Jakarta. Akhirnya, ia kembali ke sini. Langit Jakarta yang berwarna abu-abu menyambutnya, menanggung beban polusi yang bercampur dengan panas terik matahari. Deru mesin kendaraan memenuhi udara, bersahutan dengan bunyi klakson tak sabar-seolah menjadi lagu wajib ibu kota. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, Nia tersenyum samar. Ada kehangatan yang tak pernah ia temukan di tempat lain."Jakarta sudah sesumpek ini. Herannya, orang masih saja berlomba-lomba memenuhi ibu kota," ucap Bayu sambil berdecak, menggelengkan kepala. Padatnya kendaraan membuatnya harus menyetir dengan hati-hati."Sumpek, tapi aku kangen," ucap Dia pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia teringat rutinitas paginya sebelum mengajar dulu-berlari kecil mengejar angkot ke sekolah, membeli nasi uduk di warung pinggir jalan untuk bekal makan siang, atau sekadar berjalan sore bersama rekan-rekan gurunya. Jakarta memang semrawut, tapi kota ini begitu akrab di hatinya. Di sinilah ia menghabiskan masa remaja hingga dewasa mud
"Minggir semuanya! Saya akan membawa Pak Jaja ke rumah sakit." Pedagang yang dipanggil Kadir, dengan sigap menggendong Pak Jaja. Pasar yang sudah ramai menjadi kian riuh oleh orang-orang yang penasaran dengan keadaan Pak Jaja."Tunggu dulu! Saya mau bicara dengan Pak Jaja!" Nia menghadang langkah Pak Kadir. Ia yakin kalau Pak Jaja hanya berpura-pura."Kamu siapa? Pak Jaja sedang sakit. Minggir! Beri Pak Kadir jalan!" Salah seorang pedagang mendorong Nia yang menghalangi jalan. Nia nyaris terjengkang, kalau Bayu tidak sigap menahan bahunya."Pak Jaja hanya pura-pu—" Nia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena Bayu membekap mulutnya."Jangan macam-macam, Nia," desis Bayu dengan suara tertahan. "Ayo kita pergi. Kamu bisa di massa orang kalau mengatakan hal yang aneh-aneh!" Bayu menarik separuh menyeret lengan Nia. Menjauhkannya dari kemarahan para pedagang. "Tapi saya benar, Yu. Pak Jaja itu hanya berpura-pura. Sebelum ia sakit, kami sempat saling bertatapan mata." Nia menjelaskan
"Kamu yakin mau tetap ke butik Gunawan Hartanto?" tanya Bayu dengan nada sangsi sambil menimang-nimang remote mobil di tangannya. Mereka baru saja keluar dari UGD rumah sakit. Karena tidak ada luka serius, dokter mengizinkan mereka pulang. Mobil mereka yang ringsek telah dibawa ke bengkel oleh orang suruhan Bayu, setelah diperiksa terlebih dahulu oleh teman Bayu yang seorang penyidik. Kini akan mengendarai mobil Bayu yang baru saja diantar oleh orang suruhannya."Saya sih yakin, Yu. Orang saya baik-baik saja. Yang saya tidak yakin itu, kamu. Luka-luka di tanganmu lumayan juga," Nia bergidik, memandang kedua tangan Bayu yang penuh luka akibat serpihan kaca."Cuma lecet-lecet kecil saja." Bayu berdecak. "Luka kecil seperti ini tidak ada artinya bagi saya," tandasnya ringan."Ya sudah kalau begitu. Kita ke sana saja. Cuma..." Nia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul setengah empat. Janji temu mereka jelas sudah lewat."Saya sudah mengubah jadwal ke pukul setengah enam, dan G
"Katanya kamu tidak bisa akting. Tapi tadi saya lihat aktingmu saat menghadapi Alika, nyaris sempurna. Kalau menurut istilah perfilm-an sih, watak sekali kamu memerankannya." Bayu melirik Nia yang sedang mengamati isi studio Gunawan Hartanto. Saat ini mereka tengah menunggu Gunawan yang masih berada di lantai dua. "Saya tadi tidak sedang berakting. Saya mengatakan yang sebenarnya," sahut Nia apa adanya. "Jadi beneran kamu bersedia tidak diakui oleh pasanganmu di publik?" Bayu menegaskan maksud kata-kata Nia. Nia mengangguk mantap."Benar. Saya adalah type orang yang lebih mempercayai perbuatan dari pada pengakuan. Selama kami saling cinta dan saling percaya, saya tidak akan menuntut apa-apa. Saya bukanlah type orang berisik," tandas Nia. "Wah, ternyata calon istrimu ini Nia, Yu?" Gunawan Hartanto muncul dari undakan tangga dengan wajah takjub. "Ayo silakan duduk," Gunawan membawa Bayu dan Nia ke meja kerjanya. "Kalau calonmu ini Nia, saya sudah tahu seleranya. Yang jelas bukan sk
"Nama lengkap Pak Jaja adalah Jaja Jaelani. Dahulu, beliau bersama istrinya bekerja di UD Gas Pratama Cemerlang, sebuah pabrik korek api rumahan. Namun, pada tahun 2013, pabrik tersebut mengalami kebakaran hebat. Istri Pak Jaja tewas dalam insiden itu bersama dua belas karyawan lainnya. Pak Jaja selamat, begitu pula beberapa puluh pekerja lainnya. Peristiwa kebakaran itu meninggalkan luka batin yang dalam. Banyak korban yang wajahnya rusak parah hingga sulit dikenali, bahkan oleh keluarga mereka sendiri. Karena kondisi fisiknya yang tak lagi sempurna, Pak Jaja akhirnya menghidupi dirinya dengan berdagang buku bekas di pasar."Fathur menyampaikan temuannya itu kepada Bayu dan Nia di sebuah kafe. Bayu memang memintanya bertemu di kafe saja."Soal anak perempuan yang disebut para pedagang pasar, bagaimana?" tanya Nia penasaran."Pak Jaja memang mempunyai seorang anak perempuan. Imah namanya," jawab Fathur. "Tapi anak itu sulit sekali diatur. Imah terpengaruh lingkungan anak-anak punk. Im
"Eh, lo pada jangan salah kaprah. Nia bukan pacar gue." Indra buru-buru membantah. Namun Teman-temannya tidak mempedulikan bantahan Indra. Mereka langsung memposting foto-foto itu ke dalam grup reuni sekolah. "Benar. Saya bukan pacar, Pak Indra. Saya adalah rekan beliau sesama guru." Melihat Pak Indra kewalahan, Dia turun tangan. Ia tidak mau kesalahpahaman ini semakin berlarut-larut."Waduh, maaf ya, Mbak. Kami terlalu cepat menyimpulkan sesuatu." Seorang pria muda yang sepertinya ketua gank merangkapkan tangan di dada. Gestur meminta maaf. Nia menanggapi permintaan teman Indra dengan senyuman tipis sebelum berlalu. Ia juga memesan taksi online sambil jalan. Ia sudah sangat rindu pada Bu Wardah. ***"Antarkan saja saya ke mess ya, Yu," pinta Nia pada Bayu. Saat ini mereka telah memasuki jalan Cisarua. Semua persyaratan numpang nikah beserta dokumen-dokumennya telah masing-masing mereka kantongi. "Nanti ayahmu marah, Nia. Dari kemarin-kemarin beliau tidak memperbolehkanmu tinggal d
Setelah tiba di kamar, Nia menutup pintu pelan. Ia meletakkan tas travellingnya di sudut ruangan bersama kunci kamar yang diberikan oleh Bu Ningrum. Ia lalu menatap Bu Ningrum yang berdiri gelisah di dekat pintu."Silakan duduk, Bu," ujar Nia sambil menunjuk kursi di dekat meja kecil. Nada suaranya sopan, tapi dingin.Bu Ningrum menurut. Tangannya menggenggam erat ponsel yang dibawanya, seolah-olah ponsel itu bisa memberinya kekuatan."Bu Ningrum, coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa nama saya dan Bapak disebut-sebut dalam percakapan tadi?" Nia bertanya langsung tanpa basa-basi."Itu... hanya obrolan biasa, Bu," jawab Bu Ningrum gagap. Matanya berusaha menghindari tatapan Nia."Obrolan biasa?" Nia tersenyum samar. "Tadi saya mendengar dengan jelas. Ibu bilang tidak akan memberi tahu saya atau Bapak soal sesuatu. Apa maksudnya itu, Bu Ningrum?" desak Nia lagi.Bu Ningrum meremas-remas tangannya semakin erat. "Sungguh, Bu, itu bukan apa-apa. Saya hanya...""Jangan berbelit
Sepeninggal Bu Ningrum, Nia meraih ponselnya. Ia harus mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Bu Isnaini dan Kencana. Bukti pertama yang ia periksa adalah rekaman pengakuan Kencana tentang fitnah yang pernah dilakukannya. Bukti kedua, percakapan antara Kencana dan Bu Isnaini mengenai jebakan pernikahan ayahnya.Setelah memastikan file-file tersebut tersimpan aman, Nia segera menelepon Bayu."Halo, Yu. Besok saya butuh bantuanmu," ucapnya serius."Ada apa, Nia?" Suara Bayu di seberang terdengar waspada."Saya ingin kamu menemani saya mengintai Bu Isnaini dan kerabatnya di rumah Bu Ningrum. Cerita detailnya besok saja," jelas Nia. "Oke. Jam berapa kamu ingin saya jemput?""Pukul dua siang di kantor.""Oke."Setelah Bayu setuju, Nia menutup telepon dengan harapan besar. Semoga saja teka-teki ini akan segera menemukan jawabannya.***Matahari sore menyisakan sinarnya yang lembut, membentuk bayang-bayang panjang di sepanjang jalan kecil menuju rumah Bu Ningrum. Jam digital di dasbor mobil me
Nia tersenyum haru. Bayu sudah lulus ujian. Selama bulan-bulan terakhir ini, ia memang sengaja memperlakukan Bayu dengan buruk. Ia memberi Bayu begitu banyak tekanan dan juga sikap yang tidak menyenangkan. Ia kira, pada akhirnya kira Bayu akan menyerah dan meninggalkannya. Ternyata Bayu pantang menyerah dan sabar menghadapinya. "Saya juga mencintaimu kok, Yu. Hanya saja saya memilih mencintaimu dalam diam, dalam kesendirian dan dalam mimpi." Nia akhirnya membuka isi hatinya. Bayu terhenyak. Ia bengong sesaat karena mengira pendengarannya bermasalah. "Kamu bilang apa, Nia? Coba u... ulangi." Bayu membersihkan kedua telinganya dengan jari telunjuk. Ia ingin mendengar pengakuan cinta Nia dengan sejelas-jelasnya. Nia pun dengan senang hati mengulangi pernyataan cintanya. "Kenapa harus begitu, Nia?" tanya Bayu dengan suara parau. Keromantisan Nia dan Bayu membuat ruang bersalin hening sejenak. Dokter Widya membuat gerakan menggeleng pelan, saat perawat ingin memindahkan Nia ke ruang pe
Dua Bulan Kemudian - Rumah SakitBayu berlari menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup kencang. Kedua orang tuanya, Bu Sekar dan Pak Jafar, mengikuti di belakangnya dengan wajah cemas. Pak Suhardi sudah menunggu mereka di depan ruang bersalin, wajahnya diliputi kekhawatiran."Bagaimana Nia, Pak?" Bayu bertanya dengan napas tersengal. Ia mengoper pekerjaan di Jakarta pada Wahyu di Jakarta langsung ke Cisarua. "Masih berjuang, Nak. Sudah hampir lima jam." Suara Pak Suhardi terdengar bergetar. Hatinya juga sangat risau.Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan tertahan dari ruang bersalin, berikut instruksi-intruksi dari dokter. Bayu mengenali jeritan kesakitan menyayat hati itu. Suara Nia! Bayu mengepalkan tangan, matanya mulai memanas. "Apa saya boleh masuk ke dalam, Pak ?" tanya Bayu khawatir. "Walau kami sudah bercerai, tapi anak yang akan Nia lahirkan adalah darah daging saya. Tolong, beri saya kesempatan untuk mendampingi Nia, Pak." Bayu meminta izin Pak Suhardi."Perg
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa
"Suhar..." Suara Bu Sekar pecah."Aku mohon... Bayu sudah seperti orang gila enam bulan ini! Ia tidak bekerja, tidak peduli dengan kesehatannya. Tidak ada yang ia pikirkan selain mencari Nia!"Pak Suhardi menarik napas panjang. Hatinya resah. Ia bisa membayangkan bagaimana keadaan Bayu.Bu Sekar menelan ludah, air matanya menggenang."Bayu depresi, Hardi. Aku takut kalau dia sampai menyakiti dirinya sendiri. Bayu hanya ingin menemui Nia sekali saja, Har. Satu kali saja."Hening. Di ujung telepon, Pak Suhardi mengusap wajahnya, serba salah. Ia tahu Nia sangat tersakiti, dan ia sudah berjanji akan melindungi putrinya itu dari segala hal yang membuatnya menderita. Namun, di sisi lain, ia juga melihat bagaimana Bayu benar-benar berubah."Aku akan mengatakan satu rahasia yang selama ini aku pendam semampuku, Har." Suara Bu Sekar bergetar."Apa itu, Sekar?" Suara Pak Suhardi terdengar khawatir."Aku menderita kanker pankreas stadium tiga, Har.""Astaghfirullahaladzim. Berarti pertemuan kit
Enam bulan kemudian.Hujan deras menyelimuti Cisarua sore itu, menciptakan kabut tipis di sepanjang jalanan desa yang sepi. Bayu turun dari mobilnya dengan langkah gontai, membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang sudah kedinginan. Rambutnya lepek, wajahnya pucat, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini.Di beranda, Bu Sekar berdiri dengan payung di tangan. Wajahnya sendu saat melihat putranya dalam keadaan menyedihkan. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Bayu dan menariknya masuk ke dalam rumah."Ya ampun, Bayu. Enam bulan lamanya kamu tidak pernah ke sini, sekarang kamu datang dalam keadaan seperti ini?" Bu Sekar menyambut sang putra dengan tatapan prihatin.Bayu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap kosong ke seantero rumah yang dulu terasa hangat karena ada Nia di dalamnya. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan."Kau menyiksa diri sendiri, Nak. Lihat dirimu... Kamu bahkan lebih mirip gelandangan sekarang." Bu Sekar memandu putra
"Saya cemburu," ucap Bayu pelan, nyaris seperti bisikan.Nia mengernyit. "Apa maksudmu?"Bayu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Nia."Semua kekacauan ini, ketidakmasukakalan sikap saya, diawali oleh rasa cemburu," ulang Bayu, kali ini dengan suara lebih keras."Setiap kali saya melihatmu dekat dengan pria lain, saya tidak bisa berpikir jernih. Makanya, semua jadi kacau."Nia diam, namun ia tetap mendengarkan curahan hati Bayu.Bayu menarik napas panjang, menguatkan hatinya untuk terus mengeluarkan isi hatinya."Kamu ingat tidak saat saya melamarmu dulu? Saya bilang pada ayahmu kalau saya jatuh cinta padamu sejak melihatmu turun dari bus. Itu semua benar, Nia. Saya memang sudah menginginkanmu sejak saat itu. Namun, saya gengsi untuk mengakuinya. Karena...""Karena kamu menganggap saya yang penuh dosa ini tidak pantas untukmu yang suci, murni, tak bernoda, bukan?" potong Nia cepat.Bayu kembali menghela napas panjang. Walau terdengar memalukan, ia harus jujur."Benar. S