Sinar matahari yang masuk melalui celah fentilasi udara membuat mata terpejam Lucia terusik. Perlahan gadis itu membuka mata dan mengerjabkannya berulang kali untuk memperjelas penglihatannya yang sedikit buram saat bangun dari tidur. Tangan gadis itu meremas tepian selimut, entah sejak kapan benda itu membalut tubuhnya. Sekelibat kejadian semalam membuat wajah gadis itu merona seketika, dia pun membenamkan wajahnya pada bantal lebih dalam. Itu sangat memalukan. Membayangkan adegan semalam secara berulang membuat dada Lucia benar-benar berdebar, hingga tanpa sadar gadis itu memegangi dada telanjangnya. Kini perhatian gadis itu tertuju pada Kent. Perlahan kepala gadis itu menoleh pada ranjang sebelah. Dia mengira akan menemukan pria paruh baya itu terlelap dengan bertelanjang dada. Nampaknya dugaan Lucia salah, Kent tidak ada di sebelahnya. Seketika alis gadis itu bertaut. Kemana perginya pria itu? Knop pintu kamar yang ditekan membuat kepala Lucia menoleh ke arah benda tersebut. Da
Lucia memperhatikan bayangan yang memantul di cermin kamar mandi. Blouse kancing bermotif floral dan celana putih selutut yang dia pakai terlihat sangat pas di tubuhnya. Bagaimana bisa Kent memperkirakan ukuran baju untuknya sesempurna itu? Tanpa sadar gadis itu mengulas senyuman. Langkah yang saat itu hampir tiba untuk membuka pintu kamar mandi urung. Lucia sedang mengatur nafas untuk menenangkan degup jantungnya sebelum bertemu pria paruh baya yang ada di apartement itu bersamanya. Setelah di rasa cukup, gadis itu keluar dari kamar mandi.Kent yang saat itu sedang duduk di atas ranjang menunggu Lucia lantas menoleh saat pintu kamar mandi terbuka."Terima kasih, Kent. Baju ini sangat pas di badanku." ucapan Lucia berbalas anggukan dan senyuman dari pria di hadapan. Namun tidak di sangka, pria itu memintanya melakukan suatu hal yang membuat detak jantungnya yang semula beraturan menjadi tak beraturan."Berikan di sini jika kau benar-benar berterima kasih." Kent menunjuk satu pipinya
Lucia terbangun dari tidur saat ponsel di atas nakas terus mengusik pendengarannya. Tanpa membuka mata, gadis itu meraba bagian atas nakas untuk meraih benda pipih tersebut. Tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel, gadis itu langsung mengangkat telepon dan menempelkannya pada salah satu telinga. "Hallo," sapa Lucia dengan suara parau, dengan posisi tubuh masih berbaring karena kantuk yang masih bergelayut pada kedua mata. "Ah, kau masih tidur rupanya?" ucap Kent, terdengar nada mengejek di dalamnya. Suara pria dari seberang sambungan seketika membuat kedua mata gadis itu terbuka lebar. Dan saat Lucia kembali melihat layar ponsel yang masih menyala, dia baru menyadari bahwa orang di seberang sambungan adalah Kent. Seketika rasa kantuknya lenyap. Dari seberang sambungan terdengar suara menguap. Dapat Lucia tebak jika Kent juga baru bangun dari tidurnya. Seketika gadis itu memutar bola matanya. Bisa-bisanya pria itu mengejeknya bagai seorang anak kecil yang terpaksa bangun
Setelah pembicaraan telepon dengan Oliver Kent pagi tadi, Lucia terus termenung sembari berbaring menatap langit-langit kamar. Pria itu hendak memberinya tawaran pekerjaan di Fragrance Potions, namun di saat bersamaan pria itu juga meminta agar dia tidak lagi berhubungan dengan Eryk. Bisakah Lucia tidak benar-benar melihat ke arah pria itu saat keduanya tanpa sengaja berpapasan di gedung yang sama nanti? Rasanya cukup berat untuk Lucia. Mustahil jika gadis itu bisa merasa biasa saja, sedangkan di masa lalu, pria itu adalah laki-laki pertama yang menjadi kekasih Lucia. Ada kenangan rasa di dalam lubuk hati Lucia. "Aaarrrghh," gadis itu merapatkan gigi sembari mengeram. "Bukan saatnya untuk seperti ini, Lucia. Ayah membutuhkan biaya berobat. Please, berhenti memikirkan pria tak punya hati itu," tegas Lucia kepada dirinya sendiri, berusaha menghalau kemungkinan buruk yang dapat terjadi di pekerjaan yang akan dia jalani; berpapasan dengan Eryk si pria berengsek yang sudah memporak pora
"Dasar bodoh! Harusnya kau gunakan matamu saat berjalan!" pekik Eryk, mengalihkan tatapanya pada layar ponsel ke seseorang yang baru saja bertabrakan dengannya. Wajah pria itu mengeras, kedua matanya memerah. Sesaat kedua matanya menyipit melihat seorang gadis yang masih terduduk di atas lantai, untuk memastikan bahwa saat ini penglihatannya tidak salah. Dia berharap gadis di hadapan hanya kebetulan berwajah mirip Lucia."Ah, maaf, Tuan." ucap Lucia yang kini memilih untuk menunduk dan bangkit berdiri.Setelah mendengar suara gadis tersebut, seketika rahang Eryk mengeras. Satu tangannya yang memegang ponsel mengepal, seakan meremukkan benda pipih tersebut. Satu tangan Eryk yang lain terayun di udara, hendak menghujani wajah Lucia dengan tamparan. Namun ucapan Via membuat Lucia gadis itu mendapatkan peluang untuk melarikan diri. "Ikut denganku, Nona," Via yang bisa membaca ketegangan di antara keduanya lantas berusaha menghindarkan Lucia dari amukan Eryk. Wanita bertubuh tinggi itu l
Lucia dan Kent bekerja dalam diam. Sesekali Lucia mencuri lihat ke arah Kent. Darah gadis itu berdesir, jantungnya memompa darah cukup kencang. Dari jarak dekat, gurat usia di wajah pria itu tampak menambah kesan karismatik seorang Oliver Kent Silverlake. 'Hah, Tuan Silverlake. Begitu dingin, tenang, dan menyejukkan.' bain Lucia berbisik. Tanpa disadari Lucia terpana menatap pria itu, sementara tangan dan kakinya bekerja dalam harmoni sembari menggerakkan lap pel. 'Sadar, Lucia. Pria itu bahkan lebih layak menjadi pamanmu!' Kent yang merasa di perhaikan akhirnya menoleh pada satu-satunya gadis yang ada di ruangan bersamanya. "Berhenti menatapku seperti itu, Lucia. Apa kau menemukan keanehan di wajah tampan ini, hmm?" ucap pria itu sembari mengulas sebuah senyuman, sedang satu telunjuknya terarah pada wajahnya. Hal itu semakin membuat degup jantung Lucia tak terkendali. "Ah, sama sekali tidak, Tuan." ucap Lucia dengan ekspresi terkesiap, seraya kembali memperhatikan gerak pel yang
Beberapa hari bekerja di Fragrant Potion Lucia mulai beradaptasi dengan lingkungan kerja barunya. Gadis muda itu sudah dapat beradaptasi untuk mengatur setiap ekspresi dan degup jantungnya setiap kali dia harus berhadapan dengan sosok Oliver Kent. Cukup berat dan menyiksa, tetapi gadis itu memilih untuk bertahan. Mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah.Lucia melangkah lebar saat dirinya tiba di pelataran rumah sakit tempat Henry dirawat. Senyum terkembang sempurna menghiasi wajah rupawannya. Dia ingin segera berjumpa dengan sang ayah. Jika ada pepatah mengatakan bahwa keluarga adalah rumah untuk pulang, maka kata pulang bagi Lucia berarti perjumpaannya dengan Henry.Suara ponsel membuat Lucia lantas menghentikan langkah. Ingat akan kondisi sang ayah yang terbaring lemah di ranjang pesakitan, Lucia segera merogoh ponsel dari dalam tasnya. Mata gadis itu membulat saat mendapati nomor telepon rumah sakit tertera di layar ponsel.Dengan cepat gadis itu mengangkat telepon tersebut.“Hal
Beberapa menit yang lalu…Suara ketukan pintu dari luar kamar membuat Lisa yang sedang memacu geraknya di atas tubuh Eryk berhenti. Pasangan itu lantas menoleh ke arah sumber suara dengan wajah masam karena merasa terganggu. “Abaikan, Darling, kita lanjutkan saja,” Eryk menarik lengan Lisa untuk menahannya pergi, untuk melanjutkan aktifitas panas kedanya. Namun perempuan itu menoleh dengan tatapan protes.“Aku benci jika pelayanmu selalu mengganggu.” Jawab Lisa sembari melepaskan pegangan tangan Eryk pada lengannya. Melihat Lisa yang berusaha keras menghidupkan ranjangnya malam itu, Eryk tersenyum puas. Pria itu lantas mengagguk pelan untuk mempersilahkan perempuannya menemui seseorang di luar pintu.Dengan kasar Lisa menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Dengan bersungut perampuan itu membuka pintu sembari mengeluarkan cacian pedas kepada seseorang di seberang pintu.“Kau bisa mengantar makanan untuk kami nanti! Apakah pelayan di sini tidak tahu apa itu privasi?” Seketika
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m