Sepeninggal Bu Ningrum, Nia meraih ponselnya. Ia harus mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Bu Isnaini dan Kencana. Bukti pertama yang ia periksa adalah rekaman pengakuan Kencana tentang fitnah yang pernah dilakukannya. Bukti kedua, percakapan antara Kencana dan Bu Isnaini mengenai jebakan pernikahan ayahnya.Setelah memastikan file-file tersebut tersimpan aman, Nia segera menelepon Bayu."Halo, Yu. Besok saya butuh bantuanmu," ucapnya serius."Ada apa, Nia?" Suara Bayu di seberang terdengar waspada."Saya ingin kamu menemani saya mengintai Bu Isnaini dan kerabatnya di rumah Bu Ningrum. Cerita detailnya besok saja," jelas Nia. "Oke. Jam berapa kamu ingin saya jemput?""Pukul dua siang di kantor.""Oke."Setelah Bayu setuju, Nia menutup telepon dengan harapan besar. Semoga saja teka-teki ini akan segera menemukan jawabannya.***Matahari sore menyisakan sinarnya yang lembut, membentuk bayang-bayang panjang di sepanjang jalan kecil menuju rumah Bu Ningrum. Jam digital di dasbor mobil me
"Masuk," seru Nia ketika pintu ruang kerjanya diketuk. Nani masuk diikuti kepala Wahyu yang menyembul di pintu. "Pak Wahyu ingin menemui Ibu," Nani melapor sopan. Wahyu yang berdiri di punggung Nani melambai-lambaikan tangan jenaka."Halo, Wahyu. Ada kabar? Tumben kamu mencari saya sampai ke sini," ujar Nia tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop, hanya melirik Wahyu sekilas dari sudut mata. Sementara Nani kembali ke meja depan."Kabar saya baik. Eh, saya tidak dipersilakan duduk ini?" Wahyu menyindir dengan gurauan."Kalau mau duduk, ya duduk saja. Tidak perlu menunggu dipersilakan. Lagipula, sebentar lagi kita akan jadi keluarga, kan?" jawab Nia santai, sambil tetap mengetik. Peringatan Bayu tempo hari ternyata benar; Wahyu mulai menunjukkan perhatiannya. "Oke, kalau begitu saya akan duduk." Wahyu menghempaskan pinggulnya di kursi. Sekarang ia duduk berhadapan dengan Nia."Kok kamu tidak heran sih saya ada di sini?" tanya Wahyu. Ia mengabaikan candaan Nia soal hubungan ke
“Kamu sombong sekali, ya, Nia?” gumam Wahyu tiba-tiba, setelah Kencana pergi.Nia mengangkat alis, tak terkejut."Tapi kamu keren, lho. Dingin-dingin sedap." Nada suara Wahyu yang tadinya menghujat berubah menjadi menggoda. Ia bahkan mengacungkan kedua jempolnya."Kamu sudah dua kali mengatakan kalau saya sombong. Berarti kamu tadi tidak bohong," sindir Nia lugas. “Kamu ini memang tidak bisa diajak bercanda ya, Nia?” Wahyu mendecakkan lidah, frustasi. Sulit sekali mendekati Nia.Nia hanya mengangkat bahu acuh. Namun, beberapa saat kemudian, ponsel di mejanya bergetar. Nama Bayu muncul di layar. Ia pun segera mengangkatnya."Hallo, Yu. Oh, kamu mau mengajak saya makan malam ya? Mau dong. Masa mau di traktir menolak? Mubazir kalau kata orang tua dulu. Oh ada restaurant yang baru buka ya? No problem, Darl. Ke mana pun kamu membawa saya, pasti saya ikut. Sedap kan, Yu?" Nia menyerocos sebelum Bayu mengatakan apa pun. Nia memang sengaja memamerkan kemesraannya dengan Bayu. Nia berharap aga
"Saya ke sini karena ada perkembangan terbaru soal kasus kita," ujar Bayu."Bagus! Jadi, apa perkembangannya? Anak-anak punk yang memutus tali rem kita sudah ditangkap? Apakah mereka ada hubungannya dengan Pak Jaja?" tanya Nia antusias."Anak-anak punk itu sudah ditangkap. Dari pengakuan mereka, ada orang lain yang menyuruh mereka melakukannya," jawab Bayu serius."Orang lain? Siapa kira-kira orang lain itu ya, Yu?" tanya Nia, bingung."Itulah yang sedang didalami oleh pihak penyidik. Nah ada satu keanehan. Menurut Fathur, setelah anak-anak punk itu ditangkap, Pak Jaja dan Imah langsung kabur. Untuk itulah Fathur akan mengamankan ayah dan anak itu. Siapa tahu keduanya ada hubungannya dengan anak-anak punk itu.""Oh, untungnya kita tahu ke mana mereka kabur, ya, Yu? Kamu sudah memberi tahu Fathur tempat persembunyian Imah?" tanya Nia semangat."Tidak perlu, Nia. Pihak kepolisian sudah mengetahuinya. Mereka berdua memang sedang diawasi.""Saya tidak sabar untuk mengetahui segala kebenar
"Ini... ini... saya tambahi lagi uangnya. Pokoknya kamu jangan sekali-sekalu menyebut nama sata kalau polisi menanyaimu apa pun. Apa pun, ingat itu ya, Ning?" Nia menyurutkan langkah. Tadinya, ia berniat ke dapur untuk memasak mi instan. Namun, apa yang dilihatnya membuatnya tertegun. Bu Isnaini berdiri di depan Bu Ningrum, menjejalkan sejumlah uang ke saku perempuan itu dengan gerakan gelisah dan tergesa-gesa."Ambil kembali uang Ibu. Saya tidak butuh." Bu Ningrum menolak lembaran-lembaran uang yang dijejalkan secara paksa oleh Bu Isnaini. "Ambil saja, Ning. Saya tahu kamu membutuhkannya," desak Bu Isnaini, memandangnya dengan tatapan penuh harap. "Yang penting, kamu tolong saya, ya?""Kalau saya menolong Ibu, lantas siapa yang menolong saya? Saya takut terbawa-bawa, Bu. Kemarin Ibu bilang, Ibu yang akan bertanggung jawab. Kenapa sekarang jadi begini?" Suara Bu Ningrum mulai bergetar. Campuran antara takut dan marah."Saya tidak tahu kalau anak Pak Jaja ini nakal, Ning. Saya pikir
"Enyah kalian semua!"Pak Suhardi menarik Nia yang terduduk di lantai. Rambut dan pakaiannya acak-acakan akibat dikeroyok tiga orang. Sementara itu, Bu Isnaini tampak kebingungan. Ia tidak menyangka kalau suaminya ada di sini. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. "Kamu kenapa, Nia? Kok kamu luka-luka begini?" Pak Suhardi terperanjat melihat luka-luka goresan di wajah dan kedua lengan Nia. Namun saat melihat luka-luka itu sudah diobati, ia sadar bahwa luka-luka Dia bukan akibat perbuatan istri maupun anak-anak tirinya. "Tidak apa-apa, Yah. Kemarin, di Jakarta, Nia dan Bayu kecelakaan. Tapi cuma kecelakaan kecil, kok," ujar Nia menenangkan sang ayah."Ini tidak seperti yang Bapak bayangkan. Ada kesalahpahaman di antara anak-anak kita. Kita pulang saja ya, Pak? Ibu akan menjelaskan semuanya di rumah." Dengan adanya insiden kecelakaan Nia, Bu Isnaini mencari celah. Ia menghela lembut lengan Pak Suhardi. Ia berencana akan menjelaskan pada sang suami dengan versinya sendiri."Kesalah
"Kemarin dulu Bu Iis menelepon saya. Bu Iis bilang beliau ingin mengontrak rumah lama saya untuk keluarganya." Bu Ningrum pun mulai bercerita. "Dengan syarat, saya tidak boleh mengatakannya pada Bapak. Kata Bu Iis, ia malu karena sudah terlalu sering membantu keluarganya. Ia juga takut kalau Bapak marah. Bu Iis bilang bahwa ia yang akan bertanggung jawan atas atas masalah ini," lanjut Bu Ningrum lagi."Tapi tadi saya mendapat kabar kalau polisi menggerebek rumah saya. Lantas Bu Iis datang dan meminta saya tidak membawa-bawa nama Ibu apabila saya dipanggil polisi. Bu Iis juga memberikan saya sejumlah uang. Karena saya tidak bersedia, kami jadi berdebat. Itulah yang terjadi, Pak." Bu Ningrum menceritakan dengan jujur. Pak Suhardi menarik napas panjang. "Baik. Sekarang giliran Ibu. Untuk siapa sebenarnya Ibu mengontrak rumah itu? Karena setahu Bapak, Ibu tidak punya keluarga lain lagi. Itu dulu pengakuan Ibu pada Bapak bukan?" Pak Suhardi gantian menginterogasi sang istri. "Untuk Pak
"Ibu berjanji akan menjelaskan semuanya pada Bapak di rumah. Sekarang sebaiknya kita pulang dulu. Kita tak pantas ribut di sini, Pak," mohon Bu Isnaini dengan suara rendah.Keributan mereka telah membuat para penghuni mess mencuri-curi pandang ke dapur. Suara-suara keras dan bentakan membuat mereka penasaran."Pulang, kamu bilang? Kamu masih berani meminta pulang setelah mencoba mencelakai Nia?" bentak Pak Suhardi dengan gusar."Jadi, Bapak maunya bagaimana? Ibu ikut saja, asalkan Bapak mau memaafkan Ibu. Beri Ibu kesempatan untuk menjelaskan semuanya," pinta Bu Isnaini. Ia menebalkan muka, memohon pada sang suami."Iya, Yah. Bagaimanapun, Ibu masih sah sebagai istri Ayah. Jangan mempermalukan Ibu di hadapan para pekerja, Pak," Kencana mencoba membela sang ibu."Kalian juga sama saja. Diberi hati, minta jantung! Selama ini Ayah selalu menyayangi kalian berdua sepenuh hati, tapi kalian berdua selalu mempersulit Nia. Maunya kalian berdua itu apa sih? Apa Ayah tidak boleh menyayangi putr
"Saya bisa minta tolong, tidak, Nia?" ucap Wahyu sambil meringis."Minta tolong apa?" tanya Nia datar."Saya sakit kepala. Kamu bisa tolong buatkan saya teh hangat, tidak? Bik Sari sudah tidur kelelahan. Saya tidak sampai hati membangunkan mereka," kata Wahyu sambil terus memijat-mijat dahinya."Kamu duduk saja dulu." Nia meletakkan gelasnya di meja.Wahyu pun kemudian duduk, sementara Nia berjalan ke lemari dapur, mencari-cari kantong teh dan gula. Tanpa Nia sadari, Wahyu mengeluarkan botol kecil dari sakunya. Ia kemudian dengan cepat meneteskan cairan bening ke dalam gelas Nia yang belum ditutup. Setelahnya, ia kembali pura-pura sakit kepala dan mengubur wajah di antara kedua tangannya."Kamu tidak keberatan ditinggal Kang Bayu di malam pertama kalian ini?" tanya Wahyu.Kegiatan Dia mencari kantong teh dan gula terhenti. Ia baru tahu kalau Bayu tidak ada di rumah."Tidak masalah. Kami berkomitmen untuk mendahulukan hal-hal yang lebih penting." Nia memberi jawaban yang mengambang. Ia
Nia menguap lebar seraya menutup mulutnya dengan tangan. Acara pernikahannya berlanjut dengan resepsi yang diadakan di halaman belakang rumah Bayu yang luas. Ia mulai kelelahan. Semalam ia kurang tidur karena memikirkan konsekuensi dari pernikahannya ini. Ditambah lagi, ia harus mengikuti serangkaian acara tanpa jeda sejak pagi. Stamina tubuhnya mulai menurun."Jangan terlihat terlalu bosan begitu. Nanti orang-orang menyangka kalau kamu tidak bahagia," bisik Bayu tanpa menoleh.Nia menghela napas pelan. "Saya capek, Yu. Duduk dan berdiri terus sepanjang hari.""Saya juga. Tapi saya tidak mengeluh terus sepertimu. Tahan sebentar lagi," omel Bayu.Nia tidak menanggapi. Ia segera berdiri ketika beberapa orang tamu naik ke pelaminan. Ia kembali harus menyalami tamu yang seakan tiada habisnya. Pinggang dan betisnya pegal luar biasa. Pandangannya tertuju pada meja prasmanan di seberang ruangan-ia haus dan butuh minum."Saya haus, Yu. Bantu saya turun.""Saya ambilkan saja di bawah, ya? Gaun
Nia menunduk. Matanya terasa panas, tetapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia sekarang sah menjadi istri Bayu. Saat MC membacakan tertib acara berikutnya, yaitu sungkeman, Nia mengikuti dengan hati nelangsa."Akhirnya kamu resmi menjadi istri Bayu. Ayah lega. Sekarang kamu sudah ada yang membimbing dan melindungi." Pak Suhardi mengelus pipi Nia yang lembap. Mendengar harapan besar ayahnya, air mata Nia meleleh. Ia merasa berdosa karena menikah demi kepentingan semata."Lho, kok kamu menangis? Kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini?" bisik Pak Suhardi lirih."Nia menangis karena bahagia, Yah." Nia mencoba tersenyum di antara deraian air matanya."Alhamdulillah kalau memang begitu. Ayah tidak bisa memberi banyak nasihat pernikahan padamu karena pernikahan Ayah sendiri juga berakhir buruk. Ayah hanya mau bilang, tetaplah ada dan saling membersamai bagaimanapun sulitnya. Jangan gengsi untuk meminta ataupun memberi maaf. Saling menyayangilah kalian berdua selamanya." Pak Suhardi
Pak Suhardi duduk di kursi kayu di ruang tengah, wajahnya serius namun tetap tenang. Di depannya, tiga gadis duduk dengan ekspresi berbeda-beda. Nia tampak tenang seperti biasa. Kencana duduk dengan bahu tegak, air mukanya terlihat waspada. Sementara itu, Dahayu, yang biasanya vokal, kali ini tampak gelisah. Ia terus meremas-remas jari-jarinya di pangkuan.Setelah mengamati tiga gadis muda di hadapannya, Pak Suhardi mulai berbicara. Suaranya rendah tapi tegas."Cana, Dayu, hari ini tepat sudah seminggu orang tua kalian ditahan. Apa rencana kalian berdua ke depannya?" Pak Suhardi langsung berbicara pada pokok permasalahan.Ruangan menjadi sunyi. Kencana bertukar pandang dengan Dahayu; mata mereka berbicara dalam diam. Mereka sadar kalau Pak Suhardi ingin mengusir mereka secara halus."Kalian berdua sudah dewasa, jadi sudah bisa bertanggung jawab pada diri sendiri. Lagi pula, saya tidak bisa menampung kalian di sini lama-lama. Kita sudah tidak punya hubungan kekeluargaan lagi," tegas Pa
"Saya sudah meminta izin dan menceritakan soal endors-an pada Bu Aisyah sebagai pemilik panti. Termasuk soal Rudi yang menjadi fotografernya. Bu Aisyah bilang, ia tidak keberatan," jawab Nia tenang. "Bu Aisyah jelas tidak berani menolak, karena ia takut kalau subsisi dari ibu saya, dicabut. Ia mengira kalau kamu adalah bagian dari kami," ungkap Bayu. "Mengenai Rudi, ia juga jelas bersedia. Anak muda puber itu pasti merasa kejatuhan bulan karena diminta memotret wanita pujaannya. Kamu tidak berpikir panjang, ya? Bagaimana kalau foto-fotomu nanti jadi objek fantasi olehnya?" tandas Bayu lagi."Saya sudah meminta Rudi untuk menghapus foto-foto saya setelah ia mengirimkan hasilnya pada saya," potong Nia cepat. "Dan kamu percaya kalau dia benar-benar menghapusnya?" tanya Bayu dengan nada mengejek. "Saya percaya. Rudi menghapusnya di hadapan saya," sahut Nia yakin. Mendengar kata-kata Nia, Bayu tertawa. Perempuan memang mudah dipedaya. "Oh ya, apa kamu juga meminta izin anak-anak kala
Nia baru saja selesai live di media sosialnya untuk menjual tas-tas preloved titip jualnya. Ia menutup siaran dengan senyum lebar, lalu meletakkan ponselnya di meja. Sambil membereskan ring light dan menyusun kembali tas-tas yang tersisa, ia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya."Hampir semua terjual!" gumamnya penuh semangat. Tangannya bergerak cepat merapikan alat-alat live, sementara pikirannya masih dipenuhi euforia. Notifikasi pembayaran tas yang masuk, berdenting di ponselnya, menambah rasa puas yang meluap-luap. Hari ini ia benar-benar sukses berjualan."Astaga, sudah pukul dua belas siang." Nia teringat pada tugas rutinnya di hari Minggu, yaitu melakukan bakti sosial seperti perjanjiannya dengan Bayu. Minggu ini, ia akan kembali mengunjungi Panti Asuhan Al-Mahramah. Ia menyukai kerja bakti ke panti asuhan ini karena ia menyayangi anak-anak panti yang manis seperti Aliya, Wita, maupun Didit yang pemalu.Nia membuka lemari untuk mengganti pakaian. Saat melihat sebuah blus ca
Nia baru saja membuka laptop ketika terdengar keributan dari paviliun sayap kanan. Penasaran, ia segera membuka jendela dan melongok ke arah paviliun yang kini dihuni oleh ibu serta adik-adik tirinya. Di sana, ia melihat sebuah mobil polisi terparkir, sementara beberapa aparat berseragam mondar-mandir di depan paviliun.Nia langsung berlari ke sana. Ia tak menyangka penyidik akan bergerak secepat ini. Saat tiba, tampak beberapa tetangga menyalakan lampu teras, berbisik-bisik dengan nada rendah."Bu, ada apa ini? Kenapa Ibu ditangkap polisi?"Di tengah kerumunan, Nia melihat Kencana dan Dahayu menangis histeris, berusaha meraih tangan Bu Isnaini yang kini diborgol."Bu, tolong jelaskan! Kenapa Ibu ditangkap?" Kencana dan Dahayu terus mengikuti ibunya, yang digiring menuju mobil polisi."Ibu kalian telah melakukan perbuatan kriminal. Karena itu, ibu kalian harus bertanggung jawab atas perbuatannya."Nia terperanjat saat melihat ayahnya melangkah keluar dari paviliun, diiringi beberapa p
Nia berkendara sambil memandang keindahan alam. Siang ini berencana mengunjungi Bayu di pabrik susunya. Setelah berpikir semalam suntuk, Nia memutuskan untuk bertanya baik-baik pada Bayu mengenai perubahan sikapnya. Dirinya bukanlah type orang suka berprasangka. Demi mendukung niat baiknya, ia juga membawa rantang empat susun, berisi makanan yang ia masak sendiri. Mudah-mudahan Bayu menghargai usahanya. Saat maps menunjukkan bahwa PT Dairy Indofood tidak jauh lagi, Nia melambatkan laju kendaraan. Selama lima bulan di sini, ia memang tidak pernah sekalipun mengunjungi PT Dairy Indofood, pabrik milik keluarga Bayu. Oleh karena itu, ia tidak tahu lokasi pastinya.Memasuki pintu gerbang pabrik, Nia melambatkan laju kendaraan. Ada pos satpam yang dijaga oleh dua orang di sana. Seorang satpam segera menghampiri, sementara satunya lagi tetap berjaga di tempat. "Selamat siang, Bu. Ada keperluan apa Ibu ke sini?" Pak Satpam bertanya sopan namun tegas. "Saya ingin bertemu dengan Pak Bayu. Ap
"Berhubungan dengan ayah? Ada apa memangnya, Yu?" Sekarang Nia lah yang menjadi tegang. "Saya baru menerima kabar dari Fathur. Ia bilang jati diri Pak Jaja yang sebenarnya sudah terkuak. Laki-laki yang selama ini menyamar sebagai Pak Jaja, adalah Dadang Suparna." Bayu mengeja sebuah nama pelan-pelan. Ia ingin melihat reaksi Nia. Apakah Nia mengenal nama itu. "Dadang Suparna. Sepertinya nama itu familiar," gumam Nia sambil berpikir. Mendadak air mukanya berubah. Ia teringat sesuatu!"Dadang Suparna itu kan nama mantan suami Bu Isnaini." Nia merasa surprise sendiri. Bayu mengangguk. Ternyata Nia bisa menangkap benang merahnya."Benar. Ternyata Pak Dadang tidak meninggal dalam musibah kecelakaan truknya waktu itu. Yang meninggal sebenarnya adalah Pak Entis, kernetnya," terang Bayu lagi."Astaghfirullahaladzim. Pantas laki-laki itu memperingati saya agar menjauhi ayah. Ternyata ia adalah ayah kandung Kencana dan Dahayu." Nia kini mengerti maksud dari ancaman laki-laki tua itu. Pak Dadan