"Kemarin dulu Bu Iis menelepon saya. Bu Iis bilang beliau ingin mengontrak rumah lama saya untuk keluarganya." Bu Ningrum pun mulai bercerita. "Dengan syarat, saya tidak boleh mengatakannya pada Bapak. Kata Bu Iis, ia malu karena sudah terlalu sering membantu keluarganya. Ia juga takut kalau Bapak marah. Bu Iis bilang bahwa ia yang akan bertanggung jawan atas atas masalah ini," lanjut Bu Ningrum lagi."Tapi tadi saya mendapat kabar kalau polisi menggerebek rumah saya. Lantas Bu Iis datang dan meminta saya tidak membawa-bawa nama Ibu apabila saya dipanggil polisi. Bu Iis juga memberikan saya sejumlah uang. Karena saya tidak bersedia, kami jadi berdebat. Itulah yang terjadi, Pak." Bu Ningrum menceritakan dengan jujur. Pak Suhardi menarik napas panjang. "Baik. Sekarang giliran Ibu. Untuk siapa sebenarnya Ibu mengontrak rumah itu? Karena setahu Bapak, Ibu tidak punya keluarga lain lagi. Itu dulu pengakuan Ibu pada Bapak bukan?" Pak Suhardi gantian menginterogasi sang istri. "Untuk Pak
"Ibu berjanji akan menjelaskan semuanya pada Bapak di rumah. Sekarang sebaiknya kita pulang dulu. Kita tak pantas ribut di sini, Pak," mohon Bu Isnaini dengan suara rendah.Keributan mereka telah membuat para penghuni mess mencuri-curi pandang ke dapur. Suara-suara keras dan bentakan membuat mereka penasaran."Pulang, kamu bilang? Kamu masih berani meminta pulang setelah mencoba mencelakai Nia?" bentak Pak Suhardi dengan gusar."Jadi, Bapak maunya bagaimana? Ibu ikut saja, asalkan Bapak mau memaafkan Ibu. Beri Ibu kesempatan untuk menjelaskan semuanya," pinta Bu Isnaini. Ia menebalkan muka, memohon pada sang suami."Iya, Yah. Bagaimanapun, Ibu masih sah sebagai istri Ayah. Jangan mempermalukan Ibu di hadapan para pekerja, Pak," Kencana mencoba membela sang ibu."Kalian juga sama saja. Diberi hati, minta jantung! Selama ini Ayah selalu menyayangi kalian berdua sepenuh hati, tapi kalian berdua selalu mempersulit Nia. Maunya kalian berdua itu apa sih? Apa Ayah tidak boleh menyayangi putr
Melihat Fathur marah, Imah kembali mengangkat kedua tangannya."Oke... oke... gue duduk. Santai, Pak Polisi. Tadi kan Pak Polisi nanya, makanya gue jawab," Imah duduk sambil cengengesan. Gayanya kembali santai."Kenapa tadi kamu marah?"Fathur kembali menginterogasi."Ya karena Pak Polisi meragukan rasa sayang gue pada Ayahlah." Imah mengedikkan bahunya. "Padahal karena sayanglah makanya gue menuruti semua perintahnya tanpa kecuali.""Kalau sayang, kenapa kamu tidak melindunginya?" Fathur tidak memberi celah untuk mengelak."Karena gue takut disiksa, Pak Polisi. Kalau gue nggak ngaku, ntar kuku gue dicabutin satu-satu. Belum lagi kalau sampai disetrum. Kan ngeri, Pak Polisi?"Imah memperagakan aksi ketakutan dengan gaya dibuat-buat. Jelas-jelas ia mengejek."Sebentar."Ponsel di saku Fathur berdering. Ia pun keluar ruangan untuk menerima telepon."Yu, kamu keluar sebentar. Saya ingin berbincang-bincang dengan Imah. Saya mencurigai sesuatu," bisik Dia di telinga Bayu."Jangan berbicara
Nia merapikan pakaian yang baru saja ia keluarkan dari tas, menyusunnya dengan rapi ke dalam lemari. Akhir-akhir ini ia merasa seperti burung. Terus berpindah-pindah tempat tinggal antara mess dan rumah.Kemarin, ayahnya bersikeras membawanya pulang. Sejak mengetahui bahwa ada seseorang yang ingin melenyapkannya, sikap ayahnya berubah drastis—menjadi jauh lebih protektif. Menurut ayahnya, tinggal aman tinggal di rumah daripada berada di mess. "Masuk," seru Nia saat mendengar pintu kamarnya diketuk. "Kamu sibuk tidak, Nia? Ayah ingin berbincang-bincang sebentar." Pak Suhardi berdiri di ambang pintu. "Tidak kok, Yah. Masuk saja." Nia menutup lemari. Mempersilakan ayahnya duduk di kursi rias. Nia sendiri duduk di sudut ranjang. "Ayah mau berbincang apa?" tanya Nia lagi. Pak Suhardi terdiam sebentar sebelum mulai berbicara. "Apa yang kamu ketahui tentang ibu dan adik-adik tirimu yang tidak Ayah ketahui. Terus teranglah pada Ayah. Jangan ada yang kamu tutup-tutupi lagi." "Kenapa Aya
"Eh, ada anak pewaris munafik lagi makan?" Nia menghentikan suapannya. Kencana dan Dahayu masuk tiba-tiba ke dapur. Nia hanya melirik sekilas dua adik tirinya sebelum kembali melanjutkan makannya, sama sekali tak menggubris kehadiran mereka."Hati jahat Teteh pasti puas sekali melihat kami semua diusir Ayah, bukan? Dasar manusia munafik!" sembur Kencana emosi. Karena usahanya menyindir Nia gagal, Kencana kembali ke setelan pabrik-hajar tanpa basa basi. "Pasti puaslah, Teh Cana. Orang semua yang kita miliki sudah Teh Nia rampas pelan-pelan kok. Kasih sayang Ayah, cinta Kang Bayu, bahkan perhatian Erga juga. Teh Nia merebut segalanya dari kita!" imbuh Dahayu geram."Ayah, Bayu, atau pun Erga itu orang, bukan barang. Jadi mereka tidak bisa dirampas. Kalau mereka sekarang tidak lagi memperhatikan kalian, itu artinya mereka memang tidak tertarik. Simpel," jawab Nia kalem. Dahayu megap-megap karena emosi. Namun ia tidak bisa membantah kebenaran kata-kata Nia. "Teteh memang menang sekaran
Nia memeriksa saldo di rekeningnya. Seratus lima puluh lima juta dua ratus tujuh puluh satu rupiah.Seratus juta di antaranya adalah gajinya selama lima bulan bekerja di pabrik susu ayahnya. Sisanya berasal dari hasil penjualan tas serta simpanannya selama mengajar. Ia berencana akan menyetor seratus juta terlebih dahulu kepada ayahnya sebagai cicilan untuk melunasi utangnya. Sisanya akan ia bayar secara bertahap, setiap lima bulan sekali.Sebagian dari uang yang tersisa juga akan ia gunakan untuk mencicil utangnya kepada Bayu, yang jumlahnya mencapai tiga ratus juta rupiah.Nia mencari ayahnya di taman belakang. Akhir-akhir ini, taman belakang menjadi tempat favorit ayahnya selain kolam renang. Ayahnya sekarang memang lebih sering menyendiri.Dugaannya tepat. Saat membuka pintu belakang, ia melihat ayahnya duduk di bangku taman. Asap rokok melayang pelan di udara, bercampur dengan semilir angin malam. Wajah ayahnya tampak lelah, pandangannya kosong-seolah sedang memikirkan sesuatu ya
"Berhubungan dengan ayah? Ada apa memangnya, Yu?" Sekarang Nia lah yang menjadi tegang. "Saya baru menerima kabar dari Fathur. Ia bilang jati diri Pak Jaja yang sebenarnya sudah terkuak. Laki-laki yang selama ini menyamar sebagai Pak Jaja, adalah Dadang Suparna." Bayu mengeja sebuah nama pelan-pelan. Ia ingin melihat reaksi Nia. Apakah Nia mengenal nama itu. "Dadang Suparna. Sepertinya nama itu familiar," gumam Nia sambil berpikir. Mendadak air mukanya berubah. Ia teringat sesuatu!"Dadang Suparna itu kan nama mantan suami Bu Isnaini." Nia merasa surprise sendiri. Bayu mengangguk. Ternyata Nia bisa menangkap benang merahnya."Benar. Ternyata Pak Dadang tidak meninggal dalam musibah kecelakaan truknya waktu itu. Yang meninggal sebenarnya adalah Pak Entis, kernetnya," terang Bayu lagi."Astaghfirullahaladzim. Pantas laki-laki itu memperingati saya agar menjauhi ayah. Ternyata ia adalah ayah kandung Kencana dan Dahayu." Nia kini mengerti maksud dari ancaman laki-laki tua itu. Pak Dadan
Nia berkendara sambil memandang keindahan alam. Siang ini berencana mengunjungi Bayu di pabrik susunya. Setelah berpikir semalam suntuk, Nia memutuskan untuk bertanya baik-baik pada Bayu mengenai perubahan sikapnya. Dirinya bukanlah type orang suka berprasangka. Demi mendukung niat baiknya, ia juga membawa rantang empat susun, berisi makanan yang ia masak sendiri. Mudah-mudahan Bayu menghargai usahanya. Saat maps menunjukkan bahwa PT Dairy Indofood tidak jauh lagi, Nia melambatkan laju kendaraan. Selama lima bulan di sini, ia memang tidak pernah sekalipun mengunjungi PT Dairy Indofood, pabrik milik keluarga Bayu. Oleh karena itu, ia tidak tahu lokasi pastinya.Memasuki pintu gerbang pabrik, Nia melambatkan laju kendaraan. Ada pos satpam yang dijaga oleh dua orang di sana. Seorang satpam segera menghampiri, sementara satunya lagi tetap berjaga di tempat. "Selamat siang, Bu. Ada keperluan apa Ibu ke sini?" Pak Satpam bertanya sopan namun tegas. "Saya ingin bertemu dengan Pak Bayu. Ap
Nia tersenyum haru. Bayu sudah lulus ujian. Selama bulan-bulan terakhir ini, ia memang sengaja memperlakukan Bayu dengan buruk. Ia memberi Bayu begitu banyak tekanan dan juga sikap yang tidak menyenangkan. Ia kira, pada akhirnya kira Bayu akan menyerah dan meninggalkannya. Ternyata Bayu pantang menyerah dan sabar menghadapinya. "Saya juga mencintaimu kok, Yu. Hanya saja saya memilih mencintaimu dalam diam, dalam kesendirian dan dalam mimpi." Nia akhirnya membuka isi hatinya. Bayu terhenyak. Ia bengong sesaat karena mengira pendengarannya bermasalah. "Kamu bilang apa, Nia? Coba u... ulangi." Bayu membersihkan kedua telinganya dengan jari telunjuk. Ia ingin mendengar pengakuan cinta Nia dengan sejelas-jelasnya. Nia pun dengan senang hati mengulangi pernyataan cintanya. "Kenapa harus begitu, Nia?" tanya Bayu dengan suara parau. Keromantisan Nia dan Bayu membuat ruang bersalin hening sejenak. Dokter Widya membuat gerakan menggeleng pelan, saat perawat ingin memindahkan Nia ke ruang pe
Dua Bulan Kemudian - Rumah SakitBayu berlari menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup kencang. Kedua orang tuanya, Bu Sekar dan Pak Jafar, mengikuti di belakangnya dengan wajah cemas. Pak Suhardi sudah menunggu mereka di depan ruang bersalin, wajahnya diliputi kekhawatiran."Bagaimana Nia, Pak?" Bayu bertanya dengan napas tersengal. Ia mengoper pekerjaan di Jakarta pada Wahyu di Jakarta langsung ke Cisarua. "Masih berjuang, Nak. Sudah hampir lima jam." Suara Pak Suhardi terdengar bergetar. Hatinya juga sangat risau.Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan tertahan dari ruang bersalin, berikut instruksi-intruksi dari dokter. Bayu mengenali jeritan kesakitan menyayat hati itu. Suara Nia! Bayu mengepalkan tangan, matanya mulai memanas. "Apa saya boleh masuk ke dalam, Pak ?" tanya Bayu khawatir. "Walau kami sudah bercerai, tapi anak yang akan Nia lahirkan adalah darah daging saya. Tolong, beri saya kesempatan untuk mendampingi Nia, Pak." Bayu meminta izin Pak Suhardi."Perg
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa
"Suhar..." Suara Bu Sekar pecah."Aku mohon... Bayu sudah seperti orang gila enam bulan ini! Ia tidak bekerja, tidak peduli dengan kesehatannya. Tidak ada yang ia pikirkan selain mencari Nia!"Pak Suhardi menarik napas panjang. Hatinya resah. Ia bisa membayangkan bagaimana keadaan Bayu.Bu Sekar menelan ludah, air matanya menggenang."Bayu depresi, Hardi. Aku takut kalau dia sampai menyakiti dirinya sendiri. Bayu hanya ingin menemui Nia sekali saja, Har. Satu kali saja."Hening. Di ujung telepon, Pak Suhardi mengusap wajahnya, serba salah. Ia tahu Nia sangat tersakiti, dan ia sudah berjanji akan melindungi putrinya itu dari segala hal yang membuatnya menderita. Namun, di sisi lain, ia juga melihat bagaimana Bayu benar-benar berubah."Aku akan mengatakan satu rahasia yang selama ini aku pendam semampuku, Har." Suara Bu Sekar bergetar."Apa itu, Sekar?" Suara Pak Suhardi terdengar khawatir."Aku menderita kanker pankreas stadium tiga, Har.""Astaghfirullahaladzim. Berarti pertemuan kit
Enam bulan kemudian.Hujan deras menyelimuti Cisarua sore itu, menciptakan kabut tipis di sepanjang jalanan desa yang sepi. Bayu turun dari mobilnya dengan langkah gontai, membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang sudah kedinginan. Rambutnya lepek, wajahnya pucat, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini.Di beranda, Bu Sekar berdiri dengan payung di tangan. Wajahnya sendu saat melihat putranya dalam keadaan menyedihkan. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Bayu dan menariknya masuk ke dalam rumah."Ya ampun, Bayu. Enam bulan lamanya kamu tidak pernah ke sini, sekarang kamu datang dalam keadaan seperti ini?" Bu Sekar menyambut sang putra dengan tatapan prihatin.Bayu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap kosong ke seantero rumah yang dulu terasa hangat karena ada Nia di dalamnya. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan."Kau menyiksa diri sendiri, Nak. Lihat dirimu... Kamu bahkan lebih mirip gelandangan sekarang." Bu Sekar memandu putra
"Saya cemburu," ucap Bayu pelan, nyaris seperti bisikan.Nia mengernyit. "Apa maksudmu?"Bayu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Nia."Semua kekacauan ini, ketidakmasukakalan sikap saya, diawali oleh rasa cemburu," ulang Bayu, kali ini dengan suara lebih keras."Setiap kali saya melihatmu dekat dengan pria lain, saya tidak bisa berpikir jernih. Makanya, semua jadi kacau."Nia diam, namun ia tetap mendengarkan curahan hati Bayu.Bayu menarik napas panjang, menguatkan hatinya untuk terus mengeluarkan isi hatinya."Kamu ingat tidak saat saya melamarmu dulu? Saya bilang pada ayahmu kalau saya jatuh cinta padamu sejak melihatmu turun dari bus. Itu semua benar, Nia. Saya memang sudah menginginkanmu sejak saat itu. Namun, saya gengsi untuk mengakuinya. Karena...""Karena kamu menganggap saya yang penuh dosa ini tidak pantas untukmu yang suci, murni, tak bernoda, bukan?" potong Nia cepat.Bayu kembali menghela napas panjang. Walau terdengar memalukan, ia harus jujur."Benar. S