewah, dan segala hal kemewahan yang berada di kamar itu benar-benar aka
Gelap dan dingin. Itulah kesan pertama yang Arya rasakan saat dirinya menyelinap ke dalam kamar Risa. Dika melangkah perlahan dan harus hati-hati jika tak ingin terjatuh oleh barang yang sangat berserakan di sekitar kamar Risa. "Risa, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arya, sesaat setelah dia menyalakan lampu di ruangan itu dan mendapati sosok Risa tengah terduduk lemah di pojokan kamar. Risa menegakkan kepala, sorot mata yang biasa penuh bahagia itu, kini berubah dengan sorot mata putus asa. "Aku tidak ingin jadi pelayan di rumah ini!" lirih Risa, dengan air mata yang terus berderai. Arya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Risa. Dia pun menggenggam tangan kekasihnya itu erat. "Maafkan aku," ungkap Arya dipenuhi rasa bersalah. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan, bagaimana mungkin seorang, Risa menjadi pelayan!" pekik Riaa histeris. Sedikitpun Risa tak pernah berfikir jika Bramantyo akan berbuat seperti itu. Namun, hari itu ucapan dari Bramantyo sungguh menjatuhkan harga d
"Risa bisa terus tinggal di sini, tapi dia bukanlah seorang Nyonya. Pecat semua pelayan pribadinya, lalu pindahkan dia ke kamar pelayan biasa!" Perkataan Bramantyo masih terngiang-ngiang dalam benaknya, bagaikan musik yang terus diputar ulang. Beberapa kali Risa menutup kedua telinganya sambil menutup mata. Dengan begitu Risa berharap suara menyebalkan itu cepat hilang. Namun, justru wajah Bramantyo yang semakin jelas tampak dalam ingatannya. "Arghh! Dasar bajingan!" pekik Risa. Ia mulai murka, semua barang yang tertata rapi di meja hancur ia banting. Sprei, selimut, semuanya berserakan. Kamar yang semula rapi, kini layaknya sebuah kapal pecah yang tak beraturan. Puas melampiaskan amarah, Risa mulai terisak. Di sudut kamar ia terduduk sambil memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepala di antara dua lutunya itu. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan biasa," gumam Risa disela isakan tangisnya. Semua hal indah yang selalu Risa bayangkan hancur dalam beberapa menit saja. Ia t