"Eh, lo pada jangan salah kaprah. Nia bukan pacar gue." Indra buru-buru membantah. Namun Teman-temannya tidak mempedulikan bantahan Indra. Mereka langsung memposting foto-foto itu ke dalam grup reuni sekolah. "Benar. Saya bukan pacar, Pak Indra. Saya adalah rekan beliau sesama guru." Melihat Pak Indra kewalahan, Dia turun tangan. Ia tidak mau kesalahpahaman ini semakin berlarut-larut."Waduh, maaf ya, Mbak. Kami terlalu cepat menyimpulkan sesuatu." Seorang pria muda yang sepertinya ketua gank merangkapkan tangan di dada. Gestur meminta maaf. Nia menanggapi permintaan teman Indra dengan senyuman tipis sebelum berlalu. Ia juga memesan taksi online sambil jalan. Ia sudah sangat rindu pada Bu Wardah. ***"Antarkan saja saya ke mess ya, Yu," pinta Nia pada Bayu. Saat ini mereka telah memasuki jalan Cisarua. Semua persyaratan numpang nikah beserta dokumen-dokumennya telah masing-masing mereka kantongi. "Nanti ayahmu marah, Nia. Dari kemarin-kemarin beliau tidak memperbolehkanmu tinggal d
Setelah tiba di kamar, Nia menutup pintu pelan. Ia meletakkan tas travellingnya di sudut ruangan bersama kunci kamar yang diberikan oleh Bu Ningrum. Ia lalu menatap Bu Ningrum yang berdiri gelisah di dekat pintu."Silakan duduk, Bu," ujar Nia sambil menunjuk kursi di dekat meja kecil. Nada suaranya sopan, tapi dingin.Bu Ningrum menurut. Tangannya menggenggam erat ponsel yang dibawanya, seolah-olah ponsel itu bisa memberinya kekuatan."Bu Ningrum, coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa nama saya dan Bapak disebut-sebut dalam percakapan tadi?" Nia bertanya langsung tanpa basa-basi."Itu... hanya obrolan biasa, Bu," jawab Bu Ningrum gagap. Matanya berusaha menghindari tatapan Nia."Obrolan biasa?" Nia tersenyum samar. "Tadi saya mendengar dengan jelas. Ibu bilang tidak akan memberi tahu saya atau Bapak soal sesuatu. Apa maksudnya itu, Bu Ningrum?" desak Nia lagi.Bu Ningrum meremas-remas tangannya semakin erat. "Sungguh, Bu, itu bukan apa-apa. Saya hanya...""Jangan berbelit
Sepeninggal Bu Ningrum, Nia meraih ponselnya. Ia harus mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Bu Isnaini dan Kencana. Bukti pertama yang ia periksa adalah rekaman pengakuan Kencana tentang fitnah yang pernah dilakukannya. Bukti kedua, percakapan antara Kencana dan Bu Isnaini mengenai jebakan pernikahan ayahnya.Setelah memastikan file-file tersebut tersimpan aman, Nia segera menelepon Bayu."Halo, Yu. Besok saya butuh bantuanmu," ucapnya serius."Ada apa, Nia?" Suara Bayu di seberang terdengar waspada."Saya ingin kamu menemani saya mengintai Bu Isnaini dan kerabatnya di rumah Bu Ningrum. Cerita detailnya besok saja," jelas Nia. "Oke. Jam berapa kamu ingin saya jemput?""Pukul dua siang di kantor.""Oke."Setelah Bayu setuju, Nia menutup telepon dengan harapan besar. Semoga saja teka-teki ini akan segera menemukan jawabannya.***Matahari sore menyisakan sinarnya yang lembut, membentuk bayang-bayang panjang di sepanjang jalan kecil menuju rumah Bu Ningrum. Jam digital di dasbor mobil me
"Masuk," seru Nia ketika pintu ruang kerjanya diketuk. Nani masuk diikuti kepala Wahyu yang menyembul di pintu. "Pak Wahyu ingin menemui Ibu," Nani melapor sopan. Wahyu yang berdiri di punggung Nani melambai-lambaikan tangan jenaka."Halo, Wahyu. Ada kabar? Tumben kamu mencari saya sampai ke sini," ujar Nia tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop, hanya melirik Wahyu sekilas dari sudut mata. Sementara Nani kembali ke meja depan."Kabar saya baik. Eh, saya tidak dipersilakan duduk ini?" Wahyu menyindir dengan gurauan."Kalau mau duduk, ya duduk saja. Tidak perlu menunggu dipersilakan. Lagipula, sebentar lagi kita akan jadi keluarga, kan?" jawab Nia santai, sambil tetap mengetik. Peringatan Bayu tempo hari ternyata benar; Wahyu mulai menunjukkan perhatiannya. "Oke, kalau begitu saya akan duduk." Wahyu menghempaskan pinggulnya di kursi. Sekarang ia duduk berhadapan dengan Nia."Kok kamu tidak heran sih saya ada di sini?" tanya Wahyu. Ia mengabaikan candaan Nia soal hubungan ke
“Kamu sombong sekali, ya, Nia?” gumam Wahyu tiba-tiba, setelah Kencana pergi.Nia mengangkat alis, tak terkejut."Tapi kamu keren, lho. Dingin-dingin sedap." Nada suara Wahyu yang tadinya menghujat berubah menjadi menggoda. Ia bahkan mengacungkan kedua jempolnya."Kamu sudah dua kali mengatakan kalau saya sombong. Berarti kamu tadi tidak bohong," sindir Nia lugas. “Kamu ini memang tidak bisa diajak bercanda ya, Nia?” Wahyu mendecakkan lidah, frustasi. Sulit sekali mendekati Nia.Nia hanya mengangkat bahu acuh. Namun, beberapa saat kemudian, ponsel di mejanya bergetar. Nama Bayu muncul di layar. Ia pun segera mengangkatnya."Hallo, Yu. Oh, kamu mau mengajak saya makan malam ya? Mau dong. Masa mau di traktir menolak? Mubazir kalau kata orang tua dulu. Oh ada restaurant yang baru buka ya? No problem, Darl. Ke mana pun kamu membawa saya, pasti saya ikut. Sedap kan, Yu?" Nia menyerocos sebelum Bayu mengatakan apa pun. Nia memang sengaja memamerkan kemesraannya dengan Bayu. Nia berharap aga
"Saya ke sini karena ada perkembangan terbaru soal kasus kita," ujar Bayu."Bagus! Jadi, apa perkembangannya? Anak-anak punk yang memutus tali rem kita sudah ditangkap? Apakah mereka ada hubungannya dengan Pak Jaja?" tanya Nia antusias."Anak-anak punk itu sudah ditangkap. Dari pengakuan mereka, ada orang lain yang menyuruh mereka melakukannya," jawab Bayu serius."Orang lain? Siapa kira-kira orang lain itu ya, Yu?" tanya Nia, bingung."Itulah yang sedang didalami oleh pihak penyidik. Nah ada satu keanehan. Menurut Fathur, setelah anak-anak punk itu ditangkap, Pak Jaja dan Imah langsung kabur. Untuk itulah Fathur akan mengamankan ayah dan anak itu. Siapa tahu keduanya ada hubungannya dengan anak-anak punk itu.""Oh, untungnya kita tahu ke mana mereka kabur, ya, Yu? Kamu sudah memberi tahu Fathur tempat persembunyian Imah?" tanya Nia semangat."Tidak perlu, Nia. Pihak kepolisian sudah mengetahuinya. Mereka berdua memang sedang diawasi.""Saya tidak sabar untuk mengetahui segala kebenar
"Ini... ini... saya tambahi lagi uangnya. Pokoknya kamu jangan sekali-sekalu menyebut nama sata kalau polisi menanyaimu apa pun. Apa pun, ingat itu ya, Ning?" Nia menyurutkan langkah. Tadinya, ia berniat ke dapur untuk memasak mi instan. Namun, apa yang dilihatnya membuatnya tertegun. Bu Isnaini berdiri di depan Bu Ningrum, menjejalkan sejumlah uang ke saku perempuan itu dengan gerakan gelisah dan tergesa-gesa."Ambil kembali uang Ibu. Saya tidak butuh." Bu Ningrum menolak lembaran-lembaran uang yang dijejalkan secara paksa oleh Bu Isnaini. "Ambil saja, Ning. Saya tahu kamu membutuhkannya," desak Bu Isnaini, memandangnya dengan tatapan penuh harap. "Yang penting, kamu tolong saya, ya?""Kalau saya menolong Ibu, lantas siapa yang menolong saya? Saya takut terbawa-bawa, Bu. Kemarin Ibu bilang, Ibu yang akan bertanggung jawab. Kenapa sekarang jadi begini?" Suara Bu Ningrum mulai bergetar. Campuran antara takut dan marah."Saya tidak tahu kalau anak Pak Jaja ini nakal, Ning. Saya pikir
"Enyah kalian semua!"Pak Suhardi menarik Nia yang terduduk di lantai. Rambut dan pakaiannya acak-acakan akibat dikeroyok tiga orang. Sementara itu, Bu Isnaini tampak kebingungan. Ia tidak menyangka kalau suaminya ada di sini. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. "Kamu kenapa, Nia? Kok kamu luka-luka begini?" Pak Suhardi terperanjat melihat luka-luka goresan di wajah dan kedua lengan Nia. Namun saat melihat luka-luka itu sudah diobati, ia sadar bahwa luka-luka Dia bukan akibat perbuatan istri maupun anak-anak tirinya. "Tidak apa-apa, Yah. Kemarin, di Jakarta, Nia dan Bayu kecelakaan. Tapi cuma kecelakaan kecil, kok," ujar Nia menenangkan sang ayah."Ini tidak seperti yang Bapak bayangkan. Ada kesalahpahaman di antara anak-anak kita. Kita pulang saja ya, Pak? Ibu akan menjelaskan semuanya di rumah." Dengan adanya insiden kecelakaan Nia, Bu Isnaini mencari celah. Ia menghela lembut lengan Pak Suhardi. Ia berencana akan menjelaskan pada sang suami dengan versinya sendiri."Kesalah
Nia tersenyum haru. Bayu sudah lulus ujian. Selama bulan-bulan terakhir ini, ia memang sengaja memperlakukan Bayu dengan buruk. Ia memberi Bayu begitu banyak tekanan dan juga sikap yang tidak menyenangkan. Ia kira, pada akhirnya kira Bayu akan menyerah dan meninggalkannya. Ternyata Bayu pantang menyerah dan sabar menghadapinya. "Saya juga mencintaimu kok, Yu. Hanya saja saya memilih mencintaimu dalam diam, dalam kesendirian dan dalam mimpi." Nia akhirnya membuka isi hatinya. Bayu terhenyak. Ia bengong sesaat karena mengira pendengarannya bermasalah. "Kamu bilang apa, Nia? Coba u... ulangi." Bayu membersihkan kedua telinganya dengan jari telunjuk. Ia ingin mendengar pengakuan cinta Nia dengan sejelas-jelasnya. Nia pun dengan senang hati mengulangi pernyataan cintanya. "Kenapa harus begitu, Nia?" tanya Bayu dengan suara parau. Keromantisan Nia dan Bayu membuat ruang bersalin hening sejenak. Dokter Widya membuat gerakan menggeleng pelan, saat perawat ingin memindahkan Nia ke ruang pe
Dua Bulan Kemudian - Rumah SakitBayu berlari menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup kencang. Kedua orang tuanya, Bu Sekar dan Pak Jafar, mengikuti di belakangnya dengan wajah cemas. Pak Suhardi sudah menunggu mereka di depan ruang bersalin, wajahnya diliputi kekhawatiran."Bagaimana Nia, Pak?" Bayu bertanya dengan napas tersengal. Ia mengoper pekerjaan di Jakarta pada Wahyu di Jakarta langsung ke Cisarua. "Masih berjuang, Nak. Sudah hampir lima jam." Suara Pak Suhardi terdengar bergetar. Hatinya juga sangat risau.Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan tertahan dari ruang bersalin, berikut instruksi-intruksi dari dokter. Bayu mengenali jeritan kesakitan menyayat hati itu. Suara Nia! Bayu mengepalkan tangan, matanya mulai memanas. "Apa saya boleh masuk ke dalam, Pak ?" tanya Bayu khawatir. "Walau kami sudah bercerai, tapi anak yang akan Nia lahirkan adalah darah daging saya. Tolong, beri saya kesempatan untuk mendampingi Nia, Pak." Bayu meminta izin Pak Suhardi."Perg
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa
"Suhar..." Suara Bu Sekar pecah."Aku mohon... Bayu sudah seperti orang gila enam bulan ini! Ia tidak bekerja, tidak peduli dengan kesehatannya. Tidak ada yang ia pikirkan selain mencari Nia!"Pak Suhardi menarik napas panjang. Hatinya resah. Ia bisa membayangkan bagaimana keadaan Bayu.Bu Sekar menelan ludah, air matanya menggenang."Bayu depresi, Hardi. Aku takut kalau dia sampai menyakiti dirinya sendiri. Bayu hanya ingin menemui Nia sekali saja, Har. Satu kali saja."Hening. Di ujung telepon, Pak Suhardi mengusap wajahnya, serba salah. Ia tahu Nia sangat tersakiti, dan ia sudah berjanji akan melindungi putrinya itu dari segala hal yang membuatnya menderita. Namun, di sisi lain, ia juga melihat bagaimana Bayu benar-benar berubah."Aku akan mengatakan satu rahasia yang selama ini aku pendam semampuku, Har." Suara Bu Sekar bergetar."Apa itu, Sekar?" Suara Pak Suhardi terdengar khawatir."Aku menderita kanker pankreas stadium tiga, Har.""Astaghfirullahaladzim. Berarti pertemuan kit
Enam bulan kemudian.Hujan deras menyelimuti Cisarua sore itu, menciptakan kabut tipis di sepanjang jalanan desa yang sepi. Bayu turun dari mobilnya dengan langkah gontai, membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang sudah kedinginan. Rambutnya lepek, wajahnya pucat, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini.Di beranda, Bu Sekar berdiri dengan payung di tangan. Wajahnya sendu saat melihat putranya dalam keadaan menyedihkan. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Bayu dan menariknya masuk ke dalam rumah."Ya ampun, Bayu. Enam bulan lamanya kamu tidak pernah ke sini, sekarang kamu datang dalam keadaan seperti ini?" Bu Sekar menyambut sang putra dengan tatapan prihatin.Bayu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap kosong ke seantero rumah yang dulu terasa hangat karena ada Nia di dalamnya. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan."Kau menyiksa diri sendiri, Nak. Lihat dirimu... Kamu bahkan lebih mirip gelandangan sekarang." Bu Sekar memandu putra
"Saya cemburu," ucap Bayu pelan, nyaris seperti bisikan.Nia mengernyit. "Apa maksudmu?"Bayu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Nia."Semua kekacauan ini, ketidakmasukakalan sikap saya, diawali oleh rasa cemburu," ulang Bayu, kali ini dengan suara lebih keras."Setiap kali saya melihatmu dekat dengan pria lain, saya tidak bisa berpikir jernih. Makanya, semua jadi kacau."Nia diam, namun ia tetap mendengarkan curahan hati Bayu.Bayu menarik napas panjang, menguatkan hatinya untuk terus mengeluarkan isi hatinya."Kamu ingat tidak saat saya melamarmu dulu? Saya bilang pada ayahmu kalau saya jatuh cinta padamu sejak melihatmu turun dari bus. Itu semua benar, Nia. Saya memang sudah menginginkanmu sejak saat itu. Namun, saya gengsi untuk mengakuinya. Karena...""Karena kamu menganggap saya yang penuh dosa ini tidak pantas untukmu yang suci, murni, tak bernoda, bukan?" potong Nia cepat.Bayu kembali menghela napas panjang. Walau terdengar memalukan, ia harus jujur."Benar. S