Ketika sore hari menjelang. Hujan lebat mengguyur kota Jakarta dengan derasnya. Membuat seorang gadis dengan kepayahan memarkirkan motornya di salah satu halte bus agar tubuhnya bisa berteduh. Dia lupa membawa jas hujan di motornya sehingga membuat dia terpaksa basah-basahan. Meski sudah menepi tetap saja gamis yang dikenakannya terkena cipratan air hujan.
Apalagi di halte bus itu dia mendapatkan tempat berteduh yang paling ujung. Berkali-kali badannya tersenggol orang lain yang sedang berdesakan dengan niat yang sama. Melindungi tubuh mereka agar tak kebasahan.Setengah jam sudah hujan belum juga reda. Membuat Indira merasa kedinginan. Apalagi gamis yang dipakainya kini sudah hampir setengahnya basah. Mau meneruskan pulang pun tak mungkin karena dia memang tak bisa sama sekali terkena hujan. Tubuhnya akan langsung sakit jika memaksakan diri.Sedangkan orang lain yang tadi ikut berdesakkan bersamanya sudah sedikit demi sedikit berkurang. Mereka ada yang memilih naik bus, angkot, bahkan menerjang hujan. Sudah pukul lima sore satu jam dari terakhir dia pulang. Membuat Indira sedikit gelisah karena takut orang tuanya cemas.Tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti. Kacanya terbuka menampakkan laki-laki tampan yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan. Kini mobilnya ada di hadapan gadis itu.“Masuk, Ra!” perintah laki-laki itu.Indira mendongak netranya tertuju pada seorang pria di dalamnya. ‘Kenapa kami selalu bertemu? Sekuat tenaga aku menghindar kenapa dia selalu ada saat aku dalam kesulitan?’ batin gadis itu.“Ya ...?” Dia masih tak mengerti apa yang diucapkan pria itu.“Masuk. Hujannya sangat lebat. Biar kuantar kamu pulang!” teriak lelaki itu. Hujan sangat lebat sehingga membuat suaranya tak bisa terdengar kalau dengan nada biasa.“Enggak usah, Mas. Biar nunggu hujan reda saja. Lagi pula motorku nanti siapa yang bawa,” tolak Indira.“Jangan keras kepala, Ra. Hujannya sangat lebat. Saya enggak tahu kapan ini akan berhenti. Nanti kamu enggak bakal bisa pulang. Apalagi orang tuamu pasti menunggu dengan cemas.”“Tapi ....”Benar juga yang dikatakannya. Indira memang sejak tadi gelisah takut orang tuanya mengkhawatirkannya. Dengan terpaksa dia menuruti apa yang diperintahkan pria itu. Masuk ke dalam mobil di sebelah kemudi.“Tapi ... motor saya bagaimana, Mas?” tanyanya lirih.“Biar nanti saya suruh orang untuk mengambilnya. Yang penting kamu aman. Kamu itu bagaimana. Kautahu, kan, kalau kamu tak bisa kehujanan dan kedinginan. Apalagi tubuhmu alergi dingin.”Indira terkejut dengan ucapan Aryo. Bagaimana mungkin dia tahu kalau dirinya punya riwayat alergi dingin? Alis gadis itu bertaut.“Mas Aryo tahu dari mana saya alergi dingin?” cecarnya. Indira yakin ada sesuatu yang dirahasiakan Aryo.“Hmm ... i-itu. Saya hanya menebak saja. Tadi saya melihatmu menggigil kedinginan. Nanti kamu malah sakit,” kilah Aryo.Secepat mungkin dia menutupi segala kegugupan di wajahnya. Mengingat gadis di sebelahnya yang terlihat pucat karena menahan dingin. Aryo berinisiatif memberikan jasnya untuk gadis itu.“Ini, pakailah biar kamu tak kedinginan.”Lagi-lagi Indira heran dengan sikap Aryo. Namun, karena memang dia sedang membutuhkan sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya. Gadis itu menerima dan memakainya, membuat pria di sebelahnya mengulaskan senyum.Selama perjalanan tak ada percakapan di antara mereka. Sama-sama canggung serta gugup yang dirasa. Indira hanya memandang hujan dari kaca jendela di sebelahnya. Sedangkan Aryo fokus menyetir. Meski ada sesuatu yang aneh yang mereka rasakan ketika sama-sama berada dalam mobil yang sama.Setelah sampai di halaman rumah Indira Aryo memarkirkan.“Makasih, Mas sudah memberikan tumpangan untuk saya.”Aryo mengangguk lalu gadis itu turun. Saat sudah menutup pintu mobil Aryo melihat gadis itu pingsan di sebelah mobilnya. Seketika itu pula pria itu keluar dari mobil serta berlari melihat Indira.Matanya terbelalak ketika melihat gadis itu sudah tak sadarkan diri. Dia memangku tubuh gadis itu ala bridal style. Selanjutnya membawanya ke rumah Indira. Mengetuk pintu agar ada yang membukanya. Ibu gadis itu terkejut ketika melihat putrinya pulang dalam keadaan tak sadar.Sedang di sudut ruang tamu sana. Ada seseorang yang lebih terkejut dari semuanya. Aryo memaku tak bergerak ketika dia secara tak sengaja melihat orang itu.Siapakah orang yang dimaksud?Wulan berusaha tersenyum dan berpikir positif ketika melihat suaminya menggendong Indira. Entah apa yang dirasakan oleh wanita itu. Yuri yang ada di sebelah Wulan ikut tercengang. Bagaimana mungkin kakaknya pulang dengan seorang wanita? Dan tunggu! ‘Bukankah wanita itu Mbak Ira? Jadi, dugaanku benar? Mas Aryo berselingkuh dengannya? Mungkinkah cinta bersemi kembali saat Mbak Ira kembali?’ batin Yuri.Aryo membawa tubuh Indira ke kamar ditemani ibunya. Meski dalam hatinya berkecamuk rasa tak nyaman serta gelisah takut istrinya salah paham. Dia tak mungkin mengabaikan Indira yang sedang pingsan. Dia tahu bagaimana kalau gadis itu selalu drop jika tubuhnya kedinginan.Setelah merebahkan tubuh gadis itu di kasur. Aryo berpamitan keluar.“Tadi, kulihat dia sedang menunggu di halte bis dengan keadaan setengah basah dan kedinginan. Jadi, kuajak kami pulang bersama. Motornya nanti akan diantarkan oleh orang suruhanku,” jelas Aryo saat melihat Ibu Indira memandangnya dengan segala pertanyaan
Malam ini entah kenapa Aryo merasa gelisah tak jelas. Teringat akan kesehatan Indira yang berada di rumahnya. ‘Semoga dia baik-baik saja,’ batinnya. Saat makan malam bersama pun tak biasanya dia menikmati hidangan tanpa berselera. Sejak masuk kamar mandi tadi dia merasakan sesuatu yang tak tenang. Apalagi merasa kesal dengan permintaan Wulan yang tak hentinya menyuruh dia menikahi Indira. Sebagai seseorang yang pernah mencintai gadis itu, ada sisi hati Aryo merasa senang luar biasa kala Wulan memintanya menikahi gadis itu. Namun, segera dia tepis. Aryo memang teguh dalam berpendirian, dia laki-laki yang memiliki prinsip untuk setia pada satu wanita. Itulah kenapa saat Indira menghilang tanpa jejak dahulu. Aryo sama sekali tak melirik wanita mana pun. Sampai dia dijodohkan dan berusaha menerima Wulan sebagai istrinya. Untunglah, cinta Aryo untuk wanita itu tak harus menunggu lama untuk berkembang. Sehingga membuat Wulan merasakan keberuntungan luar biasa. Sebelum, rahasia itu terkua
Sudah dua hari Indira di rawat. Sejak saat itu Wulan setiap hari datang menjenguk. Sengaja membawakan makanan untuk orang tua Indira yang menunggu di Rumah Sakit. Keinginan Wulan agar mereka tak perlu membeli makanan apa pun selama menunggu Indira. Wanita itu akan mengirimkan hasil masakannya ke sana. Untuk pagi hari diantar Aryo, sedangkan siang dia yang pergi sendiri.Awalnya keluarga Indira keberatan. Bagaimanapun tak enak jika terus-menerus merepotkan orang lain. Sekalipun Aryo calon suami anaknya dan Wulan pun calon kakak madu Indira. Namun, itu tak membuat mereka menghilangkan rasa segan di hati.Untuk perasaan Aryo kepada Indira. Setelah merenungkan semuanya, dia setiap malam salat istikharah. Meminta jawaban dari segala kebimbangan yang menghantuinya. Aryo memutuskan akan menerima keinginan istrinya untuk menikahi Indira, kalau gadis itu menyetujui dan mengatakannya langsung di hadapan pria itu. Saat Wulan mendengar ucapan sang suami. Rasanya seperti campur aduk, ada bahagia
“Tidak! Aku enggak setuju Mas Aryo menikah lagi!”Semua orang menoleh ke asal suara. Aryo dan Wulan terkejut dengan kedatangan Yuri adik mereka.“Mas ... kenapa sih kalian memutuskan hal ini dengan tergesa-gesa? Dan untuk Mbak Wulan. Apa Mbak enggak takut kalau dengan menyuruh Mas Aryo menikah lagi akan membuat Mbak kehilangannya?”Wulan beranjak dari tempat duduk. Dia menghampiri Yuri. Mengajaknya untuk berbicara di luar dari hati ke hati.“Ri, sebaiknya kita mengobrol di luar, yuk. Mbak akan jelaskan semuanya. Apa yang membuat Mbak menyuruh Mas-mu menikah lagi,” bujuknya dengan berbisik. Dia merasa mungkin sudah saatnya memberitahukan rahasia yang dia pendam kepada adik iparnya. Wulan tak ingin acara pernikahan Indira dan suaminya akan batal. Takut kalau gadis itu akan berubah pikiran.Sedangkan Aryo yang sedari tadi hanya duduk di sofa. Mendengar istrinya berbisik kepada sang adik. Dia penasaran apa sebenarnya yang akan mereka bicarakan. Aryo merasa ada sesuatu yang disembunyikan W
Sampai tengah malam begini Aryo tak kunjung pulang ke rumah. Membuat Wulan khawatir dan sejak tadi hanya mondar-mandir di dalam kamar. Menunggu suaminya kembali. Berkali-kali dia mencoba menghubungi Aryo, tetapi nihil nomor ponsel suaminya tak aktif. Ketika sudah aktif pun malah tak diangkat.Wulan gelisah campur khawatir, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Aryo di luar sana. Kenapa ponselnya sulit sekali dihubungi. Tiba-tiba air mata Wulan mengalir tidak sopan di pipi mulusnya. Tak pernah sekalipun Aryo bertindak seperti ini kepadanya, bahkan selama bertahun-tahun pernikahan mereka.Tiba-tiba terbersit di benak, apakah suaminya itu mendengar obrolan dia dengan Yuri? Salahnya! Dia tak jujur sejak awal kepada sang suami. Namun, dia juga terpaksa melakukan itu semua. Wulan takut Aryo akan membenci sekaligus meninggalkan dia kalau tahu apa yang telah dilakukan kakak dan ayah mertuanya dahulu kepada Indira. Gadis yang paling dicintai Aryo, suaminya.Wulan terkulai lemas kala semua yan
Sesuai rencana, keesokan harinya Indira pulang dari rumah sakit. Wulan menjemput gadis itu ditemani Aryo di sisinya. Kentara sekali kalau sang suami masih marah pada istrinya itu. Apalagi setiap perhatian yang dia tunjukkan untuk Indira membuat sesuatu di hati Wulan meronta-ronta. Ternyata dia tak sekuat apa yang selalu diucapkannya. Ada rasa perih yang menyiksa kala dengan mata kepala sendiri Wulan melihat suaminya memberi perhatian pada Indira. Membuat gadis itu merasa canggung serta sungkan. Apa lagi dia tak enak kalau Wulan melihatnya. Indira tahu istri Aryo tersebut sedang menahan cemburu, dia tersenyum masam dan memandang ke arah lain kala Aryo membukakan pintu belakang mobil untuknya.“Terima kasih, Mas,” gumam Indira dengan senyum kaku.Aryo hendak membuka pintu mobil di samping kemudi untuk Wulan, tetapi Istrinya itu telah lebih dulu masuk sebelum Aryo membukanya. Di dalam sana Indira dapat melihat ada yang tak beres di antara keduanya. Ada rasa tak nyaman menyusup hatinya k
“Papa senang rumah tanggamu dan Aryo menantu Papa baik-baik saja setelah yang kakakmu lakukan,” ucap Papa Wulan. Dia belum tahu rencana pernikahan kedua Aryo dengan gadis masa lalunya.Aryo menoleh ke arah sang mertua. Apa yang didengarnya? Jadi, orang tua Indira sudah tahu apa yang dilakukan Rama, putra tertuanya? Berarti selama ini dia seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa. Bahkan, istri yang dia percaya sekali pun membohonginya.Wajah Aryo memerah, giginya gemeretak, rahangnya mengeras serta tangannya mengepal.“Maaf, semuanya. Aku duluan ke kamar. Badanku serasa tak enak. Jadi, tak bisa menemani Papa dan Mama di sini,” gumam Aryo. Dia sebisa mungkin mengatur emosinya agar tak meledak di hadapan sang mertua. Dia masih menghormati orang tua istrinya itu.“Permisi.” Mengalihkan Ria yang ada di pangkuannya kepada Wulan. Dengan tergesa dia masuk ke dalam kamar membuat orang tua Wulan melongo tak mengerti apa yang sudah terjadi. Tak biasanya menantu kesayangannya itu bersikap dingi
“Ma, Pa. Ada sesuatu yang akan aku sampaikan kepada kalian. Aku dan Mas Aryo sudah memutuskan, kalau suamiku akan menikah lagi.” “Apa?!” Orang tua Wulan terkejut mendengar ucapan putrinya.“Jangan bercanda kalian.” Mama Wulan membulatkan mata, tak percaya dengan pernyataan putrinya.“Aku serius, Ma.”“Tapi kenapa? Tunggu! Apa ... kamu berselingkuh di luar sana? Kamu mengkhianati putri kami?” tudingnya kepada Aryo. Ada kilat kemarahan di mata orang tua Wulan. Sedang Aryo hanya diam menunggu penjelasan istrinya.“Tidak, Ma. Mas Aryo sama sekali enggak selingkuh. Dia suami yang baik dan setia. Wulan yang sudah menyuruhnya menikah lagi.” Wanita tersebut mencoba menjelaskan kepada orang tuanya. Berharap mereka akan mendukung keputusan dia dan sang suami.“Jangan gil* kamu, Lan. Bagaimana mungkin kamu menyuruh suamimu menikah lagi. Siapa wanita itu? Biar Mama labrak. Beraninya dia mengganggu rumah tangga kalian. Apalagi sudah mempengaruhi kamu, Lan,” geram Bu Rina. Dia orang yang pertama t
Akan tetapi, wanita itu berhenti sejenak di depan pintu. Sorot matanya menangkap sosok tampan di dalam sana yang tengah mengusap perut Indira. Ia berniat kembali berbalik arah, tetapi Indira melihat Wulan yang bergegas langsung memanggilnya.Wulan menoleh dan tersenyum menatap adik madu dan sang suami. Sebenarnya, ia pergi bukan karena cemburu, tetapi lebih karena tidak enak hati telah mengganggu kebersamaan Aryo dan Indira. Wulan memasuki kamar adik madunya. Aryo segera berdiri menghampiri Wulan dan merangkulnya. “Mbak cuma mau nyuruh kamu turun. Kita makan bersama. Hidangannya sudah siap ,” ujar Wulan.“Mbak masak sendiri?”“Iya spesial buat kamu, Ra. Mbak masak ayam bakar.”“lho, kok repot-repot sih, Mbak. Padahal Mbak Wulan sendiri pasti capek ngurus Salma dan anak-anak, kan?” ujar Indira memandang heran wajah kakak madunya yang seperti tak pernah merasa capek.“Wulan memang begitu, Ra. Dia wanita hebat yang seperti tak pernah kenal lelah dalam hidupnya,” timpal Aryo dan mendap
Mereka jalan bersama sekedar melihat wahana yang ada. Siang ini udara begitu panas sehingga membuat para pengunjung kegerahan. Begitu pun dengan Indira, seketika tubuh Indira lemas dan matanya sedikit berkunang. Penglihatannya mulai redup seakan hari akan menjelang malam. Indira tak sadarkan diri. Untung saja, Salma sedang Wulan susui pun tangan Aryo sigap tubuh sang istri dan bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat. Satu keluarga itu panik bukan main melihat Indira tak sadarkan diri. Apalagi, Aryo, kentara sekali kekhawatiran di wajah pria itu.Setelah sampai, Indira segera ditangani oleh dokter.Selang beberapa saat, dokter yang memeriksa Indira keluar dengan wajah senyum merekah. Aryo bergegas menghampirinya. “Ada apa dengan istri saya, dok? Kenapa dia bisa pingsan gini. Apa istri saya sedang sakit, dok?” cecar Aryo. Wulan mengelus punggung sang suami agar tetap bersabar.Bibir dokter itu tersenyum lebar. Lalu mengulurkan tangan pada Aryo dan mengucapkan selamat. Membuat keb
Sudah beberapa hari ia tinggal di rumah baru, membuat Indira sedikit kesepian. Pasalnya, ia merasa masih asing di tempat ini. Apalagi, seminggu ini Aryo tak bisa berkunjung seperti biasanya. Ia harus rela jatahnya bersama sang suami kini terganggu gara-gara kondisi kehamilan Wulan yang membuat semua orang khawatir.Bagaimana tidak, selama tujuh hari ini, badan Wulan lemas dan muntah-muntah. Bahkan, setiap ia memakan nasi atau pun bubur pasti selalu tak masuk. Terkadang Wulan hanya mau makan roti dan pisang saja. Untunglah, kedua makanan itu pun termasuk ke dalam sumber karbohidrat. Jadi, menurut dokter itu tak begitu membuat khawatir. Namun, tetap saja ia tak bisa meninggalkan sang istri begitu saja. Meski, ia merasa bersalah telah abai terhadap istri yang lain.“Maaf, Ra. Mas benar-benar tak enak sama kamu. Maaf juga kalau Mas sudah abai sebagai seorang suami,” ujar Aryo ketika ia menyempatkan diri untuk mampir ke rumah istri keduanya meski hanya bisa sebentar, itu pun sepulangnya A
Setelah memastikan Wulan baik-baik saja selepas siuman. Aryo terpaksa harus meninggalkan istri pertamanya untuk melanjutkan rencana kepindahan Indira, itu pun atas izin dari Wulan.“Mas pergi saja. Bukankah ini sudah direncanakan Mas beberapa bulan yang lalu. Aku enggak apa-apa, kok. Sekarang sudah lebih baik. Lagi pula, ini bukan kehamilan pertamaku. Jadi, aku udah bisa jaga diri.”Indira yang duduk di ranjang menemani Wulan menggeleng.“Enggak, Mas. Jangan tinggalin Mbak Wulan. Kepindahanku bisa dipending, tapi kesehatan Mbak Wulan lebih penting. Aku enggak mau kecolongan lagi, terus Mbak malah kembali pingsan,” kekeh Indira tak ingin mengindahkan ucapan kakak madunya.“Mbak enggak apa-apa, Ra. Kamu jangan khawatir. Tadi, Mbak pingsan gara-gara kelelahan aja. Beberapa Minggu ini kan kegiatan Danish di sekolah banyak banget, terus belum lagi kerjaan rumah yang enggak selesai-selesai. Mungkin itu juga yang membuat tubuh Mbak drop.”“Apa perlu Mas nyari orang lagi buat nemenin kamu di
Hari sudah menjelang malam. Mereka sibuk merapikan barang yang akan di bawa ke rumah barunya. Ada perasaan sedih karena harus meninggalkan kamar yang menyimpan banyak kenangan. Indira menatap foto keluarga saat dirinya masih kecil. “Kalau kamu belum siap untuk pindah, enggak papa kok, Sayang,” ucap Aryo seraya menepuk pundaknya.“Insya Allah aku siap kok, Mas. Sudah kewajibanku sebagai istri untuk nurut sama suami.”“Makasih ya, Sayang. Aku janji akan selalu berusaha menjaga dan membahagiakanmu semampu yang aku bisa. Aku enggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi.”Indira mengangguk sambil tersenyum. “Mbak Wulan gimana, Mas? Udah tahu aku mau pindah? Keberatan enggak? Soalnya aku enggak enak sama Mbak Wulan. Mas Aryo udah ngasih aku rumah,”“Udah, Sayang. Wulan juga senang kalau kamu bahagia. Lagi pula, kamu juga berhak mendapatkannya. Mas jadi tenang sudah memberikan tempat tinggal layak untuk kalian berdua. Berarti fokus Mas kedepannya untuk membiayai kalian berdua dan yang
“Maafkan kesalahan anak kami ya Nak Indira. Maaf sebagai orang tua kita nggak becus mendidik anak. Kami menyesal sekarang atas semua perbuatan Rama sama kamu,” ujar ini Bu Rina sambil memohon maaf dengan berurai air mata.Indira meraih tangan Bu Rina dan menggenggamnya dengan erat.“Aku memaafkan semua kesalahan Mas Rama dulu. Meski sulit, tapi aku sedang berusaha untuk ikhlas. Lupakan semua yang telah terjadi. Bukankah Allah maha pemaaf kenapa kita saja sebagai hamba yang tak memiliki kuasa tidak?“Lagi pula, aku bersyukur dengan jalan ini, bisa mengenal sosok kakak seperti Mbak Wulan,” tambahnya lagi. Mendengar ucapan Indira, Buu Rina menghambur ke arah madu sang putri dan memeluknya erat. Ia mengucap terima kasih karena sudah mendapat maaf dari mereka. Hatinya sedikit lega. Padahal, ia dan sang suami sempat berpikiran picik terhadap wanita itu.Keduanya kira, Indira itu wanita yang gila harta sehingga mengincar Aryo dan bahkan mau menjadi istri kedua dari menantunya. Ternyata sang
“Masih sakit?” tanya Aryo melihat cara jalan sang istri yang tak biasa.Pipi Indira merah merona mengingat kejadian semalam. Wanita itu hanya menjawab dengan anggukan tetapi kemudian berubah jadi gelengan. Sebenarnya, ia malu membahas hal yang masih tabu untuknya tersebut, apalagi ketika melihat kasur yang masih berantakan.Aryo mendekat ke tubuh Indira dan memeluknya dari belakang. Ia mencium aroma tubuh wanita itu yang baru saja selesai mandi keramas. “Kamu wangi banget, Ra.”“Jangan gitu Mas, aku malu,” ujarnya seraya mendorong tubuh suaminya.Bibir Aryo terkekeh pelan melihat reaksi sang istri yang terlihat lucu saat wajahnya tengah memerah karena dia goda. Ada rasa lega dalam diri pria itu sekarang. Terlebih Indira sudah mau menunaikan kewajibannya sebagai istri. Suara ketukan pintu dari luar membuatnya terlonjak kaget. Ia melangkahkan kaki ke arah pintu dan membukanya. Bunda Indira sudah berdiri di sana dengan senyum canggung. “Maaf Bunda ganggu kalian enggak?” ucapnya seraya
“Ra, kok Mas enggak lihat Bunda dan Ayah?”“Oh, hari ini mereka nginap di rumah saudara yang lagi hajatan, Mas. Emangnya Mas udah lupa?”Aryo menggeleng sambil menggaruk pipinya yang tak gatal.“Mas lupa, Ra.”“Kebanyakan mikirin kerjaan, jadi gampang banget lupa,” kekeh Indira yang tengah membuka kerudung yang dikenakannya di meja rias.Tangan Aryo terulur untuk menyisir untaian demi untaian mahkota kepala sang istri. “Mas lebih baik wudu dulu, deh. Kita salat bareng, ya. Mas jadi imamnya.Malam memang telah menyambut, kini waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam lebih belasan menit. Sudah waktunya bagi mereka untuk menunaikan ibadah wajib bersama-sama. Kebetulan, magrib tadi Aryo tak salat di rumah, melainkan di mesjid.“Iya. Kita wudu bareng.”Sang istri mengangguk dan mengikuti suaminya yang lebih dulu mengambil wudu di kamar mandi. Setelah keduanya suci, Aryo memimpin Indira untuk salat berjamaah. Sangat terasa khusyuk dan damai.Wanita itu tak pernah menyangka bakal sampai di
Indira merasa kesusahan untuk bernapas karena Aryo begitu kuat memeluknya. Wanita itu melepaskan pelukannya. Pria itu membungkukkan badannya di depan Indira hingga membuatnya tak nyaman. Jemarinya mendorong bangkunya ke belakang agar ia bisa menghindar. “Kamu mau ngapain, Mas?” “Apa perlu aku sujud di kakimu agar aku bisa membuktikan rasa cintaku padamu? Betapa aku mengkhawatirkan keadaanmu. Apa masih ada tempat yang lebih nyaman untuk berbagi cerita selain kepada pasangan sendiri?” Wanita itu tercengang atas ucapan Aryo. Matanya bersitatap dengannya. Tangan Aryo meraba ke bawah hendak mencari bunga yang terjatuh. “Mas kok ngomongnya begitu.”“Kamu aja nggak percaya sama, Mas,” jawabnya seraya bangkit dan kembali duduk di kursi kemudi. Sementara Indira membetulkan bangku ke posisi semula. Ia menghembuskan napas lega sembari mengusap dada.“Aku percaya kok sama, Mas.”“Kalau percaya, berarti kamu bisa cerita sama, Mas,” ucap Aryo.Indira tersenyum dan mengangguk. Senyum di bibir A