Satu hari setelah itu, Aditya memerintahkan seluruh orang kepercayaannya untuk mencari keberadaan Raya Maulida. Aditya masih penasaran seperti apa sosok Raya Maulida—Ibu susu anaknya yang asli.Padahal saat ini, Raya sudah berada di kediaman Hani. Wanita berbulu mata lentik itu berhasil menemukan Hani dengan bertanya kepada satpam perumahan."Hani, bolehkah aku menumpang di sini dalam beberapa hari?" Raut wajah Raya nampak memelas ketika menatap wajah Hani.Dua wanita itu kini tengah berada di ruang makan kediaman Hani. Mereka Tengah sarapan bersama. Mendengar pertanyaan Raya, seketika Hani menjeda sarapannya. "Tidak usah meminta izin soal itu. Di sini aku hanya tinggal sendiri. Aku malah senang jika kamu tinggal di sini, jadi ada teman 'kan," jawab Hani terlihat santai."Terima kasih, Hani.""Sama-sama, Raya. Oh iya setelah ini apa yang hendak kamu lakukan? Surat lamaranmu yang dulu sudah aku masukkan ke kantor Fadillah group—tempatku bekerja, atasanku sudah menerima ajuanku. Tingga
"Apa kamu serius?" Aditya terkejut lalu menyeringai."Serius, Pak. Wanita bernama Raya Maulida sudah bersama saya sekarang." Suara pria di balik telepon kembali menegaskan."Saya segera ke sana sekarang." Tak mau menunggu lama, gegas Aditya langsung pergi ke tempat yang telah disebutkan pria kepercayaannya di telepon tadi.Aditya nampak senang, berharap wanita sebagai ibu susu anaknya itu benar-benar ketemu. Tak ada tujuan lain dalam hati Aditya, selain ingin membalas budi baiknya selamat ini. Ingin kebutuhan ASI anaknya terpenuhi sampai berusia 2 tahun. Aditya juga ingin mempertanyakan mengenai uang ratusan juta yang telah digelontorkan pada Winda selama ini, dalam hatinya ia khawatir uang itu tak pernah sampai pada Raya. Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, Aditya telah sampai di depan hotel seruni. Ia bergegas melangkah dengan cepat, masuk ke dalam restoran yang berada di hotel seruni.Begitu langkah kaki telah sampai di dalam restoran, Aditya mengedarkan pandanga
"Pertemukan saya dengan Raya, Sus. Anak saya sangat membutuhkannya," pinta Aditya dengan segera."Bukankah Pak Aditya sudah mendapatkan alamat rumah Ibu Raya?" Perawat itu malah bertanya keheranan.Aditya terdiam dalam beberapa detik. Ia kesulitan harus menjawab apa. Rasa-rasanya tak mungkin dia menjelaskan kisah rumit mengenai Raya pada perawat rumah sakit itu."Saya tidak menemukan Raya di rumahnya, Sus. Kata keluarganya, Raya sudah keluar dari rumah orang tuanya," jawab Aditya dengan alasan sepintas saja."Oh begitu." Wanita berseragam putih itu mengangguk paham. "Baiklah, jika suatu saat Ibu Raya kembali menemui saya, apa yang harus saya lakukan?" Aditya nampak menyeringai. "Saya ingin meminta nomor teleponnya. Saya ingin menghubungi Raya secara langsung.""Sebagai jaga-jaga, bagaimana jika Ibu Raya menolak?" tanya perawat itu lagi."Jika tidak keberatan, Suster boleh menyimpan nomor handphone saya. Hubungi saya jika Raya mendatangi Anda," pinta Aditya."Baik, Pak."Petugas berse
Ketika langkah kaki Raya sampai di lobi, ia tak sengaja kembali bertemu Aditya Fadillah di sana."Lain kali jangan berlagak sombong. Saya pikir kamu tidak akam membutuhkan siapa pun di dunia ini," sindir Aditya ketika lewat di depan Raya."Maafkan saya, Pak. Saya memang lupa belum mengucapkan terima kasih pada Bapak," balas Raya mengaku salah."Terlambat!" Aditya mengibaskan sebelah tangannya kemudian pergi menuju kendaraan roda empat miliknya. Ia akan meeting dengan orang penting, di tempat lain.Melihat tingkah Aditya, isi dada Raya menjadi panas. "Sebenarnya yang sombong itu siapa sih? Aku apa dia?" desis Raya menjadi kesal sendirian. Sial sekali nasibnya, mengapa harus bertemu dengan pria itu di kantor Hani. Lebih apesnya lagi Raya baru tahu kalau atasan Hani adalah Aditya Fadillah—pria jutek dalam pandangannya.Raya melanjutkan langkah, ia berharap untuk tidak berurusan lagi dengan pria jutek tadi.Di pinggir jalan, Raya berdiri sendirian karena tengah menunggu pesanan ojeg onlin
Meskipun sedang melakukan meeting penting dengan client, langsung Aditya tinggalkan begitu mendapatkan laporan dari perawat rumah sakit. Aditya sudah menunggu lama untuk bertemu dengan ibu susu anaknya, yakni Raya Maulida yang asli.Namun sepertinya kesabaran Aditya benar-benar tengah diuji, kendaraan roda empat yang dikemudikan malah terjebak macet parah di perjalanan menuju rumah sakit."Sial!" Beberapa kali Aditya mendengus kesal. Mana ia menyetir sendirian pula. Padahal kalau ada driver, bisa saja Aditya pergi dengan ojeg online agar lebih cepat sampai.Cukup lama sekali Aditya terjebak macet, hampir satu jam lebih. Aditya cemas, khawatir akan datang terlambat.Ting!Suara notifikasi pesan masuk pada handphone Aditya.Aditya segera membuka dan membaca pesan yang datangnya dari perawat rumah sakit.Perawat: [Pak Aditya masih dimana? Ini sudah hampir dua jam Ibu Raya menunggu.]Aditya segera membalas: [Saya akan tiba sekitar lima menit lagi. Tahan wanita itu.]Perawat: [Baik, Pak.]
Tubuh Raya serasa lelah. Batinnya kian terasa pilu. Mengapa ia harus bertemu dengan orang-orang yang lagi-lagi menyakiti hatinya.Ketika malam tiba, Raya merenung sendirian di taman belakang rumah Hani. Sampai kapan ia harus terus menumpang di rumah sahabatnya itu? Raya kemudian mendapatkan keputusan. Ia beranjak dari tempat duduknya, mengampiri Hani di ruang tengah. "Han, sepertinya besok aku akan pergi. Terima kasih ya sudah memberi tumpangan."Hani tersentak mendengar ucapan Raya barusan. "Kamu ngomong apa sih, Raya? Pergi kemana maksudnya?"Raya terlihat mengatur napas, kemudian ia duduk di dekat Hani. "Sepertinya aku akan bekerja menjadi ART. Kebetulan tadi siang aku bertemu dengan penyalur ART. Aku sudah mendaftarkan diri.""Ya ampun, Raya. Jangan dong. Aku akan usahakan mencari pekerjaan yang lebih layak lagi untuk kamu." Hani berusaha menahan niat Raya."Tidak usah, Han. Aku sudah terlalu sering merepotkan kamu." "Tidak ada yang direpotkan, Raya. Please... Jangan kemana-man
Hani berangkat ke kantor sendirian. Dia membawa paper bag yang berisi ASI titipan Raya. Begitu sampai di kantor Fadillah group, wanita berambut ikal itu langsung menuju ruangan Aditya Fadillah.Di depan ruangan sang Presdir, Hani mengangkat sebelah tangan, lalu mengetuk pintu di depannya.Tok tok tok!"Masuk!" Suara Aditya menyahut dari dalam, sebagai perintah dari sang pemilik ruangan.Hani segera memutar handle pintu. Ia masuk dan berdiri di hadapan Aditya. "Selamat pagi, Pak!" sapanya."Pagi!" balas Aditya seraya menengok ke belakang Hani. Tak ada satu pun wanita yang bersama Hani pagi ini. "Mana Raya?" tanyanya kemudian."Maaf, Pak. Raya tidak bersedia ikut dengan saya. Saya sudah membujuk, tapi Raya tetap tidak mau," jawab Hani sambil menundukkan kepala dengan sopan. Tentu ia sadar sedang berhadapan dengan siapa. Walau pun hati sangat kecewa pada Aditya, Hani tetap hormat.Aditya pun terkejut mendengar keterangan Hani barusan. "Kenapa Raya tidak mau menghadap saya? Padahal saya h
Terlihat jelas kalau Raya masih memendam rasa kecewa. Dia masih terpaku dalam diam, merapatkan kedua bibirnya tanpa sepatah kata."Raya, Pak Aditya khilaf. Seandainya beliau tahu dari awal jikalau kamu adalah ibu susu anaknya, tentu Pak Aditya tak akan menyakiti perasaan kamu." Hani langsung menimpali."Iya, Raya. Saya bersungguh-sungguh ingin meminta maaf. Sebenarnya sudah lama saya mencari keberadaan kamu kemana-mana." Aditya menambahkan."Bukankah saya hanya beberapa kali saja memberikan ASI pada Fatih? Selama di kampung, ASI saya selalu dibawa mama untuk di donorkan pada orang lain. Rasanya, saya tidak pantas disebut ibu susu untuk anak Pak Aditya," balas Raya akhirnya."Tidak, Raya. Sejak saya tahu kalau status Winda adalah seorang gadis yang belum pernah menyusui, saya pun membongkar semua kebohongan Ibu Wati dan Winda selama ini." Aditya langsung menerangkan. "Jadi, Pak Aditya tahu tentang mertua dan ipar saya?" Raya terkejut.Aditya pun langsung mengangguk. "Jelas saya tahu.
Namun meskipun Raya terus menolak bantuan dari Aditya, tetap saja dengan sembunyi-sembunyi Aditya meminta bantuan pengacaranya untuk mengurus perceraian Raya.Hari berganti. Jadwal mediasi kedua telah tiba. Berat rasanya Raya meninggalkan Fatih, mengingat tempo lalu Fatih menangis karena terlalu lama Raya tinggalkan.Tapi mau bagaimana lagi, Raya harus tetap memenuhi jadwal mediasi kedua, agar gugatannya segera diterima. Hingga ketika matahari mulai naik ke atas, Raya masih berada di kamar Fatih, menatap bayi tampan itu cukup lama. "Kenapa masih belum berangkat? Bukankah hari ini ada jadwal mediasi?"Tiba-tiba saja Aditya datang menghampiri Raya di kamar Fatih, duda tampan itu bertanya dengan penuh perhatian kepada Raya."Saya bingung, Pak. Berat rasanya jika harus meninggalkan Fatih dalam beberapa jam. Saya sangat khawatir kalau Fatih akan menangis, seperti tempo lalu," jawab Raya terlihat lesu. Aditya yang sudah tahu kalau anaknya memang tidak mau minum ASI melalui dot bayi, hany
Hari ini Raya harus pulang dalam keadaan lesu. Mediasi kali ini dirasa gagal. Gagal bagi Raya, sebab harus ada mediasi kedua setelah ini. Nampaknya Raihan benar-benar mempersulit gugatan Raya. Pukul 11.00 siang Raya sudah pulang ke rumah Aditya. Ketika langkahnya mulai masuk ke rumah, Raya mendengar suara tangisan bayi dari dalam. Seketika ia tersentak. Sudah bisa ditebak, tangisan bayi itu pasti milik Fatih.Raya segera mempercepat langkah menuju kamar Fatih. Di dalam kamar bayi itu, ia melihat Anita tengah memberikan ASI melalui dot dari botol susu. Tapi Fatih terlihat menolak sambil terus menangis. "Kenapa dengan Fatih, Tante?" tanya Raya sambil mendekat. Dia menjadi cemas mendengar tangisan Fatih yang tak biasa ditelinganya."Fatih haus, Raya. Dia minta ASI. Tapi menolak melalui dot bayi ini." Anita mengangkat botol yang berisi ASI Raya."Ya ampun." Saya segera menggendong Fatih kepangkuannya. Dipeluknya bayi tampan itu penuh kehangatan, hingga akhirnya Fatih menyudahi tangisann
"Tunggu!"Aditya sudah berada di depan Raya, menghentikan langkah Raya dengan cepat. "Ada apa, Pak?" Wajah datar Raya bertanya pada Aditya."Kenapa harus memaksa pergi sendirian? Bukankah kita sudah tahu bagaimana sikap Raihan padamu. Tolong jangan egois, biarkan driver dan satpam mengantarmu sekarang," tutur Aditya berusaha meyakinkan Raya. Namun Raya malah menundukkan kepala. Responnya masih sama. "Saya yakin tidak akan terjadi apa-apa. Saya tetap pergi sendiri."Wanita berbulu mata lentik itu kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Raya tetap memaksa pergi sendirian, walaupun Aditya sempat menghalanginya.Raya pergi dengan menaiki ojek online yang sudah dipesan. Dia berlalu dengan cepat meninggalkan kediaman Aditya.Tak bisa membiarkan Raya pergi sendiri, perasaan Aditya tetap saja cemas mengkhawatirkan Ibu susu anaknya itu. Aditya kemudian melajukan kendaraan roda empatnya mengikuti Raya dari belakang.Saat dalam perjalanan, Aditya segera memasang earphone pada tel
Malam ini, Raya sampai tak dapat tidur. Kelopak matanya terus saja terbuka tanpa bisa dipejamkan. Pikirannya kalut. Setiap kali berusaha untuk tidur, Fatih malah terbangun dan dia harus kembali menyusui Fatih.Bahkan ketika menatap wajah Fatih, tak terasa ada yang menetes dari sudut matanya. Ada kesedihan yang tak mampu dibendungnya malam ini.Raya terisak. Dihapusnya segera pipi yang sudah basah oleh tetesan bulir bening. Dia sendiri tidak tahu penyebab tangisannya malam ini. Yang pasti, ucapan Aditya tadi sore telah membuat hatinya terluka. "Ibu akan tetap bertahan di sini, sampai memastikan kamu tidak membutuhkan Ibu lagi, Fatih." Raya semakin terisak ketika menuturkan kalimat barusan. Anak susunya itu yang kini berada dalam pangkuan, terlihat mengukir senyuman pada Raya. Senyuman Fatih, ketika membuat perasaan Raya terasa lebih tenang dari sebelumnya. Bagaimana mungkin Raya bisa hidup tanpa Fatih? Ia merasa sebagian dari hidupnya, ada pada Fatih. Saya juga merasa kalau Fatih ada
"Heh! Ngapain kamu berdiri di situ?" tegur Seline yang baru saja menyadari keberadaan Raya di dekat tangga. "Kamu sedang nguping ya? Nggak sopan banget," imbuhnya menyindir.Dengan cepat, Aditya menoleh. Raut wajahnya seketika berubah menjadi tercengang. Ia benar-benar tidak tahu kalau Raya sudah berdiri di situ."Raya!" Aditya napak menganga. Bagaimana kalau Raya sampai mendengar percakapannya barusan. Sudah dipastikan Ibu susu Fatih pasti itu pasti sakit hati.Raya segera mengatur nafasnya. "Maaf, saya tidak berniat menguping. Saya hanya ingin mengantarkan pesanan kopi untuk Pak Aditya," ucapnya. Raya melanjutkan langkah lalu meletakan satu cangkir yang berisi kopi di atas meja. "Silahkan, Pak."Raya langsung berbalik arah, hendak turun.Namun Selin langsung menahan langkahnya. "Tunggu!"Akhirnya Raya menjeda langkah. "Kenapa, Bu?" tanyanya seraya menoleh."Apa! Ibu? Kamu pikir aku ibumu!" protes Selin pada Raya.Raya segera menunduk. "Maaf." "Panggil saya Nona!" pinta Selin dengan
"Hey! Pergi!" Mendengar Raihan berteriak di depan rumah majikannya, satpam yang berjaga di rumah Aditya langsung mengusir Raihan."Saya harus bertemu dengan istri saya!" pinta Raihan memaksa. Namun satpam berseragam putih hitam itu langsung mendorong Raihan hingga mundur beberapa langkah ke belakang."Anda tidak sopan! Pergi sekarang, atau saya akan melaporkan Anda ke pihak berwajib." Satpam pun segera mengeluarkan ancaman."Halah! Kamu dan majikanmu itu tak jauh beda, sama-sama tukang mengancam." Raihan tidak takut. Malah semakin menantang."Saya tidak mengancam. Anda telah membuat kekacauan di dapan rumah orang. Kami tidak nyaman dengan teriakan Anda. Pergi dari sini sekarang sebelum saya bertindak lebih jauh." Bukan hanya satu orang satpam, beberapa satpam di rumah Aditya nampak berkumpul untuk mengusir Raihan. Satpam kediaman Aditya itu sudah diberitahu mengenai Raihan. Penjagaan ketat mulai diterapkan sedari kemarin.Ditengah kekacauan yang dibuat Raihan, tiba-tiba sebuah sedan
Hari ini Raya bisa menghela nafas lega, Dia baru saja selesai mengajukan permohonan gugatan perceraian ke pengadilan agama.Proses ini masih cukup panjang. Raya harus mempersiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Dia juga harus mempersiapkan diri untuk tahap selanjutnya yakni tahap mediasi. Saat ini Raya dan Aditya telah kembali ke kendaraan roda 4 milik Aditya. Ketika matahari sudah naik ke atas ubun-ubun, kendaraan Aditya harus terjebak macet di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Saat itu pula, kemeja yang Raya gunakan nampak basah di bagian dadanya. Buah dada Raya basah. ASI-nya merembes. "Oh ya ampun." Menyadari hal itu, Raya langsung menutupi bagian dadanya dengan kedua telapak tangan. Ia baru sadar dengan pakaian yang sudah basah oleh ASI yang merembes keluar. Pun dengan Aditya sadar akan hal itu, menjadi serba salah. Ia tahu yang basah itu pasti ASI. Tapi Aditya tidak enak untuk mengatakannya."Kamu kenapa?" Aditya memilih untuk pura-pura
"Ada apa ini?" Anita yang tak sengaja mendengar suara Selin, turut serta masuk ke kamar Fatih Sadar akan kedatangan Anita, Selin pun langsung merubah raut wajahnya menjadi sendu."Tante." Selin yang sudah memasang wajah sendu, langsung memeluk Anita. Menyembunyikan tangisan palsunya."Kenapa, Selin?" Anita menjadi keheranan. "Bukankah tadi kamu marah-marah? Kenapa jadi menangis?" tanyanya seraya mengusap lembut punggung Selin."Aku marah karena wanita itu menghinaku, Tante." Selin sambil terisak. Terlihat menangis, tapi tak ada setetes pun air mata yang keluar.Mendengar tuduhan Selin, Raya pun mendongak terkejut. Raya juga langsung menggelengkan kepalanya. "Saya tidak menghina siapa pun," bantahnya segera."Bohong, Tante. Dia berkata, kalau aku tidak pantas dekat dengan Fatih. Dia mengusirku. Aku menjadi marah dan sedih." Selin kembali berpura-pura menangis dalam pelukan Anita."Masa sih?" Anita menautkan kedua alisnya. Terlihat tak percaya."Tante gak percaya sama aku?" Wajah manja
"Hah!" Mendengar itu seketika Raya mendongak terkejut. "Maksudnya?" Sadar dengan ucapan barusan, Aditya terlihat menjadi gugup. "Eh maksudnya, saya. Mmm... Maksud saya, saya akan melakukan apa pun untuk siapa saja yang menyayangi Fatih. Termasuk kamu. Kamu sayang 'kan pada Fatih?" ralatnya segera.Nampak kedua sudut bibir Raya tertarik ke samping. Ia mengukir senyum. "Tentu saja, Pak. Saya sangat menyayangi Fatih bagaikan anak kandung sendiri. Maaf jika perasaan saya pada Fatih terlalu berlebihan," balasnya pada Aditya."Tidak usah minta maaf, Raya. Saya malah merasa senang atas kasih sayang yang kamu berikan pada Fatih." Aditya menjadi salah tingkah. Ia meluruskan pandangan ke depan, tak tentu tujuan.Hingga akhirnya Raya telah sampai di kediaman mewahnya Aditya Fadillah."Titip Fatih ya. Saya harus meeting seharian ini," ucap Aditya ketika Raya hendak keluar dari mobilnya."Iya, Pak. Tentu saja." Raya menganggukan kepala kemudian keluar dari mobil Aditya.Raya merasa senang sebab i