Seminggu yang lalu aku menikahi Putri tanpa pesta, tanpa kumpul-kumpul keluarga, dan tanpa mengundang siapapun. Hanya dua saksi, Rizki dan teman kerjanya Putri, wali nikah yang berasal dari wali hakim, penghulu, dan pencatat nikah, lalu terlaksanalah ijab qabul. Pernikahan ini adalah pernikahan yang cukup dingin dari semua pernikahan sepanjang hidupku, pernikahan siri.Aku dan Putri memutuskan untuk tinggal beda rumah, Ia tetap tinggal di rumah mantan suaminya sementara aku di rumah yang sama dengan Salis. Dalam seminggu ini pula aku baru bertemu dengan Putri tiga kali. Tak ada perjanjian apapun dalam pernikahan kami, aku mengerti situasi ini. Putri masih sangat mencintai almarhum Reza, Ia menikahiku bukan murni karena keinginannya sendiri. Ia sangat mencintai Reza hingga apapun yang Reza inginkan, Putri lakukan. Termasuk menikah dengan diriku.Aku menemui Putri setiap jam pulang dari kantor, Salis tak mencurigaiku sedikitpun karena Ia sudah biasa kutinggal lembur. Tapi bagaimanapun
"Mas Hikam mau ke mana?" Salis menghentikan langkahku.Saat aku harus mengambil tindakan meninggalkan rumah yang kami tempati menuju rumah istri keduaku, di sinilah sikap adilku diuji. Aku harus menjawab dengan jujur kepada Salis walaupun setelahnya Ia pasti akan cemburu."Ke tempat Putri, ada sesuatu yang harus aku lakukan," jawabku kemudian."Kok buru-buru?""Orangtuanya Putri mau datang," dan aku harus melakukan sesuatu."Lho, emangnya kenapa kalau mau datang? Bukannya lumrah kalau orangtua mendatangi rumah anaknya?" Salis masih belum melepaskan tangannya dari lenganku. Kukira Salis sudah paham apa yang kumaksud, tapi ternyata Ia masih melontarkan pertanyaan yang jawabannya sudah kukatakan berulang kali."Datangnya kapan sih, Mas?" Tanyanya lagi sembari bergelayut di pundakku. Jika sudah begini Ia tidak akan mau dialihkan dengan cara apapun."Dua hari lagi," sahutku. "Tapi aku harus ngobrol dengan Putri gimana tabiat orangtuanya. Salis bisa kamu ….""Tidak. Dua hari lagi masih lama
"Aku akan ke kantor sekarang," ucapku pada Putri setelah sarapan bersama-sama. Hari ini Ia memilih bekerja dari rumah."Tapi nanti siang bisa pulang ke sini lagi kan, Mas?" Putri mengingatkanku bahwa orangtuanya akan datang. Tentu saja aku tidak lupa."Kira-kira jam berapa Mama akan ke sini?" Aku memastikan waktunya agar bisa keluar kantor dengan tepat waktu."Jam pulang sekolah, mungkin jam tiga sore," jawabnya.Ibunya Putri bekerja di sebuah lembaga pendidikan Kristen tempat sekolah Putri dulu."Baiklah, nanti aku ke sini sehabis dzuhur," janjiku.Saat tiba di kantor, aku sudah disuguhi setumpuk berkas di meja kerjaku. Terdapat surat permohonan kerja sama beserta lampiran-lampirannya dari sebuah proyek yang sebelumnya dimenangkan oleh almarhum Reza saat open tender waktu itu. Aku sebagai salah satu pengusaha pemasok bahan bangunan di kota ini tersenyum penuh syukur karena akan ada rejeki di depan mata.Namun sebelum aku bisa bernafas dengan lega, ada sebersit rasa khawatir jika nant
Proses permohonan poligamiku di kantor Departemen Agama tidaklah singkat, aku masih harus menjelaskan dengan detail meskipun semuanya sudah kupaparkan di dokumen. Mungkin saja petugas tersebut sangat berhati-hati, aku harus bersabar dan tetap berbaik sangka. Semua hal yang menyangkut privasiku ditanyakan, dari keluarga, lingkungan, hingga pekerjaanku."Istri pertama dan calon istri kedua bisa dipanggil ke sini untuk dimintai keterangan?" 'Mengapa tiba-tiba harus begini?' Batinku. Kukira sudah cukup dengan melampirkan surat persetujuan yang sudah ditandatangani mereka berdua."Harus sekarang, Pak?" Tanyaku memastikan. Mereka semua masih sibuk dengan urusan masing-masing."Kalau surat izinnya mau dipercepat ya hari ini, Pak," jawabnya. "Kami butuh keterangan langsung dari yang bersangkutan, Pak. Urusan poligami begini bakal panjang urusannya kalau hanya dari keinginan sepihak." Petugas bicara panjang lebar menanggapi pertanyaanku.Aku menghela nafas sebelum memencet fitur panggilan ke
"Qabiltu Nikakhaha wa Tazwijaha, Delta Putri Ketvira Imanuella linafsii bimahrin madzkurin, Haalan!"Salis memutuskan untuk tidak datang ke ijab qabulku dengan Putri di KUA. Sebenarnya ini hanya ijab qabul ulang untuk formalitas dokumentasi, hubunganku dengan Putri sudah sah secara agama semenjak nikah siri. Demi melindungi Putri dengan hubungan pernikahan yang terbuka aku dan Ia harus memiliki surat nikah."Langsung pulang ke rumah?" Tanyaku padanya setelah selesai akad. Rizki dan temannya Putri yang menjadi saksi sudah lebih dulu pergi karena harus masuk kerja."Iya, Mas. Ganti baju dulu, habis itu langsung berangkat kerja," jawabnya.Aku mengantarkan Putri ke rumah dan kembali mengantarnya lagi ke kantornya. Di jam yang hampir memasuki makan siang, aku bergegas ke kantor untuk memeriksa pekerjaan yang sudah kutitipkan pada staf-stafku."Bro, Bro, lihat story Instagramnya Putri nih," ucap seseorang yang sedang bergerombol di sebuah lorong. Aku tidak menyangka sebegitu tenarnya Putri
Saat aku tiba di halaman rumah, kulihat Aghni sedang bermain mobil-mobilan. Tentu saja itu barang mainannya Ikhda karena anak itu tertawa riang di belakang adik sepupunya yang sedang mendorong mobil sebesar bantal. "Assalamu'alaikum, Aghni. Assalamu'alaikum Ikhda," sapaku sambil mengecup dahi mereka satu persatu."Wa'alaikumussalam, Pak Dhe," pekik Ikhda. Balita itu sudah jauh lebih besar dari terakhir kali aku melihatnya. Ia juga sudah bisa menjawab salam dengan sempurna. Aghni dengan wajah berbinar-binar meraih kantung keresek yang kubawa."Aghni, jawab apa sama Ayah?" Aku merangkul satu-satunya anak perempuanku."Ikum salam," jawabnya singkat. "Nah, anak pintar. Aunty Fatma di mana sekarang?" Tanyaku padanya untuk melatih ingatan."Di dalam," sahut Ikhda."Hmm, baiklah. Pak Dhe mau nengok Bundamu dulu. Ini Pak Dhe bawakan kue lapis, tapi cuma satu. Nanti kamu bagi dua sama adikmu, ya," pesanku pada Ikhda. Ia mengangguk sembari memandangi keresek yang kubawa. Aku sengaja memberik
"Aku mencintai seseorang, tapi seseorang itu tak bisa kumiliki. Melihatnya semakin menjauh, membuatku semakin merana." --Fani--"Kau bagaikan Aisyah, cerdas dan mempesona meski usiamu masih belia. Kau bagaikan Cleopatra, cantik dan berkuasa hingga banyak lelaki takluk padamu." --Alvian--"Banyak kebaikan yang bisa dilakukan di dunia ini, tapi satu-satunya kebaikan yang sangat susah kulakukan adalah mengepakkan sayap Iman." --Rizki--*** Awalnya kukira Ia menungguku, tapi ternyata Ia kembali lagi pada cinta pertamanya. Ia adalah seseorang yang selalu ada di dalam hatiku, Ia adalah lelaki yang selalu kulihat meski saat aku memejamkan mata. Lelaki itu bernama Nahru Rizki Budiman. Dalam waktu yang sama aku juga dekat dengan Mas Alvian, mahasiswa pascasarjana yang satu kampus denganku, tapi hatiku tetap lebih dekat dengan Mas Rizki.Hatiku hancur sehancur-hancurnya saat melihat Instastory perusahaan milik Abahnya Mas Rizki. Jujur saja, aku memang hidup dengan biaya dari perusahaan itu ta
Dua tahun kemudian….Aku kembali menjalani kehidupan di pesantren setelah kejadian kecelakaan itu. Kujalani semuanya dengan sabar meski rasanya seperti hidup di penjara. Sebelumnya, yang menjadi momok kebebasanku adalah Ayah dan Ibu. Tapi kini setelah berpisah dengan mereka, hidupku malah semakin terkekang.Saat aku melintasi papan poster di gedung Unit Kegiatan Mahasiswa, aku terbelalak tidak percaya. Wajah perempuan itu dipajang besar-besar di dalam poster. Tanganku meraba poster itu memastikan apa yang kulihat tidak salah. Ini wajah peremapuan itu, perempuan yang membuat hidupku jungkir balik. Mbak Fatma?Ia akan menjadi bintang tamu seminar di kota sebelah. Tanganku bergetar, ada rasa yang membuatku sakit hati melihat foto wajahnya. Aku tahu empat tahun lalu Mbak fatma memang belum terkenal sama sekali, tapi hari ini aku melihat sendiri Ia digandrungi banyak orang. 'Jadilah bintang, maka kamu akan dipandang', quote dari poster itu.Rasa iri menyelimutiku, kakiku mendadak lemah be
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka