Raut wajah Arya menegang, tapi tidak dengan Risa. Ia justru berjalan menghampiri Bramantyo sambil menyerahkan ponsel kepadanya. "Apa, Om berkenan melihatnya? Tapi, rasanya ini sangat memalukan," ucap Risa, suaranya tercekat dengan mata yang berkaca-kaca. Bramantyo mengambil napas panjang, seperti melepaskan kekesalan yang dirasakannya. Dengan malas dia pun meraih ponsel itu. "Dika, coba lihat rekaman itu untukku," titah Bramantyo sambil memalingkan muka. Arya semakin terkejut, kedua tangannya gatal ingin merebut dan menghancurkan ponsel itu. Tapi, hadirnya Bramantyo di tengah-tengah mereka benar-benar membuatnya mati kutu. "Apakah, Ayah ingin membuat sahabatku malu?" Dengan suara serak Nazwa mulai bersuara. "Tenang saja, Nazwa. Apakah kamu lupa? Aku, dan dia bahkan pernah berbagi ranjang bersama. Jadi jika aku yang melihat rekaman ini, Risa tentu tidak akan keberatan, ya, kan?" sahut Dika sambil menyambar ponsel di tangan Risa. Risa mencebik mendengar ucapan Dika, ia tahu jika
"Hentikanlah sandiwara menjijikan kalian, bodoh!" bentak Dika sambil menghempaskan tubuh Risa ke ranjang. Risa hanya tersenyum sinis, ia menatap dengan tatapan tak suka kepada Dika. "Bukankah kamu pun mencintai, Nazwa? Bagaimana jika kita bekerja sama untuk membuat mereka bercerai?" kata Risa, sambil mengubah posisi tubuhnya dari terbaring menjadi duduk di tepian ranjang. Dika menelengkan kepala dengan pandangan mata menyipit, bahkan tubuh jangkungnya pun turut dicondongkan ke arah Risa. "Apa kamu bilang? Kerja sama untuk membuat, Nazwa dan Arya bercerai?" Risa mengangguk sambil tersenyum, "Bagaimana, apa kamu setuju?" Satu detik kemudian Dika terbahak mendengar ucapan wanita di hadapannya itu. Pertanyaan yang sangat menggelitik, membuatnya tak henti terbahak. "Dasar wanita tak tahu diri, aku memang mencintai, Nazwa. Tapi aku tidak sepicik kamu, dasar cewek murahan," ujar Dika, sesaat setelah dia berhenti tertawa. "Cih naif sekali," kata Risa meledek, ia pun bangkit dan mensej
"Pergilah, biarkan aku sendiri hari ini." Risa menatap sendu, bahkan ia mendorong tubuh Arya agar menjauh dari dirinya. "Apa kamu masih kesal, Sayang?" tanya Arya, tapi Risa masih saja merajuk. Namun, bukan Arya jika dia tak dapat meluluhkan hati seorang wanita. Dia merogoh saku celana lalu meraih sebuah kotak perhiasan berwarna merah muda. "Aku membeli ini sebelum datang kemari, pakailah." Arya membuka kotak perhiasan, kemudian berlutut tepat di hadapan Risa. Risa memicingkan mata, ia menatap sebuah cincin yang tampak familiar baginya. Risa meraih cincin itu, tidak ada senyum di wajah cantiknya hanya cemberut dan semakin merajuk. "Kamu memberiku cincin yang sama seperti cincin milik, Nazwa?" Risa menyimpan kembali cincin dengan kesal, "Pergilah, aku malas mendapatkan barang yang sama seperti milik, Nazwa.Risa mengusir Arya detik itu juga, hatinya kecewa, hatinya sedih, bahkan setelah Arya menghilang dari balik pintu ia menangis. "Tidak bisakah kamu memberikanku barang yang ber
Keingin memiliki Arya seutuhnya begitu kuat Risa rasakan. Aroma maskulin dari tubuh Arya, sikap romantis, serta perhatiannya sungguh membuat Risa tak rela jika ia harus terus berbagi kasih dengan Nazwa. Menjelang malam Risa memutuskan untuk keluar dari rumah, tanpa memberitahu Arya ataupun ditemani oleh sang kekasih. Malam itu ia pergi hanya seorang diri, mencari ketenangan dan berusaha melupakan rasa cemburu yang begitu menyiksa batinnya. "Setelah malam ini, aku akan membuatmu semakin jatuh cinta kepadaku, Mas Arya," ucap Risa sambil terus menenggak beer yang menjadi temannya malam itu. Malam yang yang sangat panjang bagi Risa, entah berapa banyak beer yang sudah ia minum. Satu hal yang pasti kini, wanita itu mabuk parah dan terus meracau tak karuan. "Seharusnya aku yang menjadi, Istri sahmu bukan dia!" pekik Risa sambil melemparkan botol beer ke sembarang arah. Beruntung, ruangan yang ditempati Risa kini merupakan ruangan VVIP jadi tak banyak orang yang melihat perangai anehnya
"Hai, selamat datang di rumahku."Tubuh Risa bergeming saat mendengar suara yang terdengar tak asing baginya. "Apa tidurmu nyenyak?" tanyanya sambil menyentuh bahu Risa, hingga ia terperanjat. Risa berbalik, "Apa kau menculikku, Dika?!"Mendengar ucapan Risa, Dika hanya terkekeh. Dia lantas pergi meninggalkan Risa yang masih saja curiga. "Aku akan menghubungi, Arya dan melaporkan semua ini!" Risa berteriak sambil terus berjalan mengikuti Dika. Namun, Dika tak peduli dengan teriakan serta ancaman Risa. Dia memilih untuk terus berjalan menuju meja makan lalu menikmati hidangan yang telah disediakan. "Kenapa kamu mengabaikan aku!" Risa menggebrak meja makan, mau tak mau Dika menatap ke arah gadis itu. "Bisakah sedikit tenang? Dan jangan hubungi, Arya. Biarkan mereka menikmati hati-hari tanpa gangguan dari rubah betina sepertimu."Sambil berkata begitu, Dika meraih piring lalu menyendokkan nasi goreng, dan meletakkannya tepat di hadapan Risa. "Aku tidak ingin sarapan. Lagi pula, bi
Mata indah Risa mendelik mendengar pernyataan Dika, atau lebih tepatnya sebuah ancaman tak tersirat yang dilemparkan untuk dirinya. Tapi, bukan Risa namanya jika ia langsung takut begitu saja. Risa berjalan mendekati Dika lalu mencengkram kerah baju pria itu, "Lalu, apa tujuanmu yang sebenarnya?!"Dika terkekeh melihat keberanian wanita yang kini berada di hadapannya. Dia benar-benar tak menyangka jika seorang wanita yang selama ini dia kira lembut dan penuh kasih sayang ternyata menyimpan sifat asli yang mengerikan. "Jauhi, Arya agar wanita yang sangat aku cintai bisa bahagia," ungkapnya dengan raut wajah yang dingin. "Cih, hanya itu?" Risa melepaskan cengkramannya lalu berbalik, berjalan menuju arah bunga mawar merah yang tampak merekah indah. Risa mengulurkan tangan kemudian memetik salah satu bunga itu lalu menghidunya, merasakan aroma semerbak yang kemudian membuatnya mual karena ingat jika bunga mawar yang kini digenggamnya adalah salah satu bunga yang teramat Nazwa sukai. P
Dika benar-benar sangat dibuat kesal oleh ucapan Risa, dua kali sudah wanita itu mengajaknya untuk memisahkan Nazwa dengan Arya. Tapi, Dika tak akan sanggup melakukan hal itu karena dia tahu betul bagaimana Nazwa mencintai Arya. "Hei, mau sampai kapan kamu terus berdiam diri di sana?" tanya Risa dengan tatapan sinis serta senyuman meremehkan. Dika tak menjawab pertanyaan itu, dia lebih memilih untuk segera bersiap lalu bergegas pergi menemui Nazwa."Aku akan pergi bersamamu menemui, Nazwa pagi ini.""Terserah!" jawab Dika tegas sambil terus berjalan menjauh. ***Layar ponsel Risa tak hentinya menampilkan notifikasi pesan yang terus saja masuk. Senyumannya melengkung saat ia membaca nama si pengirim pesan itu."Apakah dia merindukan aku?" batin Risa bertanya-tanya. Hatinya berbunga, pipinya pun merona bahkan senyumannya terus mengembang di sepanjang perjalanan menuju kediaman Nazwa, membuat Dika yang kini duduk di sebelahnya merasa jijik dengan sikap Risa. "Apa kamu tidak malu ber
"Mas Dika selamat bertugas." Dengan manjanya Risa berucap. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya kemudian berjalan mendekat ke arah Nazwa. Tanpa melakukan kontak mata dengan Arya terlebih dahulu Risa segera mengambil alih posisi untuk mendorong kursi roda Nazwa. "Apa kamu semalam bersama, Kak Dika?" tanya Nazwa antusias. "Menurut kamu, bagaimana?"Nazwa mengulum senyum mendengar ucapan Risa, "Pantas saja dari semalam kamu sulit untuk dihubungi," goda Nazwa seraya tersenyum. Wajah tampan Arya berubah masam detik itu juga, prasangka buruk terus memenuhi benaknya. Dia pun menoleh ke arah Risa. Namun, jangankan mengharapkan penjelasan dari kekasihnya itu menatapnya saja Risa seakan segan. "Nazwa, aku masih mengambil cuti untuk hari ini. Jadi, kita bisa menghabiskan waktu bersama.""Sungguh?" tatapan Nazwa berbinar. Risa hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan mantan sahabatnya itu. "Lalu, mau ke mana kita?" "Ke taman saja, Risa. Aku ingin melihat mawar-mawar itu mere
Angin yang berembus lembut disertai matahari senja yang menyelinap dari celah pepohonan seakan mengantarkan kepergian Arya. Dari balkon kamar, Risa terus menatap mobil jeep yang membawa Arya menjauh, semakin menjauh hingga hilang dari pandangan. Suasana sepi mulai menyelimuti, hanya suara angin yang bergesekan dengan dedaunan menjadi nyanyian alam yang menemani kesendirian Risa. Ia tampak menghela napas dalam sambil mendudukan diri di sebuah kursi kayu. "Setidaknya, di sini aku bisa bernapas lega. Tidak ada lagi Tuan tua menyebalkan itu!" gerutu Risa. Rupanya, Risa masih merasa kesal dengan Bramantyo. Mungkin lebih tepatnya dendam dengan perlakuan menyebalkan lelaki itu terhadap dirinya. "Lihat saja, aku akan membuatmu malu, Bramantyo!" pekik Risa mencurahkan segala kekesalan di dalam hatinya tanpa khawatir ada seorang pun yang mendengarnya. Matahari semakin beranjak ke barat, angin pun berembus lebih kencang. Risa memeluk tubuhnya sendiri karena dingin yang seketika menyergapnya
Tempat yang terasa asing bagi Risa. Tidak ada lagi keramaian, mall, salon, restoran dan tempat-tempat yang biasa Risa datangi jika tengah dilanda rasa bosan. Kini hanya pepohonan menjulang yang menjadi teman setianya. "Ini ponsel baru, meskipun jauh dari keramaian aku dapat menjamin kamu masih bisa berselancar di dunia maya. Tapi ingat, gunakan akun palsu," ungkap Arya saat dia hendak kembali ke kota dan menyerahkan ponsel baru untuk sang kekasih. "Lalu, kapan kamu akan berkunjung kembali? Aku takut lama-lama diam seorang diri di sini." Risa menatap sekeliling lalu bergidik ngeri. "Aku takut setan, Mas," sambungnya sembari memeluk tubuh Arya. Melihat kekasih hatinya seperti itu, Arya terbahak. Risa seperti anak kecil dan dia begitu gemas terhadapnya. "Kok malah ketawa sih?" Ia mencebik dengan tangan yang dilipat di depan dada. Bibir tipis yang mengerucut dengan pipi sedikit menggembung membuat Arya tak tahan untuk tidak mencubit pipi sehalus sutra tersebut. "Aw, Sayang ih. Saki
"Kepalaku pusing sekali," lirih Risa ketika, ia mulai tersadar. Tubuhnya lemas dengan kepala yang terasa pusing sekali. Beberapa kali ia pun mengerjap saat cahaya langsung menerpa wajahnya. "Apa kamu baik-baik, saja?"Beberapa saat ia tertegun, berusaha mengingat suara yang terasa sangat familiar untuknya. "Maafkan aku," ungkapnya lagi sambil mengecup kening Risa lembut. "Mas, Arya?"Arya tersenyum, senyuman laksana sinar matahari pagi yang sangat menenangkan. "Kamu jahat, Mas!" pekiknya, sembari memukul dada bidang Arya. Dalam sekali gerakan, Arya menarik tubuh lemas Risa ke dalam dekapannya. Tangisan Risa semakin menjadi dan tersedu-sedu. "Aku janji tidak akan menyakitimu lagi."***Risa yang belum mampu berjalan, dibopong Arya ke kamar mandi. Dengan sangat telaten, dia melepaskan satu persatu kain yang menempel pada tubuh perempuan itu. Risa tersipu mendapatkan perlakuan seperti itu dari Arya. "Apa wajahku sangat menarik? Sehingga kamu terus menatapku, tanpa berkedip?" Ri
"Setelah ini apa aku harus tetap menunggu?" tanya Risa dengan suara parau. Arya membeku, dengan pikiran yang entah berjelajah ke mana. Hati lelaki itu bimbang, disaat seperti itu jelas dia harus mementingkan Nazwa agar hidupnya selamat. "Bagaimana jika satu bulan kamu bertahan menjadi seorang pelayan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya, dan selang beberapa detik Arya menyesal telah bertanya seperti itu. Gerimis di dalam hati Risa kini menjelma laksana badai. Hatinya luluh lantak mendengar ucapan Arya yang terasa begitu menyakitkan. "Aku tahu kamu pasti akan seperti ini!" ungkap Risa, sambil menghentakkan kaki lalu pergi meninggalkan Arya yang tengah diselimuti perasaan menyesal. Langkah Risa lunglai, energi yang biasanya meluap-luap dalam dirinya kini lenyap begitu saja. Harapan yang sempat ia tanam, tercerabut hanya karena satu ungkapan dari mulut Arya. "Baiklah, sudah saatnya aku menyerah," lirih Risa, sambil terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Meng
"Tuan, Nona Nazwa pingsan!" pekik Mae. Bramantyo bergeming untuk sesaat, dia berbalik lalu berlari menghampiri sang putri. Dia memeluknya erat seraya terus menyebut nama Nazwa. "Siapkan mobil!" teriak Arya. Dalam hitungan detik semua orang dibuat panik dengan kondisi Nazwa yang tiba-tiba kehilangan kesadaran. Begitupun Risa, meskipun tak ada lagi rasa persahabatan di dalam hatinya, tetap saja ia bersikap seolah-olah dirinya yang paling peduli. "Ini semua salahku. Maafkan aku, Nazwa," lirih Risa sambil berlari mengikuti Arya yang membopong tubuh Nazwa. Air mata Risa terus berlinang, air mata palsu yang hanya ingin mendapatkan simpati dari seorang Bramantyo. "Kamu tidak perlu ikut!" Hadang Bramantyo saat Risa hendak masuk ke mobil. "Saat, Nazwa sadar dia pasti akan mencari, Risa. Ayah, aku mohon biarkan dia ikut," sahut Arya dengan posisi kepala menyembul keluar pintu mobil. Bramantyo bergeming, dia seakan menimbang apa yang diucapkan oleh menantunya itu. "Ayah! Nazwa harus seg
"Bukankah sudah saya katakan jika mulai pagi ini kamu harus segera pindah ke kamar pelayan?"Risa menunduk, kedua tangannya saling meremas. "Lalu kenapa jam sepuluh kamu masih berada di sini?!" sambungnya tegas. Suara Bramantyo menggelegar bagaikan gemuruh di tengah-tengah badai. "Maaf, Tuan. Semalam saya tidak bisa tidur," balas Risa dengan suara lirih. Bramantyo berjalan mendekati tumpukan baju yang belum sempat Risa kemas semua. Dahinya lelaki itu berkerut melihat barang-barang mewah yang dimiliki Risa. "Apa kamu seorang simpanan?" tanya Bramantyo tiba-tiba. Risa bagaikan terpaku tepat ke dasar bumi. Petir seakan menyambar dirinya mendengar pertanyaan dari Bramantyo. "Ma-maksud, Tuan apa?""Dari mana kamu mampu membeli baju-baju mewah ini?" Bramantyo meraih satu baju, lalu melemparkan tepat pada wajah Risa. "Setahuku satu helai baju ini setara dengan upahmu bekerja sebagai asisten di kantor. Lalu, bagaimana kamu bisa membeli barang ini?"Tidak ada jawaban yang terlontar dari
Mendung yang bergelayut di wajah Risa berubah menjadi hujan yang tak sanggup lagi ia tahan. Membayangkan dirinya menjadi seorang pelayan sungguh membuatnya terluka. "Maaf, maafkan aku," ucap Arya, mencoba menenangkan hati sang kekasih sambil mendekap nya erat. "Sekarang kamu istirahat, ya, Sayang," sambung Arya sembari melepaskan dekapannya. Namun, Risa menolak. Ia menahan gerakan Arya untuk terus mendekap tubuhnya. "Aku mohon jangan pergi, dan biarkan aku merasakan kenyamanan ini," ungkap Risa dengan suara parau. "Baiklah, jika itu memang keinginanmu."Arya kembali mendekap tubuh Risa dengan penuh cinta dan kehangatan, "Bersabarlah ini hanya untuk sementara."***"Baiklah aku harus segera berkemas," gumam Risa sesaat setelah ia mengembuskan napas berat. Ia menatap sekeliling, kamar mewah dengan nuansa interior eropa itu pasti akan ia rindukan. Kasur kualitas terbaik dengan sprei sutra pilihan, aroma terapi mewah, dan segala hal kemewahan yang berada di kamar itu benar-benar aka
Gelap dan dingin. Itulah kesan pertama yang Arya rasakan saat dirinya menyelinap ke dalam kamar Risa. Dika melangkah perlahan dan harus hati-hati jika tak ingin terjatuh oleh barang yang sangat berserakan di sekitar kamar Risa. "Risa, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arya, sesaat setelah dia menyalakan lampu di ruangan itu dan mendapati sosok Risa tengah terduduk lemah di pojokan kamar. Risa menegakkan kepala, sorot mata yang biasa penuh bahagia itu, kini berubah dengan sorot mata putus asa. "Aku tidak ingin jadi pelayan di rumah ini!" lirih Risa, dengan air mata yang terus berderai. Arya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Risa. Dia pun menggenggam tangan kekasihnya itu erat. "Maafkan aku," ungkap Arya dipenuhi rasa bersalah. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan, bagaimana mungkin seorang, Risa menjadi pelayan!" pekik Riaa histeris. Sedikitpun Risa tak pernah berfikir jika Bramantyo akan berbuat seperti itu. Namun, hari itu ucapan dari Bramantyo sungguh menjatuhkan harga d
"Risa bisa terus tinggal di sini, tapi dia bukanlah seorang Nyonya. Pecat semua pelayan pribadinya, lalu pindahkan dia ke kamar pelayan biasa!" Perkataan Bramantyo masih terngiang-ngiang dalam benaknya, bagaikan musik yang terus diputar ulang. Beberapa kali Risa menutup kedua telinganya sambil menutup mata. Dengan begitu Risa berharap suara menyebalkan itu cepat hilang. Namun, justru wajah Bramantyo yang semakin jelas tampak dalam ingatannya. "Arghh! Dasar bajingan!" pekik Risa. Ia mulai murka, semua barang yang tertata rapi di meja hancur ia banting. Sprei, selimut, semuanya berserakan. Kamar yang semula rapi, kini layaknya sebuah kapal pecah yang tak beraturan. Puas melampiaskan amarah, Risa mulai terisak. Di sudut kamar ia terduduk sambil memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepala di antara dua lutunya itu. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan biasa," gumam Risa disela isakan tangisnya. Semua hal indah yang selalu Risa bayangkan hancur dalam beberapa menit saja. Ia t