Nazwa masih belum percaya dengan kenyataan yang baru saja ia ketahui. Selama ini, dokter pribadi yang merawatnya adalah seorang dokter perempuan. Maka, saat Nazwa melihat Dika yang akan menggantikan Dokter Sarah membuat ia sedikit merasa canggung. "Sayang, aku ingin bicara kepada, Ayah," ungkap Nazwa dengan sorot mata sendu. "Untuk apa? Sudah tidak apa-apa. Ayah pasti tahu apa yang terbaik untuk, Putrinya," ungkap Arya sambil merebahkan tubuh ringkih Nazwa di ranjang. Arya menempatkan dirinya tepat di sebelah Nazwa, meskipun saat ini amarah hampir membakar sebagian hatinya. Namun, dia berusaha tetap tenang di hadapan Nazwa, dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. "Tapi, apa kamu yakin?" tanya Nazwa ragu. "Kamu tahu kan bagaimana sifat, Ayah?"Nazwa terdiam, tentu saja ia tahu bagaimana sifat sang ayah yang jika telah memutuskan satu hal pantang sekali untuk kembali menarik keputusannya. "Maaf, jika mulai besok kehadiran, Kak Dika membuatmu tak nyaman," ucap Nazwa parau.
Berulang kali Risa menatap pantulan dirinya pada cermin. Mengenakan baju tidur transparan dengan belahan dada rendah membuatnya tampak begitu seksi, dan menggoda. Namun, Risa menyadari ada satu hal yang mengganjal di dalam hatinya. Risa terdiam. Selama satu tahun berkencan dengan Arya ini adalah kali pertamanya menginap di rumah itu dengan status kekasih bayangan Arya. Risa bimbang di antara dua pilihan, menyenangkan kekasihnya atau menghargai Nazwa yang pernah menjadi sahabat terbaiknya. "Wah, kamu seksi, Sayang.""Mas Arya!" pekik Risa, ia buru-buru berlari ke arah pintu. Menarik lengan Arya lalu mengunci pintu. Risa menatapnya selintas, lalu berbalik tak mengacuhkan Arya yang tampak bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya. "Hei, kemarilah."Namun, Risa tetap tak acuh terhadap Arya. Ia memilih untuk berjalan menuju jendela yang menghadap langsung ke arah taman. Arya tertawa melihat reaksi Risa yang tak seperti biasanya, "Kamu kelihatan kesal, ada apa?"Sesuatu yang lembut m
Nazwa mengatupkan mulutnya saat mendapati pemandangan yang cukup mengejutkan. Dika bersama Nazwa dalam satu kamar yang sama, terlebih Risa hanya mengenakan handuk membuat sebuah prasangka tersendiri dalam benak Nazwa. "Ma-maaf aku sudah mengganggu. Lanjutkan saja, dan jangan lupa tutup pintu kamar," ucap Nazwa sambil mengulum senyum, lalu memberikan isyarat kepada pelayannya untuk segera mendorong kursi rodanya menjauh. Dika berdecak, dia beralih menatap Risa yang masih saja tak sadarkan diri. Dengan kesal dia membopong tubuh Risa, dan merebahkannya di ranjang. "Bangunlah jalang, dan katakan dengan siapa kamu bercinta!" "Hei, siapa yang kamu sebut jalang?!" pekik seseorang dari ambang pintu. Dika menegakkan tubuh lalu menghadap ke arah sumber suara, dua pria yang sama-sama berparas tampan itu pun saling beradu pandangan. "Apa masalah Anda, Tuan?" tanya Dika sambil menelengkan kepala. "Apa yang sudah kamu lakukan, kepadanya?"Masih dengan tatapan sinis, Arya melangkah mendekati
Risa tersenyum sangat manis, tapi senyuman itu membuat Dika teramat sangat jijik. Dia terus mengumpat di dalam hati, terus merutuki kebodohannya yang dengan mudah masuk ke dalam drama yang diciptakan oleh Arya, dan Risa. "Wah, saya bahagia melihat pemandangan ini. Selamat untuk hubungan kalian," ucap Bramantyo sembari bangkit dari kursi lalu menepuk bahu Dika. Dika masih terdiam, dan saat Bramantyo sudah tak ada dalam jarak pandangannya dia langsung menghempaskan tangan Risa dari lengannya. "Nazwa, dengarkan saya, mereka telah bermain gila di belakangmu," ucap Dika sambil menggenggam tangan Nazwa. Nazwa terkesiap, ia menatap penuh tanya ke arah Arya. Melihat hal itu, Arya bergegas melepaskan genggaman tangan Dika. "Setelah menikmati malam panjang bersama, kamu tega fitnah kami? Apa kamu lupa bagaimana aku begitu kesakitan kamu paksa bercinta sepanjang malam?" ucap Risa lirih, bahkan ia pura-pura menangis. "Hei, jalang, apa yang kamu ucapkan!" pekik Dika, bahkan dia hampir menamp
Risa sangat merindukan hadirnya Arya di setiap malam-malam panjang, yang acap kali membuatnya kesepian. Dan malam ini, harapannya akhirnya bersambut. Risa mencoba membayangkan apa saja yang akan terjadi malam nanti, dan hal itu membuatnya semakin tak sabar. "Aku akan membuatmu melayang, Mas," gumam Risa saat ia menatap dirinya dalam pantulan cermin. Seksi, cantik, dan menggoda. Kesan pertama yang akan selalu Risa tampilkan di hadapan Arya. Maka, saat Arya telah berada dalam dekapannya sudah dapat dipastikan lelaki itu akan terus terbuai dalam gelora yang tak berkesudahan. Risa bergegas ke arah pintu saat ia mendengar suara deru mesin mobil. Senyumannya merekah menatap sosok lelaki bertubuh tegap, dengan dagu terbelah yang membuat gelenyar-gelenyar rasanya semakin terpacu. Pintu terbuka. Tanpa malu-malu Risa berlari ke dalam dekapan Arya, "Kenapa lama sekali?" tanyanya manja. "Kamu sudah tak sabar, Sayang?" tanya Arya, sambil membalas dekapan Risa. Risa tersenyum dan mengangguk
Gaun malam dengan belahan dada rendah, make-up bold, serta rambut yang dibiarkan terurai membuat Risa semakin memesona. Ia berjalan dengan anggunnya menuju tempat di mana pesta itu diadakan. "Selamat malam, Om," sapa Risa anggun kepada Bramantyo yang tengah menyapa tamu bersama Nazwa. Bramantyo terdiam, dia menatap penampilan Risa dengan dahi yang berkerut, begitupun dengan Nazwa yang menatapnya dengan tatapan aneh. "Sstt, Risa kemarilah," bisik Nazwa memberikan isyarat untuk mencondongkan tubuh. "Apa penampilanku aneh?" tanya Risa memastikan. Nazwa mengangguk, ia pun terkekeh saat melihat reaksi ayahnya yang tampak kesal melihat penampilan Risa. "Kamu, pergilah ke kamarku dan ganti pakaian dengan yang lebih tertutup," saran Nazwa berbisik. "Baiklah," ucap Risa mengiyakan, tanpa membuang waktu ia berjalan menjauh dari pesta. Namun, alih-alih mengganti pakaian Risa justru berniat membuat keributan. Ia berjalan menuju taman, merogoh petasan lalu hendak menyulutnya dengan korek a
"Jangan harap bisa melarikan diri dari saya, bajingan!" "Ma-maafkan saya, Tuan."Namun, ungkapan maaf dari pelayan itu hanya membuat amarah Arya semakin memuncak. Arya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, sadar jika posisi mereka tengah berada di tempat terbuka dia kembali menarik tubuh pelayan itu ke tempat yang dirasa aman. Gudang penyimpanan menjadi pilihan Arya, dibantingnya tubuh sang pelayan pada tumpukan kardus-kardus yang tersusun rapi. "Ampun, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja." Dia bersimpuh di hadapan Arya, memohon pengampunan. "Apa ada yang menyuruhmu untuk memata-matai kami?" selidik Arya, dan tak peduli dengan raut ketakutan pemuda di hadapannya. Pelayan itu mendongak, dia menatap Arya dengan sorot mata memelas. "Ti-tidak ada, Tuan. Saya hanya tidak sengaja lewat lalu merekam kalian," jawabnya tergagap. Arya menyeringai. Tiba-tiba dia telah berjongkok di hadapan pelayan itu sambil mencekiknya kuat. "Berikan ponselmu, jika kamu masih ingin hidup!""Po-ponsel
Raut wajah Arya menegang, tapi tidak dengan Risa. Ia justru berjalan menghampiri Bramantyo sambil menyerahkan ponsel kepadanya. "Apa, Om berkenan melihatnya? Tapi, rasanya ini sangat memalukan," ucap Risa, suaranya tercekat dengan mata yang berkaca-kaca. Bramantyo mengambil napas panjang, seperti melepaskan kekesalan yang dirasakannya. Dengan malas dia pun meraih ponsel itu. "Dika, coba lihat rekaman itu untukku," titah Bramantyo sambil memalingkan muka. Arya semakin terkejut, kedua tangannya gatal ingin merebut dan menghancurkan ponsel itu. Tapi, hadirnya Bramantyo di tengah-tengah mereka benar-benar membuatnya mati kutu. "Apakah, Ayah ingin membuat sahabatku malu?" Dengan suara serak Nazwa mulai bersuara. "Tenang saja, Nazwa. Apakah kamu lupa? Aku, dan dia bahkan pernah berbagi ranjang bersama. Jadi jika aku yang melihat rekaman ini, Risa tentu tidak akan keberatan, ya, kan?" sahut Dika sambil menyambar ponsel di tangan Risa. Risa mencebik mendengar ucapan Dika, ia tahu jika
Angin yang berembus lembut disertai matahari senja yang menyelinap dari celah pepohonan seakan mengantarkan kepergian Arya. Dari balkon kamar, Risa terus menatap mobil jeep yang membawa Arya menjauh, semakin menjauh hingga hilang dari pandangan. Suasana sepi mulai menyelimuti, hanya suara angin yang bergesekan dengan dedaunan menjadi nyanyian alam yang menemani kesendirian Risa. Ia tampak menghela napas dalam sambil mendudukan diri di sebuah kursi kayu. "Setidaknya, di sini aku bisa bernapas lega. Tidak ada lagi Tuan tua menyebalkan itu!" gerutu Risa. Rupanya, Risa masih merasa kesal dengan Bramantyo. Mungkin lebih tepatnya dendam dengan perlakuan menyebalkan lelaki itu terhadap dirinya. "Lihat saja, aku akan membuatmu malu, Bramantyo!" pekik Risa mencurahkan segala kekesalan di dalam hatinya tanpa khawatir ada seorang pun yang mendengarnya. Matahari semakin beranjak ke barat, angin pun berembus lebih kencang. Risa memeluk tubuhnya sendiri karena dingin yang seketika menyergapnya
Tempat yang terasa asing bagi Risa. Tidak ada lagi keramaian, mall, salon, restoran dan tempat-tempat yang biasa Risa datangi jika tengah dilanda rasa bosan. Kini hanya pepohonan menjulang yang menjadi teman setianya. "Ini ponsel baru, meskipun jauh dari keramaian aku dapat menjamin kamu masih bisa berselancar di dunia maya. Tapi ingat, gunakan akun palsu," ungkap Arya saat dia hendak kembali ke kota dan menyerahkan ponsel baru untuk sang kekasih. "Lalu, kapan kamu akan berkunjung kembali? Aku takut lama-lama diam seorang diri di sini." Risa menatap sekeliling lalu bergidik ngeri. "Aku takut setan, Mas," sambungnya sembari memeluk tubuh Arya. Melihat kekasih hatinya seperti itu, Arya terbahak. Risa seperti anak kecil dan dia begitu gemas terhadapnya. "Kok malah ketawa sih?" Ia mencebik dengan tangan yang dilipat di depan dada. Bibir tipis yang mengerucut dengan pipi sedikit menggembung membuat Arya tak tahan untuk tidak mencubit pipi sehalus sutra tersebut. "Aw, Sayang ih. Saki
"Kepalaku pusing sekali," lirih Risa ketika, ia mulai tersadar. Tubuhnya lemas dengan kepala yang terasa pusing sekali. Beberapa kali ia pun mengerjap saat cahaya langsung menerpa wajahnya. "Apa kamu baik-baik, saja?"Beberapa saat ia tertegun, berusaha mengingat suara yang terasa sangat familiar untuknya. "Maafkan aku," ungkapnya lagi sambil mengecup kening Risa lembut. "Mas, Arya?"Arya tersenyum, senyuman laksana sinar matahari pagi yang sangat menenangkan. "Kamu jahat, Mas!" pekiknya, sembari memukul dada bidang Arya. Dalam sekali gerakan, Arya menarik tubuh lemas Risa ke dalam dekapannya. Tangisan Risa semakin menjadi dan tersedu-sedu. "Aku janji tidak akan menyakitimu lagi."***Risa yang belum mampu berjalan, dibopong Arya ke kamar mandi. Dengan sangat telaten, dia melepaskan satu persatu kain yang menempel pada tubuh perempuan itu. Risa tersipu mendapatkan perlakuan seperti itu dari Arya. "Apa wajahku sangat menarik? Sehingga kamu terus menatapku, tanpa berkedip?" Ri
"Setelah ini apa aku harus tetap menunggu?" tanya Risa dengan suara parau. Arya membeku, dengan pikiran yang entah berjelajah ke mana. Hati lelaki itu bimbang, disaat seperti itu jelas dia harus mementingkan Nazwa agar hidupnya selamat. "Bagaimana jika satu bulan kamu bertahan menjadi seorang pelayan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya, dan selang beberapa detik Arya menyesal telah bertanya seperti itu. Gerimis di dalam hati Risa kini menjelma laksana badai. Hatinya luluh lantak mendengar ucapan Arya yang terasa begitu menyakitkan. "Aku tahu kamu pasti akan seperti ini!" ungkap Risa, sambil menghentakkan kaki lalu pergi meninggalkan Arya yang tengah diselimuti perasaan menyesal. Langkah Risa lunglai, energi yang biasanya meluap-luap dalam dirinya kini lenyap begitu saja. Harapan yang sempat ia tanam, tercerabut hanya karena satu ungkapan dari mulut Arya. "Baiklah, sudah saatnya aku menyerah," lirih Risa, sambil terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Meng
"Tuan, Nona Nazwa pingsan!" pekik Mae. Bramantyo bergeming untuk sesaat, dia berbalik lalu berlari menghampiri sang putri. Dia memeluknya erat seraya terus menyebut nama Nazwa. "Siapkan mobil!" teriak Arya. Dalam hitungan detik semua orang dibuat panik dengan kondisi Nazwa yang tiba-tiba kehilangan kesadaran. Begitupun Risa, meskipun tak ada lagi rasa persahabatan di dalam hatinya, tetap saja ia bersikap seolah-olah dirinya yang paling peduli. "Ini semua salahku. Maafkan aku, Nazwa," lirih Risa sambil berlari mengikuti Arya yang membopong tubuh Nazwa. Air mata Risa terus berlinang, air mata palsu yang hanya ingin mendapatkan simpati dari seorang Bramantyo. "Kamu tidak perlu ikut!" Hadang Bramantyo saat Risa hendak masuk ke mobil. "Saat, Nazwa sadar dia pasti akan mencari, Risa. Ayah, aku mohon biarkan dia ikut," sahut Arya dengan posisi kepala menyembul keluar pintu mobil. Bramantyo bergeming, dia seakan menimbang apa yang diucapkan oleh menantunya itu. "Ayah! Nazwa harus seg
"Bukankah sudah saya katakan jika mulai pagi ini kamu harus segera pindah ke kamar pelayan?"Risa menunduk, kedua tangannya saling meremas. "Lalu kenapa jam sepuluh kamu masih berada di sini?!" sambungnya tegas. Suara Bramantyo menggelegar bagaikan gemuruh di tengah-tengah badai. "Maaf, Tuan. Semalam saya tidak bisa tidur," balas Risa dengan suara lirih. Bramantyo berjalan mendekati tumpukan baju yang belum sempat Risa kemas semua. Dahinya lelaki itu berkerut melihat barang-barang mewah yang dimiliki Risa. "Apa kamu seorang simpanan?" tanya Bramantyo tiba-tiba. Risa bagaikan terpaku tepat ke dasar bumi. Petir seakan menyambar dirinya mendengar pertanyaan dari Bramantyo. "Ma-maksud, Tuan apa?""Dari mana kamu mampu membeli baju-baju mewah ini?" Bramantyo meraih satu baju, lalu melemparkan tepat pada wajah Risa. "Setahuku satu helai baju ini setara dengan upahmu bekerja sebagai asisten di kantor. Lalu, bagaimana kamu bisa membeli barang ini?"Tidak ada jawaban yang terlontar dari
Mendung yang bergelayut di wajah Risa berubah menjadi hujan yang tak sanggup lagi ia tahan. Membayangkan dirinya menjadi seorang pelayan sungguh membuatnya terluka. "Maaf, maafkan aku," ucap Arya, mencoba menenangkan hati sang kekasih sambil mendekap nya erat. "Sekarang kamu istirahat, ya, Sayang," sambung Arya sembari melepaskan dekapannya. Namun, Risa menolak. Ia menahan gerakan Arya untuk terus mendekap tubuhnya. "Aku mohon jangan pergi, dan biarkan aku merasakan kenyamanan ini," ungkap Risa dengan suara parau. "Baiklah, jika itu memang keinginanmu."Arya kembali mendekap tubuh Risa dengan penuh cinta dan kehangatan, "Bersabarlah ini hanya untuk sementara."***"Baiklah aku harus segera berkemas," gumam Risa sesaat setelah ia mengembuskan napas berat. Ia menatap sekeliling, kamar mewah dengan nuansa interior eropa itu pasti akan ia rindukan. Kasur kualitas terbaik dengan sprei sutra pilihan, aroma terapi mewah, dan segala hal kemewahan yang berada di kamar itu benar-benar aka
Gelap dan dingin. Itulah kesan pertama yang Arya rasakan saat dirinya menyelinap ke dalam kamar Risa. Dika melangkah perlahan dan harus hati-hati jika tak ingin terjatuh oleh barang yang sangat berserakan di sekitar kamar Risa. "Risa, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arya, sesaat setelah dia menyalakan lampu di ruangan itu dan mendapati sosok Risa tengah terduduk lemah di pojokan kamar. Risa menegakkan kepala, sorot mata yang biasa penuh bahagia itu, kini berubah dengan sorot mata putus asa. "Aku tidak ingin jadi pelayan di rumah ini!" lirih Risa, dengan air mata yang terus berderai. Arya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Risa. Dia pun menggenggam tangan kekasihnya itu erat. "Maafkan aku," ungkap Arya dipenuhi rasa bersalah. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan, bagaimana mungkin seorang, Risa menjadi pelayan!" pekik Riaa histeris. Sedikitpun Risa tak pernah berfikir jika Bramantyo akan berbuat seperti itu. Namun, hari itu ucapan dari Bramantyo sungguh menjatuhkan harga d
"Risa bisa terus tinggal di sini, tapi dia bukanlah seorang Nyonya. Pecat semua pelayan pribadinya, lalu pindahkan dia ke kamar pelayan biasa!" Perkataan Bramantyo masih terngiang-ngiang dalam benaknya, bagaikan musik yang terus diputar ulang. Beberapa kali Risa menutup kedua telinganya sambil menutup mata. Dengan begitu Risa berharap suara menyebalkan itu cepat hilang. Namun, justru wajah Bramantyo yang semakin jelas tampak dalam ingatannya. "Arghh! Dasar bajingan!" pekik Risa. Ia mulai murka, semua barang yang tertata rapi di meja hancur ia banting. Sprei, selimut, semuanya berserakan. Kamar yang semula rapi, kini layaknya sebuah kapal pecah yang tak beraturan. Puas melampiaskan amarah, Risa mulai terisak. Di sudut kamar ia terduduk sambil memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepala di antara dua lutunya itu. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan biasa," gumam Risa disela isakan tangisnya. Semua hal indah yang selalu Risa bayangkan hancur dalam beberapa menit saja. Ia t