Memiliki dua istri bukanlah perkara mudah. Hikam harus benar-benar adil dan tegas dalam mengelola rumah tangganya. Salis yang selalu berupaya mencurangi agar dirinya terus bersama Hikam tanpa peduli dengan Putri, ataupun Putri yang selalu merasa diperlakukan tidak adil oleh Hikam.
"Aku harus bagaimana, Mas. Mengapa Mas Hikam tidak pernah memedulikan Aghni. Apa Mas kira dia tidak butuh peran ayah?"
"Lis, aku selalu bersama Aghni tiap pagi dan sore hari. Ya, mungkin kecuali hari Sabtu dan Minggu. Kurang bagaimana lagi?"
"Apa Mas tahu dia di sekolah punya cerita apa saja?"
Hikam diam sesaat memahami maksud ucapan Salis.
"Mas Hikam bersama Aghni tetapi hati dan pikirannya entah ke mana."
Hari-hari yang seharusnya Febi gunakan untuk mengurus surat-surat lamarannya ke lowongan pekerjaan menjadi sia-sia, pikiran tentang perjodohan yang bakal menimpa dirinya sangat mengganggu dan menguras air mata. Ayahnya tega melakukan itu padanya. Apakah karena sudah bosan menghidupinya hingga dengan serta merta menerima lamaran pengusaha kaya itu?Febi memutar otak bagaimana cara agar dirinya terhindar dari pernikahan tidak adil yang sudah semakin dekat. Ia tidak mau itu tejadi, Ia harus pergi ke manapun Ia bisa sampai akhirnya pernikahan itu tidak terjadi pada dirinya. Ia tersenyum simpul ketika sesuatu terlintas di dalam benaknya, mungkin tidak salah jika Ia meminta bantuan kepada seseorang. Ia berharap rencana itu berhasil, diambilnya handphone yang hampir setengah hari Ia diamkan lalu menggerakkan jemarinya di layar dengan terampil.“Hil, Lu sekarang
Rizki mengunjungi rumah Hikam, kakak ipar yang kini juga menjadi sahabatnya. Kebetulan di rumahnya juga ada Salis, istri pertama Hikam.“Tumben, Riz. Ada kabar apa malam-malam sillaturrahim ke sini, biasanya siang sekalian ngopi bareng di kantin kantor,” ujar Hikam saat menyilakan Rizki duduk di ruang tamunya yang cukup luas.“Hanya ingin minta pendapat, Mas,” jawab Rizki sembari duduk di sofa.“Pasti bukan urusan bisnis,” seringai Hikam. Rizki hanya tersenyum mendengar ucapan kakak iparnya.Dalam hati Ia berdoa semoga Hikam tidak hanya memberinya pendapat, tetapi juga mendukung keputusannya untuk melamar anak Pak Omar yang masih sangat muda.“Sebentar, ya. Aku panggil Salis dul
Siang menjelang sore ini, Hilal bisa ditemui di kafe yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Febi bersiap-siap karena Ia mengira-ngira perjalananya akan menghabiskan waktu tiga puluh menit dengan motor. Ia tidak masalah karena yang penting Hilal bisa ditemui. Dalam hati kecilnya, Ia ingin sekali menumpahkan segala keresahan hatinya.Setelah memanaskan motornya sejenak, Ia memeriksa surat-surat penting, membenarkan tatanan jilbabnya di spion, dan mengirimkan pesan kepada Hilal bahwa Ia mulai berangkat.Perjalanan di siang bolong sangat panas dan sesekali macet di lampu merah, tetapi Febi tidak menyerah. Ia harus menemui Hilal sekarang karena satu-satunya teman yang masih peduli dengannya hanyalah Ia.Saat sudah mulai dekat dengan lokasi, Ia menepikan motornya, melihat-lihat di mana kafe yang Hilal maksud. Ia juga kembali mengirimkan pesan ke lelaki itu bahwa Ia sudah sampai di sekitar lokasi.“Itu yang sebelah toko elektronik,” balas Hilal.Febi pun segera mengarahkan motornya ke tempa
Febi tak menyangka akan terjadi hal yang sangat menakutkan, beruntung Ia masih bisa kabur. Saat Ia memasuki rumahnya yang besar, ayahnya belum juga kembali. Febi tahu bahwa ayahnya sedang lembur di kantor atau mungkin melakukan pertemuan bersama klien di luar kantor. Sebenarnya Ia tahu bahwa Hilal terkadang melakukan hal-hal terlarang seperti mabuk-mabukan. Febi tahu bahkan sejak mereka masih bersama dulu.Sekarang tak ada harapan untuk meminta bantuan siapapun. Jika Ia ingin mencegah pernikahannya dengan Rizki, maka Ia sendiri yang harus bertindak. Ia berhak menolak perjodohan ini. Febi tidak menyangkal bahwa Rizki adalah pria baik-baik, taat, dan ayah yang sempurna bagi dua anaknya. Tetapi nyatanya perjodohan ini adalah perjodohan bisnis semata di mata ayahnya.Jika ayahnya memang menghendaki lelaki yang sholeh dan mapan, apakah harus dengan Rizki Ia bersandi
“Ia menolakmu, Nak? Alasan apa yang dikatakan oleh gadis itu?” tanya Ummi setelah Rizki menjelaskan panjang lebar kemajuannya meminang anak Pak Omar.“Aku tidak tahu alasan yang sesungguhnya, Ummi. Tapi Ia berkata bahwa Ia akan melanjutkan kuliah lagi,” jawab Rizki.“Lho, kalau cuma mau kuliah lagi kan bisa sambil menikah. Lagi pula Kamu juga bisa membiayai kuliahnya, ‘kan?” Abah ikut menimpali.“Iya, tapi Febi masih tetap ketus padaku, Abah.”“Itu namanya jual mahal. Mungkin karena Ia belum mengenalmu. Coba Kamu ajak jalan-jalan atau apalah.”“Pak Omar sendiri bagaimana?”
Febi melangkah dengan mantap menuju ruangan yang ditunjuk oleh resepsionis. Hari ini adalah seleksi masuk kerja tahap akhir. Sudah berpuluh-puluh surat lamaran Ia layangkan ke mana-mana namun hasilnya zonk, seleksi administrasi pun Ia gagal. Ini adalah satu-satunya hasil yang paling baik di antara kesempatan sebelumnya. Ia lolos administrasi dan seleksi tertulis, kini Ia akan seleksi wawancara."Lho, bukannya itu Mas Alvian yang itu? Ck, semoga tidak kenal denganku," Febi bergumam sendiri saat menunggu gilirannya tiba."Kakaknya kenal yang mewawancarai kita?" pelamar kerja yang duduk di sebelah Febi berbisik sembari menunjuk pewawancara lelaki di depan sana."Beliau kampusnya satu yayasan dengan saya, tapi saya tidak kenal, hanya kebetulan tahu namanya," jawab Febi.
"Hallo, Selamat malam, Pak." Rizki mengangkat telepon pimpinan tim IT sembari mengucek kelopak matanya.Tangannya yang lain memencet jam digital di sisi ranjang lalu empat angka di sana menunjukkan jam satu malam."Pak, mohon maaf menelpon tengah malam, tetapi ini benar-benar gawat." Suara lelaki itu terdengar sangat panik."Ada masalah apa, Pak?" Seketika konsentrasi Rizki terkumpul."Sistem keamanan internet kita dibobol, tidak hanya itu, informasi keuangan perusahaan juga sudah dibobol," papar lelaki di seberang sana dengan terburu-buru."Astaghfirullohal 'adziim." Rizki tidak punya bayangan bagaimana persisnya kejadian itu tetapi ketika mendengar sistem keuangan yang dibobol, Ia langsung mengerti.
Dengan memaksakan akal sehatnya, Febi mengambil pekerjaan itu daripada menganggur terus. Ia berangkat menggunakan motor matic-nya seperti biasa. Di ruangan yang ditujunya, beberapa karyawan baru seperti dirinya sudah berkumpul. Ia pun berkenalan dengan karyawan baru yang duduk di sebelahnya.Pengenalan umum tentang perusahaan berlangsung cukup singkat dan dilanjutkan dengan menuju divisi masing-masing. Febi pun menuju bagian suplai barang, lokasi kantor divisinya cukup strategis meskipun berada terpisah dari ruangan lainnya. Ada satu karyawan baru yang juga diterima di bagian yang sama dengannya, bagian pencatat suplai barang."Baik, teman-teman. Gedung di samping adalah gedung transit barang. Jadi barang apapun yang baru datang akan dimasukkan kesini. Setelah terdata, baru kita pindahkan ke tempat yang seharusnya." Senior dari bagian yang sama menjelaskan kepa