Dengan kasar, Wati nampak menarik sebelah tangan Raya. Wati dan Winda menyeret Raya ke samping gerbang yang menjulang tinggi."Jangan kasar, Ma!" Raya menghempaskan genggaman Wati yang cukup kencang."Kenapa pergi dari rumah Mama, Raya?" Wati langsung bertanya. Dia sudah geram melihat sang menantu yang sudah satu minggu menghilang. "Kurang baik apa Mama selama ini? Kamu pergi begitu saja, tak ada kata terima kasih pada Mama yang selama ini menampungmu," cerocosnya kemudian."Ya, aku memang lupa belum sempat mengucapkan terima kasih. Aku ucapkan terima kasih karena Mama sudah menampungku, meski pun hanya sebagai benalu," balas Raya sedikit menyindir sambil mengatur napas kesalnya."Mulai berani kamu ya sama Mama!" Telunjuk Winda langsung mendorong pundak Raya secara tidak sopan.Tubuh Raya sampai mundur satu langkah. "Kasar sekali kamu, Win!" Raya menjadi geram."Itu belum apa-apa bila dibandingkan dengan kelakuan kamu, Raya. Kamu itu menantu tidak tahu terima kasih. Sombong dan songon
"Heh siapa ini?" Tentu saja Wati terkejut. Jelas sekali itu suara wanita, bukan suara Raihan. "Tante, siapa yang telepon?"Samar-samar Wati mendengar suara Raihan menyahut di dalam telepon. Tapi kenapa malah memanggil Tante? "Raihan!" Wati mengeraskan volume suaranya ke dekat benda pipih yang dia tempelkan pada telinga.Tak ada sahutan lagi.Tuttt!Sambungan telepon berakhir. Raihan mengakhiri panggilan telepon dari mamanya."Kenapa, Ma?" Winda tercengang mendengar mamanya berteriak.Raut wajah Wati nampak tegang. Ia merasa ada yang tak beres dengan anak laki-lakinya.Hingga akhirnya Wati memutuskan pergi ke Jakarta tanpa memberi tahu Raihan.Hari ini, pagi-pagi sekali Wati pamit pada Winda dengan alasan pergi ke pasar. Padahal, wanita paruh baya itu akan menemui Raihan secara mendadak.Perjalanan Wati memang tidak sebentar, ia kini telah berada di dalam gerbong KRL menuju stasiun Duri.Setelah sampai di stasiun, kakinya yang sudah tak sekuat anak muda itu, melangkah menuju bajaj ya
"Pak Aditya, tolong jaga ucapan Anda." Wati terlihat menahan amarah. Mana bisa dia marah pada Aditya.Aditya menurunkan sudut bibirnya. "Untuk apa Bu Wati datang ke sini?" tanyanya."Saya ini mertua Raya, saya berhak membawa Raya pulang," jawab Wati dengan tegas, sambil mengusap pipinya yang sempat basah oleh air mata."Tapi Raya pun berhak menentukan pilihannya." Aditya lebih tegas lagi.Wati nampak mengerutkan bibirnya. 'Sialan!' ia berdesis kesal dalam hatinya. Wanita paruh baya itu kemudian melayangkan tatapan sendu pada Raya. "Raya, pulanglah sekarang. Mama mohon," pinta Wati memelas. "Raihan telah menyakiti perasaan Mama. Pada siapa lagi Mama meminta tolong kalau bukan padamu. Mama yang telah mengurusmu selama ini, memberi kamu makan, memberi kamu obat dikala sakit. Kamu tidak lupa dengan kebaikan Mama 'kan?" Wati berusaha memancing Raya. Padahal selama ini, Raya hanya dikasih makan dengan ikan asin dan rebusan pepaya muda saja."Aku tidak pernah lupa dengan kebaikan Mama," ba
Pukul 19:30 WIB, seorang wanita suruhan Anita sudah tiba. Wanita itu membawa dress paling bagus, dan siap memoles wajah Raya.Awalnya Raya menolak, tapi lagi-lagi kelembutan bahasa Anita saat berbicara membuat Raya tak bisa menolak.Pintu kamar Raya dikunci dari dalam. Wanita berbulu mata lentik itu sedang berganti pakaian dan di-make up."Kenapa harus Raya yang menemani, Mah? Aku bisa pergi sendiri." Aditya mulai protes setelah tahu bahwa Raya yang akan menemaninya pergi ke pesta pernikahan saudaranya malam ini."Tidak apa-apa, Adit. Tangan Mamah sedang sakit, gak bisa nemenin kamu.""Aku pergi sendiri saja, Mah. Tidak enak jikalau Raya yang menemani," tolak Aditya dengan sopan."Tidak apa-apa, toh hanya menemani ke pesta pernikahan saja kok. Tidak ada yang salah 'kan?" Anita mengerutkan dahinya."Tapi Raya istri orang, Mah. Rasanya tidak baik." Aditya menggaruk kepala yang tak gatal."Kalian 'kan cuma pergi ke pesta pernikahan, bukan untuk pacaran. Masa berpikir sejauh itu." Anita m
Plak!Sebuah tamparan keras mendapat di pipi Raihan. Raya menampar suaminya karena tela tega memfitnah."Berani kamu menamparku, Raya!" Raihan tak terima."Karena kamu dan mama kamu sama saja! Kamu dan mama selalu saja menuduhku yang tidak-tidak!" lawan Raya. Kali ini wanita berbulu mata lentik itu tidak merasa takut pada suaminya."Jaga bicara kamu, Raya. Jangan sekali-kali kamu menjelekkan mamaku!" sentak Raihan."Memang begitu faktanya kok, Mas!" balas Raya lagi."Kamu pikir aku tidak bisa menebak harga gaun yang kamu pakai. uang dari mana kamu bisa memakai gaun mahal seperti itu, kalau bukan hasil menjual diri!" tuduh Raihan lagi."Titup mulut kamu, Mas! Aku bukanlah manusia kotor seperti kamu!" bantah Raya segera. Bertemu dengan Raihan telah membuat aliran darahnya memanas."Apa! Berani kamu menuduhku." Raihan terlihat mengepalkan kedua tangannya, kemudian tangan kekar itu ia naikkan ke depan wajah Raya. Bersiap menampar wanita berbulu mata lentik di depannya."Apa! Kamu mau namp
"Seratus juta!" tantang Aditya seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Hah!" Raihan pun terkejut dengan raut wajah tidak percaya. Sadar sedang berhadapan dengan siapa, dia akhirnya kebingungan. "Anda jangan main-main." Melihat raut wajah Raihan yang menjadi takut, Aditya pun tertawa geli di dalam hatinya. "Tidak ada gunanya main-main dengan Anda. Anda bayar denda sebagai ganti rugi pembatalan kerja seratus juta, detik ini pula Raya akan saya serahkan," tegas Aditya lagi.Raya yang bersembunyi di belakang Aditya, menjadi gelisah. 'Hah! Mengapa mahal sekali? Tapi bagaimana kalau Mas Raihan benar-benar berani menebusku? Aku tidak mau kembali padanya. Ya Tuhan, aku tidak mau,' resahnya dalam hati.Tapi kenyataannya, Raihan tak akan sudi menggelontorkan uang sebanyak itu demi Raya. Sudah susah payah melayani wanita paruh baya, Raihan tidak rela membuang uangnya secara cuma-cuma hanya untuk membayar denda. Hal itu dibuktikan dengan diamnya Raihan. Ia mendengus kesal, kemudian
Selin sampai mengerutkan bibirnya saat berjalan menuju kamar Fatih.Ketika Anita membuka pintu kamar Fatih, seketika Selin dibuat terkejut. Mulutnya sampai terbuka menganga, pun dengan bola mata yang nampak terbelalak.Selin masuk ke kamar Fatih. Ia melihat Raya baru saja memasukan buah dadanya yang besar ke dalam bra. Itu karena Raya baru saja selesai menyusui Fatih."Siapa kamu?" Selin sudah berdiri di depan Raya. Ia bertanya pada Raya dengan tatapan penuh selidik. "Kembalikan Fatih pada box!" perintahnya. Ia tak rela Fatih digendong oleh Raya.Raya tak menjawab. Ia sendiri tidak kenal dengan Selin. Raya tak tahu harus menjawab apa.Kemudian Anita langsung mengambil alih jawaban. "Perkenalkan ini adalah Raya. Raya adalah ibu susu Fatih sejak lahir," kata Anita memperkenalkan Raya kepada Selin.Selin semakin terkejut. Napasnya bagai tersengal di tenggorokan. Dipandangnya tubuh Raya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan tajam. Di mata Selin, penampilan Raya memang tak tel
"Aku tidak perduli. Aku tidak rela melihat keponakanku disusui oleh wanita macam gembel!" Selin beranjak dari tempat duduknya. Wanita berambut ikal itu hendak meninggalkan ruangan Aditya. Tapi langkahnya dangsung tertahan."Tunggu, Selin!" Gegas Aditya langsung menahan langkah Selin. Tak dibiarkannya sang adik ipar pergi begitu saja."Apa lagi?" Raut wajah Selin semakin terlihat kesal."Jangan beritahu mamah dan papah soal ibu susu Fatih," pinta Aditya memohon."Aku akan tetap beritahu mamah dan papah." Selin tetap memaksa."Tidak, Selin. Aku mohon." Kedua telapak tangan Aditya beradu, kembali meminta pada Selin. "Kamu tidak pernah tahu keadaan Fatih setelah dilahirkan. Aku sudah kelimpungan mencari ibu susu untuk Fatih. Anakku hampir mati tak mendapatkan ASI. Dan hari ini, kamu ingin Fatih kelaparan?" imbuhnya menjadi kesal pada Selin—sang adik ipar."Tapi kenapa harus wanita gembel itu yang menjadi ibu susunya? Menjijikan sekali." Selin mengerjapkan kedua bahunya."Tidak ada pilihan
"Biaya perawatan atas nama Nyonya Wati dan Tuan Raihan sudah ditanggung BPJS kesehatan." Keterangan dari pihak kasir membuat Raya menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi Wati berbohong kepadanya, padahal Raya ingin berbaik hati dan berdamai dengan mantan mertuanya. Sebelum Raya berlalu dari rumah sakit, ia kembali ke ruangan Wati. Raya melihat Wati masih menangis di kamarnya, entah tangisan apa yang tengah dikeluarkan oleh Wati. "Kenapa Mama berbohong?" Raya bertanya ketika sudah kembali menghadap Wati.Melihat Raya sudah kembali, Wati pun mendongak terkejut mendengar pertanyaan dari mantan menantunya. "Mama tidak bermaksud membohongi kamu. Jika Mama jujur, kamu tak akan percaya," elak Wati. "Aku sudah menemui pihak kasir. Semua biaya rumah sakit Mama dan Mas Raihan sudah ditanggung BPJS kesehatan." Raut wajah Raya terlihat kecewa. "Maafkan mama, Raya. Mama terpaksa berbohong, agar kamu mau meminjamkan uangmu pada Mama," elak Wati lagi."Sudah, Ma. Tidak apa-apa. Tolong jangan ulan
Anita segera mengejar langkah Raya yang sudah sampai di pintu utama.Langkah beratnya segera Raya hentikan begitu namanya dipanggil. Dadanya semakin terasa melemah. Raya ingin menoleh, tapi begitu berat."Raya, tetaplah tinggal di sini walau bukan lagi menjadi ibu susu Fatih." Anita meminta. Sebelah tangannya tampak meraih tangan Raya. Hingga membuat Raya harus kembali meneteskan air matanya. Raya menoleh pada Anita, menatap wanita paruh baya itu penuh dengan kasih sayang. "Tidak, Tante. Saya harus tetap pergi. Titip Fatih ya, Tante." Raya memeluk Anita. Terasa berat meninggalkan Fatih, tapi fitnah dari Aditya bagai senapan yang menusuk jantungnya. "Tante mohon, jangan pergi," pinta Anita lagi lirih.Namun Raya tetap memilih untuk pergi dari kediaman Aditya. Dia merasa sudah tak dibutuhkan lagi tanpa ASI. Langkah berat Raya kini telah jauh meninggalkan kediaman Fatih.Di bawah teriknya sinar matahari yang membakar kulit, Raya kini tengah duduk di kursi besi berwarna hitam yang ada
Satu hari setelah kejadian malam itu, semua orang berkumpul di ruang tengah kediaman Aditya. Di sana ada Anita, Aditya dan juga Raya. Berita mengejutkan itu telah sampai ke telinga Raya yang saat ini sudah sadar dari mabuknya."Tidak, Tante. Saya tidak pernah mengkonsumsi barang haram. Apalagi sebuah pil ekstasi. Melihat jenisnya saja saya tidak pernah. Sungguh saya bersumpah, saya tidak bohong." Raya menautkan kedua telapak tangannya di depan Anita dan Aditya. Dia berusaha membela diri, menepis hasil laboratorium di tangan Aditya. "Tapi kenyataannya kamu telah berbohong, Raya. Kenapa kamu melakukan ini? Apa karena gara-gara Saya marah kemarin kamu berbuat nekat?" Aditya menimpali.Raya pun mengalihkan pandangannya pada Aditya. Dia segera menggelengkan kepala. "Saya tidak pernah berbuat nekat. Saya memang kecewa, kenapa Pak Aditya sempat marah pada saya. Tapi kepala saya masih waras dan tak berpikir ke jalan pintas," bantahnya lagi. Dihadapan Raya, Anita sampai tak mampu untuk berk
Sampai malam hari, Raya masih tertidur pulas akibat efek dari obat yang tercampur dalam minuman dingin berwarna merah di cafe tadi siang.Obat terlarang yang dimasukkan Selin ke dalam minuman Raya, langsung bereaksi hingga membuat Raya kehilangan akal."Saya harap, Ibu Raya tidak boleh memberikan ASI kepada bayinya. Pengaruh dari obat terlarang yang dikonsumsi dapat membahayakan bayi dan dapat menular melalui ASI." Penjelasan Dokter pribadi yang sengaja dipanggil oleh Anita sangat mengejutkan.Anita dan Aditya nampak terkejut. Keduanya merasa tak percaya jika memang selama ini Raya telah mengkonsumsi obat-obatan terlarang. "Dokter, apa ini serius? Rasanya Raya tidak mungkin mengkonsumsi obat-obatan terlarang." Anita berusaha membantah keadaan."Saya sudah memeriksanya. Semua tanda-tanda yang dialami oleh ibu Raya, adalah bagian dari pengaruh obat-obatan terlarang yang sudah dikonsumsi."Lagi-lagi Anita dibuat tercengang. Nafasnya terasa tersengal di tenggorokan. Ia duduk lesu di so
Aditya terlihat kacau. Sang Presdir tak mampu mengendalikan emosinya. Ia juga lupa bahwa wanita yang telah dimarahi adalah ibu susu anaknya. Aditya terduduk sambil memasang wajah sinis dan berpangku tangan. Dia juga memalingkan tatapan ke arah yang lain, enggan untuk membalas tatapan Raya padanya. "Maafkan saya, Pak. Saya memang bersalah." Raya menundukan kepalanya. Dia melihat emosi Aditya persis seperti saat pertama bertemu dahulu.Ucapan maaf Raya tidak mendapat respon. Setelah meletakkan ponsel pintar milik Aditya di atas meja, Raya segera keluar dari ruangan Aditya. "Saya pamit," ucapnya sebelum berlalu. Akan tetapi Aditya masih tertuju dalam pandangan yang sama, seolah tak peduli dengan Raya.Raya sudah keluar dari ruangan Aditya, langkah pelannya sesekali berhenti. Raya menoleh ke arah belakang, tak ada Aditya di sana. Nampaknya sang presdir tak lagi perduli dengan perasaannya hingga tak mau mengejar langkah Raya."Dari mana kamu?" Raya tersentak, tiba-tiba saja Seline sudah
Raya melihat tubuh Wati digotong oleh beberapa orang ke pinggir jalan. Wanita berbulu mata lentik itu segera keluar dari kendaraan dan langsung mendekat pada Wati. Ia melangkah melewati beberapa orang yang berkerumun. "Permisi!"Dada Raya bergetar cemas. Debaran jantung terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Tepat di depan mata Raya, Wati tergeletak dengan beberapa luka di sekujur tubuhnya. Bukan hanya mantan mertua, Raya juga melihat Raihan—mantan suami yang turut menjadi korban kecelakaan tunggal pada hari itu. "Saya mengenal mereka, saya akan segera membawa mereka ke rumah sakit." Raya menjadi panik. Ia pun langsung berbicara pada beberapa orang yang berdiri mengelilingi Wati dan Raihan. Melalui sambungan telepon Raya segera menghubungi ambulans untuk membawa Wati dan Raihan ke rumah sakit. "Ma, bertahan ya." Air mata Raya menetes manakala naik mobil ambulans menamani Wati yang tak sadarkan diri. Karena panik dan tergesa-gesa, Raya sampai lupa menitipkan ponsel Aditya
Namun meskipun Raya terus menolak bantuan dari Aditya, tetap saja dengan sembunyi-sembunyi Aditya meminta bantuan pengacaranya untuk mengurus perceraian Raya.Hari berganti. Jadwal mediasi kedua telah tiba. Berat rasanya Raya meninggalkan Fatih, mengingat tempo lalu Fatih menangis karena terlalu lama Raya tinggalkan.Tapi mau bagaimana lagi, Raya harus tetap memenuhi jadwal mediasi kedua, agar gugatannya segera diterima. Hingga ketika matahari mulai naik ke atas, Raya masih berada di kamar Fatih, menatap bayi tampan itu cukup lama. "Kenapa masih belum berangkat? Bukankah hari ini ada jadwal mediasi?"Tiba-tiba saja Aditya datang menghampiri Raya di kamar Fatih, duda tampan itu bertanya dengan penuh perhatian kepada Raya."Saya bingung, Pak. Berat rasanya jika harus meninggalkan Fatih dalam beberapa jam. Saya sangat khawatir kalau Fatih akan menangis, seperti tempo lalu," jawab Raya terlihat lesu. Aditya yang sudah tahu kalau anaknya memang tidak mau minum ASI melalui dot bayi, hany
Hari ini Raya harus pulang dalam keadaan lesu. Mediasi kali ini dirasa gagal. Gagal bagi Raya, sebab harus ada mediasi kedua setelah ini. Nampaknya Raihan benar-benar mempersulit gugatan Raya. Pukul 11.00 siang Raya sudah pulang ke rumah Aditya. Ketika langkahnya mulai masuk ke rumah, Raya mendengar suara tangisan bayi dari dalam. Seketika ia tersentak. Sudah bisa ditebak, tangisan bayi itu pasti milik Fatih.Raya segera mempercepat langkah menuju kamar Fatih. Di dalam kamar bayi itu, ia melihat Anita tengah memberikan ASI melalui dot dari botol susu. Tapi Fatih terlihat menolak sambil terus menangis. "Kenapa dengan Fatih, Tante?" tanya Raya sambil mendekat. Dia menjadi cemas mendengar tangisan Fatih yang tak biasa ditelinganya."Fatih haus, Raya. Dia minta ASI. Tapi menolak melalui dot bayi ini." Anita mengangkat botol yang berisi ASI Raya."Ya ampun." Saya segera menggendong Fatih kepangkuannya. Dipeluknya bayi tampan itu penuh kehangatan, hingga akhirnya Fatih menyudahi tangisann
"Tunggu!"Aditya sudah berada di depan Raya, menghentikan langkah Raya dengan cepat. "Ada apa, Pak?" Wajah datar Raya bertanya pada Aditya."Kenapa harus memaksa pergi sendirian? Bukankah kita sudah tahu bagaimana sikap Raihan padamu. Tolong jangan egois, biarkan driver dan satpam mengantarmu sekarang," tutur Aditya berusaha meyakinkan Raya. Namun Raya malah menundukkan kepala. Responnya masih sama. "Saya yakin tidak akan terjadi apa-apa. Saya tetap pergi sendiri."Wanita berbulu mata lentik itu kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Raya tetap memaksa pergi sendirian, walaupun Aditya sempat menghalanginya.Raya pergi dengan menaiki ojek online yang sudah dipesan. Dia berlalu dengan cepat meninggalkan kediaman Aditya.Tak bisa membiarkan Raya pergi sendiri, perasaan Aditya tetap saja cemas mengkhawatirkan Ibu susu anaknya itu. Aditya kemudian melajukan kendaraan roda empatnya mengikuti Raya dari belakang.Saat dalam perjalanan, Aditya segera memasang earphone pada tel