Rizki hanya melihat anak tersebut yang nampak mengutak-atik tanpa kesusahan, betapa terkejutnya Rizki karena anak itu berhasil menemukan ada kabel yang putus. Ia lalu mengambil sesuatu di jok motornya untuk menyambungkan kembali kabel itu.
"Setelah ini, kemungkinan besar sudah bisa jalan lagi, Mas. Kok bisa putus ya, ini putusnya rapi banget pula," gumam anak itu.
"Alkhamdulillah. Saya juga tidak tahu itu kenapa, Mas. Oh iya, ini ada rezeki buat Mas. Terima kasih sudah bantu saya." Rizki mengeluarkan selembar uang tunai.
"Maaf, Mas. Nggak usah, saya juga lagi nabung pahala, saya ikhlas," ucapnya.
"Oh ya udah, Mas. Terima kasih banyak. Ini kalau butuh apa-apa bisa hubungi nomor ini ya." Rizki mengeluarkan selembar kartu nama kepada anak itu.
<"Hallo, assalamu'alaikum.""Kok nggak nyambung lagi ya?" gumam Hikam saat mencoba menghubungi Rizki.Hikam mengirimkan pesan dan mengabari bahwa dirinya sudah menemukan orang yang tepat untuk membantu Rizki. Ahli hukum tersebut selalu menyelesaikan masalah dari akar-akarnya sehingga klien merasa puas. Satu menit setelah pesannya terkirim, Rizki pun balik menelponnya."Assalamu'alaikum, Mas. Maaf tadi lagi nyetir," sapa Rizki."Wa'alaikumsalam, ya sudah nanti saja, Riz. Ini cuma mau ngabarin kalau Pak Alfonso yang mau bantu minta ketemu langsung," ujar Hikam menjelaskan ulang."Baik, Mas. Oke-oke, mintakan jadwalnya saja atau nomornya langsung biar aku hubungi," sahut Rizki di seberang sana dengan semangat.
"Ayah, ada telfon." Ikhda mengantarkan handphone Rizki yang sudah berdering lama ke meja makan. Awalnya Rizki berniat meninggalkan handphone-nya beberapa saat ketika berada di rumah karena sudah sangat penat."Terima kasih, Nak," gumam Rizki. Ia mengerutkan dahi ketika pengacara yang disewakan Hikam menelpon. Lelaki itu baru mulai menyelidiki kantornya diam-diam, Rizki pun ragu ketika akan mengangkatnya."Assalamu'alaikum, maaf ada apa ya, Pak?" sapa Rizki. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk, tanpa alasan yang jelas tiba-tiba perut Rizki terasa mual."Wa'alaikumsalam," jawab lelaki itu kemudian tertawa, membuat Rizki semakin bingung. "Petunjuk ada di depan mata ternyata, Pak Rizki," ujar Pak Alfonso."Ma ... maksudnya, Pak?"
"Pak Tegar siapa?" bisik Pak Alfonso pada Rizki."Manajer bagian produksi," jawab Rizki dengan bibir masih bergetar."Tim kita akan menyelidiki lebih dalam." Pak Alfonso memberi kode yang hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Rizki."Pak Tegar siapa yang Anda maksud?" desak polisi yang memeriksa."Bapak manajer produksi." Mereka menjawab dengan tidak yakin dan nampak memandang satu sama lain, mungkin menyesal telah menyebut nama itu. Tetapi bagaimanapun sudah terlanjur, ucapan yang sudah meluncur dari mulut tak bisa ditarik lagi."Baik, pemeriksaan untuk sementara sampai di sini dulu. Namun Anda semua tetap kami tahan sampai keputusan selanjutnya," ujar polisi.Tak berselang lama, Pak Tegar, salah satu manajer sekaligus orang terdekat Rizki pun dibawa oleh polisi. Rizki tidak bisa berbuat apapun saat bertemu pandang dengan lelaki beruban tersebut. Ia bahkan tidak tahu apa yang tengah dirasakan. Ia tidak tahu apakah harus berbahagia atau justru merasa miris.Sudah berminggu-minggu Rizk
Karena beberapa minggu terakhir ini bisnis dengan Rizki dan Hikam tidak terlalu menjanjikan, Pak Omar mencari jalan lain meski masih dengan pekerjaan yang sama, distributor kelas atas. Ia menyalurkan produk dari pabrik ke toko-toko raksasa, ataupun menyalurkan produk setengah jadi ke perusahaan lain."Lah, itu Febi di depan pintu," batinnya saat melihat anaknya dari kejauhan. Gadis itu tengah memegang notebook dan nampak sibuk menerima laporan-laporan dari karyawan lain.Saat Febi selesai menerima laporan dari para karyawan lelaki yang kini berhamburan ke kafe dan pedagang kaki lima di depan gedung, Pak Omar melambaikan tangan ke gadis itu. Ia sengaja menunjukkan bahwa dirinya tengah ada di sini. Namun gadis itu nampak pura-pura tidak tahu dan mengabaikannya. "Pak Omar?" Sebuah suara mengagetkan Pak Omar."Oh, Bapak. Selamat sore, Pak." Pak Omar menyapa balik dengan tergesa-gesa."Selamat sore, ternyata Bapak sudah di sini. Kenapa tidak langsung ke ruangan saya, Pak?" Pak Arman yang
Hikam mengembuskan napas sembari menutup pintu mobilnya usia memarkir di depan toko kartu perdana dan pulsa. Ia kehabisan paket internet di tengah jalan tepat ketika teringat ingin menghubungi Rizki tentang uang yang dipinjamnya dari Putri. Lebih tepatnya Ia penasaran apa alasan spesifik Putri memberinya piutang kepada lelaki itu. Namun Ia terkejut saat tidak sengaja menoleh ke kafe tidak jauh dari tempatnya berdiri."Sedang apa mereka?" batinnya, Ia yakin tidak salah lihat. Dua orang yang ada di benaknya kini sedang duduk berdua di sana dan nampak tengah mengobrol."Mas, paket internet untuk enam bulan ya, ini nomor saya," ucapnya pada petugas dengan dada yang masih bergemuruh. Sedang apa mereka berdua, ini masih pagi hari dan tentu saja mereka sama-sama memiliki jam kerja.Usai menyelesaikan urusannya di toko keci
"Alloh selalu bersama hamba-Nya yang berdoa dan berikhtiar." Rizki menuliskan status di media sosial pribadinya.Mobil terus melaju menyusuri jalanan yang terik dan padat. Urusan Rizki terus bercabang hingga membuatnya harus bergerak lebih banyak. Saat Ia tiba di basemen tempat parkir perusahaan, para wartawan sudah menunggunya di sana."Kok tahu saja ya," decak Rizki."Mereka membuntuti kita, Pak," jawab sopirnya."Pak Rizki, kita bertemu lagi. Apakah orangtua Pak Rizki mengetahui hal ini?""Orangtua saya selalu tahu keadaan saya di sini," jawab Pak Rizki seadanya sembari berjalan."Lalu bagaimana tanggapan mereka, Pak?""Maaf, saya buru-buru. Ini mau ada rapat pertemuan, saya sudah terlambat. maaf ya." Rizki menghindar, satpam perusahaan segera mengalihkan perhatian para wartawan supaya Rizki bisa menaiki lift dengan aman.Di ruang kerjanya, Rizki menghempaskan diri ke kursi dan bernafas lega. Ia membuka handphone-nya, deretan notifikasi memenuhi layar. Rizki membuka pesa dari stafn
Salis menjemput Aghni di rumah Ustadzah Muniroh, teman baiknya. Wanita itu guru privat baca tulis Al-Quran untuk Aghni yang juga sangat pandai dalam Seni Baca Alquran."Bu, mohon maaf sebelumnya. Aghni sempat menanyakan kepada saya, tentang ayahnya. Saya kira Aghni mengalami kebingungan, Bu," ujar Ustadzah Muniroh saat mereka menyempatkan untuk bercakap-cakap terlebih dahulu."Tanya apa memangnya, Ustadzah?" Salis merasa was-was saat mendengar kata 'ayahnya', ada apa lagi dengan Mas Hikam sampai Aghni memilih untuk bicara dengan orang lain."Aghni menanyakan mengapa ayahnya memiliki istri dua. Maaf, Bu," ujar Ustadzah Muniroh dengan wajah prihatin. Namun Salis sama sekali tidak terkejut, Ia justru tertawa kecil."Saya sudah beberapa kali mendapat pertanyaan itu dari Aghni, Ustadzah," ujarnya menjawab pertanyaan tak terucap perempuan di hadapannya."Lalu Bu Salis jawab apa?" Tentu saja respon Salis membuat Ustadzah Muniroh heran."Sebenarnya, yang Aghni inginkan bukanlah jawaban, Ustad
"Sekarang insya Alloh sudah tidak jajan lagi, Ustadzah. Saya yakin Mas Rizki sudah taubat." Salis cepat-cepat meluruskan pembicaraannya tentang Rizki. Ustadzah Muniroh hanya mengangguk-angguk tanpa memberikan penilaian apapun."Setelah cerai, dua tahun kemudian, rujuk. Nah, remaja yang dulu menjalin hubungan gelap dengan Mas Rizki ini mengejar-ngejar lagi." Salis melanjutkan ceritanya."Lalu cerai lagi dengan Bu Fatma?" tebak Ustadzah Muniroh."Tidak, malah Fatma minta Mas Rizki buat nikahin anak itu yang sedang menderita GERD parah." Salis mengangguk yakin."Hah? Gimana itu, Bu?"Ucapan Salis cukup membuat Ustadzah Muniroh terkejut, seorang istri yang membolehkan suaminya menikahi selingkuhannya memang kejadian yang sangat langka. Tetapi di sisi lain Salis yakin bahwa pada saat itu Fatma juga tidak punya pilihan lain demi kesembuhan Fani."Seriusan, Ustadzah. Tapi akhirnya meninggal setelah akad, hari itu juga," ujar Salis dengan prihatin "Ya Alloh, begitu rupanya awal mula Pak Rizk
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka