Keheningan meruang setelah tiga pelayan keluar dari kamar Linda, menyisahkan Kent yang masih berdiri di tempat dan Lucia yang duduk di tepi ranjang. Satu sama lain saling enggan membuka pembicaraan, hingga akhirnya Kent berdeham dan sebuah kalimat lolos dari bibir ranum merah mudanya. "Apakah aku perlu membawamu ke rumah sakit lagi? Aku lihat lebam di wajahmu terlihat bertambah." ucap Kent datar dengan kedua tangan terkepal di dalam saku celana, dia benci dengan dirinya saat ini. Lagi-lagi jantungnya berdebar disaat yang tidak tepat. "Saya rasa tidak perlu, Tuan. Saya bisa pergi ke klinik sendiri nanti." jawab Lucia lalu mengulum bibir setelahnya. Luka akibat kejadian satu minggu yang lalu belum sepenuhnya pulih, dan seseorang kembali membuat gadis itu terluka. Kendati begitu Lucia sangat bersyukur, Tuhan mendatangkan Kent sebagai penolongnya kala itu. Tidak hanya tubuhnya yang terluka, bisa saja kehormatan yang ada di bagian bawah tubuhnya akan koyak jika Kent tidak menghentikan ke
Seminggu berlalu setelah kejadian penganiyayaan yang Eryk lakukan terhadap Lucia. Gadis itu masih belum bisa membunuh perasaan rindu yang seringkali datang menerjang. Berulang kali gadis itu melihat layar ponsel, berharap Eryk menghubunginya dan meminta maaf, namun hanya kecewa yang selalu Lucia dapatkan. Tidak satu pun pesan masuk datang dari pria itu. Lucia menatap Henry yang terlelap dengan bibir tersenyum lemah. Gadis itu bangkit berdiri dan mengecup kening sang ayah sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan. Lucia bermaksud mencari pekerjaan hari ini. Uang harus segera terkumpul agar sang ayah dapat kembali menjalani proses cuci darah."Aku pergi, Ayah. Doakan puterimu, semoga aku mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya." bisik gadis itu dengan suara yang nyaris tak terdengar agar Henry tidak terbangun. Lucia keluar dari ruang perawatan dengan senyum yang dipaksakan. Ia sedang berusaha menguatkan dirinya sendiri saat ini, setelah semalaman tidak dapat tidur da
Dari kejauhan Kent tersenyum lega melihat Lucia yang tersenyum lebar seraya mengelus perut kenyangnya. Namun di menit berikutnya, pria itu mengernyit penuh tanya saat melihat Lucia menempelkan ponsel di telinganya. Telepon dari siapa?Dering ponsel yang berbunyi membuat Lucia bersegera meraih benda pipih yang menjadi sumber bunyi tersebut. Layar ponsel yang sering kali terlihat hitam kali ini menyala, menampilkan nama Eryk Orlov sebagai pihak pemanggil. Lucia sangat senang, namun sesaat kemudian dia merasa gelisah mengingat kekerasan yang dia alami beberapa waktu lalu. Haruskah gadis itu mengangkat telepon Eryk? "Hah, sebaiknya aku angkat saja. Bisa saja dia menyesali perbuatannya dan bermaksud meminta maaf kali ini." Lucia tersenyum sembari mengangkat telepon dari Eryk. "Hallo?" sapa Lucia, mata gadis itu terpejam sembari mengucap harapan dalam hati. "Lucia? Kau ada di mana?" tanya seorang pria dari sambungan seberang."Ah ..." Lucia mendesah kecewa. Apa yang dia dengar idak sesu
Dengan langkah sedikit tergesa Kent memasuki mansion dan menuju ruang bersantai. Tatapan pria itu langsung tertuju pada meja bar di ruang bersantai, lalu mendengus kecewa saat tidak mendapati Eryk berada di bar. "Apa Eryk belum juga kembali, Linda?" tanya Kent kepada satu pelayan yang saat itu tengah membersihkan permadani dengan alat penyedot debu. "Tuan Eryk belum kembali, Tuan." jawab pelayan muda itu yang menyempatkan diri menatap tuannya, sebelum akhirnya kembali menunduk untuk melakukan pekerjaanya. Mendengar jawaban Linda, Kent lantas mendengus sembari memijit pelipis yang terasa berdenyut. Pria paruh baya itu lantas berjalan dan mengambil posisi duduk di meja bar, tanpa niat mengambil minuman untuk dirinya sendiri. "Apa perlu saya menuangkan minuman untuk Anda, Tuan?" tawar Linda seraya berjalan mendekat. "Tidak Linda. Tidak perlu." jawab Kent singkat sembari mengetukkan buku jarinya di atas meja bar. Wajah pria itu terlihat gusar. "Ah, baiklah." ucap Linda sebelum akhin
Lisa tersenyum puas saat terbangun dari tidur dan mendapati wajah pria yang dia cintai saat pertama membuka mata hari itu. Perempuan itu melarikan jemarinya di atas dada telanjang Eryk yang bidang dan sedikit berbulu. Namun tak lama setelah itu, dering ponsel menarik perhatiannya. Dengan enggan, karena rasa kantuk yang masih bergelayut, Lisa bangkit untuk mengambil ponsel Eryk yang seolah berteriak memaksa si pemilik ponsel untuk memenuhi panggilannya. Lisa mengambil benda tersebut dari atas nakas. Alis gadis itu seketika bertaut saat mendapati nama Lucia sebagai penelepon. Lucia? Mungkinkah yang saat ini menelepon Eryk adalah Lucia saudara kandungnya? Atau mungkin gadis lain yang kebetulan memiliki nama sama? Sederet pertanyaan memenuhi kepala Lisa. Namun siapa pun perempuan bernama Lucia yang saat ini menelepon pacarnya, tetap saja gadis itu tidak terima, seketika perasaan cemburu mengambil alih dirinya. Sehingga Lisa membuka log panggilan di ponsel Eryk untuk mencocokan nomor pe
Henry terbangun dari tidurnya saat sinar matahari menerobos masuk melalui celah fentilasi. Cukup menyilaukan, sehingga mengusik tidurnya. Saat satu tangannya bergerak, jemari pria itu merasakan sebuah tekstur halus. Ia pun melirik ke arah bawah dan mendapati anak gadisnya tengah terlelap dengan posisi duduk, sedangkan tangan dan kepalanya terletak di atas ranjang. Seketika pria itu mengulas senyum getir. Gurat lelah terlihat jelas dalam tidur pulas Lucia. Membuatnya merasa semakin berdosa karena membiarkan gadis itu memikul tanggung jawab yang tidak seharusnya. Sentuhan hangat dan lembut di kepala membuat Lucia perlahan membuka mata. Beberapa kali mata gadis itu mengerjab, dan saat penglihatannya sudah jelas, dia mendapati sang ayah sudah terbangun dengan wajah tersenyum mengarah padanya."Ayah sudah bangun?" ucap Lucia yang juga mengulas senyum tulus, terasa menyejukkan bagi Henry laksana embun pagi. "Ayah terbangun begitu teringat padamu. Ayah pikir kau tidak akan datang berkunju
Di kursi kebesarannya, Oliver Kent sedang menumpu kaki sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Ruang kantor bergaya kontemporer itu cukup hening, Kent sedang menantikan seseorang yang datang untuk melaksanakan tugas darinya. Pintu ruangan diketuk, Kent menyeru agar orang di balik pintu masuk ke dalam ruangan. "Permisi, Tuan." ucap Robin, dari balik punggung sopir pribadinya, seorang pemuda tampak mengintip untuk melihat Kent yang saat ini menatap lurus ke arah dua orang tersebut. "Dia Jovi, Tuan. Pemuda yang memenuhi persyaratan yang Tuan harapkan. Saya yakin, dia pemuda yang bisa dipercaya." terang Robin tanpa Kent minta. Kent menatap intens ada pemuda yang kini tersenyum canggung di hadapan. Sesaat Kent membuang wajah, pemuda itu cukup rupawan. Ada sedikit kekhawatiran jika parasnya membuat Lucia terpana jika misinya untuk menawar dan membeli gadis itu berhasil. Bukankah itu berarti mereka akan melakukan perjalanan bersama saat membawa Lucia datang kepada Kent? Bagaima
Lucia terpaksa menyunggingkan senyum saat musik mulai mengalun. Sesekali dia bergerak seductive memamerkan dua gundukan yang ada di bagian dada untuk membuat para pemirsa kecanduan menonton, meski dalam hati Lucia merasa teriris, tidak rela membayangkan tubuhnya menjadi bahan fantasi banyak pria. Dia sadar, melakukan live streaming saat ini sama halnya menjual diri, mempertontonkan setiap lekuk tubuhnya untuk kemudian mendapat sejumlah givt. Tapi apa boleh buat? Dia harus melakukannya demi membiyayai pengobatan Henry, karena selain itu, Eryk mengancam akan membuat Henry berada di situasi berbahaya jika Lucia menolak untuk melakukannya. Tak butuh waktu lama, para pemirsa berdatangan hingga dua kali lipat dari jumlah penonton di video sebelumnya. Givt berdatangan dalam jumlah yang banyak. Kolom komentar mulai di penuhi jajaran kalimat pujian atas Lucia, namun ada satu komentar yang berhasil membuat Eryk berteriak girang. "OMG!" teriak pria itu, kedua matanya tampak membulat sempurna
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m