"Tapi tadi dokter mengatakan yang sebaliknya. Kamu stress, kurang tidur dan perutmu kosong, Nak. Di sini kamu akan dirawat dengan baik. Kamu tunggu sebentar ya? Ayah akan mengurus kamar rawat inapmu." Pak Suhardi bersiap ke bagian administrasi."Biar Ibu saja. Bapak temani Nia di sini. Ayo Cana, kita kebagian administrasi." Bu Isnaini meraih pergelangan tangan Kencana. Menariknya sedikit agar Kencana mematuhi perintahnya. Kencana melayangkan pandangan pada Bayu sebentar sebelum membuntuti langkah sang ibu."Wajahmu jangan cemberut begitu, Cana. Tidak enak dilihat." Bu Isnaini langsung memperingatkan sang putri, setelah berada di luar UGD."Bagaimana Cana tidak cemberut. Dengan menginapnya Teh Nia di sini, bisa membuat acara nanti malam terganggu. Ayah pasti akan buru-buru balik ke sini lagi setelah acara selesai." Kencana menghentakkan kakinya kesal. "Ibu sudah meminta Ayah membatalkannya, Cana. Minggu depan baru kedua keluarga besar kita saling bertemu," terang Bu Isnaini."Apa? Ken
Nia baru saja ingin memejamkan mata saat mendengar pintu kamarnya diketuk."Siapa?" tanya Nia waspada. "Saya Teh, Cana.""Masuk saja. Pintunya tidak dikunci," sahut Nia setelah terdiam sesaat. Ia merasa aneh karena Kencana mencarinya hingga ke kamar. Pintu kamar berayun. Menghadirkan Kencana yang berdiri di ambang pintu. "Teh, di luar ada Pak Jafar dan Bu Sekar. Mereka mau menjenguk Teteh katanya. Saya suruh mereka kemari atau Teteh yang akan menemui mereka di ruang tamu?" tanya Kencana sopan. Nia tidak menjawab. Sebagai gantinya ia menatap Kencana dalam-dalam."Saya akan menemui mereka di luar saja." Nia bangkit dari ranjang. Ia tidak suka privasinya terganggu. Dia kemudian menghadap kaca. Merapikan penampilan dan menyanggul anggun rambutnya. Ia memiliki satu kebiaasan yang sama seperti ibunya. Yaitu dalam keadaan sesulit apa pun, penampilan tetap harus dijaga. Ia tidak akan membiarkan orang lain melihat keterpurukannya. Tindak tanduk Nia diamati Kencana dengan seksama. Ibunya ben
"Hallo, Bu Guru cantik. Kenapa sih telepon saya dimatikan? Tidak boleh begitu lho pada orang tua?" Pak Abdi tersenyum separuh menyeringai melihat kehadiran Nia. "Nah, itu Bapak sadar kalau Bapak sudah tua. Seharusnya Bapak juga mengkondisikan kelakuan Bapak. Salah satunya mungkin dengan memperbanyak amal ibadah," sindir Nia."Jangan sinis begitu dong. Ayo, sini, duduk dulu." Pak Abdi bersikap seperti layaknya seorang tuan rumah. Nia ikut duduk di kursi teras, berhadapan dengan Pak Abdi. Mereka berdua duduk dengan dibatasi meja teras kecil. Di atas meja, ada vas bunga dengan bunga-bunga artifisial yang menjuntai serta wadah tissue berbahan kayu."Tidak usah menasehati saya, Nia. Saya sudah kenyang melihat surga dan neraka. Siksa Kubur, Sumpang Pocong, Anugerah Surga —saya lihat semuanya sebelum saya produseri." Pak Abdi tersenyum sinis. "Itu film, Pak. Bukan yang sebenarnya," cetus Nia."Di dunia ini belum pernah ada orang melihat yang sebenarnya. Semua hanya mereka-reka. Makanya su
"Coba Kang Bayu jelaskan. Apa maksud ucapan Akang tadi? Akang pasti salah bicara kan?" Kencana membuntuti Bayu yang masuk ke dalam rumah. Ia harap Bayu segera meralat ucapannya. "Kamu tidak apa-apa, Nia?" Pak Suhardi meraih kedua tangan Nia. Memeriksa keadaan sang putri secara menyeluruh."Nia tidak apa-apa, Yah." Nia menangkan ayahnya. Padahal dalam hati ia juga butuh ditenangkan. Pengakuan Bayu yang mengatakan bahwa dirinya adalah pacarnya, jelas mengejutkan semua pihak. Terutama dirinya sendiri. "Syukurlah kalau begitu. Ayo kita masuk ke dalam." Setelah Pak Suhardi yakin kalau Dia baik-baik saja, Pak Suhardi membimbing sang putri masuk ke dalam rumah. Pertanyaan Kencana pun terabaikan. Karena semua orang sekarang fokus pada Nia. "Kang Bayu. Akang belum-" Kencana menghentikan kalimatnya. Gelengan samar sang ibu membuatnya bungkam. Kencana terpaksa kembali duduk di kursinya. "Apa yang diinginkan Pak Abdi darimu?" tanya Pak Suhardi penasaran. Kini mereka semua kembali duduk di rua
"Nia, Tante tidak membencimu. Tante hanya ingin hidup tenang tanpa masalah." Bu Sekar tidak enak hati menolak Nia secara terang-terangan. Makanya ia menyempatkan diri berbicara pada Nia di ambang pintu."Bu, Sudah. Jangan ikut campur masalah anak muda." Wahyu menarik lengan Bu Sekar. Mencegah sang ibu mengeluarkan lebih banyak kata-kata yang tidak enak didengar."Saya mengerti, Tante . Saya cuma ingin mengingatkan satu hal. Bahwa hidup yang tanpa masalah, justru adalah masalah. Bukannya saya ingin mengajari Tante yang hidup jauh lebih lama. Tapi setahu saya, selama seseorang masih hidup, maka masalah akan selalu ada," pungkas Nia tegas. Bu Sekar mengangguk singkat sebelum ditarik Wahyu menjauh. "Kalau kamu ingin memenangkan hati Bu Sekar, mulailah dengan bersikap lembut dan penurut. Bukan dengan memberinya nasehat kehidupan yang sudah lebih dulu ia jalani." Bu Isnaini menepuk simpatik bahu Nia."Sayangnya Ibu tadi juga sudah lebih dulu menjatuhkan nilai saya di hadapan Bu Sekar. Jadi
Di kantor guru, Nia memandangi hujan rintik-rintik yang jatuh meningkahi kaca jendela. Ia sangat menyukai cuaca seperti ini. Di mana udara terasa sejuk, ditingkahi dengan aroma tanah yang khas. "Selamat pagi, Bu Nia. Ini teh manis hangatnya." Pak Udin, penjaga sekolah meletakkan secangkir teh di mejanya. "Terima kasih, Pak Udin. Maaf ya, sudah merepotkan pagi-pagi," ujar Nia sambil tersenyum kecil."Walah, kok repot sih? Lha wong memang sudah menjadi tugas saya." Pak Udin tertawa. Memamerkan sejumlah giginya yang sudah tanggal. "Selamat menikmatinya tehnya, Bu Diah. Saya bekerja dulu." Pak Udin meminta diri. Sepeninggal Pak Udin, Nia kembali melamun. Kenangan akan hujan, mengingatkannya pada sang ayah yang sudah lima belas tahun lamanya tidak pernah lagi ia lihat. Nia memejamkan mata. Terkadang ia sangat merindukan ayahnya. Sayangnya, ayahnya tidak mau lagi berhubungan dengannya setelah ayahnya menikah lagi. "Astaghfirullahaladzim." Nia yang sedang melamun, kaget saat ponselnya ti
Satu minggu kemudian."Ini sertipikat rumahnya. Sebenarnya rumah ini sudah sah menjadi milik saya sejak setahun yang lalu." Pak Abdi memperlihatkan sertipikat rumah pada Nia. Nia menerima sertipikat dan membalik halaman-halamannya. Pak Abdi tidak bohong. Nama Sahila Rahman telah dicoret. Diganti menjadi nama Abdi Wahab. "Kalau memang sudah dijual, kenapa ibu saya masih tinggal di rumah ini?" tanya Nia heran. "Karena ibumu minta tolong pada saya. Katanya ia tidak mau kamu sedih karena rumah kesayanganmu ini sudah dijual. Makanya saya bolehkan ibumu tinggal sementara di sini." Rumah kesayangannya? Bagaimana bisa ibunya menyebut rumah ini sebagai rumah kesayangannya, sementara dia tidak pernah tinggal di rumah ini. Kalau mau jujur, ia malah sangat tidak betah tinggal di rumah mewah ini. "Kalau kamu mau, kamu boleh kok menempati rumah ini seperti ibumu," tutur Pak Abdi lembut. Nia tidak menjawab. Dirinya bukan orang bodoh. Ia tahu, pasti ada harga yang harus ia tukar demi bisa menemp
Nia menyeka peluh dengan handuk kecil sebelum meneguk air dingin dengan rakus, langsung dari kemasannya. Rasa dahaganya seketika hilang seiring tubuhnya yang terduduk kelelahan di lantai. Harus mengosongkan rumah dalam waktu tiga hari, sungguh menguras energinya. Padahal ia sudah dibantu oleh Yuyun, Mang Kosim, dan juga Oma Wardah. Yuyun adalah asisten rumah tangga ibunya, Mang Kosim sopir, dan Oma Wardah adalah pemilik panti asuhan Cinta Kasih. Ibunya yang sebatang kara dulu tinggal di panti asuhan Cinta Kasih milik Oma Wardah ini."Mbak Nia, kata bapak-bapak pemulung di depan, majalah-majalah dan koran-koran bekasnya ikut dibuang tidak? Kalau iya, mau mereka angkut sekalian katanya," Yuyun muncul dari teras."Tidak, Yun. Majalah dan koran-koran itu kesayangan Ibu," Nia menggeleng."Lha, kalau tidak diambil, nanti rumah ini tidak bersih, dong. Bukannya Mbak Nia bilang kita harus mengosongkan sekaligus membersihkan rumah ini sampai kilat?" ujar Yuyun bingung."Nanti saya akan menitipk
"Nia, Tante tidak membencimu. Tante hanya ingin hidup tenang tanpa masalah." Bu Sekar tidak enak hati menolak Nia secara terang-terangan. Makanya ia menyempatkan diri berbicara pada Nia di ambang pintu."Bu, Sudah. Jangan ikut campur masalah anak muda." Wahyu menarik lengan Bu Sekar. Mencegah sang ibu mengeluarkan lebih banyak kata-kata yang tidak enak didengar."Saya mengerti, Tante . Saya cuma ingin mengingatkan satu hal. Bahwa hidup yang tanpa masalah, justru adalah masalah. Bukannya saya ingin mengajari Tante yang hidup jauh lebih lama. Tapi setahu saya, selama seseorang masih hidup, maka masalah akan selalu ada," pungkas Nia tegas. Bu Sekar mengangguk singkat sebelum ditarik Wahyu menjauh. "Kalau kamu ingin memenangkan hati Bu Sekar, mulailah dengan bersikap lembut dan penurut. Bukan dengan memberinya nasehat kehidupan yang sudah lebih dulu ia jalani." Bu Isnaini menepuk simpatik bahu Nia."Sayangnya Ibu tadi juga sudah lebih dulu menjatuhkan nilai saya di hadapan Bu Sekar. Jadi
"Coba Kang Bayu jelaskan. Apa maksud ucapan Akang tadi? Akang pasti salah bicara kan?" Kencana membuntuti Bayu yang masuk ke dalam rumah. Ia harap Bayu segera meralat ucapannya. "Kamu tidak apa-apa, Nia?" Pak Suhardi meraih kedua tangan Nia. Memeriksa keadaan sang putri secara menyeluruh."Nia tidak apa-apa, Yah." Nia menangkan ayahnya. Padahal dalam hati ia juga butuh ditenangkan. Pengakuan Bayu yang mengatakan bahwa dirinya adalah pacarnya, jelas mengejutkan semua pihak. Terutama dirinya sendiri. "Syukurlah kalau begitu. Ayo kita masuk ke dalam." Setelah Pak Suhardi yakin kalau Dia baik-baik saja, Pak Suhardi membimbing sang putri masuk ke dalam rumah. Pertanyaan Kencana pun terabaikan. Karena semua orang sekarang fokus pada Nia. "Kang Bayu. Akang belum-" Kencana menghentikan kalimatnya. Gelengan samar sang ibu membuatnya bungkam. Kencana terpaksa kembali duduk di kursinya. "Apa yang diinginkan Pak Abdi darimu?" tanya Pak Suhardi penasaran. Kini mereka semua kembali duduk di rua
"Hallo, Bu Guru cantik. Kenapa sih telepon saya dimatikan? Tidak boleh begitu lho pada orang tua?" Pak Abdi tersenyum separuh menyeringai melihat kehadiran Nia. "Nah, itu Bapak sadar kalau Bapak sudah tua. Seharusnya Bapak juga mengkondisikan kelakuan Bapak. Salah satunya mungkin dengan memperbanyak amal ibadah," sindir Nia."Jangan sinis begitu dong. Ayo, sini, duduk dulu." Pak Abdi bersikap seperti layaknya seorang tuan rumah. Nia ikut duduk di kursi teras, berhadapan dengan Pak Abdi. Mereka berdua duduk dengan dibatasi meja teras kecil. Di atas meja, ada vas bunga dengan bunga-bunga artifisial yang menjuntai serta wadah tissue berbahan kayu."Tidak usah menasehati saya, Nia. Saya sudah kenyang melihat surga dan neraka. Siksa Kubur, Sumpang Pocong, Anugerah Surga —saya lihat semuanya sebelum saya produseri." Pak Abdi tersenyum sinis. "Itu film, Pak. Bukan yang sebenarnya," cetus Nia."Di dunia ini belum pernah ada orang melihat yang sebenarnya. Semua hanya mereka-reka. Makanya su
Nia baru saja ingin memejamkan mata saat mendengar pintu kamarnya diketuk."Siapa?" tanya Nia waspada. "Saya Teh, Cana.""Masuk saja. Pintunya tidak dikunci," sahut Nia setelah terdiam sesaat. Ia merasa aneh karena Kencana mencarinya hingga ke kamar. Pintu kamar berayun. Menghadirkan Kencana yang berdiri di ambang pintu. "Teh, di luar ada Pak Jafar dan Bu Sekar. Mereka mau menjenguk Teteh katanya. Saya suruh mereka kemari atau Teteh yang akan menemui mereka di ruang tamu?" tanya Kencana sopan. Nia tidak menjawab. Sebagai gantinya ia menatap Kencana dalam-dalam."Saya akan menemui mereka di luar saja." Nia bangkit dari ranjang. Ia tidak suka privasinya terganggu. Dia kemudian menghadap kaca. Merapikan penampilan dan menyanggul anggun rambutnya. Ia memiliki satu kebiaasan yang sama seperti ibunya. Yaitu dalam keadaan sesulit apa pun, penampilan tetap harus dijaga. Ia tidak akan membiarkan orang lain melihat keterpurukannya. Tindak tanduk Nia diamati Kencana dengan seksama. Ibunya ben
"Tapi tadi dokter mengatakan yang sebaliknya. Kamu stress, kurang tidur dan perutmu kosong, Nak. Di sini kamu akan dirawat dengan baik. Kamu tunggu sebentar ya? Ayah akan mengurus kamar rawat inapmu." Pak Suhardi bersiap ke bagian administrasi."Biar Ibu saja. Bapak temani Nia di sini. Ayo Cana, kita kebagian administrasi." Bu Isnaini meraih pergelangan tangan Kencana. Menariknya sedikit agar Kencana mematuhi perintahnya. Kencana melayangkan pandangan pada Bayu sebentar sebelum membuntuti langkah sang ibu."Wajahmu jangan cemberut begitu, Cana. Tidak enak dilihat." Bu Isnaini langsung memperingatkan sang putri, setelah berada di luar UGD."Bagaimana Cana tidak cemberut. Dengan menginapnya Teh Nia di sini, bisa membuat acara nanti malam terganggu. Ayah pasti akan buru-buru balik ke sini lagi setelah acara selesai." Kencana menghentakkan kakinya kesal. "Ibu sudah meminta Ayah membatalkannya, Cana. Minggu depan baru kedua keluarga besar kita saling bertemu," terang Bu Isnaini."Apa? Ken
"Pelan-pelan jalannya, Kang. Cana tidak bisa mengikuti langkah Akang." Kencana berlari-lari kecil agar bisa mengimbangi langkah Bayu. "Parkiran masih jauh. Apa Akang tidak capek menggendong Teh Nia sampai ke sana? Cana panggilkan security saja ya, Kang?" usul Kencana. Bayu tidak menghiraukan kata-kata Kencana. Pucatnya wajah Nia yang dibarengi dengan suhu tubuh yang tinggi membuatnya khawatir. Langkah kaki ia percepat agar bisa segera sampai di parkiran. "Tolong ambil remote mobil di saku saya dan buka pintu mobil, Cana." Bayu menunjuk saku kirinya dengan dagu. Walau kesal karena Bayu tidak menyimak kata-katanya, Kencana tetap melaksanakan perintah Bayu."Sekarang kamu duduk di belakang. Saya akan membaringkan Nia di sampingmu. Jaga Nia agar tidak jatuh ke bawah ya?" perintah Bayu lagi. Kencana mengangguk samar. Saat Bayu kemudian meletakkan kepala Nia di pangkuannya, Nia melenguh perlahan. Seolah-olah sedang merasa sangat kesakitan. Kencana mengkertakkan geraham. Ia sangat tidak i
"Ayah tahu, memang tidak mudah menyatukan dua kepala dalam satu visi misi. Tapi Ayah harap kalian berdua bisa bekerjasama demi kelangsungan perusahaan kita. Ayah pergi menemui Pak Jafar dulu. Ada hal yang harus Ayah urus." Pak Suhardi berpamitan."Oh ya, Nia. Nanti malam pulang ya, Nak? Ada acara kecil-kecilan. Pak Jafar dan keluarga akan berkunjung. Pak Jaya nanti yang akan menjemputmu," pesan Pak Suhardi pada Nia. "Ayah pergi dulu. Akur-akurlah dengan tetehmu. Jangan bertengkar terus. Sebentar lagi Bayu akan menjemputmu." Kali ini Pak Suhardi menasehati Kencana sebelum membuka pintu ruangan."Baik, Yah." Kencana tersenyum gembira. Membayangkan pria pujaan hatinya akan menjemput, membuat hatinya berbunga-bunga."Sudah. Lepaskan topengmu. Tidak perlu berakting lagi. Apa rahangmu tidak pegal terus dipaksa tersenyum palsu begitu?" Nia mencebikkan bibirnya. Tangannya tanpa kentara mulai menekan salah satu tombol di ponsel, yang sengaja ia letakkan di antara tumpukan arsip."Tidak perl
Nia melangkah gontai menuju pabrik. Semalaman ia tidak bisa memejamkan mata karena teror dari Pak Abdi. Apalagi Pak Abdi tidak mengetik apa pun lagi setelah mengirim photo-photo. Hal itu membuat Nia kian was-was. Ia seperti sedang menunggu-nunggu bom waktu. Nia berhenti sejenak. Tiba-tiba saja kepalanya pusing. Selain karena kepalanya masih terluka, mungkin ini adalah efek tidak tidur semalaman. Nia mengibaskan kepala ke kiri dan ke kanan. Mencoba menjernihkan pikirannya. "Aduh!" Nia bertabrakan dengan seseorang saat akan memasuki ruang kerjanya. Untungnya orang tersebut dengan sigap memegangi bahunya."Hati-hati kalau berjalan, Nia."Suara ayahnya."Iya, Yah. Nia kurang awas tadi," sahut Nia lemah."Kamu kenapa? Sakit? Badanmu panas sekali ini." Pak Suhardi memegang kening dan leher Nia. "Nia tidak apa-apa, Yah. Nia cuma kurang tidur saja." Nia menenangkan ayahnya. "Tapi kalau sudah bertemu dengan Ayah begini, pasti demamnya hilang sendiri," ajuk Nia manja. Sikapnya langsung beru
"Bukan itu saja. Kata si Euis kemarin malam Bu Nia itu memukuli Bu Cana hanya karena dikira mau merusak tas-tasnya. Makanya Bu Cana tidak masuk kerja hari ini. Tadi kalian lihat sendiri bukan, kalau kening Bu Cana diperban. Sadis sekali ya, Bu Nia. Padahal wajahnya teh geulis pisan."Nia tersenyum kecut. Perempuan kalau sudah bergosip memang seseru itu. "Makanya kata si Euis, Bu Nia itu dihukum Pak Hardi di sini. Pokoknya sebelum Bu Nia meminta maaf pada Bu Cana, Bu Nia akan tetap tinggal bersama kita di sini.""Si Euis hebat ya, bisa tahu semua masalah keluarga bos kita.""Ya tahulah. Si Euis itu kan tangan kanannya Bu Cana. Tadi saja dia sedang telponan dengan Bu Cana. Makanya belum gabung bersama kita di sini."Baiklah, cukup sudah ia menguping. Sekarang waktunya mengisi perut."Selamat malam semuanya."Nia tiba-tiba muncul di dapur dengan senyum ramah.Hening. Suasana dapur mendadak sunyi. Tiga orang staff yang tadi asyik bergosip langsung terdiam, mematung seperti melihat hantu.