Di kursi kebesarannya, Oliver Kent sedang menumpu kaki sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Ruang kantor bergaya kontemporer itu cukup hening, Kent sedang menantikan seseorang yang datang untuk melaksanakan tugas darinya. Pintu ruangan diketuk, Kent menyeru agar orang di balik pintu masuk ke dalam ruangan. "Permisi, Tuan." ucap Robin, dari balik punggung sopir pribadinya, seorang pemuda tampak mengintip untuk melihat Kent yang saat ini menatap lurus ke arah dua orang tersebut. "Dia Jovi, Tuan. Pemuda yang memenuhi persyaratan yang Tuan harapkan. Saya yakin, dia pemuda yang bisa dipercaya." terang Robin tanpa Kent minta. Kent menatap intens ada pemuda yang kini tersenyum canggung di hadapan. Sesaat Kent membuang wajah, pemuda itu cukup rupawan. Ada sedikit kekhawatiran jika parasnya membuat Lucia terpana jika misinya untuk menawar dan membeli gadis itu berhasil. Bukankah itu berarti mereka akan melakukan perjalanan bersama saat membawa Lucia datang kepada Kent? Bagaima
Lucia terpaksa menyunggingkan senyum saat musik mulai mengalun. Sesekali dia bergerak seductive memamerkan dua gundukan yang ada di bagian dada untuk membuat para pemirsa kecanduan menonton, meski dalam hati Lucia merasa teriris, tidak rela membayangkan tubuhnya menjadi bahan fantasi banyak pria. Dia sadar, melakukan live streaming saat ini sama halnya menjual diri, mempertontonkan setiap lekuk tubuhnya untuk kemudian mendapat sejumlah givt. Tapi apa boleh buat? Dia harus melakukannya demi membiyayai pengobatan Henry, karena selain itu, Eryk mengancam akan membuat Henry berada di situasi berbahaya jika Lucia menolak untuk melakukannya. Tak butuh waktu lama, para pemirsa berdatangan hingga dua kali lipat dari jumlah penonton di video sebelumnya. Givt berdatangan dalam jumlah yang banyak. Kolom komentar mulai di penuhi jajaran kalimat pujian atas Lucia, namun ada satu komentar yang berhasil membuat Eryk berteriak girang. "OMG!" teriak pria itu, kedua matanya tampak membulat sempurna
Lucia menunggu Eryk di bahu jalan dengan dada naik turun. Ingatanya terlempar pada hari sebelumnya, dimana pria itu tertawa riang dan meneriakkan pesta kepada kedua sahabatnya. Apa yang sedang pria berengsek itu rencanakan?Lucia larut dengan pikirannya. Tanpa sadar gadis itu menggigiti kuku jarinya. Akankah Eryk dan teman-temannya akan merudapaksanya secara bersamaan, setelah dua kali usahanya melecehkan gadis itu gagal, sehingga teriakan pesta kemarin merujuk pada tindakan brutal mereka untuk menghabisi Lucia hari ini?Lucia mendesah dengan gelisah. Fokus matanya menatap pada ujung sepatu kets putih yang dia kenakan. Namun sesaat kemudian, mobil sedan berwarna putih yang cukup familiar berhenti di hadapannya. Eryk berkata akan menjemputnya sore itu. Pria itu menurunkan kaca mobil, dan dengan isyarat gerakan kepala ia meminta agar Lucia segera naik ke dalam mobilnya. Rasa gelisah terus menghantam kepala. Tapi tidak ada pilihan untuk menolak ajakan pria itu, sehingga dalam keputusas
Setibanya mereka di loby hotel, Eryk berjalan di depan memimpin tiga orang yang ada di belakangnya. Beberapa menit yang lalu Eryk telah memberi tahukan bahwa mereka telah tiba, dan Eryk meminta pria tersebut menyiapkan sejumlah uang yang telah disepakati sebelumnya. Dalam perjalanan menuju ruangan yang hendak dituju, mereka berempat menaiki sebuah lift. Kamar nomor 127 berada di lantai tiga. Di dalam lift Eryk menyempatkan diri untuk menulis pesan di ponsel untuk dikirimkan kepada pria misterius. [Saya akan segera tiba, siapkan sejumlah uang yang telah kita sepakati sebelumnya. Tolong serahkan uang tersebut kepada saudara laki-laki saya, agar dia bisa segera pergi ke rumah sakit untuk melunasi biaya pengobatan ayahku.] Pintu lift terbuka, seketika mereka berempat kembali melangkahkan kaki menuju kamar nomor 127 yang terletak di jarak 15 meter dari tempat mereka turun dari lift barusan. Sengaja Eryk mengajak Max dan Arvie untuk memegangi Lucia, berjaga-jaga agar gadis itu tidak mela
Lucia masih berdiri di tempat tanpa mengalihkan pandang dari pria yang ada di hadapan. Gadis itu berusaha keras mencerna apa yang sebenarnya diinginkan pria tersebut. "Tunggulah, atau mungkin kau bisa duduk sembari menungguku." ucap pria muda tersebut seraya mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang, tanpa sedikit pun melihat ke arah Lucia. Tanpa menjawab, Lucia berjalan dan duduk di tepi ranjang. Kedua tangan gadis itu mencengkram ujung mantel sembari menatap sekeliling. Setelah tidak menemukan seorang pun selain dirinya di dalam ruangan tersebut, seketika Lucia menyadari, lebih kurangnya seperti itulah situasi para pelacur saat melayani konsumen mereka. Berada di dalam sebuah ruangan tertutup bersama seorang pria asing. Seketika tubuh gadis itu menegang. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan brutal yang membuatnya minggigil ketakutan. Akan seperti apa pria asing itu memperlakukannya? Lucia sama sekali belum berpengalaman soal urusan ranjang. Sementara itu, di dalam kamar mandi
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari 4 jam, mobil yang mereka naiki tiba di apartemen Kent. Dari kaca sepion atas, Jovi melihat Lucia yang masih tertidur di kursi penumpang belakang. Pria itu menarik nafas berat sebelum akhirnya berdeham dan membangunkan Lucia dengan suara beratnya. "Bangun, Nona, kita sudah sampai." ucap Jovi dengan mata tetap terarah pada kaca sepion atas. Nampaknya ucapannya barusan tidak berhasil membuat gadis itu terbangun, sehingga Jovi kembali mengulangi kalimat yang sama hingga tiga kali. Di panggilan ke tiga, tubuh Lucia tampak memperlihatkan reaksi. Gadis itu menguap dan membuka matanya perlahan. "Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Lucia dengan suara parau sembari melihat ke arah luar jendela. Pada bangunan apartemen mewah yang berdiri kokoh di hadapan. "Hanya sebentar. Kau sudah tertidur selama 4 jam lamanya." jawab Jovi dengan bibir menahan tawa. Gadis itu terlalu muda dan polos. "Tidak ada waktu lagi, Nona. Sebaiknya kita segera turun."
Lucia terduduk dengan kedua tangan memeluk lutut yang ditekuk. Gadis itu menyandarkan kepala pada lututnya. Gadis itu kembali bersuara saat tangisnya mulai surut, memecah kesunyian yang meruang diantara keduanya. "Kalau saja Anda tahu, ayahku adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki sekarang. Saya tidak bisa membayangkan jika ternyata putra Anda benar-benar mencelakai satu-satunya keluarga yang saya miliki." Lucia tersenyum getir, pikirannya berkelana pada Henry yang terbaring lemah di ranjang pesakitan. Kent menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Pria itu menatap simpati pada tubuh setengah telanjang yang duduk di atas lantai. Kepala pria itu menengadah dengan mata terpejam, namun ucapan Lucia kembali menarik perhatiannya, sehingga pria itu menurunkan wajah untuk menatap lawan bicaranya. "Dari pada itu, marilah, Tuan. Luapkan hasrat Anda malam ini." Lucia bangkit dari duduknya. Berusaha mengulas senyum profesional dan memegang lengan pria itu lembut. Kent bisa mera
Sinar matahari yang masuk melalui celah fentilasi udara membuat mata terpejam Lucia terusik. Perlahan gadis itu membuka mata dan mengerjabkannya berulang kali untuk memperjelas penglihatannya yang sedikit buram saat bangun dari tidur. Tangan gadis itu meremas tepian selimut, entah sejak kapan benda itu membalut tubuhnya. Sekelibat kejadian semalam membuat wajah gadis itu merona seketika, dia pun membenamkan wajahnya pada bantal lebih dalam. Itu sangat memalukan. Membayangkan adegan semalam secara berulang membuat dada Lucia benar-benar berdebar, hingga tanpa sadar gadis itu memegangi dada telanjangnya. Kini perhatian gadis itu tertuju pada Kent. Perlahan kepala gadis itu menoleh pada ranjang sebelah. Dia mengira akan menemukan pria paruh baya itu terlelap dengan bertelanjang dada. Nampaknya dugaan Lucia salah, Kent tidak ada di sebelahnya. Seketika alis gadis itu bertaut. Kemana perginya pria itu? Knop pintu kamar yang ditekan membuat kepala Lucia menoleh ke arah benda tersebut. Da
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m