Bandung
Hari Senin datang kembali. Namun entah kenapa, hari Senin ini tak seperti hari Senin biasanya yang diisi dengan wajah masam dan sedikit keluh kesah para karyawan karena merasa bosan dengan rutinitas. Senin kali ini tampak lebih ramai.
Caliana yang berjalan dari pintu depan sudah melihat betapa para OB dan OG tampak hilir mudik kesana kemari dengan alat pembersih di tangan. Dan tidak hanya itu, bahkan para satpam pun tampak membersihkan pos mereka.
Caliana mengabaikan mereka dan terus menuju ruangannya. Dan disana pun tak kalah ricuhnya. Ia meletakkan tasnya ke dalam bagian bawah meja kerjanya dan menatap Gita dengan bingung. “Ada apa ini?” bisiknya pada sahabatnya itu. Matanya memandang berkeliling kepada teman-temannya yang sedang sibuk mempercantik diri.
Gita balik memandang Caliana dengan tatapan “Loe gak tahu?” Gita balik bertanya. Caliana balik mengangkat sebelah alisnya memandang Gita. “Owner katanya mau berkunjung. Dan ini untuk pertama kalinya dia datang ke cabang kita, An. Biasanya kan Sir Lucas aja yang datang kesini.” Gita balas berbisik.
Caliana berjengit. “Trus kalo misalkan owner datang kesini, emang mesti ya serepot ini? Pas gue pergi ke pusat aja, orang pusat gak seheboh ini.” Jawaban Caliana malah mendapatkan pukulan di lengannya.
“Ya kalee, orang pusat udah biasa ketemu sama owner, kita mah kan baru kali ini, An. Loe sendiri, udah dua tahun kerja disini, loe pernah ketemu sama owner? Pernah dia berkunjung?” Caliana menggelengkan kepalanya pelan.
“Lagian ngapain juga gue mesti ketemu sama owner? Yang penting buat gue, gaji ngalir tiap bulan. Kenal sama owner juga belum tentu bikin gaji gue naik dua kali lipat.” Jawabnya acuh. Meskipun dalam hati Caliana membenarkan ucapan Gita. Selama dua tahun masa kerjanya, dia memang tidak pernah melihat pemilik perusahaan secara langsung. Yang mereka tahu dan kenali sampai sejauh ini hanyalah Sir Lucas. Dan lagipula, sejak kapan pemilik perusahaan harus terjun langsung menemui karyawan rendahan? Urusan mereka sudah diwakili oleh para pemegang jabatan tertinggi.
Caliana kembali memandang teman-temannya dan hanya bisa menggelengkan kepala. Mereka jelas tidak berusaha menutupi kesenangan mereka. Berbisik –bisik tentang bayangan mereka mengenai fisik sang owner dan bahkan sampai ke area pribadi tentang status owner yang saat ini lajang. Mereka benar-benar tampak sedang berusaha mencari perhatian. Tampaknya sindrom Cinderella kini tengah mewabah di Coskun Company. Tak ingin terkena virus itu, Caliana memilih beranjak berdiri. Mengambil gelas mug nya dan berjalan menuju pantry.
Iten, salah satu OB yang masuk di tahun yang sama dengannya tampak sedang membersihkan dapur. Pria yang masih berusia belasan tahun itu menyapanya dengan ramah. “Ngopi, Teh?” (Teh/Teteh adalah panggilan sopan orang Sunda pada wanita.) Caliana menjawab pertanyaan Iten dengan anggukan. Ia berjalan mengambil panci kecil dan mengisinya dengan sedikit air sebelum meletakkannya ke atas kompor gas dan menyalakannya. “Hari ini lebih ramai, ya?” ucap pemuda itu, mencoba membuka pembicaraan.
“Lebay.” Jawab Caliana seraya membuka bungkus kopi instannya.
“Kemarin pas ada pengumuman di grup, saya jadi panas dingin sendiri Teh.” Jawab pemuda itu lagi.
Caliana menuang air panas itu ke dalam mug nya dan mengaduknya. “Memangnya kalian disuruh standby jam berapa?”
“Jam 6 pagi, Teh. Bu Jojo sendiri yang ngasih kita instruksi. Katanya gak boleh ada debu nempel sedikitpun.” Ucap Iten seraya mencontoh gerakan Bu Jojo, kepala OG di kantor. Caliana mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum. “Emang beneran ya, pemilik perusahaan ini galaknya minta ampun?”
Caliana menatap Iten dari balik mug nya dan mengedikkan bahu. “Mana kutahu. Kenal juga enggak. Ketemu apalagi.” Jawabnya jujur. “Aku sama kayak kalian, tahunya sama Sir Lucas aja.”
Iten balik memandang Caliana dengan dahi berkerut. “Tapi kan Teteh mah sering anterin Bu Shelly ke kantor pusat?” tanyanya bingung. “Masa iya gak pernah ketemu?” tanyanya lagi masih dengan ekspresi dan nada tak percaya.
Caliana kembali mengangkat bahunya. “Aku ke pusat Cuma jadi supri alias supir pribadi karena Bu Shelly gak mau dianter sama supir cowok. Biar gak timbul fitnah katanya. Lagian, sejak kapan supir ikut ramat direksi?” jawab Caliana datar. “Kalo udah sampai pusat, kerjaan aku itu Cuma minum kopi sama makan, enak kan?”
“Udah ngegosipnya?” teguran itu berasal dari depan pintu. Baik Caliana maupun Iten dibuat terkejut karenanya. Keduanya bersamaan menoleh dan tersenyum malu. “Untung ya saya gak denger kamu jelek-jelekin saya. Kalo sebaliknya, saya potong gaji kamu.” Tegur Bu Shelly dengan nada galak namun dengan senyum di wajahnya. Mengejutkan sebenarnya bagi Iten, karena wanita di hadapannya ini sebenarnya terkenal galak dan jutek, namun tak tampak demikian di hadapan Caliana.
“Yah, Bu. Kalo gaji saya dipotong, saya gak bisa beli kuota buat nonton drama Korea dong.” Rengek Caliana.
“Loh, bukannya buat beli skincare?” tanya Bu Shelly dengan dahi berkerut.
Caliana tersenyum. “Gak butuh skincare Bu, saya udah cantik dari lahir.” Jawabnya seenaknya yang membuat Iten terkekeh. Bu Shelly hanya bisa menggelengkan kepala seraya berjalan masuk menuju pantry. “Emang hari ini ada acara apa Bu? Sampai owner katanya datang sendiri. Ada meeting penting ya?” Caliana memberanikan diri untuk bertanya.
Bu Shelly hanya menggelengkan kepala. Meraih mug yang ada di atas meja pantry dan memasukkan satu bungkus teh ke dalamnya sebelum menuang air panas dari dispenser ke dalamnya. “Saya juga kurang tahu. Itu urusan Kacab kita sama dua Sir Levent. Mungkin mereka mau langsung terjun ke lapangan buat nge cek proyekan. Biasanya juga kayak gitu kan?” Bu Shelly balik memandang Caliana setelah menuang gula putih ke dalam gelasnya dan kini tengah mengaduknya dengan santai. Aroma melati samar-samar tercium ke udara.
“Tapi kok, aura kali ini beda?” Caliana kembali bertanya. “Iten sendiri katanya disuruh buat beres-beres maksimal sama Bu Jody. Apa jangan-jangan bakal ada audit internal?”
Bu Shelly mengedikkan bahu seraya mencicipi teh manisnya. “Bisa jadi.” Jawabnya santai. “Tapi lagi, itu urusan yang diatas. Kita mah fokus aja sama kerjaan.” Matanya kemudian melirik Caliana dan sebelah alisnya terangkat. “Kamu gak make-up an?” tanyanya dengan tatapan meneliti.
“Yah, Ibu. Kan saya udah bilang, kalo saya udah cantik dari lahir. Jadi gak perlu di apa-apain.” Selorohnya. “Lagian emangnya harus ya?” tanyanya seraya memegang pipinya.
Bu Shelly terkekeh karena jawaban dan pertanyaan gadis itu. “Kali aja kamu juga mau daftarin diri.”
“Jadi?” tanya Caliana dengan dahi berkerut.
“Bos kita itu lajang loh, Na.” ucap Bu Shelly.
“Oh, jadi itu bener ya? Emang berapa sih umurnya? Masih muda?” tanyanya lagi.
“Umurnya udah gak muda. Dia itu duren. Duda keren, punya anak satu kalo gak salah.” Jawab Bu Shelly lagi. “Kali aja bener apa yang orang bilang kalo beliau kesini mau cari jodoh plus cari ibu buat anaknya.” Bu Shelly mengedipkan sebelah matanya pada Caliana. Caliana berjengit. Namun ia mengikuti saja ketika atasannya itu meninggalkan pantry.
“Segala sesuatunya itu sesuai sama hukum alam, Bu. Mana ada pangeran yang mau sama rakyat jelata. Cinderella aja anak saudagar, bukan anak pembantu.” Jawab Caliana datar. “Lagian emang bujangan diluar sana itu kurang?” lanjutnya lagi.
“Kali aja kamu suka sama yang udah berpengalaman.” Jawab Bu Shelly lagi.
“Mening sama-sama pemula deh bu. Biar sama-sama belajar.” Jawab Caliana lagi. Mereka berdua berjalan bersisian di lorong menuju ke ruangan mereka. Namun saat hendak berbelok, Bu Shelly mematung dan Caliana pun turut terdiam di sampingnya. Inilah yang menjadi pembicaraan mereka tadi. Di hadapan mereka, baru saja keluar dari lift, berjalan sekelompok orang dengan setelan jas yang rapi dan jelas tampak mahal.Namun diantara kelompok orang itu, yang bisa Caliana kenali hanya Sir Lucas dan juga kepala cabang mereka. Kedua pria itu berjalan mengapit sosok tinggi besar yang menjulang diantara keduanya. Caliana sejenak mengerutkan dahi, ia merasa mengenal wajah pria itu, tapi lupa dimana pernah melihatnya.
Lantas matanya terbelalak seketika saat ingatan di kantor pusat masuk kembali ke kepalanya. Saat itu, pria itu bersama seorang wanita berpakaian seksi. Dan Caliana menduga dia adalah rekanan perusahaannya. Bahkan untuk kedua kalinya bertemu di ruangan rapat kala itu, Caliana masih tidak memikirkan kemungkinan pria itu adalah pemilik kekuasaan tertinggi. Danternyata, ia kini dibuat terkejut karena pria itu adalah pemilik perusahaan itu sendiri. Ya Tuhan, Caliana telah bersikap tak sopan pada pemilik perusahaannya.
Caliana masih memandangi sosok pria tinggi besar berwajah dingin dengan alis melengkung tebal membingkai matanya yang tajam yang dihiasi bulu mata yang lentik. Hidungnya yang mancung lurus dan wajahnya yang berhias jambang dan kumis yang hampir menutupi bibirnya yang berwarna kemerahan.
Caliana hanya bisa terdiam, dahinya sejenak mengerut kala rombongan itu melewatinya dan atasan mereka melirik ke arahnya. Mata itu, entah kenapa Caliana merasa mengenalinya. Bukan dalam versi dingin dengan tatapan tajamnya, tapi versi yang lebih sendu dan ramah. Dan saat rombongan itu menghilang pada belokan selanjutnya, mata Caliana tiba-tiba terbelalak lebar.
‘Ya Tuhan!’ pikiran Caliana berteriak seketika. Kesadaran seolah meresap dalam kepalanya. Jika Sir Lucas merupakan sepupu dari sang Owner, dan sahabat keponakannya adalah keponakan pria itu. maka si owner itu sendiri bisa jadi adalah ayah dari sahabat keponakannya. Jadi, Syaquilla adalah anak pria itu? caliana kembali mengerutkan dahi.
Bu Shelly yang masih berdiri di sampingnya kini menyenggol lengan Caliana dengan sikunya. “Kenapa? kamu terpesona sama owner kita? Berubah pikiran tentang mau sama yang belum berpengalaman?” ejek Bu Shelly dengan senyum di wajahnya.
Caliana memandang Bu Shelly dengan alis yang masih menyatu, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Jelas yang ada di pikiran Caliana dan Bu Shelly jauh berbeda.
Caliana kembali berjalan ke kubikelnya sementara atasannya kembali ke ruangannya. Ia bahkan tidak menyadari kericuhan yang kembali terdengar saat rekan-rekannya saling berbisik membicarakan owner mereka yang baru saja lewat. Dan kericuhan itu baru terhenti saat sang owner kembali melewati ruangannya bersama rombongannya.
Menjelang makan siang, bisikan-bisikan yang tadi senyap saat semua orang sibuk bekerja kini terdengar kembali. Topik kali ini adalah ‘Dimana sang owner makan siang?’. Dan Caliana hanya bisa menggelengkan kepala atas obsesi rekan-rekannya itu. apa mereka hendak menjadi stalker yang akan mengikuti kemanapun atasan mereka pergi? lagi-lagi Caliana menggelengkan kepala.
Jam dua belas pun akhirnya datang. Caliana sedang merogoh dompet dari dalam tasnya saat telepon mejanya berbunyi. “Dari Bu Shelly.” Ucap Gita seraya menyerahkan telepon pada Caliana.
“Iya Bu?” tanya Caliana langsung.
“Bisa ke ruangan saya sebentar?” perintah halus Bu Shelly Caliana sanggupi. Ia meletakkan dompetnya ke dalam laci sebelum berjalan menuju ke ruangan atasannya itu.
“Ada masalah dalam proyek yang tadi dikunjungi para atasan.” Bu Shelly langsung bersuara. “Kecelakaan kerja, owner menjanjikan kompensasi. Tolong kamu cairkan cek ini setelah makan siang." Caliana meraih selembar kertas pipih di hadapannya dan mengangguk. "Dan sekalian beli kuitansi dan materai dalam perjalanan pulang."
"Berapa banyak bu?"
"Beli saja 30pcs, sisanya buat stock. Kamu mau diantar atau bagaimana?"
"Saya pergi sendiri saja, Bu." Shelly menjawab dengan anggukan.
"Telepon dulu pihak bank, supaya kamu tidak dipersulit." Caliana kembali mengangguk dan meninggalkan ruangan.
Ia melihat Gita masih duduk manis di kubikelnya. Ia kembali meletakkan buku catatannya. Memasukkan cek dengan hati-hati ke dalam dompetnya dan kemudian mengajak Gita keluar bersama.
Tempat pertama yang mereka tuju adalah mushola. Ya, bukan bersikap so' alim atau ingin dipuji. Tapi baik Caliana dan Gita, merupakan orang yang belajar untuk taat kepada Tuhan mereka. Meskipun penampilan keduanya belum tertutup hijab sebagaimana kewajiban seorang muslimah. Tapi setidaknya mereka tidak lupa akan kewajiban mereka untuk bertemu Tuhannya sehari lima waktu.
Mushola yang dibuat oleh Coskun Company memang tidak bisa dikatakan biasa. Bukan mushola sebenarnya, tapi lebih cocok disebut masjid. Beradadi lantai paling atas gedung dan bahkan memiliki tempat istirahat yang nyaman untuk mereka karena tersedia kursi dengan payung peneduh di depan terasnya. Mirip seperti rest area yang tempatnya ada di rooftoop gedung.
Daya tampung Masjid sendiri bisa sampai 200 orang. Dan itu memudahkan mereka jika para karyawan mereka ingin sholat berjamaah ataupun melaksanakan sholat jumat disana. Dan masjid itu terbuka untuk umum, karena di bagian samping gedung ada tangga yang memperbolehkan orang luar keluar masuk ke dalam masjid. Sementara khusus karyawan, pintu masuk keluarnya langsung dari bagian dalam gedung yang berkunci khusus sehingga tidak bisa membuat orang luar kantor masuk seenaknya.
Ketika Caliana dan Gita selesai sholat dan hendak turun lewat tangga luar, mereka dibuat terkejut dengan kehadiran dua petinggi perusahaan yang juga tampak baru saja selesai dengan kewajiban mereka.
"Ketemu disini kita." Lucas menyapa Caliana dengan ramahnya. Caliana hanya bisa menjawab sapaan itu dengan senyuman.
Kediaman LeventPasangan lanjut usia itu menatap cucunya dengan tatapan memohon. “GrannydanBabamau kamu ikut. Tidak akan lama kok, hanya dua minggu. Setelah pernikahan bibimu selesai, kita beristirahat beberapa hari sebelum kemudian pulang ke Indonesia lagi.” Bujuk Sir Ahmed pada cucunya.Nyonya Helena turut mengangguk. “Lagipula ujian tengah semester masih lama."
Minggu pagi, Caliana mengantarkan ibunya menuju bandara. Tidak membuang banyak waktu karena setelah mengeluarkan kopernya dari dalam mobil, mereka langsung kembali pergi karena memang Nyonya Nurma sendiri yang memintanya.“Jadi, bagaimana dengan Syaquilla?” tanyanya saat mereka sudah keluar dari area parkir bandara.
Lima belas menit kemudian, dia sudah kembali ke mejanya dan mematikan komputernya.Suara langkah kaki terdengar dari balik punggungnya. Caliana menoleh dan melihat atasannya tengah tersenyum padanya. "Jadinya lembur juga?" Ledek wanita menjelang paruh baya itu.Caliana mengedikkan bahu. "Mau gimana lagi, Bu. Namanya juga bawahan, ya nurut aja daripada dipecat.” Jawabnya dengan asal.“Anak baik.” Jawab Bu Shelly seraya menepuk pundak Caliana. “S
Tempat makan itu, meskipun kaki lima tapi tampak luas dan sudah hampir penuh. Ada beberapa meja panjang yang berjejer rapi dengan deretan tempat sambal dan tempat minum. Carina dan Syaquilla berjalan menuju sudut yang masih kosong, sementara Caliana mengikuti di belakang mereka dan Adskhan di belakangnya.Mereka duduk berhadapan di sebuah meja panjang yang bisa diisi 5-6 orang perbangku nya. Caliana menyerahkan selembar kertas yang sudah dilaminating ke arah Adskhan. Kertas yang berisi menu beserta harga makanan disana. Ia mengerutkan keningnya, bingung dengan apa yang akan dipesannya sementara Carina dan Syaquilla sudah anteng dengan telunjuk mereka di atas kertas, merundingkan makanan yang hendak mereka makan.
Caliana berjalan masuk ke dalam gedung sambil memijat pelipisnya. Kepalanya berdenyut nyeri karena semalam ia tidak bisa tidur dengan cukup dan itu semua karena kedua remaja yang menginap di tempatnya terus menerus mengganggunya dan baru berhenti pada pukul sebelas malam saat mereka tertidur. Sementara setelahnya Caliana tidak bisa langsung beristirahat karena ia harus menyelesaikan laporannya. Alhasil baru pukul dua malam ia bisa naik ke atas tempat tidurnya dan itupun ia tidak tahu pukul berapa ia benar-benar terlelap dalam tidurnya. Sementara pukul lima pagi ia harus kembali bangun untuk menunaikan kewajibannya. Biasanya, jika begadang seperti itu Caliana bisa mencuri waktu satu sampai satu setengah jam untuk kembali tidur. Namun kali ini ia tidak bisa karena harus membuatkan sarapan bagi kedua remaja itu. Dan efeknya kini baru Caliana rasakan.
“Pertanyaan saya, kenapa saya?” Tanpa segan gadis itu mengajukan pertanyaan yang ada dalam kepalanya. Adskhan seketika turut mengerutkan dahi mendengar pertanyaan gadis itu, namun sebelum dia bertanya, Caliana kembali bersuara. “Bukannya saya tidak ingin membantu. Seperti yang saya katakan pada Anda sebelumnya. Saya tidak terlalu dekat dengan Syaquilla. Dan sejauh yang saya tahu, Anda memiliki keluarga yang lebih dekat dengan Syaquilla. Sir Lucas misalnya. Jadi kenapa Anda tidak meminta bantuan beliau?”Masuk akal. Pikir Adskhan. Seperti yang sudah Adskhan duga sebelumnya, Caliana memang berbeda daripada wanita kebanyakan. Jika wanita pada umumnya justru akan menjadikan ini semua kesempatan untuk mencari perhatian Adskhan, maka Caliana tidak. J
Mereka membereskan peralatan makan dan kembali ke dalam rumah. Hampir pukul delapan malam saat mereka meletakkan cucian ke dalam bak cuci piring. Tanpa diperintah Carina dan Syaquilla langsung mencuci piring kotornya. "Udah tinggalin aja, biar nanti Carina yang nyuci. Kasihan Papa kamu, bete.""Ih Itanmahkejam. Biarin dong Qilla bantuin Carin. Itu namanya tanggung jawab bersama." Ucapnya yang dijawab anggukan Syaquilla. "Itan yang harusnya sopan sama tamu. Kasih minum kek, bukannya malah ngusir." Gerutunya dengan suara keras yang pastinya didengar oleh Adskhan yang duduk di ruang keluarga yang memang tak bersekat itu. Caliana mengangkat sebelah alisnya memandang sang keponakan dengan tatapan mengejek, namun mengikuti saja instruksi Carina.
Jum'at siang, di Coskun Company memang memiliki waktu istirahat paling lama. Pukul sebelas sampai pukul dua siang karena Coskun Company memberi waktu bagi para pria muslim untuk melaksanakan ibadah Jum'at mereka.Dalam jeda tiga jam itu biasanya Caliana memilih pulang ke rumah untuk masak makan siangnya, atau jika malas dia lebih memilih tidur siang. Tapi kali ini, Carina—yang memang masih tinggal di rumahnya karena nenek dan ayah ibunya belum kembali—akan menjemputnya di kantor."Makan siang diluar yuk, Itan." Bujuknya di telepon dengan manja. "Kan istirahatnya juga lama."
“Kenyang?” tanya Caliana dengan dahi berkerut.Adskhan dengan sengaja kembali menekankan bagian bawah tubuhnya sehingga Caliana terbelalak. “Kau tahu apa maksudku, kan?” Bisik Adskhan di telinga gadis itu sehingga mau tak mau membuat Caliana bergidik ngeri. Bibir pria itu menggodanya, mulai mengusap bagian sisi wajahnya sehingga tanpa sadar Caliana mendongak dan memberikan pria itu kesempatan untuk menjelajah ceruk lehernya yang ramping. “Bisakah aku meminta hak ku sekarang?” tanyanya dengan nada memohon.Caliana menggelengkan kepala. “Kenapa lagi sekarang?” tanya Adskhan dengan nada merengek.“Tubuhmu bau,” ucap Caliana seraya mengernyitkan hidungnya. “Pergi sana mandi.” Perintahnya seraya membalikkan tubuh Adskhan dan mendorongnya masuk ke dalam kamarnya hingga pria itu mencapai kamar mandinya.Adskhan ingin menolak, namu
Adskhan menghentikan mobilnya di luar rumah Caliana. Membuka gerbangnya dengan kunci cadangan yang sudah ia miliki sejak lama.Mobil Caliana belum beranjak dari tempatnya. Masih disana sejak kali terakhir Adskhan datang ke kediaman calon istrinya itu sebelum akhirnya keluarga Caliana melakukan pingitan pada mereka berdua.Entahlah, mungkin Caliana bisa mendengar kala pintu gerbang rumahnya dibuka atau tidak. Tapi yang jelas, istrinya itu sama sekali tidak menyambutnya karena kediaman Caliana terasa hening. Apa Gilang mengerjainya? Siapa yang tahu bahwa sebenarnya Caliana tidak benar-benar kembali ke rumahnya.Ia membuka pintu depan dan masuk dengan mengucapkan salam. Namun lagi-lagi, tidak ada yang menjawabnya. Saat Adskhan melihat pintu kamar Caliana sedikit terbuka, ia masuk ke dalamnya. Caliana tidak ada disana. Yang ada hanya koper kecil yang tadi Caliana bawa dari ruang ganti kamar hotel.&ldquo
Dengan cepat Anastasia berlari mengejar Adskhan. Wanita itu memanggil nama Adskhan berulang-ulang namun Adskhan memilih mengabaikannya. Hingga akhirnya stiletto Anastasia berhasil membawanya mendekati Adskhan. Wanita itu seketika mengulurkan tangannya dan meraih lengan Adskhan yang kemudian Adskhan tepis dengan kasar.“Adskhan, dengarkan aku. Kumohon. Aku benar-benar menyesal. Aku minta maaf.” Ucapnya dengan nada merengek. Wanita itu kembali mencoba meraih tangan Adskhan yang kemudian kembali Adskhan tepis sehingga membuat wanita itu kali ini terjatuh sampai bersimpuh di atas lantai marmer yang dingin. tak ingin kalah, Anastasia memeluk kaki Adskhan dengan kedua tangannya hingga Adskhan terpaksa menghentikan langkahnya. “Aku sungguh-sungguh minta maaf.” Ucapnya lagi dengan nada memelas. Memohon belas kasihan pria itu setelah akhirnya ia tersadar bahwa semua ucapan yang Adskhan katakan di dalam kamar tadi bukanlah perkataan main-main. “Aku.. aku&h
Ia tiba di sebuah hotel berbintang lima yang mewah yang masih berada di sekitaran Dago. Segera setelah memarkirkan mobilnya Adskhan langsung menuju ke kamar hotel yang disebutkan oleh Dilara saat ia menghubungi sepupunya itu tadi. Disana, didalam kamar mewah yang disewa mantan istrinya itu, ada ibu Adskhan, Nyonya Helena yang duduk berdampingan dengan suaminya, Sir Ahmed. Sementara Dilara, berdiri dengan pinggul bersandar pada kursi bar dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Jangan tanyakan dimana anak dan suaminya. Adskhan tebak bahwa iparnya itu sedang menunggu mereka di suatu tempat.Ketiga anggota keluarganya itu tampak menunjukkan ekspresi yang berbeda. Tentu dengan isi kepala yang berbeda pula yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sebenarnya ada di dalam kepala Adskhan sendiri.Sementara itu, di sisi lain ruangan. Tepat di atas sofa yang memunggungi jendela, tampak dua wanita duduk bersisian. Satu Anastasia, wanita yan
Kemeriahan yang berakhir dengan perasaan kacau balau itu akhirnya selesai. Caliana kembali ke ruang ganti dengan langkah cepat yang ia bisa. Gita yang mengikutinya hanya bisa melihat sahabatnya itu dengan tatapan tanya. Apa yang terjadi pada jam-jam terakhir pesta? Itulah pertanyaan yang ada di kepalanya namun tak berani gadis itu utarakan pada sahabatnya. Padahal sebelumnya Gita melihat Caliana begitu gembira dan selalu penuh senyum setiap bertemu tamunya. Apa yang membuat ekspresi itu hilang dalam sekejap?Caliana duduk di atas kursi dengan tatapan terarah pada cermin besar di hadapannya. Para MUA sudah mulai membantu untuk melepas riasan kepalanya sementara yang lain mulai membersihkan make-up yang menempel di wajahnya. Tak lama setelahnya, Adskhan masuk dengan tatapan terarah langsung pada Caliana.“Sayang.” Panggil pria itu dengan lirih.Caliana menoleh sejenak sebelum kemudian berkata dengan pelan. &ldq
Acara demi acara berlangsung sesuai dengan instruksi dari pembawa acara.Bahagia? Tentu saja Caliana bahagia. Terlebih melihat bagaimana tingkah konyol Gita yang bahkan tak segan untuk meramaikan acara bersama Gilang dan beberapa teman kantornya yang diundang dalam acara pernikahan yang sebetulnya membuat mereka sendiri heran. Pasalnya, keabsenan Caliana di kantor pun sudah cukup mengejutkna, sekarang mereka tiba-tiba dihadiahkan dengan kabar pernikahan yang tak pernah mereka lihat tanda-tanda hubungannya.“Gue udah curiga waktu si boss datang ke nikahan gue. Taunya emang ada keju dibalik bakso ya Na.” itulah bisikan Chandra saat temannya itu datang bersama istrinya. Caliana hanya bisa tersenyum menjawab kalimat bernada tuduhan itu.Tak sampai disana. Sahabat baiknya yang juga kini sudah sah menjadi iparnya, Gisna. Kini sedang berdiri di atas panggung bersama seorang penyanyi pria yang ternyata juga diundang
Waktu berlalu begitu saja. Disela waktunya mengurus café, Caliana disibukkan dengan persiapan pernikahannya yang bisa dikatakan teramat singkat. Jika normalnya semua urusan pernikahan menjadi urusan keluarga wanita. Berbeda dengan Caliana. Dia lebih banyak membicarakan urusan pernikahan dengan ibu dan tante Adskhan. Karena sampai saat ini, ibunya masih saja menjaga jarak dan bersikap dingin padanya.Sejak saat pertunangan mereka, Caliana juga tidak pernah kembali ke kediaman Rafka. Dia lebih memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri dan menghabiskan waktunya lebih banyak dengan Gilang, Carina dan juga Syaquilla yang belakangan lebih sering menginap di kediamannya. Sementara untuk penjembatan urusan pernikahan dilakukan oleh Gilang.Seperti saat ini. Saat Caliana, Adskhan, Carina dan Syaquilla baru saja selesai makan malam. Kakak kembarnya itu datang dengan sebuah buku catatan yang ia gulung dan ia masukkan kedalam saku celananya. Pria itu memberikan buku i
Acara selesai dengan cepat. Setelah penukaran cincin, sisanya dilakukan dengan berbasa-basi sampai semua tamu undangan bubar dan kembali ke kediaman masing-masing. Hanya tersisa keluarga inti di kediaman Caliana dan keluarga Adskhan juga semuanya sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Kini, Adskhan dan kedua kakak laki-laki Caliana sedang berbincang serius mengenai masalah bisnis. Sementara Gilang sudah kembali ke kediamannya karena nanti malam dia harus bekerja, dan ibunya? Wanita itu kini sedang merajuk dengan bersembunyi di kamarnya.Caliana bukannya ingin menjadi anak durhaka dan membiarkan ibunya marah terus menerus. Tapi dia hanya ingin memberikan dirinya dan juga ibunya waktu. Waktu bagi dirinya untuk merangkai kata demi meminta pengampunan ibunya. dan waktu bagi ibunya untuk tahu bahwa sudah waktunya dia membiarkan Caliana memilih pilihannya sendiri.Saat waktu hendak beranjak magrib, Adskhan memilih untuk mengundurkan diri. Tak ingin berdiam diri di ruma
Nyonya Nurma jelas memandang anak-anaknya dengan tatapan tajam. Semua orang berkonspirasi melawannya. Sekarang dia bisa apa? Bahkan si sulung yang biasanya menurut saja kini sudah mengikuti tingkah adik-adiknya.Matanya juga memandang para tamu undangan yang tampak memandang ke arah mereka. Meskipun tidak saling berbisik, jelas sekali tatapan mereka mengandung tanya. Dan Nyonya Nurma merasa dirinya sudah kalah. Telak!Sebuah senyum penuh kepura-puraan yang ditemani dengan antusiasme yang juga sama hanya sekedar sandiwara terpaksa ia tunjukan. Wanita itu mengulurkan tangannya pada pasangan tertua Levent dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke bagian dalam rumah dimana kursi-kursi yang tadinya disiapkan untuk calon menantu pilihannya dan calon besannya kini akan dikuasai oleh keluarga Levent.Sementara keluarga Adskhan yang dibimbing Rafka dan istrinya menuju kursi mereka. Nyonya Nurma menarik lengan Caliana dengan