Di sebuah kamar perawatan, tempat Henry saat ini berbaring, seorang wanita paruh baya berjalan mendekati pria yang masih terlelap. Wanita itu menatap Henry dengan bibir tersenyum miring, Megan Magnolia sedang menertawai kondisi suami yang baru saja dia ceraikan.
"Megan, aku tahu kau pasti datang," Henry terbangun saat aroma parfum khas milik wanita itu tercium. Dari wajah pucatnya mengulas sebuah senyuman, dia berharap Megan menyampaikan kabar gembira, untuk membatalkan proses perceraian mereka berdua.Megan sama sekali tidak merespon ucapan Henry, wanita itu membuka resleting tas kulit mewah bermerek Hermes miliknya dan mengeluarkan sebuah amplop besar dari sana."Terimalah," Megan menyerahkan amplop itu kepada Henry yang terbaring lemah. Senyuman Henry seketika berubah, berganti dengan sederet pertanyaan yang nampak dari wajah pucatnya."Apa ini?" Henry melihat amplop itu sekilas sebelum kemudian kembali menatap Megan dengan tatapan bertanya."Akta cerai. Jadikan benda itu sebagai pengingat, agar kau berhenti mengharapkan aku." Megan berucap dengan sinis, lalu pergi meninggalkan Henry yang mulai berlinang air mata.Wanita itu berjalan tergesa saat melintasi koridor rumah sakit. Megan merasa lega, dengan setatus janda yang dia sandang, sekarang dia bisa bebas untuk bisa mendekati pria kaya yang menjadi incarannya."Ibu," suara seruan membuat langkah Megan yang terus mengentakkan high heelsnya terhenti. Seorang gadis berlari ke arahnya sembari tersenyum."Syukurlah, aku sangat senang akhirnya Ibu datang untuk menjenguk Ayah." Lucia menggenggam tangan Megan sembari terus menyunggingkan senyum. Sudah tidak terhitung berapa kali Lucia mengirim pesan untuk memberi tahu keadaan Henry kepada ibunya, namun pesannya tidak pernah mendapat balasan. Panggilan telepon pun sering kali sengaja Megan matikan."Lepas," Megan menepis tangan Lucia yang seketika membuat gadis itu terperangah."Sebaiknya kau segera masuk dan mengurus ayahmu yang sekarat," pekik Megan dengan maksud menakuti Lucia agar gadis itu segera enyah dari hadapannya."Ah, benarkah Ayah sedang tidak baik-baik saja di dalam? Lalu Ibu mau kemana?" Lucia menatap ke arah ruangan Henry dirawat dengan mata berkaca-kaca."Aku banyak urusan. Dan tolong, mulai sekarang berhenti menghubungiku." ucap Megan dengan suara rendah, namun sarat akan penekanan. Membuat ulu hati Lucia terasa dicubit, menyisahkan perasaan nyeri yang menyebar hingga ke dada.Wanita itu lantas kembali melanjutkan langkah yang terjeda tanpa menoleh lagi ke belakang.Seketika seluruh tulang Lucia terasa lunak, tidak ada pegangan di sekitar gadis itu sehingga dia luruh di atas lantai."Ibu!" teriak Lucia yang sama sekali tidak membuat Megan menoleh. Lucia tidak menyangka, Megan, wanita yang melahirkannya dengan tega membiarkan Lucia menanggung beban berat sendirian.Beberapa kepala yang ada di sekitar menoleh, menatap iba kepada gadis yang berlinang air mata dan tampak rapuh terduduk di atas lantai.Lucia menangis tersedu sebelum akhirnya kesadarannya kembali. Ada Henry yang harus segera dia lihat kondisinya."Ayah," gumam Lucia yang kemudian bangkit dan berjalan dengan langkah seribu menuju kamar perawatan Henry.Lucia membuka pintu ruangan Henry secepat kilat cahaya, dan berlari mendekati ayahnya untuk melihat lebih dekat keadaan pria itu."Ayah!" teriak Lucia dengan wajah panik saat melihat ayahnya menangis tersedu. Dia menilai lidah Megan Magnolia terlalu kejam saat mengatai Henry sedang sekarat."Kenapa Ayah menangis?" perhatian Lucia terdistraksi pada sebuah amplop yang ada di atas perut Henry. Dengan cepat Lucia membuka segel amplop dan membaca dokumen di dalam amplop tersebut."Akta.... cerai?" kini Lucia tahu apa penyebab Henry menangis. Rasa sakit dan sesak di dada seakan berlomba-lomba untuk menghujamkan luka di hati Lucia."Ayah ...." lirih gadis itu sembari memeluk Henry yang masih terisak."Ibumu memilih untuk meninggalkan Ayah," ucap Henry terbata di sela tangis yang membuat nafas pria itu tersengal."Ayah tidak sendiri, ada aku disini bersama Ayah."Lucia terus memeluk Henry dan meyakinkan ayahnya jika pria itu tidak sendirian di dunia, ada Lucia yang bersedia menemani Henry di dalam segala keadaan. Namun tidak dapat dipungkiri, tangis Lucia bertambah deras di bahu sang ayah saat mengingat sikap tega Megan dan Lisa, satu-satunya saudara kandung yang dia miliki, memilih meninggalkan mereka di saat Henry terbaring sakit................Apa yang akan kau lakukan jika berada di posisi Lucia? Apakah mengakhiri hidup adalah cara yang tepat untuk memutus penderitaan yang dia alami? Tetapi bagaimana dengan Henry? Pria itu sangat membutuhkan Lucia, bahkan nyaris menggantungkan seluruh hidupnya kepada gadis itu. Jika kau bertanya pada Lucia, apa alasan dia untuk bertahan hidup, maka dengan lantang gadis itu akan menjawab; "Ayahku!"Para houstess melirik sinis saat Lucia datang ke Queen Fortune, pandangan yang cukup mengganggu, namun hal itu sudah dianggap biasa oleh Lucia. Sesekali dia berucap basa-basi untuk menyapa rekan kerjanya, meski jawaban yang dia dengar akan menambah beban di hatinya.Disaat baru saja Lucia berdiri di antara jajaran hostess, segerombolan teman sekolah Lucia tiba dan melintasi mereka.Dua di antara gadis itu menatap dengan perasaan iri, para hostess di sana memiliki paras menarik dibandingkan diri mereka. Seketika kedua mata mereka membulat saat melihat sosok yang tidak asing bagi mereka sedang berdiri di antara wanita pelayan kelab malam."Ayo kita lihat siapa yang ada di sini!" seru Donna yang merupakan ketua gang para gadis itu."Benarkah?" tanya Rully yang menatap seolah tak percaya, namun seketika gadis bermulut lebar itu tersenyum setelah kedua matanya memastikan bahwa indera penglihatannya tidak salah lihat.Lucia seketika menunduk malu, namun dia sadar, dengan menunduk sekali pun tidak akan dapat membungkus rasa malunya."Jadi, Miss Dilbert melacurkan diri setelah berhenti sekolah?" seloroh Donna yang mengundang tawa kedua temannya."Aku dengar, perusahan ayahmu bangkrut? Apakah ayahmu juga yang memintamu menjajakan diri di tempat ini?" lanjut Donna sembari mengerling penuh hina terhadap Lucia ke arah Rully dan Audry.Kedua tangan Lucia mengepal di samping tubuh, wajahnya merah padam dengan air mata yang sudah membanjiri wajahnya."Berhenti berbicara buruk tentang Ayahku!" pekik Lucia sembari melempar tamparan di wajah Donna, yang seketika membuat dua gadis yang bersamanya tidak suka.Rully dan Audry melampiaskan kekesalan terhadap Lucia dengan cara menarik rambut gadis itu dari segala arah. Donna pun turut menimpali dengan memukuli punggung Lucia yang meringkuk sembari berusaha melepaskan helaian rambutnya dari genggaman Audry dan Rully."Jalang! Sejak awal sudah ku duga jika kau hanya gadis murahan yang berlagak jual mahal, Lucia,""Pelacur sepertimu selalu membuat kami sebagai gadis mahal tersingkirkan!"Ucapan menyayat hati terus memasuki telinga Lucia secara paksa, tidak ada yang bisa Lucia lakukan selain menangis dan menerima serangan para gadis itu yang mengoyak dan mengombang-ambingkan tubuh Lucia dengan serangan brutal. Lucia balik menyerang apa pun bagian tubuh dari para gadis itu yang dapat dia jangkau, tapi tetap saja, dia tidak lebih kuat dari mereka yang menyerang bersamaan.Lantas, apa yang dilakukan rekan sesama hostess lain?Mereka hanya menahan tawa atas penindasan yang dialami Lucia. Menurut mereka, itu adalah pertujukan menarik yang sangat sayang untuk dilewatkan.Serangan terhadap Lucia baru berhenti saat seorang pria menyingkirkan para wanita itu dari sekeliling Lucia."Berhenti, apa yang sudah kalian lakukan!" pekik Eryk sembari menarik dan menendang para gadis itu agar segera melepas Lucia.Penyerangan berhenti, para gadis penyerang pergi menyisahkan Lucia yang terduduk di atas lantai dengan kondisi yang susah di jelaskan."Kau baik-baik saja?" tanya Eryk yang langsung melepas jaket denim yang dia pakai untuk menutupi bagian tubuh sensitif Lucia yang terekspose karena pakaian yang gadis itu kenakan koyak.Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir gadis itu sehingga Eryk menuntunnya untuk keluar dari bar."Ah, dia beruntung sekali," gumam Sofia yang menyayangkan Eryk memapah Lucia.Ucapan Sofia mendapat anggukan dari para hostess, di saat yang bersamaan mereka menatap iri ke arah Lucia.Air mata Lucia mulai menganak sungai. Rasa perih pada bekas cakaran mulai terasa mengganggu, namun tidak banyak yang dia lakukan, selain meringis dan memeluk tubuh dengan kedua tangan."Kau aman bersamaku," bisik Eryk tepat di telinga Lucia. Pria itu menyeringai, satu pintu untuk menjinakkan gadis itu telah terbuka.Lucia berjalan sambil terhuyung, nampaknya pukulan Donna di punggung Lucia begitu keras, sehingga nyeri di bagian punggungnya menambah beban tubuh yang seakan jatuh terjerembab di atas lantai.Dengan sigap Eryk menahan tubuh Lucia, dan menggendong Lucia di antara lengannya. Perlahan tangan Lucia bergerak menggenggam erat kerah jas yang Eryk kenakan. Hal itu membuat Eryk menyeringai ke dua kali. Dia yakin, upayanya kali ini tidak akan gagal.Eryk mendudukkan Lucia di kursi sebelah kemudi dan memasangkan sabuk pengaman untuk gadis itu. Diam-diam dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengambil foto Lucia yang sedang memejamkan mata dengan tubuh bersandar pada sandaran jok mobil tanpa sepengetahuan gadis itu."Ayah ...." gumam Lucia dengan mata terpejam menahan perih. Luka cakaran yang ada di dada dan lengan gadis itu terlihat cukup dalam.Eryk yang baru saja duduk di kursi kemudi tentu saja mendengar gumaman gadis itu, namun nampakknya dia seolah tidak peduli sehingga dia hanya mengedikkan bahu dan mulai menjalankan mobilnya. Setibanya di sebuah klinik, Eryk membopong Lucia masuk, melewati pintu kaca yang pada saat bersamaan beberapa perawat yang ada di sana membantu pria itu membawa Lucia ke ruang perawatan. "Bertahanlah, Nona," ucap Eryk saat beberapa perawat membawa gadis itu ke sebuah ruangan.Eryk menghela nafas panjang sembari menyeka peluh di dahi. Dia tidak menyangka harus berusaha sekeras ini untuk bisa
Seorang gadis waiters bernama Mimi meminta Lucia untuk membereskan piring dan gelas kotor di beberapa meja. Dengan terpaksa gadis itu menyanggupi, meski dalam hati dia merasa sangat terpaksa saat melakukan pekerjaan yang semestinya tidak dia kerjakan. Ada banyak pekerja di sana, tetapi mengapa harus Lucia yang membantu menyelesaikan tugas waiters? Kepolosan, kebaikan, serta usia Lucia yang terbilang paling muda di antara semua pekerja Queen Fortune kerap kali dimanfaatkan oleh mereka. Para waiters bahkan tak segan memerintah Lucia saat dia selesai menemani tamu. Saat Lucia hendak membawa alat makan kotor ke belakang, terasa sebuah tangan hangat memegangi lengan gadis itu. Dia menemukan seorang pria dalam keadaan mabuk dan cegukan. "Toilet, aku ingin, muntah," ucap pria berkaos hitam itu terbata karena cegukan. "Baik, Tuan, tunggulah sebentar. Aku akan segera kembali setelah selesai meletakkan barang-barang ini." ucap Lucia sembari mengalihkan atensi pada pria yang bergelayut di tan
Eryk memperhatikan Lucia yang menangis dalam diam. Lagi-lagi pria itu tersenyum dalam hati. Kesedihan Lucia yang tampak oleh matanya menambah besar peluangnya untuk meluluhkan gadis itu. Pria itu menipiskan bibir dan menangkup kedua pipi Lucia yang saat ini menengadahkan wajahnya ke langit dengan mata terpejam. Sentuhan Eryk pada kedua pipinya membuat mata Lucia terbuka seketika karena merasa terkejut. Dengan lembut Eryk mengusap air mata di kedua pipi Lucia, sangat berhati-hati sehingga Lucia merasa sedikit nyaman dengan perlakuan pria yang baru saja dia temui. "Berhenti menangis, Lucia. Air matamu terlalu berharga." ucap Eryk tanpa melepas tangannya dari wajah Lucia. Kedua manik cokelat gelapnya menatap hangat pada kedua mata Lucia, sehingga gadis itu mengulum senyum sembari mengangguk samar.Eryk melepas tangannya dari menyentuh wajah Lucia. Kini tangan kanan pria itu merangkul bahu Lucia yang seketika membuat hati gadis itu berdebar. Perasaan ini mirip dengan apa yang dia alami
Seorang pria menatap langit-langit ruang perawatan yang berwarna putih dan terkesan monoton. Ruangan yang dia tempati dipenuhi atmosfir kebosanan. Aroma obat-obatan yang khas kembali menyapa penciumannya. Ingin rasanya Henry bangkit dan berlari sejauh mungkin dari ruangan itu, tapi semua itu hanya menjadi angan. Masa kejayaannya telah berlalu dan tidak menyisahkan sedikit pun sisa pencapaian yang bisa dinikmati saat ini. Pria itu membuka selimut yang menutupi tubuh untuk mendapati kakinya yang bengkak. Hal itu membuat Henry tersenyum hambar setelahnya. Tubuh kekar yang dulu dia gunakan untuk mengarungi hidup, kini terbaring tak berdaya. Penyakit gagal ginjal yang dia alami adalah penyebabnya."Seharusnya kau ada disampingku saat ini, Megan." lirih Henry dengan kedua mata yang memanas. Ingatan masa indah bersama sang istri kembali berkelibat di kepala, bayangan itu seakan menari di atas penderitaannya saat ini. Dahulu, setiap pagi dia selalu dibangunkan dengan suara merdu Megan dan p
Seorang pria berusia 48 tahun berjalan menyusuri koridor menuju ruangan Eryk. Sesekali pria itu menarik siku untuk melihat jam tangan yang melingkar di pegelangan tangan, meeting akan di mulai 10 menit lagi. Namun Eryk, selaku CEO Fregrant Potions, yang juga merupakan putranya belum menampakkan batang hidungnya, sehingga Kent berniat menemui putranya di sendiri. Mudah saja, Kent bisa menyuruh bawahannya untuk memanggilkan Eryk agar segera datang ke meeting room. Tetapi mengingat panggilan teleponnya yang diabaikan, Kent tahu bahwa saat ini pemuda itu sedang bersenang-senang di dalam singgasananya, seperti waktu-waktu sebelumnya. Hal itu justru akan membuatnya merasa malu sebagai orang tua.Suara sepatu pantofel yang menapak di lantai terdengar menggema. Olivia, sekretaris pribadi Eryk langsung membuka mata lebar dan berdiri menyambut sang Direktur. Dengan sedikit berlari gadis itu beranjak dari bangku kerjanya."Selamat pagi, Pak Direktur," sapa Olivia dengan canggung. Gadis 25 tah
Terhitung 4 bulan setelah Lucia dan Eryk menjalin hubungan, Lucia seolah memiliki sebuah tempat untuk bersandar dan menceritakan segala keluh kesahnya. Dia merasa Eryk adalah sesosok malaikat yang memang dikirim Tuhan untuk memapah langkahnya yang terseok-seok melewati segala rintangan hidupnya yang dipenuhi dengan bebatuan terjal. Malam itu, Eryk mengantar Lucia pulang ke rumahnya setelah mereka mengunjungi Henry di rumah sakit. "Apakah kau tahu, Eryk, aku merasa sangat bahagia bertemu denganmu." ucap Lucia sembari melepas seat beltnya. Gadis itu tersenyum, namun Eryk hanya membalas senyuman gadis itu dengan bibir yang menipis. Pria itu melihat ke arah bangunan rumah mewah yang ada di hadapan. Pekarangannya tampak tidak terawat. Rumput liar tumbuh di sepanjang tanah yang ada di sana. "Kenapa rumahmu gelap sekali? Dengan siapa kau tinggal?" masih berpegangan pada kemudi mobil, pria itu kini lebih terang-terangan memperlihatkan gestur penasarannya dengan sesuatu yang berada di dala
Lucia duduk di sebuah bangku taman sembari melihat ke sekeliling. Sudah 15 menit dia menunggu, namun Ruth tak kunjung tampak, sehingga dia mendengus sembari menumpu wajah dengan telapak tangan di atas paha. Semua orang tahu kalau menunggu adalah satu hal yang menyebalkan. "Huaa!" suara mengejutkan datang dari belakang disertai tepukan pada punggung Lucia yang saat itu terbalut dengan blouse berwarna kuning lemon. Lucia menoleh ke belakang sembari mengerucutkan bibir mungilnya, melempar delikan pada gadis yang terkekeh merasa puas karena berhasil mengejutkan Lucia. "Cepat sekali kau datang, apakah kau datang menaiki seekor siput?" sindir Lucia sembari melipat tangan di depan dada. Ruth mengambil posisi duduk di sebelah Lucia dengan kekehan yang tersisa. "Maafkan aku, aku harus membantu ibuku memandikan nenekku sebelum pergi." gadis itu menghela nafas lelah sembari tersenyum hambar. Lucia sudah mendengar jika nenek Ruth tidak lagi bisa beraktivitas akibat stroke yang menyer
Wajah pria paruh baya itu mengeras, sepertinya dia tidak main-main dengan ancamannya beberapa waktu lalu. Sesekali Eryk menundukkan kepala untuk mendapati punggung bergetar Lucia yang ketakutan. "Ayah ..." lirih Eryk sembari mengusap batang hidung bangirnya. Pemuda itu tampak gugup sekarang. Dari ucapan Eryk, Lucia kini mengetahui bahwa pria paruh baya yang kini berjalan mendekat adalah ayah dari Eryk. Pria itu menatap putranya dengan tatapan tajam menghunus, hingga Eryk kesulitan menelan saliva. Seketika atmosfir ruangan terasa susah untuk dihirup. "Apa kau pikir ancamanku hanyalah main-main, Eryk." ucap Kent dengan suara bergetar, sarat akan kemarahan. Lucia yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hanya bisa mempererat pelukannya pada kaki Eryk. "Ini bukan kemauanku, Ayah, gadis ini memaksa untuk menemuiku meski aku sudah mencegahnya," Eryk berkilah seraya melepas pelukan tangan Lucia di kakinya. Gadis itu terperangah melihat perlakuan Eryk. Pria itu memperlakukan L
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m