Lucia menatap menerawang dengan kedua tangan terlipat di kusen jendela rumah sakit. Pemandangan gedung-gedung itu sama sekali tidak dapat menghibur hati yang dipenuhi perasaan pilu.
Di usianya yang masih sangat belia dia terpaksa berhenti bersekolah karena musibah yang menimpa keluarganya secara bertubi-tubi; perusahaan ayahnya mengalami kebakaran hebat, ibu dan satu-satunya saudara perempuan yang dia miliki memutuskan untuk meninggalkan Lucia dan ayahnya setelah perusahaan Henry mengalami kebangkrutan. Mereka dengan cepat menggait pria kaya untuk dijadikan inang.Kemalangan hidup seolah belum cukup puas untuk memaksanya menelan pil pahit, kini sang ayah, satu-satunya keluarga yang Lucia punya terbaring sakit akibat penyakit gagal ginjal."Lucia," panggil Henry dengan suarah lemah, sarat akan ketidak berdayaan.Kedua mata gadis itu terbelalak karena tersentak. Maka dengan segera, Lucia menghapus air matanya."Ya, Ayah?" jawab Lucia sembari menghampiri ranjang tempat Henry terbaring. "Apa yang Ayah butuhkan?" wajah rupawan gadis itu menyunggingkan senyuman, tetapi dapat Henry rasakan jika di balik manik abu-abu Lucia tersimpan banyak kesedihan."Kau menangis?" tanya Henry sembari mengernyitkan dahi. Jalas sekali jika putrinya baru saja menangis. Lihatlah, bulu mata lentik Lucia terlihat masih basah dengan air mata.Seketika dada pria berusia 58 tahun itu dipenuhi dengan perasaan sesak, yang mengundang air mata menggenangi kedua pelupuk matanya. Air mata Henry turun menganak sungai yang kini berpadu dengan isakan tangis."Ayah, kenapa Ayah menangis?" tanya Lucia panik sembari memegang tangan Henry yang bengkak."Maafkan, Ayah, Lucia," ucap Henry dengan nafas tersengal. "Ayah yang membuatmu menanggung semua beban sendirian.""Berhenti menyalahkan dirimu, Ayah!" tegas Lucia dengan kilatan mata penuh amarah. Dia benci dengan kalimat yang selalu Henry ucapkan secara berulang, menyalahkan dirinya atas segala musibah yang menimpa mereka berdua.Tanpa terasa air mata juga jatuh membentuk garis lurus di pipi Lucia, yang dengan cepat gadis itu seka dengan telapak tangan."Dengarkan aku, Ayah. Jika saat ini kau masih berjaya di atas usahamu sekalipun, aku akan tetap bekerja. Aku sangat berambisi untuk menjadi gadis mandiri, Ayah. Jadi aku mohon, berhenti menyalahkan dirimu."Sekatika keheningan meruang. Hanya terdengar nafas dari Henry yang tersengal sembari menahan air mata yang memaksa lolos dari pelupuk mata. Dia merasa gagal menjadi seorang ayah, sehingga dia membiarkan Lucia menjadi seorang hostess di sebuah kelab malam.Semua orang tahu seperti apa kehidupan malam. Bukan tidak mungkin orang-orang akan melabeli Lucia sebagai seorang pelacur. Karena ketika seorang gadis memutuskan untuk mendaftar kerja sebagai pelayan, itu artinya mereka telah siap berurusan dengan sedikit pelecehan di dalam pekerjaan yang mereka jalani.Tidak ada yang dapat Henry lakukan selain berpasrah dengan keadaan. Seluruh aset yang dia miliki habis tak bersisa. Hanya Lucia dan rumah merekalah harta berharga yang pria itu miliki saat ini...........Di depan hamparan hingar bingar surga dunia yang seakan memanjakan setiap indera bagi penikmatnya, tiga pria sedang duduk sembari menunggu pesanan mereka diantar."Blue-Moon," seorang gadis berdiri di hadapan meja mereka bertiga sembari mengumumkan pesanan yang dia bawa.Gadis itu meletakan pesanan yang dia bawa di hadapan masing-masing pria di sana. Satu di antara mereka menatap liar pada dada gadis itu, yang dengan sengaja membuka kancing atas kemejanya hingga tampak belahan dadanya."Berhenti menatapnya seperti itu, Eryk," Arvie menyiku lengan sahabatnya yang berhasil membuyarkan fantasi liar Eryk terhadap gadis pelayan barusan.Eryk bedecih saat pelayan wanita itu pergi dari sana, sembari memukulkan jemarinya di atas meja."Aku bahkan belum mengucapkan basa-basi dengannya,"Arvie dan Max saling mengerling satu sama lain, dan tertawa setelahnya."Kau baru dikatakan pria sejati jika bisa menjinakkan gadis berambut madu yang ada di sana," Arvie menunjuk seorang gadis hostess yang sedang berdiri dengan rekan lainnya. Wajah gadis itu sangat menarik. Dia terlihat jauh lebih muda dibandingkan deretan hostess lain yang berdiri di sana.Eryk menyeringai setelah mereguk minuman dari gelasnya. Dia menganggap bahwa dia akan dengan mudah mencuri perhatian gadis itu. Tak terhitung berapa banyak wanita yang bertekuk lutut dan melempar tubuh pada Eryk hanya dengan satu kedipan mata. Wajah rupawannya selalu berhasil menghipnotis wanita mana saja yang melihatnya."Apa yang akan aku dapat jika aku berhasil mendapatkannya?""Aku bertaruh $4000 jika kau berhasil mendapatkannya," ucap Arvie dengan yakin."Aku memasang $6000," Max meletakkan gelas kosong dengan sedikit menghentakkannya. Bibir pria itu menipis, seolah yakin jika Eryk akan gagal menjinakkan gadis berambut madu itu.Arvie dan Max yakin, jika Eryk tidak akan memenangkan taruhan itu. Mengingat Lucia, nama gadis yang mereka maksud, bukanlah gadis yang mudah di taklukan. Dia bahkan terkenal sebagai satu-satunya gadis perawan di antara pekerja hostess yang ada di bar Queen Fortune."Jumlah yang tidak seberapa. Tapi, tidak apa. Aku membutuhkan hiburan yang menantang saat ini." Eryk berucap remeh.Tak lama setelah itu Eryk melambai pada deretan hostess yang berdiri dengan gaun hitam seragam. Gadis-gadis itu tampak tertawa sembari bermain suit, siapa yang menang, dialah yang berhak mendatangi pria yang baru saja melambai ke arah mereka."Ini hari keberuntunganmu, Sofia," ucap seorang gadis bernama Sofia yang baru saja memenangkan suit. Gadis itu berjalan melenggok memainkan pinggang biolanya, mengundang perhatian para pria yang dilalui. Bunyi siulan membuat gadis itu semakin mengangkat wajah penuh percaya diri."Selamat malam, Tuan-tuan tampan, ijinkan aku memperkenalkan diri, namaku--" secara mendadak ucapan Sofia diinterupsi oleh Max. Gadis itu mengernyit saat tiga pria di sana menggeleng sembari menepuk dahi mereka masing-masing."Maaf, bukan kau yang kami maksud, tapi gadis berambut madu yang tadi berdiri bersebelahan denganmu," ucapan Arvie seketika membuat Sofia kecewa.Arvie mengeluarkan dua lembar uang $100 untuk diberikan kepada gadis itu."Terimalah, dan tolong panggilkan gadis itu agar segera kemari," ucap Arvie dengan sebatang rokok terselip di antara bibirnya.Raut cemberu Sofia seketika berubah dengan senyum semangat."Baik, Tuan, segera," Sofia tersenyum girang sebari berlari ke arah Lucia. Namun begitu dia tiba di hadapan gadis itu, senyumnya seketika berubah menjadi ekspresi dingin."Pengunjung di meja 40 memintamu datang ke sana, Lucia," ucap Sofia dengan suara datar, sarat akan ketidak sukaan terhadap Lucia.Lucia tampak kebingungan saat menatap wajah para rekannya yang menatapnya dengan tatapan datar."Apa yang kau tunggu? Cepat pergilah ke sana!" gadis berambut merah terang yang diketahui bernama Gabriel meneriaki Lucia dengan mata melotot.Lucia adalah gadis yang paling di benci oleh pekerja hostess lain. Kecantikan wajah yang gadis itu miliki adalah faktor utamanya. Alasan yang sebenarnya jauh dari kata masuk akal."Ah, baik," Lucia segera melenggangkan kakinya menuju meja nomor 40."Haa, kenapa selalu dia," gerutu Gabriel sembari melipat tangan di depan dada. Salah satu tangan lainnya terselip sebatang rokok yang masih menyala."Permisi, Tuan," sapa Lucia tanpa mengurangi kesopanan terhadap pengunjungnya sedikit pun."Duduklah," perintah Arvie yang semula duduk di sebelah Eryk. Pria itu menggeser duduknya ke kursi lain, mempersilahkan gadis itu untuk duduk di kursi yang semula dia duduki."Bisa segera dimulai, Mr.Eryk?" salah satu alis Max naik mendekati dahi.Eryk berdeham sebelum memulai aksinya."Bolehkah aku tahu siapa namamu, sweet girl?" tanya Eryk dengan wajah dan senyum menggoda yang menjadi senjatanya dalam meluluhkan hati pada wanita."Namaku Lucia Magnolia." jawab Lucia singkat sembari melihat satu persatu wajah pria yang ada di hadapan."Ah, nama yang sangat cantik. Secantik parasmu, Babe," Eryk mencolek dagu Lucia yang seketika membuat gadis itu merona karena malu. Ketampanan Eryk membuat Lucia tidak memiliki keberanian lebih untuk menatap pria itu terlalu lama. Dia enggan mempertaruhkan hatinya untuk pria yang datang hanya untuk bersenang-senang."Berapa bayaran untuk sekali tidur denganmu?" tanya Eryk yang kini melipat kedua tangan di depan dada sembari bersandar pada sandaran kursi. Kedua mata pria itu menatap lurus kedua manik besar Lucia, dengan senyuman bibir ranum yang sangat menggoda.Eryk begitu yakin jika gadis itu akan berkata 'Berapa pun asal bisa merasakan hangat tubuhmu, Eryk,', mengingat seperti itulah jawaban para gadis yang pernah dia temui sebelumnya."Ah, maaf, Tuan, saya hanya bekerja sebatas menemani pengunjung minum di tempat ini, tidak lebih. Tanpa mengurangi rasa hormatku, aku menolak tawaran Anda. Saya permisi." ucap Lucia yang bergegas pergi dari meja Eryk dan teman-temannya.Max dan Arvie tergelak dengan wajah Eryk yang berubah merah padam."Itu sangat menyedihkan, Eryk," ucap Max di sela tawanya yang bertambah keras."Huh, itu baru permulaan! Aku bisa buktikan kalau dia akan bertekuk lutut di hadapanku!" geram Eryk sembari menggebrak meja, nyaris membuat semua benda di atas meja itu melompat dari tempatnya."Okay, kita beri waktu satu minggu untuk pangeran tampan ini meluluhkan hati Lucia Magnolia." Arvie mengangguk pelan sembari mematikan rokok di atas asbak kaca.***Di sebuah kamar perawatan, tempat Henry saat ini berbaring, seorang wanita paruh baya berjalan mendekati pria yang masih terlelap. Wanita itu menatap Henry dengan bibir tersenyum miring, Megan Magnolia sedang menertawai kondisi suami yang baru saja dia ceraikan."Megan, aku tahu kau pasti datang," Henry terbangun saat aroma parfum khas milik wanita itu tercium. Dari wajah pucatnya mengulas sebuah senyuman, dia berharap Megan menyampaikan kabar gembira, untuk membatalkan proses perceraian mereka berdua. Megan sama sekali tidak merespon ucapan Henry, wanita itu membuka resleting tas kulit mewah bermerek Hermes miliknya dan mengeluarkan sebuah amplop besar dari sana. "Terimalah," Megan menyerahkan amplop itu kepada Henry yang terbaring lemah. Senyuman Henry seketika berubah, berganti dengan sederet pertanyaan yang nampak dari wajah pucatnya. "Apa ini?" Henry melihat amplop itu sekilas sebelum kemudian kembali menatap Megan dengan tatapan bertanya. "Akta cerai. Jadikan benda itu sebaga
Eryk mendudukkan Lucia di kursi sebelah kemudi dan memasangkan sabuk pengaman untuk gadis itu. Diam-diam dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengambil foto Lucia yang sedang memejamkan mata dengan tubuh bersandar pada sandaran jok mobil tanpa sepengetahuan gadis itu."Ayah ...." gumam Lucia dengan mata terpejam menahan perih. Luka cakaran yang ada di dada dan lengan gadis itu terlihat cukup dalam.Eryk yang baru saja duduk di kursi kemudi tentu saja mendengar gumaman gadis itu, namun nampakknya dia seolah tidak peduli sehingga dia hanya mengedikkan bahu dan mulai menjalankan mobilnya. Setibanya di sebuah klinik, Eryk membopong Lucia masuk, melewati pintu kaca yang pada saat bersamaan beberapa perawat yang ada di sana membantu pria itu membawa Lucia ke ruang perawatan. "Bertahanlah, Nona," ucap Eryk saat beberapa perawat membawa gadis itu ke sebuah ruangan.Eryk menghela nafas panjang sembari menyeka peluh di dahi. Dia tidak menyangka harus berusaha sekeras ini untuk bisa
Seorang gadis waiters bernama Mimi meminta Lucia untuk membereskan piring dan gelas kotor di beberapa meja. Dengan terpaksa gadis itu menyanggupi, meski dalam hati dia merasa sangat terpaksa saat melakukan pekerjaan yang semestinya tidak dia kerjakan. Ada banyak pekerja di sana, tetapi mengapa harus Lucia yang membantu menyelesaikan tugas waiters? Kepolosan, kebaikan, serta usia Lucia yang terbilang paling muda di antara semua pekerja Queen Fortune kerap kali dimanfaatkan oleh mereka. Para waiters bahkan tak segan memerintah Lucia saat dia selesai menemani tamu. Saat Lucia hendak membawa alat makan kotor ke belakang, terasa sebuah tangan hangat memegangi lengan gadis itu. Dia menemukan seorang pria dalam keadaan mabuk dan cegukan. "Toilet, aku ingin, muntah," ucap pria berkaos hitam itu terbata karena cegukan. "Baik, Tuan, tunggulah sebentar. Aku akan segera kembali setelah selesai meletakkan barang-barang ini." ucap Lucia sembari mengalihkan atensi pada pria yang bergelayut di tan
Eryk memperhatikan Lucia yang menangis dalam diam. Lagi-lagi pria itu tersenyum dalam hati. Kesedihan Lucia yang tampak oleh matanya menambah besar peluangnya untuk meluluhkan gadis itu. Pria itu menipiskan bibir dan menangkup kedua pipi Lucia yang saat ini menengadahkan wajahnya ke langit dengan mata terpejam. Sentuhan Eryk pada kedua pipinya membuat mata Lucia terbuka seketika karena merasa terkejut. Dengan lembut Eryk mengusap air mata di kedua pipi Lucia, sangat berhati-hati sehingga Lucia merasa sedikit nyaman dengan perlakuan pria yang baru saja dia temui. "Berhenti menangis, Lucia. Air matamu terlalu berharga." ucap Eryk tanpa melepas tangannya dari wajah Lucia. Kedua manik cokelat gelapnya menatap hangat pada kedua mata Lucia, sehingga gadis itu mengulum senyum sembari mengangguk samar.Eryk melepas tangannya dari menyentuh wajah Lucia. Kini tangan kanan pria itu merangkul bahu Lucia yang seketika membuat hati gadis itu berdebar. Perasaan ini mirip dengan apa yang dia alami
Seorang pria menatap langit-langit ruang perawatan yang berwarna putih dan terkesan monoton. Ruangan yang dia tempati dipenuhi atmosfir kebosanan. Aroma obat-obatan yang khas kembali menyapa penciumannya. Ingin rasanya Henry bangkit dan berlari sejauh mungkin dari ruangan itu, tapi semua itu hanya menjadi angan. Masa kejayaannya telah berlalu dan tidak menyisahkan sedikit pun sisa pencapaian yang bisa dinikmati saat ini. Pria itu membuka selimut yang menutupi tubuh untuk mendapati kakinya yang bengkak. Hal itu membuat Henry tersenyum hambar setelahnya. Tubuh kekar yang dulu dia gunakan untuk mengarungi hidup, kini terbaring tak berdaya. Penyakit gagal ginjal yang dia alami adalah penyebabnya."Seharusnya kau ada disampingku saat ini, Megan." lirih Henry dengan kedua mata yang memanas. Ingatan masa indah bersama sang istri kembali berkelibat di kepala, bayangan itu seakan menari di atas penderitaannya saat ini. Dahulu, setiap pagi dia selalu dibangunkan dengan suara merdu Megan dan p
Seorang pria berusia 48 tahun berjalan menyusuri koridor menuju ruangan Eryk. Sesekali pria itu menarik siku untuk melihat jam tangan yang melingkar di pegelangan tangan, meeting akan di mulai 10 menit lagi. Namun Eryk, selaku CEO Fregrant Potions, yang juga merupakan putranya belum menampakkan batang hidungnya, sehingga Kent berniat menemui putranya di sendiri. Mudah saja, Kent bisa menyuruh bawahannya untuk memanggilkan Eryk agar segera datang ke meeting room. Tetapi mengingat panggilan teleponnya yang diabaikan, Kent tahu bahwa saat ini pemuda itu sedang bersenang-senang di dalam singgasananya, seperti waktu-waktu sebelumnya. Hal itu justru akan membuatnya merasa malu sebagai orang tua.Suara sepatu pantofel yang menapak di lantai terdengar menggema. Olivia, sekretaris pribadi Eryk langsung membuka mata lebar dan berdiri menyambut sang Direktur. Dengan sedikit berlari gadis itu beranjak dari bangku kerjanya."Selamat pagi, Pak Direktur," sapa Olivia dengan canggung. Gadis 25 tah
Terhitung 4 bulan setelah Lucia dan Eryk menjalin hubungan, Lucia seolah memiliki sebuah tempat untuk bersandar dan menceritakan segala keluh kesahnya. Dia merasa Eryk adalah sesosok malaikat yang memang dikirim Tuhan untuk memapah langkahnya yang terseok-seok melewati segala rintangan hidupnya yang dipenuhi dengan bebatuan terjal. Malam itu, Eryk mengantar Lucia pulang ke rumahnya setelah mereka mengunjungi Henry di rumah sakit. "Apakah kau tahu, Eryk, aku merasa sangat bahagia bertemu denganmu." ucap Lucia sembari melepas seat beltnya. Gadis itu tersenyum, namun Eryk hanya membalas senyuman gadis itu dengan bibir yang menipis. Pria itu melihat ke arah bangunan rumah mewah yang ada di hadapan. Pekarangannya tampak tidak terawat. Rumput liar tumbuh di sepanjang tanah yang ada di sana. "Kenapa rumahmu gelap sekali? Dengan siapa kau tinggal?" masih berpegangan pada kemudi mobil, pria itu kini lebih terang-terangan memperlihatkan gestur penasarannya dengan sesuatu yang berada di dala
Lucia duduk di sebuah bangku taman sembari melihat ke sekeliling. Sudah 15 menit dia menunggu, namun Ruth tak kunjung tampak, sehingga dia mendengus sembari menumpu wajah dengan telapak tangan di atas paha. Semua orang tahu kalau menunggu adalah satu hal yang menyebalkan. "Huaa!" suara mengejutkan datang dari belakang disertai tepukan pada punggung Lucia yang saat itu terbalut dengan blouse berwarna kuning lemon. Lucia menoleh ke belakang sembari mengerucutkan bibir mungilnya, melempar delikan pada gadis yang terkekeh merasa puas karena berhasil mengejutkan Lucia. "Cepat sekali kau datang, apakah kau datang menaiki seekor siput?" sindir Lucia sembari melipat tangan di depan dada. Ruth mengambil posisi duduk di sebelah Lucia dengan kekehan yang tersisa. "Maafkan aku, aku harus membantu ibuku memandikan nenekku sebelum pergi." gadis itu menghela nafas lelah sembari tersenyum hambar. Lucia sudah mendengar jika nenek Ruth tidak lagi bisa beraktivitas akibat stroke yang menyer
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m