Jakarta
Ruangan itu dipenuhi rak-rak tinggi yang mencapai langit-langit dan dipenuhi buku-buku dari berbagai macam genre. Entah itu buku akademik ataupun novel. Cerita romantis maupun horror ada di dalam sebagian buku yang tersusu rapi di sana. Adskhan memasuki ruangan itu karena sang ayah memanggilnya.
“Ada apa Baba memanggilku kesini?” tanyanya seraya duduk di sofa kulit mewah yang ada dalam perpustakaan pribadi ayahnya itu.
“Hanya ingin melihat wajah anakku, apa itu salah?” Ayahnya balik bertanya. Adskhan idak menjawab. Semenjak pernikahan pertamanya gagal, ia memilih untuk tinggal di tempat terpisah dari orangtuanya. Meskipun sesekali ia datang ke rumah itu saat orangtuanya datang dari Bandung. Atau keluarga orangtuanya datang untuk berkumpul.
“Tidak ada. Tapi jika Baba memanggil Adskhan kesini, pasti ada sesuatu yang yang serius yang ingin Baba bicarakan, bukan?” Adskhan memandang ayahnya dengan ekspresi datar.
Tuan Ahmed tersenyum. Seringai di wajahnya menunjukkan sudut matanya yang sudah berkeriput dalam.
“Sampai kapan kau akan seperti ini, Khan?” tanya ayahnya dengan nada datar. Pria awal enam puluh tahun itu meninggalkan kursinya dan berjalan mendekat, menghampiri putranya satu-satunya. “Kau tidak muda lagi. Syaquilla sebentar lagi menginjak dewasa. Meskipun selama ini dia tidak pernah mengatakannya, tapi Baba tahu bahwa anakmu itu membutuhkan figure seorang ibu. Kehadiran Baba dan Mama tidak cukup untuknya.”
Adskhan tahu arah pembicaraan ini. Namun dia hanya diam saja.
“Bukankah seharusnya kau memikirkan untuk menikah lagi?” tegur ayahnya lagi.
Adskhan terdiam, sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
“Tidak, Baba. Aku belum memikirkannya.” Jawab Adskhan halus.
“Lalu kapan kau akan memikirkannya? Apa kau hanya akan memberikan Baba dan Mama mu itu seorang cucu? Tidakkah kau ingin memberikan kami cucu laki-lai untuk meneruskan nama keluarga kita? Nama keluargamu?” tanya ayahnya lagi. Masih dengan suaranya yang lemah lembut. “Putrimu, Syaquilla pada akhirnya akan menikah dan dibawa suaminya. Lantas, jika Baba sudah tiada. Jika kau nanti tiada, tidak akan ada lagi nama keluarga kita yang akan dikenal oleh dunia bisnis. Semuanya akan tenggelam, hilang dan terlupakan.” Lanjut ayahnya.
Adskhan terdiam. Walau bagaimanapun ayahnya memang benar. Nama baik yang selama ini dibangun oleh keluarganya tidak boleh berakhir di dirinya. Semuanya harus terus berlanjut. Harus terus ada keturunan Ahmed Levent yang akan melanjutkan usaha yang sudah dirintis puluhan tahun itu.
“Sebenarnya, Baba tidak ingin mempermasalahkan ini. Kau memiliki anak laki-laki ataupun perempuan itu adalah takdir yang sudah diberikan Tuhan padamu. Hanya saja, Baba memikirkan Syaquilla.
Kau tidak pernah tahu betapa anak itu membutuhkan kasih sayang orangtuanya. Sudah cukup kau merasa tersakiti karena apa yang dilakukan wanita itu. Tapi tidak lantas kau menghukum anakmu yang tak berdosa atas dosa yang ibunya lakukan.
Baba menerima sikapmu di tahun-tahun awal perpisahan kalian. Tapi ini sudah berlangsung terlalu lama, Khan. Kau tidak tahu bagaimana anakmu mengigaukan namamu saat dia sakit. kau tidak tahu bagaimana dia sering menangis di pelukan ibumu karena merindukanmu. Dia tidak pernah mengatakannya padamu. Tapi sebanyak apapun kasih sayang yang kami beri padanya, itu semua tidak akan cukup. Karena yang dia inginkan adalah kasih sayangmu.”
“Aku menyayanginya.” Jawab Adskhan dengan tegas.
“Sayang macam apa yang kau berikan padanya? Jika hanya mengabulkan apa yang dia mau dari segi finansial, kami pun bisa melakukannya tanpa perlu dia memintanya padamu. Dia ingin kau memperhatikannya. Menyayanginya. Memeluknya. Sesulit itukah, Khan?”
“Baba..”
“Kalau kau memang tidak bisa menyayanginya. Setidaknya berikan dia ibu yang bisa menyayanginya.” Jawab Tuan Ahmed. Satu nama terpikir dalam benak pria itu. Sebuah nama yang sering cucunya itu sebut belakangan ini. Gadis yang Ahmed tahu merupakan sosok yang tidak hanya dibutuhkan cucunya, namun juga oleh putra semata wayangnya. Caliana. Meskipun pada akhirnya yang Ahmed tahu hanya data tertulis tentangnya. Tapi ia tahu seperti apa seluk beluk keluarga gadis itu.
Harapan Ahmed sebagai seorang ayah hanya ingin agar putranya bisa kembali mencintai seseorang dan berakhir memiliki hidup yang bahagia. Satu kali gagal bukan berarti selamanya dia akan gagal. Selalu ada langkah selanjutnya yang akan membawa seseorang pada keberhasilan, bukan?
“Tidak aka nada ibu tiri yang akan benar-benar menyayangi anak tiri.” Ketus Adskhan. Tubuh putranya itu menegak kaku, sekaku rahangnya yang mengeras.
Ahmed memijit pelipisnya perlahan. Orangtua mana yang tidak ingin melihat anaknya bahagia. Ia tahu luka di masa lalu Adskhan masih belum sembuh. Entah apakah akan sembuh atau tidak. Setidaknya luka hati ditinggal mati masih lebih baik daripada di khianati.
Ahmed kembali menghela napas panjang. Bagaimana caranya ia bisa membahagiakan cucu kesayangannya. Gadis itu jelas sangat membutuhkan sosok seorang ibu, sementara ayahnya tampak tidak akan mengabulkannya. Sosok istri seperti apa yang harus dicarinya? Tidak akan ada wanita berpikiran waras yang akan mencintai anak suaminya tanpa dicintai oleh sang suami sendiri. Tidak akan ada pula seorang wanita yang menginginkan anak tanpa menginginkan suami. Kecuali mungkin seorang wanita yang tidak bisa memberikan keturunan. Lantas apa bedanya dengan mencari babby sitter. Syaquilla tidak memerlukan itu.
“Bagaimana hubunganmu dengan model itu?” Ahmed kembali menyuarakan pikirannya.
“Anastasia?” Adskhan balik bertanya. Ayahnya menganggukkan kepala. “Dia tidak punya hubungan apa-apa denganku. Semuanya hanya urusan bisnis. Salah satu strategi marketing untuk menaikan nama perusahaan kita.” Jawabnya datar.
“Berhenti menemuinya, Khan. Kau tidak akan tahu apa yang akan dilakukan wanita saat dia terobsesi pada sesuatu”
“Baba tenang saja. Aku tidak pernah melakukan hal apapun padanya. Jadi kemungkinan untuk itu tidak pernah ada.”
“Berhati-hatilah, Khan. Kau tidak akan pernah tahu apa yang ada dalam pikiran wanita.” Ahmed memperingatkan. Adskhan hanya memandang ayahnya dalam diam.
Ahmed masih memandangi putranya. Semisal pun jika memang Adskhan mencintai wanita itu dan menikahinya, Ahmed tidak akan menolaknya. Tapi ia jelas tahu bahwa sosok seperti Anastasia bukanlah wanita yang akan bisa menjadi sosok ibu yang dibutuhkan cucunya. Wanita seperti Anastasia adalah wanita yang mementingkan harta dan status sosial. Dia wanita yang selalu ingin dipuja. Ingin diperhatikan, bukan memberi perhatian, apalagi memberi kasih sayang. Dia hanyalah tipe wanita yang lebih mementingkan dirinya sendiri. Menyayangi dirinya sendiri. Sementara Syaquilla, gadis itu butuh sosok ibu yang bisa sepenuhnya memerhatikannya dan menyayanginya.
Samar suara tawa cucunya terdengar dari kejauhan. Ahmed bangkit dari duduknya dan meninggalkan Adskhan. Berjalan keluar hanya melihat Syaquilla berjalan dalam rengkuhan Lucas.
“Kalian dari luar?” tanya Ahmed pada cucunya.
Syaquilla dan mata keemasaannya yang berbinar tampak mengangguk ceria.
“Uncle, apa kabar?" Lucas mendekat dan mencium punggung tangan Ahmed sebelum kemudian mencium pipi kiri dan kanannya.
"Alhamdulillah." Jawab Ahmed senang. "Lama tidak melihatmu." Keluhnya pelan.
"Belakangan masih sibuk di kantor pusat. Jadi belum sempat berkunjung ke cabang Bandung." Jelasnya singkat. "Dimana aunty?" Lucas celingukan mencari sosok wanita paruh baya.
"Mungkin di dapur." Sahut Ahmed lagi. Lalu tanpa pamit Lucas berjalan mencari bibi nya ke arah dapur. “Jalan-jalanmu menyenangkan?” tanyanya pada sang cucu. Syaquilla mengangguk antusias dan berjalan dalam rengkuhan kakeknya menuju kea rah yang sama kemana Lucas pergi.
Namun beberapa langkah menuju dapur, ponsel gadis itu berbunyi. Di layar perseginya tampak foto gadis yang selama ini Ahmed kenali.
"Carina, Qilla angkat dulu ya Ba." Pintanya halus yang dijawab dengan anggukan pelan sang kakek. Berjalan terus melewati dapur dan sekedar melambai pada nenek dan pamannya, Syaquilla mengarahkan kakinya menuju gazebo yang ada di bagian belakang rumah sambil mengangkat video call dari sahabatnya.
"Lama amat, ngapain aja?" Sapaan pertama yang keluar berupa keluhan.
"Lagi jalan.” Jawab Syaquilla polos. “Kamu jadi kalan sama Itan?" Tanyanya ingin tahu. Jawaban di seberang sana berupa anggukan.
"Coba aja kamu disini, pasti gak akan bete." Keluh Carina lagi.
"Kenapa, nongkrong di cafe lagi?" Kembali dijawab Carina dengan anggukan. Syaquilla tertawa mengejek. "Masih mendingan aku dong, baru pulang sama Uncle Luke. Dibeliin banyak juga.” Ucapnya dengan sengaja memanas-manasi.”
“Sombong, mentang-mentang punya Uncle kaya.” Cebiknya.
Syaquilla tertawa mendengar keluhan Carina. Saat didengarnya suara langkah mendekat, Syaquilla menoleh dan melihat pamannya berjalan menghampirinya. “Rin, kenalin, cowok jomblo akut." Ucapnya seraya menarik Lucas mendekat dan mengarahkan kamera sehingga wajahnya tampak jelas di layar.
Lucas mengernyit sejenak pada sepupunya sebelum mengalihkan tatapannya pada layar. "Hai!" Lucas melambaikan tangan dengan ramah.
Carina tampak terbelalak memandang paman sahabatnya itu. mereka memang tidak pernah bertemu secara langsung, tapi Syaquilla sudah sering menunjukkan foto-foto pamannya padanya. Namun tetap saja, berbicara secara langsung dengan pria tampan itu tetap membuatnya terkesima. "Uncle, beneran jomblo?” tanyanya setelah kesadarannya kembali. Lucas mengangguk di belakang kepala Syaquilla. “Kok ganteng-ganteng jomblo sih Uncle?" tanya Carina lagi dengan nada mengejek.
Lucas terkekeh. "Bukan jomblo,” ralatnya. “Uncle itu single. Single itu pilihan." Jawab Lucas datar. Tapi kemudian dahinya berkerut memandang Carina dengan tatapan menyelidik. "Wajah kamu kok gak asing ya?" Gumam Lucas pelan.
Carina mendecih. "Gak usah gombalin Carin. Carin masih kecil, masih di bawah umur.” Lanjutnya dengan lagak sok dewasanya. Lucas menjawab dengan kekehan pelan.
"Kalo ketus kayak gitu, kok malah makin gak asing ya." Lanjutnya lagi.
"Emang mirip siapa, Uncle?" Kali ini Syaquilla yang bertanya karena penasaran.
"Udah makannya?" Tanya suara lain yang tidak tampak kamera.
"Itaannn... !!" Pekik Syaquilla kemudian. Lalu layar berputar dan menampakkan sosok Carina dalam versi yang lebih tua.
"Ana?!" Suara terkejut itu keluar begitu saja dari mulut Lucas.
"Uncle kenal?" Syaquilla balik memandang pamannya dengan mimik terkejut. Meskipun penampilannya terlihat berdeda dengan penampilan yang biasa Lucas lihat, tapi sudah jelas wanita yang tidak sadar sedang di kamera itu adalah Caliana. Salah satu anak buahnya di cabang Bandung.
Caliana, dengan rambut hitam panjang bergelombang yang tergerai indah tampak berbincang serius dengan sosok laki-laki. Ia yang biasa terlihat mengenakan kemeja rapi dengan celana atau rok sopan, kini tampak mengenakan sweater kebesaran berwarna merah terang, dengan celana skinny skirt berwarna hitam. Tampak casual, cantik, dan seperti remaja.
"Itan!" Panggil Carina. Orang yang dipanggilnya menoleh. Wajahnya tampak segar tanpa riasan kecuali warna cherry di bibirnya yang penuh dan terlihat menggemaskan. Tangannya terangkat meminta jeda sejenak dan kembali berbicara dengan pria di hadapannya. Lalu kemudian perhatiannya benar-benar teralih pada Carina, masih tanpa sadar bahwa dia diperhatikan oleh kedua orang yang ada di seberang panggilan."Itan kenal sama Uncle Lucas?"
Lucas bisa melihat kedua alis itu menyatu. "Lucas? Lucas siapa?" Tanyanya bisa bingung. Lalu kamera tampak berputar dan kembali menunjukkan wajah Caliana versi muda. Sebelum ponsel yang diputar ke arah Caliana sehingga Caliana bisa melihat sosok yang dimaksud keponakannya. "Loh, Sir. Ngapain, kok sama Qilla?" Tanyanya bingung saat melihat Lucas dan Syaquilla melambai bersamaan ke arahnya.
"Kamu kenal Qilla?” Lucas balik bertanya. Caliana mengangguk. “Dia keponakan aku.” Jawabnya seraya merangkulkan tangannya yang besar di bahu Syaquilla. “Jadi dia keponakan kamu?” tanyanya pada Caliana. Kali ini Caliana yang mengangguk. “Pantes aja tuh anak juteknya sama, taunya turun temurun dari tantenya ya?" Ledek Lucas dengan senyuman tersungging di wajahnya. Caliana tertawa renyah, namun Carina malah mencebik sambil memicingkan mata kepada Lucas.
Jauh setelah video call berakhir, Lucas memandang Syaquilla penuh tanya.
"Kamu udah lama kenal sama Ana?""Ana?" Qilla mengernyitkan dahi. "Ohh, Itan." Ia akhirnya mengangguk mengerti. "Ya, sejak kenal sama Carina. Itan orangnya baik loh, uncle. Udah cantik, baik juga. Sering traktir Qilla juga."
"Dunia emang sempit ya. Emang Qilla tau gak kalo Itan itu salah satu karyawannya Papa?" Pertanyaan Lucas bersamaan dengan masuknya Adskhan dan Ahmed ke ruang makan. "Dia kerja di perusahaan Papa yang ada di Bandung."
"Siapa?" Tanya Ahmed penasaran.
"Itu, ternyata tantenya temen Qilla salah satu karyawannya Adskhan, Uncle. Namanya Caliana, anak buahnya bu Shelly.”
“Caliana tantenya Carina?” Ahmed bertanya pada cucunya. Syaquilla mengangguk antusias. “Ayahnya dulu kerja sama Uncle. Sekarang usahanya dipegang sama kakak tertuanya. Memangnya kamu gak tahu sama Rafka?”
Lucas mengerutkan dahi. “Maksud Uncle, supplier semen, bata sama genteng itu?” Ahmed mengangguk. “Ya Allah. Bener-bener dunia memang sempit ya. Mungkin ini memang jalan dari Allah buat Uncle, La.” Lucas memandang keponakannya lagi.
“Jalan buat apa?” Syaquilla memandang pamannya bingung.
“Jalan buat uncle supaya bisa deket sama dia.” Jawab Lucas dengan senyum di wajahnya. “Nanti, kalo Uncle ke Bandung lagi, Uncle bakal lebih gencar deketin dia.”
“Gak boleh!” pekik Syaquilla dengan lantang dan mengejutkan orang-orang yang ada di ruang makan. Termasuk neneknya yang baru saja masuk dengan membawa sajian makan malam.
“Kenapa?” tanya Lucas heran.
Dengan malu-malu Syaquilla melirik pada ayahnya. “Itu.. mmm… anu…” ucapnya terbata.
“Udah, kamu tenang aja. Kamu suka kan sama Itan?” tanya Lucas lagi. Syaquilla mengangguk antusias. “Kalo dia jadi sama Uncle, nanti dia juga bakal jadi Aunty nya kamu. Jadi nanti Uncle bagi-bagi dia sama kamu.” Celetuk Lucas dengan kedua alis terangkat naik turun dengan gaya menggoda.
Syaquilla malah mencebik karenanya
Sementara di waktu bersamaan, Lucas hanya memperhatikan kedua orang itu dalam diam.
Caliana? Itan?
Nama itu membuatnya kembali membayangkan gadis berkemeja hitam, rok hitam dengan tatapan cueknya yang membuat Adskhan tertarik.
Sudah beberapa minggu nama itu menghilang dari pikirannya. Dan sekarang ketika nama itu kembali disebut, sosok itu kembali terbayang, entah bagaimana Adskhan bisa kembali menghirup wangi tubuh gadis itu dan tiba-tiba celananya terasa kembali menyempit. Satu kata, satu nama, satu bayangan, membuat pikirannya melanglang buana pada hal yang hanya ada dalam pikiran pria dewasa.
Bandung
Kediaman LeventPasangan lanjut usia itu menatap cucunya dengan tatapan memohon. “GrannydanBabamau kamu ikut. Tidak akan lama kok, hanya dua minggu. Setelah pernikahan bibimu selesai, kita beristirahat beberapa hari sebelum kemudian pulang ke Indonesia lagi.” Bujuk Sir Ahmed pada cucunya.Nyonya Helena turut mengangguk. “Lagipula ujian tengah semester masih lama."
Minggu pagi, Caliana mengantarkan ibunya menuju bandara. Tidak membuang banyak waktu karena setelah mengeluarkan kopernya dari dalam mobil, mereka langsung kembali pergi karena memang Nyonya Nurma sendiri yang memintanya.“Jadi, bagaimana dengan Syaquilla?” tanyanya saat mereka sudah keluar dari area parkir bandara.
Lima belas menit kemudian, dia sudah kembali ke mejanya dan mematikan komputernya.Suara langkah kaki terdengar dari balik punggungnya. Caliana menoleh dan melihat atasannya tengah tersenyum padanya. "Jadinya lembur juga?" Ledek wanita menjelang paruh baya itu.Caliana mengedikkan bahu. "Mau gimana lagi, Bu. Namanya juga bawahan, ya nurut aja daripada dipecat.” Jawabnya dengan asal.“Anak baik.” Jawab Bu Shelly seraya menepuk pundak Caliana. “S
Tempat makan itu, meskipun kaki lima tapi tampak luas dan sudah hampir penuh. Ada beberapa meja panjang yang berjejer rapi dengan deretan tempat sambal dan tempat minum. Carina dan Syaquilla berjalan menuju sudut yang masih kosong, sementara Caliana mengikuti di belakang mereka dan Adskhan di belakangnya.Mereka duduk berhadapan di sebuah meja panjang yang bisa diisi 5-6 orang perbangku nya. Caliana menyerahkan selembar kertas yang sudah dilaminating ke arah Adskhan. Kertas yang berisi menu beserta harga makanan disana. Ia mengerutkan keningnya, bingung dengan apa yang akan dipesannya sementara Carina dan Syaquilla sudah anteng dengan telunjuk mereka di atas kertas, merundingkan makanan yang hendak mereka makan.
Caliana berjalan masuk ke dalam gedung sambil memijat pelipisnya. Kepalanya berdenyut nyeri karena semalam ia tidak bisa tidur dengan cukup dan itu semua karena kedua remaja yang menginap di tempatnya terus menerus mengganggunya dan baru berhenti pada pukul sebelas malam saat mereka tertidur. Sementara setelahnya Caliana tidak bisa langsung beristirahat karena ia harus menyelesaikan laporannya. Alhasil baru pukul dua malam ia bisa naik ke atas tempat tidurnya dan itupun ia tidak tahu pukul berapa ia benar-benar terlelap dalam tidurnya. Sementara pukul lima pagi ia harus kembali bangun untuk menunaikan kewajibannya. Biasanya, jika begadang seperti itu Caliana bisa mencuri waktu satu sampai satu setengah jam untuk kembali tidur. Namun kali ini ia tidak bisa karena harus membuatkan sarapan bagi kedua remaja itu. Dan efeknya kini baru Caliana rasakan.
“Pertanyaan saya, kenapa saya?” Tanpa segan gadis itu mengajukan pertanyaan yang ada dalam kepalanya. Adskhan seketika turut mengerutkan dahi mendengar pertanyaan gadis itu, namun sebelum dia bertanya, Caliana kembali bersuara. “Bukannya saya tidak ingin membantu. Seperti yang saya katakan pada Anda sebelumnya. Saya tidak terlalu dekat dengan Syaquilla. Dan sejauh yang saya tahu, Anda memiliki keluarga yang lebih dekat dengan Syaquilla. Sir Lucas misalnya. Jadi kenapa Anda tidak meminta bantuan beliau?”Masuk akal. Pikir Adskhan. Seperti yang sudah Adskhan duga sebelumnya, Caliana memang berbeda daripada wanita kebanyakan. Jika wanita pada umumnya justru akan menjadikan ini semua kesempatan untuk mencari perhatian Adskhan, maka Caliana tidak. J
Mereka membereskan peralatan makan dan kembali ke dalam rumah. Hampir pukul delapan malam saat mereka meletakkan cucian ke dalam bak cuci piring. Tanpa diperintah Carina dan Syaquilla langsung mencuci piring kotornya. "Udah tinggalin aja, biar nanti Carina yang nyuci. Kasihan Papa kamu, bete.""Ih Itanmahkejam. Biarin dong Qilla bantuin Carin. Itu namanya tanggung jawab bersama." Ucapnya yang dijawab anggukan Syaquilla. "Itan yang harusnya sopan sama tamu. Kasih minum kek, bukannya malah ngusir." Gerutunya dengan suara keras yang pastinya didengar oleh Adskhan yang duduk di ruang keluarga yang memang tak bersekat itu. Caliana mengangkat sebelah alisnya memandang sang keponakan dengan tatapan mengejek, namun mengikuti saja instruksi Carina.
“Kenyang?” tanya Caliana dengan dahi berkerut.Adskhan dengan sengaja kembali menekankan bagian bawah tubuhnya sehingga Caliana terbelalak. “Kau tahu apa maksudku, kan?” Bisik Adskhan di telinga gadis itu sehingga mau tak mau membuat Caliana bergidik ngeri. Bibir pria itu menggodanya, mulai mengusap bagian sisi wajahnya sehingga tanpa sadar Caliana mendongak dan memberikan pria itu kesempatan untuk menjelajah ceruk lehernya yang ramping. “Bisakah aku meminta hak ku sekarang?” tanyanya dengan nada memohon.Caliana menggelengkan kepala. “Kenapa lagi sekarang?” tanya Adskhan dengan nada merengek.“Tubuhmu bau,” ucap Caliana seraya mengernyitkan hidungnya. “Pergi sana mandi.” Perintahnya seraya membalikkan tubuh Adskhan dan mendorongnya masuk ke dalam kamarnya hingga pria itu mencapai kamar mandinya.Adskhan ingin menolak, namu
Adskhan menghentikan mobilnya di luar rumah Caliana. Membuka gerbangnya dengan kunci cadangan yang sudah ia miliki sejak lama.Mobil Caliana belum beranjak dari tempatnya. Masih disana sejak kali terakhir Adskhan datang ke kediaman calon istrinya itu sebelum akhirnya keluarga Caliana melakukan pingitan pada mereka berdua.Entahlah, mungkin Caliana bisa mendengar kala pintu gerbang rumahnya dibuka atau tidak. Tapi yang jelas, istrinya itu sama sekali tidak menyambutnya karena kediaman Caliana terasa hening. Apa Gilang mengerjainya? Siapa yang tahu bahwa sebenarnya Caliana tidak benar-benar kembali ke rumahnya.Ia membuka pintu depan dan masuk dengan mengucapkan salam. Namun lagi-lagi, tidak ada yang menjawabnya. Saat Adskhan melihat pintu kamar Caliana sedikit terbuka, ia masuk ke dalamnya. Caliana tidak ada disana. Yang ada hanya koper kecil yang tadi Caliana bawa dari ruang ganti kamar hotel.&ldquo
Dengan cepat Anastasia berlari mengejar Adskhan. Wanita itu memanggil nama Adskhan berulang-ulang namun Adskhan memilih mengabaikannya. Hingga akhirnya stiletto Anastasia berhasil membawanya mendekati Adskhan. Wanita itu seketika mengulurkan tangannya dan meraih lengan Adskhan yang kemudian Adskhan tepis dengan kasar.“Adskhan, dengarkan aku. Kumohon. Aku benar-benar menyesal. Aku minta maaf.” Ucapnya dengan nada merengek. Wanita itu kembali mencoba meraih tangan Adskhan yang kemudian kembali Adskhan tepis sehingga membuat wanita itu kali ini terjatuh sampai bersimpuh di atas lantai marmer yang dingin. tak ingin kalah, Anastasia memeluk kaki Adskhan dengan kedua tangannya hingga Adskhan terpaksa menghentikan langkahnya. “Aku sungguh-sungguh minta maaf.” Ucapnya lagi dengan nada memelas. Memohon belas kasihan pria itu setelah akhirnya ia tersadar bahwa semua ucapan yang Adskhan katakan di dalam kamar tadi bukanlah perkataan main-main. “Aku.. aku&h
Ia tiba di sebuah hotel berbintang lima yang mewah yang masih berada di sekitaran Dago. Segera setelah memarkirkan mobilnya Adskhan langsung menuju ke kamar hotel yang disebutkan oleh Dilara saat ia menghubungi sepupunya itu tadi. Disana, didalam kamar mewah yang disewa mantan istrinya itu, ada ibu Adskhan, Nyonya Helena yang duduk berdampingan dengan suaminya, Sir Ahmed. Sementara Dilara, berdiri dengan pinggul bersandar pada kursi bar dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Jangan tanyakan dimana anak dan suaminya. Adskhan tebak bahwa iparnya itu sedang menunggu mereka di suatu tempat.Ketiga anggota keluarganya itu tampak menunjukkan ekspresi yang berbeda. Tentu dengan isi kepala yang berbeda pula yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sebenarnya ada di dalam kepala Adskhan sendiri.Sementara itu, di sisi lain ruangan. Tepat di atas sofa yang memunggungi jendela, tampak dua wanita duduk bersisian. Satu Anastasia, wanita yan
Kemeriahan yang berakhir dengan perasaan kacau balau itu akhirnya selesai. Caliana kembali ke ruang ganti dengan langkah cepat yang ia bisa. Gita yang mengikutinya hanya bisa melihat sahabatnya itu dengan tatapan tanya. Apa yang terjadi pada jam-jam terakhir pesta? Itulah pertanyaan yang ada di kepalanya namun tak berani gadis itu utarakan pada sahabatnya. Padahal sebelumnya Gita melihat Caliana begitu gembira dan selalu penuh senyum setiap bertemu tamunya. Apa yang membuat ekspresi itu hilang dalam sekejap?Caliana duduk di atas kursi dengan tatapan terarah pada cermin besar di hadapannya. Para MUA sudah mulai membantu untuk melepas riasan kepalanya sementara yang lain mulai membersihkan make-up yang menempel di wajahnya. Tak lama setelahnya, Adskhan masuk dengan tatapan terarah langsung pada Caliana.“Sayang.” Panggil pria itu dengan lirih.Caliana menoleh sejenak sebelum kemudian berkata dengan pelan. &ldq
Acara demi acara berlangsung sesuai dengan instruksi dari pembawa acara.Bahagia? Tentu saja Caliana bahagia. Terlebih melihat bagaimana tingkah konyol Gita yang bahkan tak segan untuk meramaikan acara bersama Gilang dan beberapa teman kantornya yang diundang dalam acara pernikahan yang sebetulnya membuat mereka sendiri heran. Pasalnya, keabsenan Caliana di kantor pun sudah cukup mengejutkna, sekarang mereka tiba-tiba dihadiahkan dengan kabar pernikahan yang tak pernah mereka lihat tanda-tanda hubungannya.“Gue udah curiga waktu si boss datang ke nikahan gue. Taunya emang ada keju dibalik bakso ya Na.” itulah bisikan Chandra saat temannya itu datang bersama istrinya. Caliana hanya bisa tersenyum menjawab kalimat bernada tuduhan itu.Tak sampai disana. Sahabat baiknya yang juga kini sudah sah menjadi iparnya, Gisna. Kini sedang berdiri di atas panggung bersama seorang penyanyi pria yang ternyata juga diundang
Waktu berlalu begitu saja. Disela waktunya mengurus café, Caliana disibukkan dengan persiapan pernikahannya yang bisa dikatakan teramat singkat. Jika normalnya semua urusan pernikahan menjadi urusan keluarga wanita. Berbeda dengan Caliana. Dia lebih banyak membicarakan urusan pernikahan dengan ibu dan tante Adskhan. Karena sampai saat ini, ibunya masih saja menjaga jarak dan bersikap dingin padanya.Sejak saat pertunangan mereka, Caliana juga tidak pernah kembali ke kediaman Rafka. Dia lebih memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri dan menghabiskan waktunya lebih banyak dengan Gilang, Carina dan juga Syaquilla yang belakangan lebih sering menginap di kediamannya. Sementara untuk penjembatan urusan pernikahan dilakukan oleh Gilang.Seperti saat ini. Saat Caliana, Adskhan, Carina dan Syaquilla baru saja selesai makan malam. Kakak kembarnya itu datang dengan sebuah buku catatan yang ia gulung dan ia masukkan kedalam saku celananya. Pria itu memberikan buku i
Acara selesai dengan cepat. Setelah penukaran cincin, sisanya dilakukan dengan berbasa-basi sampai semua tamu undangan bubar dan kembali ke kediaman masing-masing. Hanya tersisa keluarga inti di kediaman Caliana dan keluarga Adskhan juga semuanya sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Kini, Adskhan dan kedua kakak laki-laki Caliana sedang berbincang serius mengenai masalah bisnis. Sementara Gilang sudah kembali ke kediamannya karena nanti malam dia harus bekerja, dan ibunya? Wanita itu kini sedang merajuk dengan bersembunyi di kamarnya.Caliana bukannya ingin menjadi anak durhaka dan membiarkan ibunya marah terus menerus. Tapi dia hanya ingin memberikan dirinya dan juga ibunya waktu. Waktu bagi dirinya untuk merangkai kata demi meminta pengampunan ibunya. dan waktu bagi ibunya untuk tahu bahwa sudah waktunya dia membiarkan Caliana memilih pilihannya sendiri.Saat waktu hendak beranjak magrib, Adskhan memilih untuk mengundurkan diri. Tak ingin berdiam diri di ruma
Nyonya Nurma jelas memandang anak-anaknya dengan tatapan tajam. Semua orang berkonspirasi melawannya. Sekarang dia bisa apa? Bahkan si sulung yang biasanya menurut saja kini sudah mengikuti tingkah adik-adiknya.Matanya juga memandang para tamu undangan yang tampak memandang ke arah mereka. Meskipun tidak saling berbisik, jelas sekali tatapan mereka mengandung tanya. Dan Nyonya Nurma merasa dirinya sudah kalah. Telak!Sebuah senyum penuh kepura-puraan yang ditemani dengan antusiasme yang juga sama hanya sekedar sandiwara terpaksa ia tunjukan. Wanita itu mengulurkan tangannya pada pasangan tertua Levent dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke bagian dalam rumah dimana kursi-kursi yang tadinya disiapkan untuk calon menantu pilihannya dan calon besannya kini akan dikuasai oleh keluarga Levent.Sementara keluarga Adskhan yang dibimbing Rafka dan istrinya menuju kursi mereka. Nyonya Nurma menarik lengan Caliana dengan