Dika benar-benar sangat dibuat kesal oleh ucapan Risa, dua kali sudah wanita itu mengajaknya untuk memisahkan Nazwa dengan Arya. Tapi, Dika tak akan sanggup melakukan hal itu karena dia tahu betul bagaimana Nazwa mencintai Arya. "Hei, mau sampai kapan kamu terus berdiam diri di sana?" tanya Risa dengan tatapan sinis serta senyuman meremehkan. Dika tak menjawab pertanyaan itu, dia lebih memilih untuk segera bersiap lalu bergegas pergi menemui Nazwa."Aku akan pergi bersamamu menemui, Nazwa pagi ini.""Terserah!" jawab Dika tegas sambil terus berjalan menjauh. ***Layar ponsel Risa tak hentinya menampilkan notifikasi pesan yang terus saja masuk. Senyumannya melengkung saat ia membaca nama si pengirim pesan itu."Apakah dia merindukan aku?" batin Risa bertanya-tanya. Hatinya berbunga, pipinya pun merona bahkan senyumannya terus mengembang di sepanjang perjalanan menuju kediaman Nazwa, membuat Dika yang kini duduk di sebelahnya merasa jijik dengan sikap Risa. "Apa kamu tidak malu ber
"Mas Dika selamat bertugas." Dengan manjanya Risa berucap. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya kemudian berjalan mendekat ke arah Nazwa. Tanpa melakukan kontak mata dengan Arya terlebih dahulu Risa segera mengambil alih posisi untuk mendorong kursi roda Nazwa. "Apa kamu semalam bersama, Kak Dika?" tanya Nazwa antusias. "Menurut kamu, bagaimana?"Nazwa mengulum senyum mendengar ucapan Risa, "Pantas saja dari semalam kamu sulit untuk dihubungi," goda Nazwa seraya tersenyum. Wajah tampan Arya berubah masam detik itu juga, prasangka buruk terus memenuhi benaknya. Dia pun menoleh ke arah Risa. Namun, jangankan mengharapkan penjelasan dari kekasihnya itu menatapnya saja Risa seakan segan. "Nazwa, aku masih mengambil cuti untuk hari ini. Jadi, kita bisa menghabiskan waktu bersama.""Sungguh?" tatapan Nazwa berbinar. Risa hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan mantan sahabatnya itu. "Lalu, mau ke mana kita?" "Ke taman saja, Risa. Aku ingin melihat mawar-mawar itu mere
Arya melangkah dengan tergesa menghampiri dua wanita yang sama-sama memiliki peran spesial di dalam hidupnya itu. Jarak beberapa meter dari tempat mereka, Arya menghela napas dalam mencoba untuk kembali menetralkan amarah yang sedari tadi berkecamuk di dalam dadanya. Sama-samar terdengar gelak tawa Nazwa dan Risa. Cukup lama Arya tertegun, ditatapnya satu persatu wajah cantik para wanita itu. "Aku adalah lelaki paling beruntung mendapatkan dua wanita cantik, dan kaya sekaligus," gumam Arya sambil tersenyum simpul lantas kembali melangkah mendekati mereka. Bayangan memiliki dua istri yang rukun satu sama lain kembali menari-nari dalam benaknya saat melihat kebersamaan Risa dan Nazwa. "Ehem!"Sontak ke dua wanita cantik itu menoleh ke arah sumber suara. Postur tegap, rahang kokoh dan tatapan mata yang tajam seketika menghipnotis ke dua wanita itu. Mereka tersenyum dan terus menatap dengan pandangan kagum kepada satu orang yang sama. "Suamiku, tampan sekali pagi ini!"Senyuman Risa
"Aku ingin memisahkan kamu dan, Nazwa. Lalu menjadikan aku satu-satunya wanita di dalam hidupmu!" pekik Risa emosional, tangisannya pun pecah detik itu juga. Arya bergeming menatap Risa seperti itu. Dia tak pernah mengira, jika wanita simpanannya memiliki perasaan yang begitu dalam terhadapnya. "Hei, tenanglah." Arya menarik tubuh Risa ke dalam dekapan. Tangisan Risa semakin menjadi, ia menumpahkan segala gundah yang dirasakannya di dekapan sang pujaan hati. Ia lelah, tapi hati kecilnya tak ingin berpisah dengan Arya."Sampai kapan aku harus menjadi bayangan, Nazwa?" lirih Risa bertanya. "Apa kamu ingin kita, menikah?"Risa berhenti terisak, ia melepaskan diri dari dekapan Arya. Ditatapnya lekat sosok tampan itu dengan perasaan tak menentu. "Apa, Mas Arya mampu melakukan, itu?"Detik itu Risa seakan berada di atas awan. Pertanyaan Arya langsung melambungkan hatinya, ia bertanya dengan tatapan mata berbinar penuh harap. Namun, lagi-lagi ia harus kembali menelan rasa kecewa saat me
Sepi mulai menyapa, hawa dingin membuat Arya semakin mengeratkan dekapannya pada Risa. Dalam keremangan kamar itu, seulas senyum terlukis di wajah cantik Risa. Tampaknya ia sangat bahagia, perasaan kecewa, marah, dan cemburu yang beberapa hari ini dirasakannya seakan menguap begitu saja dengan perlakuan hangat Arya saat ini. "Apa malam ini kamu tetap di sini, Mas?" "Ya, aku telah mengatur rencana sehingga tak akan ada yang curiga. Mereka hanya mengira jika kita sedang melakukan perjalanan bisnis," ucapnya sambil menghidu aroma tubuh Risa yang selalu membuatnya gila. Hati Risa semakin berbunga-bunga, ia memutar tubuh sehingga mereka berhadapan. Arya membuka mata, pandangan keduanya beradu. Semula, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Hanya saling memandang, menyelami perasaan yang semakin hari semakin dalam dan sulit untuk kembali. Atau, lebih tepatnya mereka memilih untuk terus tenggelam dalam lautan asmara terlarang yang sudah mereka jalani alih-alih mengakhirinya. Cinta sunggu
Honeymoon terlarang yang berbalut kebohongan atas nama pekerjaan itu pun harus mereka akhiri sehari lebih cepat dari rencana semula. Alasannya hanya satu, karena Risa sudah tak sabar ingin segera mendepak keberadaan Dika. Ia terlalu gerah dengan lelaki itu yang selalu saja mengusik kesenangan dirinya. "Sayang, lebih cepat lebih baik. Dia tuh udah kaya bom waktu loh. Kita gak tahu kan sampai kapan dia terus tutup mulut? Terus, kalau tiba-tiba dia bongkar semua rahasia kita ke publik kamu sendiri yang susah, Sayang." Bosan terus mendengar rengekan Risa, mau tak mau Arya pun menuruti keinginan kekasihnya itu. Mereka bergegas meninggalkan villa, dan saat tiba di kediaman Nazwa, mereka kembali berdalih jika perjalanan bisnisnya berjalan lancar dan bisa kembali lebih cepat dari jadwal yang seharusnya. "Aku merindukanmu, Sayang," ucap Nazwa manja saat Arya langsung memeluk tubuh ringkih Istrinya. "Aku juga, Sayang. Beruntung semuanya berjalan lancar jadi aku bisa kembali lebih awal." Ary
"Wah cantik sekali pasti, Dokter Dika bahagia memiliki asisten sepertimu," puji Risa sambil menatap ke arah Ilma dengan tatapan berbinar. Refleks Dika menoleh ke arah Arya, "Maaf, Pak. Tapi saya tidak membutuhkan seorang asisten."Namun, Arya tak peduli dengan penolakan itu. Bahkan, dia langsung meminta Ilma untuk bergabung di acara makan malam mereka. Dika mendengkus kesal, ingin sekali dia segera pergi dari tempat itu. Namun, baru saja beranjak, gerakannya kembali tertahan. "Makanlah dulu sebelum meninggalkan acara ini," ucap Risa sambil menahan lengan Dika. "Ya, Risa benar, Kak. Makanlah terlebih dahulu, atau jika takut terlalu malam menginap saja di sini," ujar Nazwa tiba-tiba membuat Dika tak dapat lagi berkata-kata selain menuruti ucapan Nazwa. ***Malam kian merangkak naik, dan pesta pun belum tampak tanda-tanda akan segera berakhir. Wajah Dika merenggut, terlebih saat menatap kemesraan Nazwa dan Arya lipatan di keningnya pun kian bertambah. Dia cemburu, hanya saja dia tak
Risa tersenyum bahagia melihat Dika yang tak sadarkan diri. Ia menoleh kearah Ilma lalu mengedipkan sebelah matanya. "Kemarilah, aku butuh bantuan," ucap Arya melalui sambungan telepon. Tubuh kekar Dika pun dibawa ke kamar yang berada di paviliun. Tubuhnya direbahkan setelah pakaian yang melekat di tubuh Dika ditanggalkan terlebih dahulu. "Tugas kamu hanya tetap bersama dia, dan saat dia telah sadar berikan air ini."Ilma hanya mengangguk sambil meraih air mineral pemberian Arya. Setelah itu mereka membiarkan Ilma dan Dika hanya berduaan. Langkah Risa terasa begitu ringan saat ia meninggalkan paviliun. Angannya pun melayang membayangkan hari esok yang lebih baik. "Aku jadi tak sabar menanti dia diusir dari rumah ini," ujar Risa saat ia bertemu Arya di sudut taman tergelap. "Apa kamu, bahagia?" Dalam satu gerakan Arya menarik tubuh ramping Risa ke dalam dekapannya. "Aku akan bahagia jika rencana ini berjalan sempurna, Sayang," ungkap Risa manja, ia pun menengadahkan kepala mena
Angin yang berembus lembut disertai matahari senja yang menyelinap dari celah pepohonan seakan mengantarkan kepergian Arya. Dari balkon kamar, Risa terus menatap mobil jeep yang membawa Arya menjauh, semakin menjauh hingga hilang dari pandangan. Suasana sepi mulai menyelimuti, hanya suara angin yang bergesekan dengan dedaunan menjadi nyanyian alam yang menemani kesendirian Risa. Ia tampak menghela napas dalam sambil mendudukan diri di sebuah kursi kayu. "Setidaknya, di sini aku bisa bernapas lega. Tidak ada lagi Tuan tua menyebalkan itu!" gerutu Risa. Rupanya, Risa masih merasa kesal dengan Bramantyo. Mungkin lebih tepatnya dendam dengan perlakuan menyebalkan lelaki itu terhadap dirinya. "Lihat saja, aku akan membuatmu malu, Bramantyo!" pekik Risa mencurahkan segala kekesalan di dalam hatinya tanpa khawatir ada seorang pun yang mendengarnya. Matahari semakin beranjak ke barat, angin pun berembus lebih kencang. Risa memeluk tubuhnya sendiri karena dingin yang seketika menyergapnya
Tempat yang terasa asing bagi Risa. Tidak ada lagi keramaian, mall, salon, restoran dan tempat-tempat yang biasa Risa datangi jika tengah dilanda rasa bosan. Kini hanya pepohonan menjulang yang menjadi teman setianya. "Ini ponsel baru, meskipun jauh dari keramaian aku dapat menjamin kamu masih bisa berselancar di dunia maya. Tapi ingat, gunakan akun palsu," ungkap Arya saat dia hendak kembali ke kota dan menyerahkan ponsel baru untuk sang kekasih. "Lalu, kapan kamu akan berkunjung kembali? Aku takut lama-lama diam seorang diri di sini." Risa menatap sekeliling lalu bergidik ngeri. "Aku takut setan, Mas," sambungnya sembari memeluk tubuh Arya. Melihat kekasih hatinya seperti itu, Arya terbahak. Risa seperti anak kecil dan dia begitu gemas terhadapnya. "Kok malah ketawa sih?" Ia mencebik dengan tangan yang dilipat di depan dada. Bibir tipis yang mengerucut dengan pipi sedikit menggembung membuat Arya tak tahan untuk tidak mencubit pipi sehalus sutra tersebut. "Aw, Sayang ih. Saki
"Kepalaku pusing sekali," lirih Risa ketika, ia mulai tersadar. Tubuhnya lemas dengan kepala yang terasa pusing sekali. Beberapa kali ia pun mengerjap saat cahaya langsung menerpa wajahnya. "Apa kamu baik-baik, saja?"Beberapa saat ia tertegun, berusaha mengingat suara yang terasa sangat familiar untuknya. "Maafkan aku," ungkapnya lagi sambil mengecup kening Risa lembut. "Mas, Arya?"Arya tersenyum, senyuman laksana sinar matahari pagi yang sangat menenangkan. "Kamu jahat, Mas!" pekiknya, sembari memukul dada bidang Arya. Dalam sekali gerakan, Arya menarik tubuh lemas Risa ke dalam dekapannya. Tangisan Risa semakin menjadi dan tersedu-sedu. "Aku janji tidak akan menyakitimu lagi."***Risa yang belum mampu berjalan, dibopong Arya ke kamar mandi. Dengan sangat telaten, dia melepaskan satu persatu kain yang menempel pada tubuh perempuan itu. Risa tersipu mendapatkan perlakuan seperti itu dari Arya. "Apa wajahku sangat menarik? Sehingga kamu terus menatapku, tanpa berkedip?" Ri
"Setelah ini apa aku harus tetap menunggu?" tanya Risa dengan suara parau. Arya membeku, dengan pikiran yang entah berjelajah ke mana. Hati lelaki itu bimbang, disaat seperti itu jelas dia harus mementingkan Nazwa agar hidupnya selamat. "Bagaimana jika satu bulan kamu bertahan menjadi seorang pelayan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya, dan selang beberapa detik Arya menyesal telah bertanya seperti itu. Gerimis di dalam hati Risa kini menjelma laksana badai. Hatinya luluh lantak mendengar ucapan Arya yang terasa begitu menyakitkan. "Aku tahu kamu pasti akan seperti ini!" ungkap Risa, sambil menghentakkan kaki lalu pergi meninggalkan Arya yang tengah diselimuti perasaan menyesal. Langkah Risa lunglai, energi yang biasanya meluap-luap dalam dirinya kini lenyap begitu saja. Harapan yang sempat ia tanam, tercerabut hanya karena satu ungkapan dari mulut Arya. "Baiklah, sudah saatnya aku menyerah," lirih Risa, sambil terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Meng
"Tuan, Nona Nazwa pingsan!" pekik Mae. Bramantyo bergeming untuk sesaat, dia berbalik lalu berlari menghampiri sang putri. Dia memeluknya erat seraya terus menyebut nama Nazwa. "Siapkan mobil!" teriak Arya. Dalam hitungan detik semua orang dibuat panik dengan kondisi Nazwa yang tiba-tiba kehilangan kesadaran. Begitupun Risa, meskipun tak ada lagi rasa persahabatan di dalam hatinya, tetap saja ia bersikap seolah-olah dirinya yang paling peduli. "Ini semua salahku. Maafkan aku, Nazwa," lirih Risa sambil berlari mengikuti Arya yang membopong tubuh Nazwa. Air mata Risa terus berlinang, air mata palsu yang hanya ingin mendapatkan simpati dari seorang Bramantyo. "Kamu tidak perlu ikut!" Hadang Bramantyo saat Risa hendak masuk ke mobil. "Saat, Nazwa sadar dia pasti akan mencari, Risa. Ayah, aku mohon biarkan dia ikut," sahut Arya dengan posisi kepala menyembul keluar pintu mobil. Bramantyo bergeming, dia seakan menimbang apa yang diucapkan oleh menantunya itu. "Ayah! Nazwa harus seg
"Bukankah sudah saya katakan jika mulai pagi ini kamu harus segera pindah ke kamar pelayan?"Risa menunduk, kedua tangannya saling meremas. "Lalu kenapa jam sepuluh kamu masih berada di sini?!" sambungnya tegas. Suara Bramantyo menggelegar bagaikan gemuruh di tengah-tengah badai. "Maaf, Tuan. Semalam saya tidak bisa tidur," balas Risa dengan suara lirih. Bramantyo berjalan mendekati tumpukan baju yang belum sempat Risa kemas semua. Dahinya lelaki itu berkerut melihat barang-barang mewah yang dimiliki Risa. "Apa kamu seorang simpanan?" tanya Bramantyo tiba-tiba. Risa bagaikan terpaku tepat ke dasar bumi. Petir seakan menyambar dirinya mendengar pertanyaan dari Bramantyo. "Ma-maksud, Tuan apa?""Dari mana kamu mampu membeli baju-baju mewah ini?" Bramantyo meraih satu baju, lalu melemparkan tepat pada wajah Risa. "Setahuku satu helai baju ini setara dengan upahmu bekerja sebagai asisten di kantor. Lalu, bagaimana kamu bisa membeli barang ini?"Tidak ada jawaban yang terlontar dari
Mendung yang bergelayut di wajah Risa berubah menjadi hujan yang tak sanggup lagi ia tahan. Membayangkan dirinya menjadi seorang pelayan sungguh membuatnya terluka. "Maaf, maafkan aku," ucap Arya, mencoba menenangkan hati sang kekasih sambil mendekap nya erat. "Sekarang kamu istirahat, ya, Sayang," sambung Arya sembari melepaskan dekapannya. Namun, Risa menolak. Ia menahan gerakan Arya untuk terus mendekap tubuhnya. "Aku mohon jangan pergi, dan biarkan aku merasakan kenyamanan ini," ungkap Risa dengan suara parau. "Baiklah, jika itu memang keinginanmu."Arya kembali mendekap tubuh Risa dengan penuh cinta dan kehangatan, "Bersabarlah ini hanya untuk sementara."***"Baiklah aku harus segera berkemas," gumam Risa sesaat setelah ia mengembuskan napas berat. Ia menatap sekeliling, kamar mewah dengan nuansa interior eropa itu pasti akan ia rindukan. Kasur kualitas terbaik dengan sprei sutra pilihan, aroma terapi mewah, dan segala hal kemewahan yang berada di kamar itu benar-benar aka
Gelap dan dingin. Itulah kesan pertama yang Arya rasakan saat dirinya menyelinap ke dalam kamar Risa. Dika melangkah perlahan dan harus hati-hati jika tak ingin terjatuh oleh barang yang sangat berserakan di sekitar kamar Risa. "Risa, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arya, sesaat setelah dia menyalakan lampu di ruangan itu dan mendapati sosok Risa tengah terduduk lemah di pojokan kamar. Risa menegakkan kepala, sorot mata yang biasa penuh bahagia itu, kini berubah dengan sorot mata putus asa. "Aku tidak ingin jadi pelayan di rumah ini!" lirih Risa, dengan air mata yang terus berderai. Arya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Risa. Dia pun menggenggam tangan kekasihnya itu erat. "Maafkan aku," ungkap Arya dipenuhi rasa bersalah. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan, bagaimana mungkin seorang, Risa menjadi pelayan!" pekik Riaa histeris. Sedikitpun Risa tak pernah berfikir jika Bramantyo akan berbuat seperti itu. Namun, hari itu ucapan dari Bramantyo sungguh menjatuhkan harga d
"Risa bisa terus tinggal di sini, tapi dia bukanlah seorang Nyonya. Pecat semua pelayan pribadinya, lalu pindahkan dia ke kamar pelayan biasa!" Perkataan Bramantyo masih terngiang-ngiang dalam benaknya, bagaikan musik yang terus diputar ulang. Beberapa kali Risa menutup kedua telinganya sambil menutup mata. Dengan begitu Risa berharap suara menyebalkan itu cepat hilang. Namun, justru wajah Bramantyo yang semakin jelas tampak dalam ingatannya. "Arghh! Dasar bajingan!" pekik Risa. Ia mulai murka, semua barang yang tertata rapi di meja hancur ia banting. Sprei, selimut, semuanya berserakan. Kamar yang semula rapi, kini layaknya sebuah kapal pecah yang tak beraturan. Puas melampiaskan amarah, Risa mulai terisak. Di sudut kamar ia terduduk sambil memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepala di antara dua lutunya itu. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan biasa," gumam Risa disela isakan tangisnya. Semua hal indah yang selalu Risa bayangkan hancur dalam beberapa menit saja. Ia t