Dengan tangan bergetar, Rizki membuka buku diary almarhumah istrinya. Kertasnya sudah mulai usang namun tulisannya masih bisa dibaca. Ketika Ia mengintip sekilas, nama dirinya tertulis di beberapa halaman. Rizki menghela nafas dengan dada yang terasa sesak. "Aku akan membacanya nanti," tekadnya. Khawatir akan merusak konsentrasinya pada pekerjaan hari ini, Ia pun memaksakan diri memasukkan buku diary itu ke dalam tasnya. Pintunya diketuk dari luar, Rizki berdeham berkali-kali untuk mengumpulkan kembali fokusnya sebelum mempersilakan karyawannya masuk."Hari ini banyak telepon masuk, Pak. Sepertinya banyak yang tertarik untuk kembali bekerjasama dengan Bapak," ujar sekretarisnya. "Oh iya? Alkhamdulillah, akhirnya perusahaan kita merangkak ke depan lagi," tanggap Rizki sembari menerima sodoran map dari sekretarisnya."Ini apa, beda lagi dari yang kemarin?" ucap Rizki membuka map di tangannya."Iya, Pak. Beda lagi." Sekretarisnya mengangguk."Oke," gumam Rizki singkat. "Tandatangani s
Hubungan Febi dan Mas Alfian masih berjalan meskipun Febi belum sepenuhnya menerima lelaki itu."Dulu aku pernah gabung di Lembaga Pendidikan Non Formal tapi sekarang sudah tidak lagi," gumam Mas Alvian."Kenapa?" Febi menanggapi singkat."Karena di sana aku jadi teringat Fani terus. Fani ikut program paket C supaya bisa daftar kuliah." Mas Alvian pun menceritakan masa lalunya, lebih tepatnya kenangannya dengan gadis itu.Febi menahan napas supaya bibirnya tidak kelepasan melontarkan umpatan. Lagi-lagi tentang Fani. Ia sedikit tahu bahwa dulu Mas Alvian adalah salah satu lelaki di kampus yang juga mengejar-ngejar Fani. Fani memang primadona kampus, tak hanya anak S1 yang mengenalnya, beberapa mahasiswa pascasarjana pun juga mengenalnya."Fani ikut paket C?" Febi bertanya dengan malas demi menunjukkan bahwa dirinya tidak mengabaikan lelaki di hadapannya yang tengah mengajaknya mengobrol."Ya, Ia 'kan nggak lulus SMA. Kayaknya kelas sebelas sudah keluar terus langsung pesantren." Dengan
Rizki merasa heran karena tumben sekali Hikam mengajaknya bertemu di kafe. Ia pun tiba lebih dulu demi menghormati kakak iparnya."Saat aku dan Salis mengantarkan Aghni survey asrama, aku bertemu dengan salah satu teman dari teman kerjaku. Kami tidak terlalu dekat, tapi Ia mengenalku dan aku mengenalnya, Ia seorang wanita," ujar Hikam sembari mengedarkan pandangannya. Rizki yang menyimak ucapan itu mencerna dengan saksama dan mencoba menebak arah topiknya. Tidak biasanya Hikam berbicara tentang perempuan, apalagi perempuan itu hanya teman dari teman kerjanya."Ia pembina asramanya Aghni, Mas?" tanya Rizki."Bukan, mungkin hanya pengurus catering, atau bahkan mungkin bukan siapa-siapa di sana. Tetapi yang jelas kami bertemu. Ia menanyakanmu." Hikam menoleh memandang Rizki."Hah, kok bisa Mas? Maksudnya apa?" Tentu saja ucapan Hikam membuat Rizki terkejut sekaligus bingung."Ia menanyakanmu apakah sudah menikah lagi atau belum," ujar Hikam kemudian."Ya belum lah, Mas. Emang Mas Hikam
"Bagaimana pertemuannya, Riz?" pesan Hikam saat Rizki baru saja akan menghidupkan mesin mobilnya."Mantap, Mas. Aku suka kepribadiannya. Ini baru lagi pulang, Mas," balas Rizki. Sebenarnya Ia ingin bicara lebih banyak tetapi khawatir akan mengganggu konsentrasinya.Rizki merasa lega setelah rasa penasarannya terpenuhi. Ia bisa pulang dan makan malam bersama anak-anaknya dengan lahap. Sesekali Ia bercakap-cakap bersama anaknya tentang sekolah mereka. Rupanya Itsna sudah sangat betah dengan lingkungan barunya di Tempat Penitipan Anak, Ia merengek tidak mau jika Rizki memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak."Kalau boleh, aku nanti juga nggak mau naik ke SMP," ucap Ikhda sependapat dengan adiknya."Kakak, Nana, hidup itu selalu ada perubahan. Kita lah yang harus menyesuaikan dan mengembangkan diri. Karena kalau nggak mau, kita bakal kesusahan sendiri. Alloh tidak akan mengubah diri kita, kalau kita nggak ada usaha sendiri," ucap Rizki panjang lebar menasihati anak-anaknya.Saat Rizki tengah
Muniroh tersenyum lega saat Salis kembali datang untuk menjemput Aghni, Ia pun bisa membicarakan berdua tentang pertemuannya dengan Rizki."Kalau kepribadiannya, Ustadzah suka nggak?" tanya Salis. Muniroh mengangguk sebelum menjawab lebih jelas."Alkhamdulillah. Kalau saya ingat-ingat, Pak Rizki itu tipe orang yang mudah menyesuaikan diri dengan sekitar, Bu. Saya rasa itu sangat cukup untuk saya," ujar Muniroh. Ia ingat betul ketika lelaki itu baru saja datang, dirinya tengah membaca buku. Setelah memesan makanan, pembicaraan mereka pun tidak jauh-jauh dari hobi membaca. Semenjak melihat wajah Rizki secara langsung, Muniroh langsung mendapat kesan bahwa Rizki adalah orang yang cerdas. Ia sangat pandai menguasai lingkungan sekitarnya."Hmm, kalau itu mah memang keterampilan wajib yang harus dimiliki seorang pengusaha, Ustadzah. Mas Rizki 'kan pengusaha, tentu saja bisa menyesuaikan diri untuk sekadar ngobrol dengan siapapun," tanggap Salis nampak belum puas. "Saya 'kan baru ketemu sa
"Ibu sudah baca email yang barusan masuk?" Ucapan sekretarisnya membuat Putri mendongak, "Belum, Div. Kalau misal nggak penting-penting amat mending dihapus saja. Forward ke saya yang sekiranya penting, Div," ujar Putri menanggapi dengan santai. "Ini dari Pak Rizki, Bu." Diva mendekatkan wajahnya dan menyodorkan laptop, layar monitornya masih menayangkan isi email dari Rizki."Apa ini?" gumam Putri mengerutkan dahi mulai mencerna isi email tersebut. Rizki menyampaikan surat konfirmasi pembayaran pinjamannya ke email pribadi Putri dengan lampiran beberapa foto bukti. Tanpa pikir panjang, Putri pun meraih gagang telepon di depannya dan memencet rangkaian nomor lalu menunggu panggilannya diangkat."Hallo, ini Delta, Bu. Bisa tolong sambungkan ke Pak Rizki sekarang?" ucap Putri kepada penerima telepon di seberang sana.Putri menunggu beberapa saat dengan perasaan campur aduk, Ia sendiri tidak bisa mendefinisikan hal yang sebenarnya tengah dirasakan. Entah mengapa Ia gelisah ketika Rizk
"Karyawanku pernah lihat Mas Rizki makan bareng perempuan di restoran ini," ujar Putri cukup membuat Rizki terkesiap. Rizki menelan makanannya kemudian menenggak air putih. Pertemuannya kali ini dengan Putri sebenarnya untuk membahas hutang Rizki yang masih setengah. "Ya, beliau Ustadzah Muniroh," ucap Rizki menjawab pertanyaan Putri yang dilontarkan secara tidak langsung. "Ustadzah?" Putri mengerutkan dahi seperti tidak percaya. "Kukira karyawan atau kliennya Mas Rizki," lanjut Putri."Bukan, kalau pengusaha, Kau sendiri pasti sudah tahu. Sekarang ini nggak banyak yang mau kerjasama sama aku, Mbak Put. Kau tahu sendiri lah, hutangku banyak," ujar Rizki sembari tertawa getir. "Iya sih, tapi emang apa salahnya sih. Lagian 'kan Mas Rizki sudah bangkit lagi sekarang." Putri mengedikkan bahu. Rizki hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Putri yang selalu membesarkan hatinya.Dalam hati Rizki ingin merahasiakan perihal perjodoha
"Nggak apa-apa, Mas. Ini tadi ada motor nyebrang," gumam Rizki. "Astaghfirulloh. Ya sudah aku matikan dulu telponnya," gumam Hikam. Panggilan pun dimatikan sepihak oleh Hikam.Keganjilan-keganjilan hari ini membuat Rizki tak bisa tidur nyenyak. Ia sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Putri dan Hikam. Namun, Ia tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga mereka.Esok paginya ketika Rizki hendak berangkat ke kantor, Hikam mengirim pesan bahwa hari ini Ustadzah Muniroh akan menemuinya saat jam makan siang. Rizki terkesiap dan langsung menghubungi sekretaris untuk melonggarkan jadwalnya di siang hari."Kau bisa ke alamat ini 'kan, Riz?" Hikam mengirimkan screenshot lokasi. "Bisa, Mas," jawab Rizki tanpa pikir panjang, sejauh apapun Ia harus bisa.Seperti kata Hikam, Ia khawatir jika harapannya akan pupus jika dibiarkan berlama-lama. Ia sendiri juga harus mengejar wanita itu. Apa yang Rizki butuhkan di usia yang
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka