Seorang gadis waiters bernama Mimi meminta Lucia untuk membereskan piring dan gelas kotor di beberapa meja. Dengan terpaksa gadis itu menyanggupi, meski dalam hati dia merasa sangat terpaksa saat melakukan pekerjaan yang semestinya tidak dia kerjakan.
Ada banyak pekerja di sana, tetapi mengapa harus Lucia yang membantu menyelesaikan tugas waiters? Kepolosan, kebaikan, serta usia Lucia yang terbilang paling muda di antara semua pekerja Queen Fortune kerap kali dimanfaatkan oleh mereka. Para waiters bahkan tak segan memerintah Lucia saat dia selesai menemani tamu.Saat Lucia hendak membawa alat makan kotor ke belakang, terasa sebuah tangan hangat memegangi lengan gadis itu. Dia menemukan seorang pria dalam keadaan mabuk dan cegukan."Toilet, aku ingin, muntah," ucap pria berkaos hitam itu terbata karena cegukan."Baik, Tuan, tunggulah sebentar. Aku akan segera kembali setelah selesai meletakkan barang-barang ini." ucap Lucia sembari mengalihkan atensi pada pria yang bergelayut di tangannya dengan sedikit panik."Manis, sebentar saja. Aku bahkan sudah mengincarmu sejak satu minggu lalu,"Ucapan yang keluar dari mulut pria mabuk itu membuat bulu Lucia meremang. Kata mengincar bisa saja bermakna negatif. Lucia pikir pria itu hanya ingin memintanya mengantar ke toilet untuk mengeluarkan isi perut."Tunggulah sebentar, aku sedang sibuk," kilah Lucia sembari berusaha melepas pegangan pria berbadan kekar itu dari lengannya.Namun seolah tidak membiarkan mangsanya lepas, pria itu menarik pinggang feminim Lucia hingga membuat gadis itu kaget dan nyaris melompat, pegangan pada alat makan yang terbuat dari kaca pun luput. Suara benturan lantai dengan kaca terdengar begitu nyaring dan menarik perhatian orang-orang."Manis, aku mengincarmu selama satu pekan, aku hanya menginginkanmu menemani tidurku malam ini saja. Please, malam ini saja," ucap pria itu yang semakin menarik tubuh Lucia ke dalam pelukan.Sekeras apa pun Lucia memberontak, sekuat itu pula pelukan pria itu bertambah kuat. Sehingga tidak ada pilihan lain selain berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang mau menolongnya. Meski dia tahu, pelecehan yang saat ini dia terima hanya akan mengundang tawa bagi rekan sesama pelayan di sana."Lepas! Sudah ku katakan, lepaskan aku!" jerit Lucia sembari memukulkan baki yang dia bawa pada wajah rupawan pria di hadapan.Lucia pikir dengan pukulan bertubi-tubi akan membuat pria itu menyerah, limbung karena mabuk berat, ternyata dia salah. Tampak kedua mata pria itu memerah dan melotot dengan kilat amarah yang sangat kentara, seolah baru saja menerima lemparan kotoran di wajahnya.Pria itu mendorong Lucia hingga terjerembab di atas lantai. Bibir mungil gadis itu terluka, saat terasa sesuatu berbau amis menetes dari bibir bagian dalam, Lucia menyentuh dengan telapak tangan. Kini jemari gadis itu berwarna merah akibat darah segar yang keluar dari bibir Lucia. Dengan tatapan sedukif pria itu mulai meraih kaki jenjang gadis itu. Teriakan Lucia seolah menambah semangatnya untuk terus mengganggu gadis itu.Lalu, apa yang dilakukan orang-orang yang ada di sana? Mereka hanya melirik sekilas, mereka enggan mencelupkan tangan ke dalam gelas masalah hidup orang lain. Terlebih pria itu adalah ketua gank motor yang amat di segani, pria itu bernama Anthony Reid."Jeritanmu terdengar mengalun merdu di telingaku, Nona," Anthony menangkup pipi Lucia yang terduduk di lantai dengan kedua tangan. Nyaris pria itu mengecup bibir Lucia yang tampak terus menghindari berdekatan dengan pria itu.Secara tiba-tiba Anthony jatuh terjerembab dan pingsan setelah seseorang memukulkan kursi pada punggung pria itu.Detak jantung Lucia sedikit melambat saat pria itu tergeletak di atas lantai, namun di saat bersamaan kegelisahan kembali menyerang pikirannya. Bagaimana jika atasannya tahu bahwa gadis itu baru saja menjadi biang keributan di tempat usahanya? Bukan hal mustahil jika boss Queen Fortune akan memberhentikan gadis itu dari pekerjaanya sekarang."Ah, lagi-lagi kau memancing keributan di sini," ucap salah satu gadis yang ada dalam satu gerombolan hostess. Mereka datang hanya untuk mendapati raut bersalah Lucia. Mereka sangat tidak sabar untuk menyeksikan gadis itu ditendang dari pekerjaannya di cafe tersebut.Ronald, pria berbadan gempal berusia 50 tahun langsung datang ke tempat usaha miliknya begitu mendengar kabar bahwa salah satu hostess di cafenya memukuli pengunjung, dan itu untuk ke dua kalinya dalam waktu dua hari berturut."Maaf, Boss, saya bisa menjelaskan," ucap Lucia dengan perasaan gugup. Bahkan berulang kali bibirnya membuka dan menutup tanpa ada kata yang keluar dari bibir mungilnya. Gadis itu sampai kehabisan kata-kata karena semua pandangan rekan yang membencinya menatap Lucia seolah dia lah penyebab keributan di cafe selama dua hari berturut-turut."Aku masih memaklumi untuk kemarin, tetapi tidak untuk hari ini. Dengan terpaksa aku meminta agar kau berhenti dari pekerjaan ini." ucap Ronald sembari menunjuk ke arah pintu utama. Tampak kemarahan berarak di wajah pria bertebuh gempal itu.Seketika dahi Lucia mengernyit penuh tanya."Boss, aku korban! Apakah aku harus diam saat seseorang berusaha melecehkanku?" geram Lucia tidak habis pikir atasannya sama sekali tidak memberinya perlindungan. Padahal jelas-jelas dia adalah korban.Di tengah ketegangan yang menyelimuti, Eryk menarik senyum ke salah satu sudut bibir. Ini adalah kesempatan untuk kembali meluluhkan hati gadis itu.Seolah tidak mau mendengar apa pun penjelasan dari Lucia, Ronald tampak menggeleng dengan kedua tangan ditempelkan pada dua sisi telingannya.Lucia menatap nanar pada semua orang yang menyaksikan pemberhentiannya secara tidak hormat dari pekerjaan. Beberapa di antara mereka tersenyum manis, namun sarat akan kebencian dan kegembiraan saat gadis itu kembali menyeka air mata dia dua pipinya.Sadar segala ucapannya tidak akan lagi didengar, Lucia membalik tubuh dan perlahan pergi meninggalkan tempat itu.Gadis itu berjalan dengan gontai saat keluar dari cafe. Sederet pertanyaan menghantam kepalanya. Selama ini dia menerima pendapatan dari tip yang di beri para pengunjung, dari setiap minuman yang laku terjual pada hari dia bekerja.Namun kemana dia akan mendapatkan uang setelah ini? Lucia mendesah dan menarik nafas dalam-dalam.Gadis itu memutuskan untuk duduk di kursi depan cafe dengan perasaan melankolis. Menatap sayu pada setiap orang yang melempar tatapan bertanya atas air matanya yang tidak kunjung surut.Tatapan Lucia teralihkan pada sosok pria yang baru saja datang dari arah yang baru saja dia lalui.Dengan cepat gadis itu menyeka air mata. Dia tidak ingin mempertontonkan tangisan pada pria di hadapan.Lucia membuang wajah ke arah lain untuk menghindari bertatap mata dengan pria itu."Maafkan aku. Tidak seharusnya aku memukulnya tadi. Tetapi melihatmu yang diperlakukan seperti wanita murahan membuatku naik pitam." Eryk menunjukkan raut bersalah untuk menarik perhatian gadis itu.Seketika bibir Lucia tersenyum samar mendengar ucapan tulus pria itu."Kau tidak bersalah. Justru aku berterima kasih karena kau telah menyelamatkan aku lagi hari ini." Lucia nampak sengaja menghindari tatapan pria itu."Apa yang bisa ku lakukan untuk menebus perasaan bersalahku?" Eryk berjalan semakin mendekat dengan kedua tangan tersimpan di balik saku celana."Harus berapa kali ku bilang, kau sama sekali tidak bersalah dalam hal ini." Lucia mendongak untuk mendapati wajah rupawan pria di hadapan.Pria itu mengunci pandangan keduannya. Namun getar ponsel nampaknya jauh lebih menarik perhatian Lucia dari pada berlama-lama menatap wajah rupawan pria di hadapan.Seketika telapak tangan Lucia basah oleh keringat saat nomor yang menghubunginya adalah nomor rumah sakit tempat sang ayah dirawat."Halo," sapanya pelan kepada seseorang di seberang sambungan."Hallo, selamat malam. Kami hanya ingin menyampaikan bahwa ayah anda harus segera menjalani proses cuci darah." ucap seorang wanita dari seberang sambungan dengan suara yang di buat setenang mungkin. Ada perasaan iba dari perempuan di seberang sambungan karena dia sering mendapati Lucia meminta dispensasi untuk pembayaran berobat sang ayah.Seketika Lucia meletakkan satu tangan yang bebas di depan bibirnya yang mengangga. Kedua matanya memanas, kedua matanya seakan berlomba untuk kembali melepas buliran air mata. Setelah baru saja dia kehilangan pekerjaan, kini dia dihadapkan pada masalah yang menurutnya cukup rumit. Dia membutuhkan uang untuk membayar pengobatan sang ayah yang harus menjalani prosedur cuci darah secepatnya. Dengan apa Lucia harus membayar?Lucia menengadahkan wajahnya ke langit. Dunianya seakan runtuh saat itu juga. Kepada siapa dia harus bersandar?Karena terlalu lama keheningan berlangsung, perempuan di sambungan seberang mengulangi kalimat yang sama, sehingga Lucia mengatakan; "Baik, saya akan segera ke sana dan membayar sejumlah uang untuk keperluan pengobatan ayah saya."Eryk memperhatikan Lucia yang menangis dalam diam. Lagi-lagi pria itu tersenyum dalam hati. Kesedihan Lucia yang tampak oleh matanya menambah besar peluangnya untuk meluluhkan gadis itu. Pria itu menipiskan bibir dan menangkup kedua pipi Lucia yang saat ini menengadahkan wajahnya ke langit dengan mata terpejam. Sentuhan Eryk pada kedua pipinya membuat mata Lucia terbuka seketika karena merasa terkejut. Dengan lembut Eryk mengusap air mata di kedua pipi Lucia, sangat berhati-hati sehingga Lucia merasa sedikit nyaman dengan perlakuan pria yang baru saja dia temui. "Berhenti menangis, Lucia. Air matamu terlalu berharga." ucap Eryk tanpa melepas tangannya dari wajah Lucia. Kedua manik cokelat gelapnya menatap hangat pada kedua mata Lucia, sehingga gadis itu mengulum senyum sembari mengangguk samar.Eryk melepas tangannya dari menyentuh wajah Lucia. Kini tangan kanan pria itu merangkul bahu Lucia yang seketika membuat hati gadis itu berdebar. Perasaan ini mirip dengan apa yang dia alami
Seorang pria menatap langit-langit ruang perawatan yang berwarna putih dan terkesan monoton. Ruangan yang dia tempati dipenuhi atmosfir kebosanan. Aroma obat-obatan yang khas kembali menyapa penciumannya. Ingin rasanya Henry bangkit dan berlari sejauh mungkin dari ruangan itu, tapi semua itu hanya menjadi angan. Masa kejayaannya telah berlalu dan tidak menyisahkan sedikit pun sisa pencapaian yang bisa dinikmati saat ini. Pria itu membuka selimut yang menutupi tubuh untuk mendapati kakinya yang bengkak. Hal itu membuat Henry tersenyum hambar setelahnya. Tubuh kekar yang dulu dia gunakan untuk mengarungi hidup, kini terbaring tak berdaya. Penyakit gagal ginjal yang dia alami adalah penyebabnya."Seharusnya kau ada disampingku saat ini, Megan." lirih Henry dengan kedua mata yang memanas. Ingatan masa indah bersama sang istri kembali berkelibat di kepala, bayangan itu seakan menari di atas penderitaannya saat ini. Dahulu, setiap pagi dia selalu dibangunkan dengan suara merdu Megan dan p
Seorang pria berusia 48 tahun berjalan menyusuri koridor menuju ruangan Eryk. Sesekali pria itu menarik siku untuk melihat jam tangan yang melingkar di pegelangan tangan, meeting akan di mulai 10 menit lagi. Namun Eryk, selaku CEO Fregrant Potions, yang juga merupakan putranya belum menampakkan batang hidungnya, sehingga Kent berniat menemui putranya di sendiri. Mudah saja, Kent bisa menyuruh bawahannya untuk memanggilkan Eryk agar segera datang ke meeting room. Tetapi mengingat panggilan teleponnya yang diabaikan, Kent tahu bahwa saat ini pemuda itu sedang bersenang-senang di dalam singgasananya, seperti waktu-waktu sebelumnya. Hal itu justru akan membuatnya merasa malu sebagai orang tua.Suara sepatu pantofel yang menapak di lantai terdengar menggema. Olivia, sekretaris pribadi Eryk langsung membuka mata lebar dan berdiri menyambut sang Direktur. Dengan sedikit berlari gadis itu beranjak dari bangku kerjanya."Selamat pagi, Pak Direktur," sapa Olivia dengan canggung. Gadis 25 tah
Terhitung 4 bulan setelah Lucia dan Eryk menjalin hubungan, Lucia seolah memiliki sebuah tempat untuk bersandar dan menceritakan segala keluh kesahnya. Dia merasa Eryk adalah sesosok malaikat yang memang dikirim Tuhan untuk memapah langkahnya yang terseok-seok melewati segala rintangan hidupnya yang dipenuhi dengan bebatuan terjal. Malam itu, Eryk mengantar Lucia pulang ke rumahnya setelah mereka mengunjungi Henry di rumah sakit. "Apakah kau tahu, Eryk, aku merasa sangat bahagia bertemu denganmu." ucap Lucia sembari melepas seat beltnya. Gadis itu tersenyum, namun Eryk hanya membalas senyuman gadis itu dengan bibir yang menipis. Pria itu melihat ke arah bangunan rumah mewah yang ada di hadapan. Pekarangannya tampak tidak terawat. Rumput liar tumbuh di sepanjang tanah yang ada di sana. "Kenapa rumahmu gelap sekali? Dengan siapa kau tinggal?" masih berpegangan pada kemudi mobil, pria itu kini lebih terang-terangan memperlihatkan gestur penasarannya dengan sesuatu yang berada di dala
Lucia duduk di sebuah bangku taman sembari melihat ke sekeliling. Sudah 15 menit dia menunggu, namun Ruth tak kunjung tampak, sehingga dia mendengus sembari menumpu wajah dengan telapak tangan di atas paha. Semua orang tahu kalau menunggu adalah satu hal yang menyebalkan. "Huaa!" suara mengejutkan datang dari belakang disertai tepukan pada punggung Lucia yang saat itu terbalut dengan blouse berwarna kuning lemon. Lucia menoleh ke belakang sembari mengerucutkan bibir mungilnya, melempar delikan pada gadis yang terkekeh merasa puas karena berhasil mengejutkan Lucia. "Cepat sekali kau datang, apakah kau datang menaiki seekor siput?" sindir Lucia sembari melipat tangan di depan dada. Ruth mengambil posisi duduk di sebelah Lucia dengan kekehan yang tersisa. "Maafkan aku, aku harus membantu ibuku memandikan nenekku sebelum pergi." gadis itu menghela nafas lelah sembari tersenyum hambar. Lucia sudah mendengar jika nenek Ruth tidak lagi bisa beraktivitas akibat stroke yang menyer
Wajah pria paruh baya itu mengeras, sepertinya dia tidak main-main dengan ancamannya beberapa waktu lalu. Sesekali Eryk menundukkan kepala untuk mendapati punggung bergetar Lucia yang ketakutan. "Ayah ..." lirih Eryk sembari mengusap batang hidung bangirnya. Pemuda itu tampak gugup sekarang. Dari ucapan Eryk, Lucia kini mengetahui bahwa pria paruh baya yang kini berjalan mendekat adalah ayah dari Eryk. Pria itu menatap putranya dengan tatapan tajam menghunus, hingga Eryk kesulitan menelan saliva. Seketika atmosfir ruangan terasa susah untuk dihirup. "Apa kau pikir ancamanku hanyalah main-main, Eryk." ucap Kent dengan suara bergetar, sarat akan kemarahan. Lucia yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hanya bisa mempererat pelukannya pada kaki Eryk. "Ini bukan kemauanku, Ayah, gadis ini memaksa untuk menemuiku meski aku sudah mencegahnya," Eryk berkilah seraya melepas pelukan tangan Lucia di kakinya. Gadis itu terperangah melihat perlakuan Eryk. Pria itu memperlakukan L
Di sebuah kamar perawatan, Eryk tampak bosan sembari mengetuk-ngetukkan jarinya pada nakas yang terletak di sebelah ranjang. Sesekali pria itu membuka ponsel untuk membalas beberapa pesan yang masuk dari para wanita yang mengajaknya bersenang-senang. "Arrgh, kalau saja Ayah tidak menyakitinya. Seharusnya kita berada di rumah untuk istriahat malam ini." Eryk mendengus sembari menopang dagu dengan dua telapak tangan. Sementara itu, Kent tampak berdiri di depan jendela dan memperhatiakn gemerlap bintang di langit. Pria itu hanya merespon ucapan putranya dengan senyuman hambar. Semenjak Lucia dipindahkan di ruang perawatan, pria itu terus saja menjaga jarak dari gadis tersebut. Kent merasakan debaran yang menyiksa setiap kali menatap wajah Lucia. "Pulanglah jika kau bosan. Biar aku sendiri yang menunggu hingga gadis itu sadar." dengan tenang Kent berucap, tanpa menoleh ke arah Eryk yang memasang raut bersungut. Setelah ucapan itu lolos dari bibir Kent, seketika Eryk tersenyum dan men
Malam semakin larut dan suasana semakin hening. Hanya suara jarum jam yang terdengar mengisi ruang kamar bergaya vintage yang didominasi dengan warna krem. Diatas ranjang berukuran king terbaring seorang pria yang tak kunjung dapat memejamkan matanya, meski dia telah mencoba berulang kali.Kent menatap foto pernikahannya yang dibingkai besar menutupi sebagian dinding kamar. Memperlihatkan dia bersama Velarie tersenyum bahagia di hari pernikahan mereka. Saat pernikahan itu berlangsung Kent berusia 22. Kent bangkit berdiri dan berjalan mendekati foto tersebut. Pria itu menatap sendu pada wajah Velarie, karena jauh di dalam lubuk hatinya ada perempuan lain yang membuatnya merasakan getaran unik. "Aku akan meyakinkan diriku jika debaran ini muncul karena perasaan bersalah, Velarie. Kau tidak perlu risau, aku berjanji untuk tidak menyanding perempuan lain sepeninggalanmu."Mata Kent terpejam. Pria itu menarik nafas dalam sebelum akhirnya menghembuskannya perlahan. Demi janjinya kepada me
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m