Gadis itu termenung setelah membaca portofolio di depannya. Lelaki itu, lelaki kaya raya kolega ayahnya yang melamarnya adalah seorang CEO duda beranak dua yang sudah pernah memiliki istri dua kali. Jika Ia mau menerima permintaan ayahnya untuk menerima lamaran tersebut, maka Ia adalah perempuan ketiga yang menjadi istri lelaki itu.Mengejutkannya lagi, istri kedua lelaki itu adalah almarhum temannya sendiri saat kuliah. Nahru Rizki Budiman, duda rupawan itu adalah mantan suami Falencia Nikita teman kuliah yang digandrungi banyak lelaki. Ia sangat membenci gadis itu karena kekasihnya sendiri pun tak luput menyukai Fani. Fani jugalah yang menyebabkan Ia diputus oleh Hilal.Febi sudah tidak peduli lagi sekarang Hilal ada di mana dan bagaimana kehidupannya. Ia yakin lelaki itu pasti sangat menyesal telah meninggalkannya demi gadis lain, lalu ternyata apa yan
Tekadnya sudah bulat, firasatnya setelah tiga kali sholat istikhoroh tidak dapat Ia ragukan lagi. Rizki mengajukan proposal lamaran kepada Pak Omar tidak peduli seberapa kekanakan tingkah anak gadis koleganya, Rizki benar-benar tertarik kepadanya. Dengan berbekal keyakinan dan restu Ummi, Rizki melamar Febi melalui ayah gadis itu."Saya tidak menyangka Bapak berkenan melamar anak saya, semoga ini semakin mempererat hubungan bisnis kita…”“Hmm mohon maaf, Pak saya melamar putri Bapak karena Alloh. tapi meskipun begitu semoga hubungan bisnis kita juga semakin baik."Pak Omar tersipu malu denngan ucapan Rizki, oleh karena itu Rizki bersikeras mengutarakan maksudnya. Ia menikahi gadis itu bukan semata-mata karena uang, ia ingin anak-anaknya memiliki seorang ibu. Ia tidak diuntungkan dari segi bi
Memiliki dua istri bukanlah perkara mudah. Hikam harus benar-benar adil dan tegas dalam mengelola rumah tangganya. Salis yang selalu berupaya mencurangi agar dirinya terus bersama Hikam tanpa peduli dengan Putri, ataupun Putri yang selalu merasa diperlakukan tidak adil oleh Hikam."Aku harus bagaimana, Mas. Mengapa Mas Hikam tidak pernah memedulikan Aghni. Apa Mas kira dia tidak butuh peran ayah?""Lis, aku selalu bersama Aghni tiap pagi dan sore hari. Ya, mungkin kecuali hari Sabtu dan Minggu. Kurang bagaimana lagi?""Apa Mas tahu dia di sekolah punya cerita apa saja?"Hikam diam sesaat memahami maksud ucapan Salis."Mas Hikam bersama Aghni tetapi hati dan pikirannya entah ke mana."
Hari-hari yang seharusnya Febi gunakan untuk mengurus surat-surat lamarannya ke lowongan pekerjaan menjadi sia-sia, pikiran tentang perjodohan yang bakal menimpa dirinya sangat mengganggu dan menguras air mata. Ayahnya tega melakukan itu padanya. Apakah karena sudah bosan menghidupinya hingga dengan serta merta menerima lamaran pengusaha kaya itu?Febi memutar otak bagaimana cara agar dirinya terhindar dari pernikahan tidak adil yang sudah semakin dekat. Ia tidak mau itu tejadi, Ia harus pergi ke manapun Ia bisa sampai akhirnya pernikahan itu tidak terjadi pada dirinya. Ia tersenyum simpul ketika sesuatu terlintas di dalam benaknya, mungkin tidak salah jika Ia meminta bantuan kepada seseorang. Ia berharap rencana itu berhasil, diambilnya handphone yang hampir setengah hari Ia diamkan lalu menggerakkan jemarinya di layar dengan terampil.“Hil, Lu sekarang
Rizki mengunjungi rumah Hikam, kakak ipar yang kini juga menjadi sahabatnya. Kebetulan di rumahnya juga ada Salis, istri pertama Hikam.“Tumben, Riz. Ada kabar apa malam-malam sillaturrahim ke sini, biasanya siang sekalian ngopi bareng di kantin kantor,” ujar Hikam saat menyilakan Rizki duduk di ruang tamunya yang cukup luas.“Hanya ingin minta pendapat, Mas,” jawab Rizki sembari duduk di sofa.“Pasti bukan urusan bisnis,” seringai Hikam. Rizki hanya tersenyum mendengar ucapan kakak iparnya.Dalam hati Ia berdoa semoga Hikam tidak hanya memberinya pendapat, tetapi juga mendukung keputusannya untuk melamar anak Pak Omar yang masih sangat muda.“Sebentar, ya. Aku panggil Salis dul
Siang menjelang sore ini, Hilal bisa ditemui di kafe yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Febi bersiap-siap karena Ia mengira-ngira perjalananya akan menghabiskan waktu tiga puluh menit dengan motor. Ia tidak masalah karena yang penting Hilal bisa ditemui. Dalam hati kecilnya, Ia ingin sekali menumpahkan segala keresahan hatinya.Setelah memanaskan motornya sejenak, Ia memeriksa surat-surat penting, membenarkan tatanan jilbabnya di spion, dan mengirimkan pesan kepada Hilal bahwa Ia mulai berangkat.Perjalanan di siang bolong sangat panas dan sesekali macet di lampu merah, tetapi Febi tidak menyerah. Ia harus menemui Hilal sekarang karena satu-satunya teman yang masih peduli dengannya hanyalah Ia.Saat sudah mulai dekat dengan lokasi, Ia menepikan motornya, melihat-lihat di mana kafe yang Hilal maksud. Ia juga kembali mengirimkan pesan ke lelaki itu bahwa Ia sudah sampai di sekitar lokasi.“Itu yang sebelah toko elektronik,” balas Hilal.Febi pun segera mengarahkan motornya ke tempa
Febi tak menyangka akan terjadi hal yang sangat menakutkan, beruntung Ia masih bisa kabur. Saat Ia memasuki rumahnya yang besar, ayahnya belum juga kembali. Febi tahu bahwa ayahnya sedang lembur di kantor atau mungkin melakukan pertemuan bersama klien di luar kantor. Sebenarnya Ia tahu bahwa Hilal terkadang melakukan hal-hal terlarang seperti mabuk-mabukan. Febi tahu bahkan sejak mereka masih bersama dulu.Sekarang tak ada harapan untuk meminta bantuan siapapun. Jika Ia ingin mencegah pernikahannya dengan Rizki, maka Ia sendiri yang harus bertindak. Ia berhak menolak perjodohan ini. Febi tidak menyangkal bahwa Rizki adalah pria baik-baik, taat, dan ayah yang sempurna bagi dua anaknya. Tetapi nyatanya perjodohan ini adalah perjodohan bisnis semata di mata ayahnya.Jika ayahnya memang menghendaki lelaki yang sholeh dan mapan, apakah harus dengan Rizki Ia bersandi
“Ia menolakmu, Nak? Alasan apa yang dikatakan oleh gadis itu?” tanya Ummi setelah Rizki menjelaskan panjang lebar kemajuannya meminang anak Pak Omar.“Aku tidak tahu alasan yang sesungguhnya, Ummi. Tapi Ia berkata bahwa Ia akan melanjutkan kuliah lagi,” jawab Rizki.“Lho, kalau cuma mau kuliah lagi kan bisa sambil menikah. Lagi pula Kamu juga bisa membiayai kuliahnya, ‘kan?” Abah ikut menimpali.“Iya, tapi Febi masih tetap ketus padaku, Abah.”“Itu namanya jual mahal. Mungkin karena Ia belum mengenalmu. Coba Kamu ajak jalan-jalan atau apalah.”“Pak Omar sendiri bagaimana?”